A.M. Drive
Jean sengaja menunggu kedatangan mobil bos nya di pos sekuriti yang terletak di gerbang masuk komplek perumahan. Dia tak mau membuat Pieck repot-repot mencari keberadaan rumah kontrakannya yang tidak seberapa itu. Bernaung di komplek perumahan yang pas-pasan, membuat Jean merasa tak enak kalau mobil mahal Bu Pieck sampai masuk-masuk ke sana, kan nggak selevel.
Beberapa saat lalu waktu Jean iseng bilang minta ditemenin makan malam alias minta traktir, dia tidak menyangka bos nya bakal menyetujui gagasan isengnya itu malam ini juga. Tapi ya tidak apa-apa sih, Jean malah kelewat senang bisa makan malam dengan Pieck. Jujur saja, Jean memang menaruh kagum dengan bos nya itu, namun sejauh ini sih Jean cuma menganggap kalau kekaguman itu disebabkan oleh betapa charming nya si bos yang dia temui setiap hari di kantor.
Tapi masalahnya, kadang Jean juga merasa takut tiba-tiba naksir beneran sama si bos, naksir yang dalam artian tertarik secara romantis ya. Jean sih mawas diri saja, dia dan Pieck tidak berada di kasta yang sama, meskipun jabatan Jean di kantor sebagai sekretaris pribadi Pieck cukup terpandang, tetap lah dia cuma sejumput remahan rengginang. Apalagi mengingat Bu Pieck ini sudah punya tunangan segalak singa yang gelut sama Jean tadi siang.
Jadi sesuai dengan kata tukang parkir, Jean memilih untuk mundur teratur.
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil SUV mewah berhenti agak jauh dari tempat Jean berdiri, membuat pria itu lantas mengalihkan perhatian karena sebelumnya dia sedang ngobrol dengan Mang Hannes—satpam perumahan.
Kemudian munculah sesosok bidadari alias Pieck Finger dari sisi pintu kemudinya, wanita itu menghampiri Jean yang entah sejak kapan telah mematung.
Kenapa? Ya karena Jean merasa tersihir oleh kecantikan bos nya itu.
Padahal Pieck cuma pakai daster batik dengan outer cardigan cokelat dan sendal teplek—membuat wanita itu kelihatan jauh lebih mungil karena biasanya di kantor dia pakai sepatu hak tinggi. Selain itu, Jean terpana melihat kecantikan visual Pieck yang lebih manusiawi, karena biasanya bos nya itu kelihatan unreal kalau sedang di kantor dengan mode serius 24/7 nya.
Namanya juga pemimpin perusahaan multinasional, Pieck selalu dituntut untuk berpenampilan anggun untuk menjaga wibawa. Namun buat Jean sendiri, dia lebih suka Pieck dengan versi memakai daster seperti malam ini hehe.
Sebelum Pieck benar-benar sampai di hadapan Jean, Mang Hannes mengembalikan kesadaran pria itu dengan menepuk bahunya dan bertanya, “Widih Jang, dijemput siapa tuh? Jiah, pacarnya yak?”
Jean meringis mendengar tebakan Mang Hannes, “Bos saya itu, Mang.”
“MasyaAllah, cantik bener. Mau kencan yak?”
Ingin mengangguk, tapi nyatanya agenda pergi berdua Jean dan Pieck tidak bisa dikatakan sebagai kencan, maka Jean hanya bisa tertawa kering. “Hahaha nggak, mau ditraktir makan nih. Lumayan bisa ngirit.”
“Keren banget sampe dijemput, yaudah sana atuh! Masa si eneng yang nyamperin kesini!”
Jean terperanjat, baru sadar kalau dia dari tadi masih diam terkesima dengan kecantikan si bos sampai Pieck sendiri yang harus menghampirinya dan menegur, “Jean! Kenapa bengong sampai saya sendiri yang harus menghampiri kamu?!”
Wah didengar dari nadanya sih, barusan si bos merasa kesal dengan Jean. Salah Jean juga sih, harusnya dia yang menghampiri Pieck, alih-alih wanita itu.
Merasa bodoh, Jean menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, “Maaf bu, saya lagi nggak fokus hehe.”
“Jangan diulangi. Sekarang banyak modus perampokan yang pakai hipnotis.”
Ya amplop… perhatian banget si Ibu bos hehe.
“Hehe iya bu, maaf.”
