A Visit
“Hai… Pieck Finger, ketemu lagi sama saya. Udah lima hari saya ketemu kamu di ICU terus hehe.”
Jean menatap tubuh pasien wanita tersebut yang tengah berbaring tanpa kesadaran. Keberlangsungan hidup Pieck Finger saat ini sangat bergantung pada alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya.
Operasi pembedahan kepala yang dijalaninya cukup berat akibat parahnya kecelakaan yang mengantarnya hingga fase tak sadarkan diri selama lima hari. Kepalanya terkena benturan keras hingga merusak beberapa sistem saraf otaknya, bahkan dr. Hange Zoë selaku dokter utama yang memimpin operasi Pieck Finger hanya berharap bahwa pasien wanita tersebut tidak akan mengalami kematian otak.
“Hey, kamu nggak mau bangun? Sebentar lagi Natal. Saya jadi ikut sedih kalau Ayah kamu rayain Natal sendirian tahun ini.”
Jean menghela nafas, entah sudah yang keberapa kali dalam sehari. Saraf netra Pieck Finger masih belum menerima respon cahaya yang Jean gerakkan dari arah kanan ke kiri melalui penlight medisnya.
Sejak pertama kali tubuhnya diturunkan dari mobil ambulans, Jean selaku dokter intern dan tim medis lainnya yang sedang stand by membawa Pieck Finger menuju Emergency Room untuk memberikan pertolongan pertama. Hingga sampai saat ini, Jean tidak pernah absen dari sisi pasien tersebut.
Tanpa alasan yang jelas, Jean merasa dia harus secara intensif berada di sisi Pieck Finger. Jean merasakan empati yang sangat besar terhadap pasien wanita yang satu ini bahkan ketika dia tidak mengenal Pieck Finger secara pribadi.
Jean merupakan seorang dokter intern yang teladan, sudah belasa—bahkan mungkin puluhan pasien yang ikut dia rawat, banyak yang sembuh dan kembali sehat, tetapi banyak juga dari mereka yang tidak berhasil melawan maut. Bukan berarti rasa kemanusiaan dan empati Jean tidak ada ketika berurusan dengan pasien-pasien sebelumnya.
Namun, belum ada dari mereka yang berhasil mengikat Jean secara emosional yang jumlahnya begitu kuat dan besar hingga saat ini, kecuali Pieck Finger. Ditambah ketika dia menemui wali Pieck Finger, yang tidak lain adalah Ayah dari pasien wanita tersebut.
Ayah Pieck Finger memberitahunya kalau satu-satunya keluarga Pieck Finger yang tersisa hanyalah dirinya. Hal itu menjelaskan kenapa hanya ada Mr. Finger yang rutin mengunjungi Pieck Finger setiap harinya. Baru tadi siang Jean mengetahui kalau Pieck Finger memiliki kerabat, atau setidaknya orang lain yang wanita itu kenal setelah Jean mendapatkan pesan dari Eren.
“Pieck Finger, ayo bangun. Saya yakin banyak yang nungguin kamu bangun, ada Ayah kamu, ada Eren, semua tim medis yang rawat kamu juga sangat berharap kamu siuman—apalagi saya. Kalau sudah siuman, nanti saya kenalin ke mereka yang sudah rawat kamu di rumah sakit.”
Jika tidak teringat ada ruangan operasi yang harus disiapkan, Jean tidak akan beranjak dari kursi yang terletak di samping ranjang rumah sakit Pieck Finger dan meninggalkan pasien wanita itu sendirian di ruang rawat intensifnya, “Saya duluan ya, ada duty calls. Semoga kamu membaik, nanti malam saya kesini lagi.”