Coffee Break
“Kib kata gue elu diem deh!” Naruto berusaha mengeluarkan dirinya dari situasi yang sedang cowok itu hadapi sekarang.
Semenjak Kiba menjadi yang datang paling awal di antara teman-temannya yang menyusul ke kafe untuk nongkrong, Naruto ditahan oleh temannya itu untuk mendengar penjelasan panjang lebar dengan harapan cowok itu tergiur dengan apa yang Kiba tawarkan.
“Heh kata gue elu yang diem! Sini anteng dulu dengerin penjelasan gue.” Kiba sendiri nggak mau kalah, dia menahan kedua bahu Naruto yang semula berniat beranjak dari duduknya.
“Hadeh ujung-ujungnya lo pasti mau jualan kan! Gimana sih bukanya temu kangen malah jualan lu!” protes Naruto bersungut-sungut.
“Ini namanya memanfaatkan opportunity. Tapi niat gue sih beneran mau ngebantu lo Nar, bukan sekadar jualan. Kan enak gitu kalo lo buka polis asuransi, hidup lo bakal tenang sampai meninggoy deh gue jamin.”
Naruto sudah mendengarnya puluhan kali, sampai hafal malahan bagaimana teknik rayuan Kiba supaya dia mau membeli produknya. “Gue udah punya asuransi anjir Kib, barengan sama Ayah Bunda gue!”
“Lo kan sekarang udah kerja tuh, buka polis asuransi sendiri lah! Gak bakal rugi sumpah, karena ini asuransi jiwa dan bakal kasih keluarga lo proteksi sampai bahkan setelah lo meninggoy. Kalo lo meninggoy, Hinata bisa dapet duit!”
Cowok berambut pirang itu sontak melotot, bukan hanya karena perkataan Kiba soal ‘what if kalau dia meninggoy, tapi juga karena nama Hinata dibawa-bawa. “KENAPA JADI HINATA YANG DAPET DUIT??”
“Ya kan nanti kalo lo berdua udah nikah, kemungkinan Hinata yang jadi ahli waris! Kan dia istri lo!”
“BUSET PELAN-PELAN PAK SOPIR!!”
Hinata—yang tadinya masih berusaha fokus untuk mengetik tesis nya, tertawa mendengar percakapan tersebut dan langsung mengubah laptopnya ke mode sleep untuk bergabung ke obrolan teman-temannya.
“Tapi Kiba, kamu udah dapet berapa M dari bisnis asuransi ini?” cewek itu bertanya karena murni penasaran.
Di sisi lain, Sai yang tangannya masih lihai menari di layar iPad kemudian ikut bertanya, “Iya tuh, berapa M? Kalo gue liat di tiktok katanya income nya bisa sampe 2M sebulan.”
“Dua em nya bukan makasih mas tapi ya, Sai?” timpal Chouji sambil tertawa ringan, sedangkan Sai ikut nyengir saja.
Kiba mengambil cangkir kopinya yang isinya tinggal setengah, kemudian menjawab dengan nada yang terdengar lesu, “Yakali, income gue belum sampai segitu lah. Dapetin nasabah aja masih susah banget ini.”
“Namanya juga hidup, yang penting cari duitnya nggak haram.” seperti biasa, Neji memang selalu terdengar yang paling bijak. Lelaki bersurai panjang yang sekarang berkarir sebagai penulis itu menepuk bahu Kiba.
Semenjak kelulusan mereka dari universitas kurang lebih dua tahun yang lalu, mereka memilih jalur tempuh yang berbeda-beda untuk melanjutkan karir dan hidup.
Kebanyakan sih mereka nggak berkarir di bidang yang sesuai dengan apa yang mereka pelajari di sewaktu kuliah. Memang bukan rahasia umum kalau lulusan Hubungan Internasional ini cukup sulit mendapat pekerjaan karena satu dan lain hal.
Misalnya saja, Kiba memilih berkarir di industri Asuransi. Naruto, karena dia punya koneksi orang dalam—bisa bergabung di sebuah partai politik yang menaungi Ayah nya sebagai anggota dewan. Banyak dari mereka yang nggak menyangka Naruto bakal terjun ke politik, tapi kata cowok itu sih yang penting nggak nganggur sambil menemani Hinata kuliah S2. Toh saat ini lingkup kerjanya masih di seputar tim sosial media atau branding.