Pieck cuma bisa geleng-geleng kepala, kemudian dia menyerahkan kunci mobilnya ke Jean, “Nih kamu yang nyetir.”
Setelahnya, wanita itu berjalan mendahului Jean sehingga membuat pria itu harus berlari kecil sampai ke sisi kiri mobil untuk membukakan pintunya dan membiarkan Pieck masuk.
Beberapa saat kemudian, mobil Pieck yang Jean kemudikan sudah membelah keramaian jalan ibukota ditemani alunan musik santai yang mengalun lewat stereo mobil.
Jean menoleh ke arah Pieck dan bertanya, “Ibu mau makan dimana?”
“Kamu pilih sendiri saja restoran mana yang kamu suka, Jean.” jawab Pieck sambil tetap memfokuskan pandangannya ke jalan raya.
“Wah kalau saya sih nggak makan di restoran, Bu. Ke warung pecel lele aja gimana Bu?”
“Pecel lele?” Pieck terdengar sedikit ragu, membuatnya harus menoleh ke arah Jean untuk meminta konfirmasi, kemudian saat pria itu mengangguk, Pieck baru setuju, “Boleh deh.”
“Asik, nanti saya tunjukin Ibu warung mana yang paling enak.”
“Terserah kamu aja.”
Ternyata warung pecel lele yang Jean maksud tidak terletak terlalu jauh dari perumahannya. Dilihat dari ramainya pengunjung yang makan di sana sih sepertinya citarasa warung pecel lele itu nggak kaleng-kaleng ya. Namun ketika langkah mereka semakin mendekati ke warung tenda itu, semakin terlihat ragu pula Pieck sampai mengundang tanya Jean.
“Kenapa bu?” tanya Jean sedikit cemas.
Pieck masih melihat-lihat warung tenda itu dari segala arah, kemudian balik bertanya, “Kamu yakin makan di sini? Warungnya kelihatan nggak higienis.”
Jean sempat lupa kalau Pieck ini seorang elit, mungkin wanita itu baru pertama kali berkunjung ke warung tenda. Hal itu membuatnya terkekeh, “Hehe, namanya juga warung tenda Bu. Tapi saya jamin deh, kalau sudah makan, bakal lupa sama persoalan bersih atau enggaknya.”
Setelah menjawab, Jean hanya berharap kalau perut si bos tidak akan bermasalah setelah menyantap makanan warung tenda. Kalau kenapa-napa kan bisa saja Jean dituntut oleh keluarga Pieck karena membuat orang sepenting wanita itu celaka. Di sisi lain, Pieck pada akhirnya mencoba mengabaikan keraguannya dan tetap berjalan mengikuti Jean yang ada di depannya.
“Padahal saya bisa bawa kamu ke restoran di hotel Finger Group loh, Jean. Kan saya yang traktir.” ucap Pieck ketika mereka mulai duduk di bangku yang tersedia. Sebelumnya Jean sudah memesan dua paket nasi pecel lele dan gorengan lainnya, pria itu ambil inisiatif sih, karena kayanya lagi Pieck tidak tahu gimana cara pesannya.
“Masa makan di hotel tapi Ibu pake daster? Saya juga cuma pake kaos sama celana pendek.” kata Jean agak kurang setuju.
Pieck mengangkat alis, “Emang kenapa? Nggak masalah ah.”
Lagi-lagi, Jean hampir lupa kalau Pieck datang dari keluarga yang tajir melintir. Masalah penampilan tidak akan wanita itu pikirkan, santai saja. Golongan old money seperti Pieck Finger dengan penampilan seadanya sering Jean temui di waktu dia pergi ke bank, nasabah-nasabah prioritas di sana cenderung cuma pakai kaos oblong dan sendal swallow. Orang-orang juga tidak akan berani nge-judge, karena mereka sudah tahu yang berpenampilan seperti itu biasanya punya isi dompet yang fantastis.
Pada akhirnya Jean hanya bisa menarik bibirnya membentuk sebuah cengiran, “Hehe yaudah kapan-kapan aja bu traktir saya di restoran hotel.”
“Sure.” cengiran Jean semakin lebar ketika Pieck menyetujui adanya traktiran lain untuknya.
Makanan mereka kemudian datang, perut Jean sudah keroncongan dan tidak sabar buat segera menyantap nasi dan ikan lelenya plus sambal beserta lauk lainnya. Sedangkan Pieck hanya memandangi apa yang ada di hadapannya, “Jean, ini makannya gimana?”
