Define The Relationship

Shikamaru ingat bagaimana Ino tiba-tiba menutup rapat-rapat mulutnya setelah cewek itu selesai menyebutkan pesanan mekdi-nya. Shikamaru pikir, Ino marah karena kebiasaan merokoknya yang sempat dibahas di grup WhatsApp.

Bahkan sesampainya di apartemen, Shikamaru dan Ino makan dengan diselimuti keheningan. Padahal Shikamaru berekspektasi kalau Ino akan mulai bicara dan bercerita sewaktu makan, dan seperti biasa, cowok itu bakal jadi pendengar setia.

Namun sampai Shikamaru menyerahkan kulit ayam spicy nya ke Ino di akhir-akhir menjelang mereka selesai makan, cewek itu masih diam saja.

Ino secara otomatis bangkit dari duduknya dan membawa piring Shikamaru ke dapur apartemen kemudian mencuci beberapa gerabah yang menumpuk.

Shikamaru berdiri dengan punggung cewek itu yang membelakangi nya sambil sibuk mencuci piring-piring kotor itu, “Ada yang bisa gue bantu nggak?”

“Nggaak. Biar gue aja.” jawaban Ino super singkat dan sangat kentara kalau dia seakan-akan menyuruh Shikamaru untuk segera enyah dari sana.

Akhirnya, Shikamaru melipir ke balkon apartemen untuk merokok—seperti biasa. Kepulan asap dari batang rokok yang dihisapnya itu menemani Shikamaru yang tiba-tiba overthinking, sebab beberapa saat nanti, mungkin saja dia akan mendengar fakta-fakta yang kurang menyenangkan dari Ino. Kalau Ino akan menyampaikan kabar-kabar baik, Shikamaru tahu cewek itu bakal bersenandung sebelum mulai bercerita. Nggak seperti sekarang—selain diam saja, Ino nggak kelihatan seperti dirinya sendiri, cewek itu kelihatan bingung dan tegang.

Shikamaru menyelesaikan ritual merokoknya yang sudah habis 2 batang, dan menuju ke salah satu sofa yang ada di apartemen Ino. Secara kebetulan, cewek itu juga menuju ke sofa yang sama.

“Okay, ini saatnya gue cerita semuanya ke lo, Shika.”

Ino menarik nafasnya panjang, kemudian dia hembuskan pelan-pelan. Shikamaru sudah duduk di hadapannya sekarang, sangat atentif, dan sudah siap untuk menangkap kapan saja cewek itu akan terjatuh.

“Iya cerita aja. Gue dengerin kok.” Shikamaru mengambil salah satu tangan Ino, kemudian menarik cewek itu sampai posisi mereka berubah. Ino membelakangi Shikamaru, dan menurutnya itu menjadi sebuah keuntungan karena mungkin saja rangkaian kalimat yang sudah cewek itu susun di otak akan sulit dia sampaikan kalau berhadapan langsung dengan Shikamaru.

Punggung Ino sekarang diistirahatkan di permukaan dada Shikamaru. Sebelumnya, Ino merasa tegang, namun dengan Shikamaru yang mendekapnya dari belakang sekarang, ketegangan itu hilang.

“Gue ikut konseling ke psikolog, udah jalan hampir tiga bulan. Maaf nggak bilang-bilang sama lo.” ujar Ino lirih.

Shikamaru bertanya lembut sambil memainkan helai-helai rambut cewek itu. “What happened, Ino?

“Ih, lo jangan mainin rambut gue, nanti gue bisa ngantuk!” protesnya sebelum kembali menjawab, “Lo tau kan Shik, gue punya trauma masa kecil…”

Masih sambil memainkan helai rambut Ino, Shikamaru menjawab, “Iya tau.”

“Nah, gue nggak mau selamanya ada di bayang-bayang trauma itu Shik.”

“Hu-uhm”

“Gue udah berkomitmen kalau gue nggak mau egois lagi. Gue nggak mau nyakitin lo lagi, karena dengan adanya trauma gue ini, lo jadi nggak mendapatkan apa yang lo pantas dari gue….”

Ino menjeda kalimatnya sejenak karena dia sudah bisa merasakan kecupan-kecupan lembut Shikamaru di pelipisnya.