Sai sendiri hidupnya nggak jauh-jauh dari design, dia baru saja diterima kerja di menjadi designer di salah satu perusahaan game developer. Shino yang semenjak kuliah rajin melakukan riset, bekerja di lembaga tink-tank yang mana kemampuan riset cowok itu bakal diperas.
Kalau Sasuke, dia punya kesempatan untuk bekerja di perusahaan automotive, tapi akhir-akhir ini sering mengeluh bosan dan ingin resign ke pacarnya. Sakura—sedang melanjutkan karirnya untuk menjadi diplomat muda. Chouji dan Tenten masih merintis bisnis F&B nya masing-masing.
Yang menurut mereka paling ekstrem adalah Rock Lee, dia menjadi pelatih Muay Thai di sanggar milik Baba nya—well, sebetulnya nggak ekstrem karena mereka tahu cowok itu punya passion di bidang tersebut. Bahkan Rock Lee semangat banget waktu bercerita kalau salah satu muridnya adalah adik tingkat mereka, namanya Metal, yang biasa dipanggil Mamat.
Jujur saja—nggak ada yang berubah dari mereka, mereka hanya telah tumbuh menjadi lebih dewasa dan lebih lelah.
“Huuuuft, kalau dipikir-pikir ya jaman kuliah dulu capenya ga seberapa ya dibanding sekarang.” celetuk Tenten.
“Adulting sama working life emang capek. Tapi kayaknya kalian ini masih keliatan cukup waras lah. Kecuali yang itu tuh, lagi kurang waras kayanya.” Sakura menghela nafasnya dan menunjuk seseorang yang duduk di posisi paling ujung dengan dagunya.
Naruto geleng-geleng kepala melihat penampilan acak-acakan seseorang yang tadi ditunjuk Sakura, “Buset pak! Dari tadi lo diem aja ternyata lagi enak ngisep!”
Seseorang yang dimaksud tersebut adalah Shikamaru, dia baru saja menyelesaikan batang kelima rokoknya semenjak sampai di kafe tersebut empat puluh menit yang lalu. Sekarang, cowok itu sedang mengisap panjang batang keenamnya, kemudian asapnya dia kepulkan di udara. “Santai-santai dulu lah.”
Beberapa orang yang ada di sana jadi bingung. Shikamaru terlihat lebih kurus dari biasanya, penampilannya kusut, bahkan Chouji tahu kalau mantan kahim nya itu sudah kira-kira lebih dari tiga hari nggak shaving sebab rambut halus di janggut nya mulai terlihat menumbuh. Padahal kalau mereka pikir, pekerjaan Shikamaru sebagai budak korporat perusahaan rokok terbesar di Konoha nggak seburuk itu. Cowok itu punya pendapatan yang cukup fantastis untuk seumuran mereka. Bahkan mereka semua sepakat Shikamaru itu emang udah paling cocok bekerja di industri rokok, mulutnya saja sudah dia sulap sendiri jadi cerobong asap.
Tapi bukan karena masalah pekerjaan mengapa Shikamaru terlihat kusut, melainkan kejadian setahun yang lalu masih menghantui cowok itu. Semua temannya juga tahu apa yang Shikamaru alami itu nggak mudah, tapi mereka nggak menyangka hal itu akan memberikan efek jangka panjang yang sepanjang ini buat cowok itu.
“Shik, lo kaya hidup segan mati tak mau.” Sai asal nyeletuk dengan entengnya, seperti nggak ada beban hidup saja. Bukan tanpa alasan sebenarnya Sai bilang begitu, melihat bagaimana Shikamaru bisa menghabiskan dua bungkus rokok dalam sehari.
“SHIKKK JANGAN MENINGGOY DULU KITA BELUM PUAS PARTY BARENG”
“Astaghfirulloh.”
Shikamaru hanya membalasnya dengan sebuah seringai miring, tanpa mengambil hati celetukan teman-temannya. Selanjutnya, cowok itu mengetukan tangannya di meja untuk meminta atensi. “Bentar gue mau ngomong.”