Mendengar itu Jean hampir saja dibuat melongo, “Ibu nggak pernah makan ikan lele?”
“Hng… nggak. Koki di rumah saya nggak pernah masak ikan lele.”
“HAHAHA.”
Pecah sudah tawa Jean, dia merasa lucu saja dengan gaya hidup orang kaya yang tidak relatable dengan gaya hidup orang biasa sepertinya. Tapi selain itu sih, Jean merasa clueless nya si bos ini justru bikin wanita itu terlihat semakin menggemaskan.
Pada akhirnya Jean dengan telaten memberikan tutorial cara makan lele di warung tenda pinggir jalan, melihat reaksi Pieck yang sangat serius memperhatikannya, Jean dibuat semakin gemes. Alih-alih mau gigit tempe gorengnya, Jean sekarang lebih kepingin gigit si bos saking gemesnya.
Setelah kenyang dan puas dengan makan malam mereka yang tidak Jean ekspektasikan bakal di approve oleh bosnya itu, Pieck memerintahkan Jean buat mampir ke indoapril terdekat. Ternyata Pieck mau beli beberapa dus air mineral botolan, Jean sih nurut-nurut saja ketika disuruh bosnya buat membawa dus-dus itu dan memasukkannya ke bagasi mobil.
Namun Jean dibuat terkejut ketika pintu bagasinya sudah terbuka, karena sebelumnya dia tidak menyadari disana ada tumpukan kotak-kotak yang Jean asumsikan sebagai nasi kotak, jumlahnya banyak pula.
“Ini mau buat apa Bu?” tanya Jean penasaran.
“Buat dibagiin, habis ini kita keliling ya cari orang-orang yang bisa kita bagikan nasi kotak.”
Tidak hanya nasi kotak, Pieck ternyata menggenggam segepok amplop yang di dalamnya sudah terisi beberapa helai uang yang sudah wanitu itu siapkan untuk mereka.
Waduh… selain visualnya yang nampak seperti bidadari, kebaikan hati bos nya ini tidak kalah mulia dari seorang malaikat. Lebay sih memang, tapi Jean salut banget sama Pieck yang mau terlibat secara langsung buat membagikan berkah ke orang-orang yang membutuhkan. Padahal Pieck bisa dengan mudah tinggal suruh anak buahnya saja.
Duh… Jean jadi makin cinta—eh, maksudnya terkesima.
Dari awal mereka berangkat memang sudah cukup malam, sekarang sudah lewat tengah malam ketika keduanya ngobrol santai dengan Jean yang mengemudi menuju ke beberapa lokasi tujuan. Sesekali Pieck menyindir tentang kejadian membabi butanya Jean dan Porco Galliard siang tadi, yang cuma bisa dibalas pria itu dengan cengiran sampai rahangnya pegal.
Perjalanan malam kali ini bukan sekadar night drive biasa. Perjalanan malam di dalam mobil itu memberi kesan tersendiri buat Jean. Setiap beberapa puluh meter, Jean memberhentikan mobil yang dia kemudikan, lalu turun bersama Pieck untuk membagikan nasi kotak dan air mineral untuk mereka yang membutuhkan.
Tidak sekali dua kali juga Jean menunggu Pieck sampai wanita itu selesai menemani mereka menyantap nasi kotaknya sambil ngobrol. Beberapa dari orang-orang yang tinggal di jalanan rupanya mengenal sosok Pieck Finger karena wanita itu rutin mampir untuk berbagi.
Di situ, untuk pertama kalinya setelah 3 tahun menjadi sekretaris pribadi Pieck Finger, Jean bisa melihat wanita itu tersenyum, tertawa, bahkan menangis karena rasa haru dalam waktu yang singkat.
Rasanya Jean sangat bersyukur melihat sisi Pieck yang dia yakini nggak semua orang punya privilege buat melihatnya.
Pieck Finger si cantik, baik hati, dan sangat inspiratif. Jean salut.
Kalau sudah begini sih… akan Jean buang jauh-jauh keinginannya buat resign. Meskipun kadang dibuat kewalahan sama semua pekerjaannya, setidaknya Jean bisa berada di dekat Pieck Finger lebih lama lagi untuk masa-masa yang akan datang.