A Lonesome Town

Being in a solitude through Levi Ackerman’s vision. This 1.900+ words of narration is coming from Levi’s 1st POV.

In the town of broken hopes The streets are filled with regrets Maybe down in a Lonesome Town Where the broken heart stays I can learn to forget.


Perempuan itu masih disana, tetap setia duduk di dekat jendela berkusen kayu akasia di jam-jam sore hari yang paling strategis untuk mendapatkan sinar golden hour.

Sudah seminggu sejak pertama kalinya gue singgah ke kedai kopi ini, perempuan itu masih saja selalu fokus ke sebuah objek yang gue tebak adalah buku sketsa.

Kadang gue melihat dia menggambar, kadang juga gue lihat dia cuma sedang sekadar menulis—seperti saat ini. Selama itu pula, gue nggak pernah mendapati adanya kehadiran orang lain yang menemani dia.

Seketika gue jadi terheran sendiri, sejak kapan gue menjadi seorang pengamat? Gue sendiri nggak tahu jawabannya, karena yang gue tahu, gue nggak cukup peduli untuk hal-hal yang nggak worth it buat diperhatikan.

Tapi perempuan yang rambut hitamnya sedikit berantakan itu bikin gue ingin menjadi pengamat untuk lebih lama lagi—kalau bisa sih jadi pengamat yang lebih dekat.

Pikiran itu langsung gue tepis jauh-jauh ketika salah satu pelayan datang ke meja gue untuk mengantarkan pesanan yang tadi gue pesan, yaitu satu teko teh camomile yang bisa gue lihat uapnya masih mengepul.

Tempat yang gue singgahi ini memang kedai kopi yang menu utamanya tentu saja berbahan dasar biji kopi, tapi teh racikan mereka rasanya benar-benar pas di lidah gue dan langsung menjadi menu favorite.

Di kota kecil ini, semuanya serba terbatas, nggak banyak fasilitas yang bisa didapat. Kehidupan orang-orang disini jalannya cukup lambat—nggak grusak grusuk seperti di kota besar, cocok buat gue yang sedang mencari ketenangan.

Kedai kopi ini bisa dikatakan sebagai kedai yang paling proper buat disinggahi sambil nyantai. Itu saja nggak banyak pelanggan yang berkunjung. Sudah kurang lebih seminggu, gue bisa menyimpulkan kalau pelanggan tetapnya hanya ada gue sendiri dan perempuan yang tadi gue sebutkan.

Sedikit cerita, kota kecil ini sudah menjadi destinasi ke sekian yang gue tuju sebagai tempat pelarian. Semenjak satu kejadian di masa lalu yang bikin gue nggak karuan dan sempat hampir kehilangan kewarasan.

Perlahan-lahan gue sadar kalau hidup seorang diri adalah salah satu cara penyembuhan yang paling tepat, namun nggak sedikit dari kerabat gue yang khawatir dengan pilihan gue, seperti Mikasa—saudara perempuan gue, contohnya.

Dulu, gue selalu bertiga dengan dua teman lainnya. Namanya Erwin Smith dan Hange Zoë. Sekarang keduanya sudah sepenuhnya pergi dari kehidupan gue. Bukan karena gue sendiri yang minta mereka untuk pergi, tapi yang di atas punya rencana lain dengan merenggut keduanya dari gue, yang menurut-Nya adalah rencana terbaik.

Semenjak itu, gue menjadi takut untuk ditinggal sendirian, apalagi ketika sudah sangat terikat pada individu lain. Untuk mengantisipasi kejadian serupa di masa depan, gue memilih untuk nggak ditemani siapa-siapa, karena gue tahu pasti sebuah konsep yang bunyinya “nothing will last forever” itu benar adanya.

Namun sudah seminggu gue mulai merasakan sesuatu yang berbeda semenjak kedua mata tajam gue pertama kali menangkap sosok perempuan itu. Dari tempat duduk gue, perempuan itu kelihatan sangat mungil, mungkin lebih mungil dari gue—yang dimana secara nggak masuk akal bikin hati gue sedikit bersorak senang.