“Apa nih? Kok kayaknya serius.” timpal Sasuke.
“Serius, tapi ya santai sih,” Shikamaru mengangkat bahunya lalu mengeluarkan sebuah amplop dan meletakkannya di meja, “Ini ada undangan—“
“SHIKAMARU LO MAU NIKAH??” Naruto melompat dari tempat duduknya untuk menghampiri Shikamaru dengan heboh.
Hal itu membuat yang lain ikutan heboh, Sakura memukul meja dengan telapak tangannya cukup keras, “SERIUS?? SHIK?? MARRIED??”
“Kok gue malah nggak tau ya Shik lo ada rencana mau married??” Chouji juga nggak kalah kaget, namun cowok tambun itu lebih ke merasa bingung.
“Nggak mungkin lah gue nikah,” rooftop kafe yang mereka tempati menjadi hening seketika. Shikamaru terlihat memijat pelipisnya, pusing dengan reaksi teman-temannya, “Ini undangan dari himpunan. Kita diundang untuk hadir di acara inaugurasi kepengurusan baru HIMAHI.”
“YAAAAHHHH.” Sontak Sakura, Naruto, dan Chouji yang sempat berdiri pada akhirnya mendudukan diri mereka kembali.
Namun kurangnya reaksi antusias yang Shikamaru dapatkan justru membuat cowok itu bertanya, “Lah? Ini kenapa tiba-tiba pada nggak excited gini??”
“Kayanya temen-temen bakal lebih excited kalau yang tadi itu beneran undangan pernikahan kamu deh, Shik.” sambil tersenyum, Hinata menjawab pertanyaan cowok itu untuk mewakili teman-temannya.
“Ck.” Shikamaru geleng-geleng kepala, nggak heran kalau ternyata teman-temannya masih absurd begini. “Acaranya minggu depan, pada bisa dateng kan?”
Naruto mengacungkan jempolnya, “Berangkat laaah. Eh, ini angkatan si siapa tuh—Boruto ya berarti??”
“Ho’oh.”
“Kahim nya siapa?” tanya Sasuke.
“Katanya sih cewek, Sarada kalau nggak salah.”
“SARADA??” Sakura melebarkan matanya karena terkejut dan tepuk tangan, “Yang dulu jaman ospek katanya pengen jadi Kahim itu kan?? KEREN BANGET.”
Bukan hanya Sakura yang merasa bangga, tapi mereka semua. Sebab baru kali ini HIMAHI memiliki ketua himpunan seorang perempuan.
“Harus berangkat full team sih kita, ini lagi pada di Konoha semua kan?? Bisa lah full team!” Tenten berseru, menantikan kemungkinan adanya reuni di acara inaugurasi HIMAHI minggu depan.
“Ino nggak ada...” kata Shikamaru lirih.
“Eh iyaa, gila udah lama banget gue nggak denger kabar Incess.” timpal Naruto.
Chouji melirik ke arah Shikamaru yang terlihat lebih lesu dari sebelumnya setiap pembicaraan tentang cewek itu naik ke permukaan. Chouji mengeluarkan ponselnya untuk membuka chat room dengan Ino yang mana pesan terakhir nya belum dibalas cewek itu lebih dari dua minggu. “Eh iya nih, gue juga kurang tau kapan dia bakal pulang, coba gue chat lagi Incess nya.”
“Katanya bakal pulang minggu depan, nggak tau hari apa.”
Pernyataan Sasuke barusan langsung membuat semua orang beralih melihat ke arahnya, termasuk Shikamaru yang sekarang sedang menaikkan sebelah alis nya untuk meminta penjelasan.
“Kamu tau dari mana, Sas?” Sakura menyenggol lengan pacarnya, sebab dia juga nggak kalah penasaran dengan kepulangan sahabatnya.
“Dari Itachi.”
Dua kata yang dilontarkan Sasuke lantas membuat sepasang bahu Shikamaru menurun, terlebih setelah mengetahui dari siapa Sasuke mendengar kabar kepulangan cewek itu.