About One’s Dream
Sudah beberapa jam Sasuke menemani Sakura untuk memproses visa keberangkatan cewek itu ke New York tahun depan. Meski keduanya belum secara resmi ‘berbicara’ dan berbaikan, Sasuke nggak bisa berhenti mengulas senyum karena dia sangat bangga pada Sakura yang telah berhasil melangkah sejauh ini.
Satu hal yang sangat Sasuke sayangkan adalah bagaimana Sakura lebih memilih untuk melangkah sendirian, tanpa sandaran ketika cewek itu merasa membutuhkannya.
Tatapannya melembut ketika Sakura datang menghampirinya setelah keluar dari salah satu ruangan. “Gimana Sakura? Lancar?”
“Gosh. I am still shaking… aku masih deg-degan banget nih.” jawab cewek itu.
Sasuke bisa melihat kedua tangan Sakura yang bergetar, maka dia jemput tangan yang jauh lebih mungil dari miliknya untuk memberi ketenangan sambil meremasnya pelan. “Halah, kamu ini loh, bisa memikat orang-orang Kedutaan Besar. Wawancara bikin visa doang mah bukan apa-apa buat kamu, Ra.”
Kalimat Sasuke berhasil membuat Sakura merasa lebih tenang, tapi ada satu pertanyaan yang masih ingin dia keluarkan. “Sasuke, kamu nggak marah?”
Sasuke mengangkat sebelah alisnya, kemudian dia melihat arah jarum jam yang sudah menunjukan pukul 2 siang di arlojinya. “Ngobrolnya nanti aja, ini udah selesai kan? Kita lunch dulu.”
Sakura setuju dengan gagasan Sasuke. Cewek itu membiarkan dirinya dibawa ke salah satu restoran untuk makan siang dengan harapan dia punya kesempatan untuk menjelaskan semuanya ke Sasuke.
Setelah menutup buku menu, keduanya diminta untuk menunggu sampai sajian makanan mereka datang. Sakura mengambil kesempatan waktu yang kosong itu untuk kembali menanyakan pertanyaan yang sama. “Sasuke, are you mad?”
“Marah karena kamu bakal pergi ke New York untuk internship? Marah, but on top of that, I’m so proud of you…”
Jujur saja fakta kalau mereka bakal LDR-an nggak begitu dia pusingkan, meskipun Sasuke yakin LDR pasti berat.
Kemudian sepasang zamrud bertemu dengan legamnya manik segelap malam. Sasuke berkata dengan pelan dan lembut, “But Sakura, what makes me mad is the fact that you are being too hard on yourself.”
Sakura nggak cuma sekali dua kali mendengar itu dari Sasuke. Tapi kali ini, kalimat itu membuatnya sukses membendung air mata di pelupuk.
“Sakura sayang… Pasti berat ya berjuang sendirian?”
Dengan pertanyaan Sasuke barusan, butiran air mata sukses jatuh ke pipi Sakura dan Sasuke buru-buru menghapus jejak air mata itu.
Sebenarnya agak sedikit memalukan ya untuk menangis di tempat umum yang ramai seperti ini. Tapi masa bodoh lah, Sakura sudah terseok-seok sendirian dalam berproses meraih mimpinya, menangis sebentar nggak akan jadi masalah.
Waktu tangan Sasuke masih bertengger di pipinya, Sakura membungkus tangan itu dengan tangannya sendiri dan memberinya sebuah kecupan terimakasih.
“Sas, kamu percaya sama yang namanya pamali?” tanya Sakura.
“Kenapa sama pamali?”
“Di keluarga aku, kalau misal mereka lagi merencanakan sesuatu yang besar, mereka ga mau kasih tau siapapun. Katanya takut pamali nanti malah rencananya gagal.”
Sasuke berdecak, sedangkan Sakura nyengir.
“Jadi itu yang bikin kamu ga cerita ke aku, Ra?”
“Nggak juga…”
Sasuke masih terdiam, membiarkan Sakura menyelesaikan apa yang akan dia sampaikan.
“Sasuke, I dare not to have a big dream.”
Dari bagaimana cara Sakura mengatakan kalimat itu dengan secercah keputusasaan, Sasuke bisa merasakan dadanya ikut merasakan sesak.
“Why not, Sakura?”
“Mimpi yang besar itu terlalu muluk-muluk buat orang seperti aku.”
“Siapa yang bilang? Orang seperti kamu itu maksudnya apa? Kamu ini loh hebat, pinter, kerja keras nya nomor satu.”
Sasuke menjawabnya dengan perasaan nggak terima dengan siapapun orang yang membuat Sakura berpikir seperti itu.
“Di keluarga besar, aku bukan siapa-siapa, Sas. Kata papaku, aku nggak perlu punya mimpi tinggi-tinggi, katanya nanti aku terkesan nggak prihatin, nggak berkaca sama kondisi keluarga aku yang gak punya apa-apa. Kemarin waktu keluarga besar dapet kabar aku keterima internship ini, bukan selamat yang aku dapet, tapi cibiran dari mereka yang bilang kalau aku ini terlalu muluk-muluk, terlalu sombong, ya gitu-gitu deh.”
Kenyataan yang baru saja di dengar Sasuke itu membuat cowok itu semakin mengeratkan genggaman tangannya. Sasuke marah karena Sakuranya harus mengalami hal tersebut.
Ternyata benar, yang biasa disebut keluarga belum tentu akan memberikan kenyamanan selayaknya gagasan keluarga yang biasa orang-orang dengar.
“Sakura, mulai sekarang tolong jangan dengerin apa kata mereka. Ga ada untungnya lah dengerin omongan dari keluarga kamu itu. You do you, semua pencapaian kamu itu kamu yang raih sendiri. Do what you think is the best for you. You don’t need them. Kalau kamu butuh support, jangan cari mereka. But find me.”
Selama ini, Sasuke yang Sakura kenal adalah pribadi yang sangat irit berbicara. Tapi cewek itu selalu bisa melihat betapa cowok itu mencintainya lewat kalimat-kalimat panjang untuk memberinya semangat, kenyamanan, dan rasa aman.
“Sakura, silakan raih setinggi apapun mimpi kamu. Tapi aku harap kamu bersedia buat ajak aku, ajak aku untuk menopang mimpi kamu, Ra. We’ll chase it together, okay? Begitu juga sebaliknya, aku mau kamu ada di saat aku raih mimpiku juga.”
Tangis Sakura pecah. Tangis Sakura itu adalah tangis yang dia usahakan untuk meredam suaranya, selain karena malu, di tengah tangis itu Sakura mengucap banyak syukur di dalam hatinya. Bersyukur karena dia punya Sasuke yang sangat supportive dengan caranya sendiri.
“Sasuke, aku pengen peluk kamu tapi tuh… Mbak yang bawa makanan kita udah dateng heheh.” kata Sakura sambil menunjuk waitress yang datang dari arah belakang Sasuke.
“Haha. Nanti pelukan di mobil.”
“Makasih banyak ya Sasuke…”
“Anything for you, Sakura. Anything.”