Selama satu minggu, yang bisa gue tangkap adalah side profile-nya. Hidung perempuan itu bangir, bentuknya persis seperti hidung-hidung khas Orang Yunani. Sinar golden hour yang memandikan wajahnya bikin perempuan itu semakin kelihatan ethereal. Jujur, sosoknya sedikit bikin gue ingat kepada mendiang Ibu, mungkin karena mereka berdua punya surai hitam yang serupa.

Secara nggak terduga, ada sensasi hangat yang mampir ke hati gue setiap kali mengamati perempuan itu diam-diam. Gue merasa ada sosok yang menemani, meskipun nggak ada siapa-siapa selain gue dan perempuan itu—meskipun juga gue dan dia sama sekali nggak berinteraksi secara langsung.

Gue jadi penasaran apakah dia juga merasakan kehadiran gue di kedai kopi ini. Ajaibnya, rasa penasaran gue langsung terjawab ketika perempuan itu menangkap basah gue yang sedang memandangnya.

Alih-alih melempari gue dengan ekspresi jengkel atau nggak nyaman, perempuan itu justru tersenyum lembut. Bisa dipastikan kalau sebelumnya gue nggak pernah mendapati senyum lain yang bisa bikin hati gue yang semula sudah mati jadi berdegup lagi.

Di tengah-tengah senyumnya, gue memanfaatkan kesempatan buat menatap langsung ke matanya dari jarak yang lumayan jauh. Sebuah keteduhan bisa langsung gue tangkap dari sana. Meskipun matanya sayu dan sangat berkebalikan dengan mata gue yang tajam, perempuan itu sama sekali nggak terintimidasi.

Setelah satu minggu, sekarang gue bisa menentukan mana yang menjadi kesukaan gue dari perempuan yang belum gue ketahui namanya itu. Bagian yang paling gue suka adalah mata sayunya ketika ikut tersenyum buat gue.

“Boleh saya duduk disini?”

Entah sejak kapan perempuan itu sudah ada di depan meja yang gue tempati sendiri, untungnya gue disadarkan dengan suaranya yang lembut bukan main ketika dia minta izin untuk duduk di bangku kosong di depan gue. Ralat—selain matanya, mungkin suara semanis madunya akan menjadi kesukaan gue selanjutnya.

Sure. Nggak ada yang nempatin, jadi silahkan.” akhirnya gue bisa menjawab juga, sedikit merasa bersalah karena membiarkan perempuan mungil ini menunggu sambil berdiri untuk beberapa saat.

Bahkan caranya bergerak dan mendudukan dirinya sangat anggun dan imut bukan main di waktu yang bersamaan. Gue merasa sedang dihipnotis oleh setiap pergerakan yang perempuan itu lakukan.

Hmm, ayo sadar, Levi Ackerman.

“Terima kasih. Are you new here?

“Ya, baru dua minggu,” sedikit gugup karena gue nggak tahu harus berbuat apa ketika melihat perempuan itu masih tersenyum sambil mengangguk ke arah gue, akhirnya gue mengangkat cangkir teh dan menyesap isinya untuk menutupi kegugupan yang gue rasakan.

Nggak lama, satu pelayan datang lagi—kali ini dia meletakkan secangkir kopi hitam pesanan perempuan di depan gue saat ini. Aroma kopinya sangat menyengat, gue nggak bisa bayangkan seberapa pahit rasa kopinya.

“Cara kamu mengangkat cangkir teh tadi unik juga ya,” katanya sambil tertawa singkat.

Gue nggak mau terbang karena mengetahui perempuan itu notice apa yang gue lakukan, tapi gue nggak bisa bohong kalau itu bikin hati gue sedikit melayang. Setelah kehilangan kedua teman, ini baru pertama kali gue melakukan hal yang bukan-Levi Ackerman-banget, yaitu tersenyum.

“Oh, kamu lihat ya? Saya memang selalu pegang cangkirnya begitu.”

