Bangkel Stanislaus
Waktu Ino memasuki studio atau tempat yang lebih suka Sai sebut sebagai bengkel lukis, dia merasa seperti dibawa masuk ke dunia lain. Ino memang nggak asing dengan seni, tapi cewek itu melihat ada sesuatu yang sangat intens ketika dia menelusuri bengkel Sai di setiap sudutnya.
Kebanyakan, yang Ino lihat adalah warna monokrom, hitam dan putih. Meskipun ada warna lain yang dia lihat, seperti merah, namun nggak ada warna vibran lain yang Ino temukan—dan jujur saja, hal itu membuatnya merasa sedikit terintimidasi.
Aroma menyengat dari cat minyak dan plistur membuat Ino bersin untuk beberapa kali, sebab hidungnya nggak terbiasa mencium aroma sekuat itu. Sai yang melihatnya terkekeh sebentar, kemudian bilang sambil menyerahkan sekaleng soda. “Kalau nggak terbiasa, pakai masker aja daripada bersin terus.”
Namun Ino menolak gagagasan Sai dengan lembut. “Nggak usah gapapa kok.” dan cewek itu berjalan menuju salah satu sisi ruangan yang menampakan beberapa canvas yang sudah terisi oleh lukisan Sai. Meskipun kanvas-kanvas tersebut didominasi oleh sapuan warna hitam dan putih, di mata Ino, apa yang dia lihat tetaplah indah. “These are very beautiful, Sai. You are so damn talented.”
“Thank you. Miss.” jawab sang Kurator yang sudah terduduk dengan santai di salah satu sofa usang.
“Boleh lihat nude drawing yang udah lo lukis nggak? Biar gue ada referensi gituuu.”
“Boleh. This way,” Sai berdiri dan melangkah mendahului Ino untuk mengarahkan cewek itu menuju sisi lain ruangan. Di sana, terdapat satu kain lebar yang menutupi beberapa jejer kanvas, Ino asumsikan jumlah nya lebih dari lima. “Here.”
Mulur Ino spontan terbuka untuk beberapa detik sebelum dia menutupnya kembali. Cewek itu sedikit terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bukan berarti dia nggak pernah melihat nude drawing, Ino pernah melihatnya, lewat perantara layar ponsel. Ketika dia berkesempatan untuk melihatnya secara langsung dengan mata telanjang. Sumpah, Ino ingin teriak.
Because Sai painted them so magnificently, so raw, so sensual.
Ino nggak bisa membayangkan bagaimana rasanya waktu nanti—Sai akan mengamati setiap jengkal tubuh telanjangnya, kemudian Sai akan simpan apa yang dia lihat di dalam memorinya, sebelum pada akhirnya akan dia torehkan ke atas kanvas dengan setiap usapan kuas nya.
“Ino? You okay? Kok diem aja?”
Bahkan Ino nggak menyadari kalau sedari tadi dia sudah terlalu lama berdiam diri. Ino kembali ke alam sadarnya ketika Sai bertanya. Waktu cewek itu menoleh ke arah Sai, dia dikejutkan dengan betapa dekatnya cowok itu berdiri menghadapnya sehingga membuat kedua mata dengan warna iris kontras mereka saling beradu.
“Aku okay… Cuma tiba-tiba nge-freeze sedikit waktu lihat lukisan-lukisan ini.”
“Kenapa ngefreeze?”
“Aku nggak tahu model lukisan kamu udah cantik dari sananya atau emang karena kamu yang lukis, mereka jadi kelihatan se-breathaking ini di canvas kamu. Oh—mereka siapa aja by the way?”
Sosok-sosok yang ada di dalam kanvas membuat Ino bertanya, semuanya adalah orang asing bagi cewek itu, kecuali satu orang yang dikenalinya—Genta Rasuna, biasa dipanggil Gaara, yang kalau tidak salah ingat, cowok itu sempat menjadi muse nya Sai untuk beberapa waktu.
“Ada beberapa teman sekelasku, they volunteered untuk dilukis di depan kelas. Terus sisanya kebanyakan model, I forgot their names.” Sai memutus pandangannya dengan cewek itu, mengalihkannya ke beberapa kanvas di depannya dan mengangkat bahunya sekan nggak peduli mau dia ingat atau lupa nama mereka, karena ya… itu memang nggak penting.
Sedangkan Ino—cewek itu masih memandang Sai dari sudut pandangnya yang lebih rendah, sehingga membuatnya harus mendongakan kepala sedikit.
“Sai…”
Ketika namanya disebutkan, Sai mengembalikan atensinya ke arah Ino. “Mhm?”
“Do you think… I can look as good as them?”
Sai tersenyum akan pertanyaan Ino—senyum ciri khas yang kerap cewek itu lihat diberbagai kesempatan, bibir yang melengkung ke atas, dan sepasang mata yang membentuk sabit. Namun sayangnya, sampai sekarang Ino nggak tahu apakah Sai benar-benar tulus dalam memberikan senyuman itu atau hanya dipaksakan.
“Don’t worry Ino,” Sai menjeda kalimatnya. Secara tiba-tiba, Ino merasakan tangan Sai jatuh di puncak kepalanya, lalu turun ke bagian ikatan rambut yang cewek itu kenakan untuk menciptakan gaya rambut ponytail tinggi andalannya, kemudian Sai tarik ikat rambut tersebut sampai ujung dan terlepas dari rambut Ino. Secara otomatis, rambut panjang Ino jadi terurai secara dramatis dan jatuh ke seluruh permukaan punggungnya. Dan selama itu, jantung Ino nggak berhenti berdebar dengan kencang, “I will make you look perfect.”