“Tentu lihat. Saya juga tahu selama satu minggu, kamu selalu pesan teh disini.”

“Saya kira bahkan kamu nggak tahu kalau ada orang lain yang ada di kedai ini,” berani sumpah, barusan itu gue nggak bermaksud untuk berbicara sarkas, tapi gue takut kalau perempuan ini bakal salah tangkap— ditambah dengan intonasi suara gue yang datar dan kadang bisa bikin orang lain salah paham.

Sepertinya, gue sudah terlalu kehilangan diri sendiri, sehingga sampai suara gue pun selalu terdengar nggak punya jiwa atau soulless.

Gue nggak bermaksud begitu, karena nyatanya gue selalu lihat perempuan itu sangat fokus ke apa yang sedang dia kerjakan. Jadi, tahu dia memperhatikan sampai ke apa yang gue pesan selama satu minggu tentu bikin gue nggak nyangka sama sekali.

Perempuan itu tertawa, kali ini sambil sedikit menggelengkan kepalanya, “Saya nggak se-ignorant itu kok. Maaf ya, baru sempat menyapa kamu sekarang.”

Oh, maafnya sangat nggak diperlukan. Gue nggak paham kenapa dia meminta maaf untuk hal sekecil itu. Padahal gue sendiri berpikir kalau dengan diamnya dan nggak mencoba untuk merecoki orang lain—termasuk gue, itu berarti perempuan mungil ini menghargai yang namanya jarak, yang mana akan sangat menguntungkan gue sebagai seorang penyendiri.

Tapi ada satu hal yang bisa gue rasakan ketika dia menghampiri gue tadi, ajaibnya sama sekali nggak mengusik ketenangan gue. Setelah sekian purnama, gue berpikir kalau ini adalah saatnya untuk membuka pintu yang sempat gue tutup rapat-rapat untuk orang lain.

“Nggak perlu minta maaf, toh saya juga nggak nyapa atau approach kamu duluan sebelumnya,” lagi-lagi, gue menjawab pertanyaan perempuan itu sambil menyesap teh hangat langsung dari cangkirnya karena masih gugup.

“Jadi, kenapa teh? Padahal menu utama di kedai ini ya... Kopi,” tanya dia lembut dan terdengar lebih santai.

Gue sangat menghargai perempuan ini dalam upayanya untuk membangun sebuah percakapan tanpa melewati batas. Biasanya, orang-orang secara nggak sadar akan bersikap nggak tahu diri dan menanyai hal-hal yang kelewat pribadi. Gue sendiri prefer dengan pertanyaan-pertanyaan trivial seperti yang barusan perempuan ini tanyakan.

“Saya nggak biasa minum kopi,” jawab gue santai.

“Kenapa? Asam lambung?” lanjutnya sebelum meraih cangkir kopi dan menyesapnya.

Ditanya begitu membuat gue sedikit merasa defensif. Seakan-akan gue nggak mau terlihat punya kesan sebagai pria lemah yang nggak kuat minum kopi karena asam lambung, apalagi setelah melihat kalau sepertinya perempuan ini punya cinta tersendiri buat kopinya.

Setelah itu, gue menjelaskan kalau bukannya gue nggak kuat minum kopi. Tapi entahlah, mungkin karena dari kecil, kopi termasuk sesuatu yang nggak mudah keluarga gue dapatkan karena harganya mahal—jadinya gue lebih sering minum teh.

Gue juga menjelaskan filosofi kopi menurut kacamata Levi Ackerman ke perempuan di hadapan gue saat ini, “Menurut saya, kopi itu lambang kesendirian. Saya bisa makin galau kalau harus menelan pahitnya sampai ke tenggorokan, sendirian pula.”

Mendengar jawaban gue, perempuan itu terlihat sedikit takjub, kemudian dia bertanya lagi, “Terus, kalau gitu filosofi teh dari kacamata kamu itu seperti apa?”

“Yang jelas, tea has more versatility, menjadikan teh sebagai minuman yang lebih serbaguna. Karena bisa dinikmati di kesempatan apa saja dan sama siapa saja—meskipun dinikmati sendirian, teh tetap bisa kasih saya sensasi hangatnya yang bikin saya merasa lebih relax,” jawab gue mantap.

“Wah, kapan-kapan saya bakal cobain switch dari kopi ke teh kalau gitu. Betul juga kata kamu, rasa pahitnya kopi bisa bikin kita semakin galau,” tukasnya sambil manggut-manggut, seperti menunjukan kalau dia baru saja menyetujui salah satu filosofi gadungan gue tentang kopi dan teh.

Meskipun nggak tahu apa perempuan ini bisa relate sama isi filosofi yang gue karang sendiri, tapi sepertinya dia terlampau terbiasa menelan pahitnya rasa kopi—sendirian atau nggaknya, belum gue ketahui.

Ketika mata gue menangkap pergerakan perempuan itu yang mulai beres-beres dan kemudian beranjak dari duduknya, gue merasa sedikit kecewa karena tahu dia akan segera pergi, padahal kopi hitamnya masih tersisa setengah cangkir. Seenggaknya, gue sempat berharap dia bakal tetap menemani gue duduk sampai kopinya habis.

“Maaf saya harus pamit duluan, senang bisa ngobrol sama kemu. Semoga kamu betah di tempat baru ini,” katanya sebagai salam pamit. Tapi sebelum gue diizinkan untuk membalas pamitnya, perempuan itu buru-buru menenteng totebagnya dan berjalan menuju pintu keluar.

Detik berikutnya, gue merutuki betapa bodohnya diri sendiri karena melewatkan sesi perkenalan. Perempuan mungil dengan sepasang mata sayu dan rambut hitam panjang yang dibiarkan tergerai berantakan itu, dari seminggu lalu sampai sekarang—belum juga gue ketahui namanya.

Dasar Levi ‘bodoh’ Ackerman.

Ibarat sepercik kebahagiaan itu punya kontrak, maka sepercik kebahagian milik gue yang tadi ditemani satu perempuan asing ini masa kontraknya lebih singkat dari lamanya uap panas yang masih mengepul keluar dari cangkir teh gue. Belum sempat gue abadikan kebahagiaannya, sudah keburu expired duluan kontraknya.

Mungkin gue nggak percaya sama yang namanya ‘Game of Fate’, tapi setelah bertemu dan ngobrol sama perempuan itu bikin gue sedikit menaruh harap pada permainan takdir. Mungkin besok, gue bisa ketemu perempuan itu di tempat yang sama lalu tanya siapa namanya.

Tetapi sialnya, harapan yang gue tanam hari itu sampai seminggu kemudian nggak juga kelihatan hilalnya bakal terwujud. Setiap sore di tempat yang sama, gue selalu mengharapkan supaya bisa bertemu perempuan itu meskipun hanya sekali lagi.

Bukan pahitnya rasa kopi yang harus gue telan, kali ini, gue dipaksa untuk sekali lagi menelan sebuah kekecewaan atas ekspektasi yang gue ciptakan sendiri.

Berkat itu gue jadi berharap; sesuatu yang nggak bisa menetap, ada baiknya untuk sama sekali nggak usah bersinggah. Karena nggak semua orang bisa kuat untuk digantung di antara posisi menunggu dan merindu.

Meskpikun begitu, gue merasa sedikit lebih beruntung karena belum sempat membiarkan perempuan itu masuk lebih dalam ke hati yang pintunya nggak sempat gue buka dengan mudah buat siapapun—tapi buat dia, rasanya terlalu mudah sampai bikin gue heran sendiri. Sehingga gue nggak perlu merasakan rasa sakit lainnya di kemudian hari.

Well, permainan takdir yang konyol. Gue jadi semakin yakin kalau takdir yang paling pas untuk gue adalah ditinggal seorang diri. Nyatanya, takdir gue sebagai seorang Levi Ackerman nggak jauh-jauh dari yang namanya kesendirian.

fin.