That’s why, gue mau sembuh dulu. Gue mau sayang diri gue sendiri dulu. Baru gue bisa sayang lo sepenuhnya. I have so much love to give for you, Shikamaru. Tapi sebelumnya… gue nggak berani, gue takut nyakitin lo.”

Kedua mata Ino semakin memanas ketika Shikamaru mengeratkan pelukannya di pinggang cewek itu.

Shikamaru selalu tahu kalau Ino punya banyak cinta untuk diberikan ke siapapun. Tapi Shikamaru ingin Ino bisa mencintai dirinya sendiri terlebih dari apapun. Dan Ino tahu kalau mencintai Shikamaru bukanlah hal yang sulit, yang sulit hanyalah bagaimana cara mencintai Shikamaru dengan benar dan pantas.

“Ino… Ino sayang, thankyou, thankyou. Terima kasih lo sudah mau berjuang buat sayang diri lo sendiri. Terima kasih sudah mau berusaha, gue bakal bantu untuk lebih sayang lagi diri lo sendiri.” Shikamaru bergumam di ceruk leher Ino, memberikan sensasi geli yang cewek itu rasakan.

“Gue belajar banyak dari lo, Shika. Kadang nggak semua perubahan bisa datang dari kita sendiri, apalagi kalo perkaranya adalah berubah untuk lebih sayang sama diri sendiri. Kadang kita butuh orang lain biar paham seberapa berharganya diri kita sendiri. Dan orang lain yang gue butuhin itu cuma lo, lo yang udah bikin gue sadar dan berani melangkah sampai sejauh ini. Thank you.”

Ino berbalik dan mengecup pipi Shikamaru singkat. Hanya Ino dan Shikamaru yang tahu se-touchy dan se-clingy apa mereka berdua kalau sudah bersama. Memang seperti itu kebiasaan mereka.

“Iya Ino… Seandainya gue tau soal ini lebih cepet, hadeh lo tuh bikin gue mikir yang engga-engga tau. Gue kira lo sakit apa.” tukas Shikamaru dengan tatapannya yang penuh kelegaan.

“Gue tuh malu tau…”

“Malu kenapa??”

“Ralat, gue sempet malu kalau gue ikut konseling di psikolog. Sekarang udah nggak malu sih.”

Shikamaru mengernyitkan dahinya, kurang paham dengan alasan kenapa Ino harus malu karena dia ikut konseling. “Coba jelasin kenapa lo harus malu?”

“Duh gimana ya, kan masih banyak orang yang anggap kalau kita ke psikolog, berarti kita tuh gila. Padahal kan nggak.”

Ino mengerucutkan bibirnya karena menyayangkan persepsi masyarakat yang cenderung masih kolot dan berpikir kalau berobat ke psikolog adalah hal yang tabu. Dan nyatanya, banyak juga orang lain yang merasakan hal yang sama dengan Ino, malu mengakui dirinya berobat ke psikolog. Setelah dia ngobrol banyak dengan psikolognya, Ino jadi tahu kalau orang-orang di bidang tersebut sedang berusaha mengedukasi masyarakat dan mencoba untuk mengubah persepsi mereka.

“Wah, parah banget lo. Masa lo nyamain gue sama orang lain? Yaelah, gue mana mungkin bakal mikir begitu.” tukas Shikamaru.

Ino nyengir saja dan kemudian terkekeh. “Hehe.”

“Tapi lo tau nggak sih?”

“Tau apa??”

Biasanya, kalau pertanyaan dari Ino atau Shikamaru sudah diawali dengan ‘tau nggak sih?’ itu artinya mereka akan lanjut ghibah.

“Denger-denger, psikolog lo itu temen kuliah Om Inoichi.”

Ino membulatkan matanya, “Lo tau dari mana????”

“Dari Pak Shikaku, yang pas gue bilang kalo Mamah sama Papah habis dari rumah sakit itu dan liat lo ngobrol sama psikolog.”

“Whoaaa, masa sih??”

Shikamaru mengangguk. “He-eh. Terus denger-denger dari Pak Shikaku, dia itu mantan papi lo pas jaman kuliah.”

Perkataan Shikamaru sukses membuat Ino melongo lebar, kemudian dia menutupi mulutnya sendiri dengan satu tangannya dan jadi heboh sambil memukul excited tubuh cowok itu. “OMG SHIKA SHIKA!!”

Shikamaru tersentak sedikit, “Anjir apaan??”

Seingat Ino, Psikolognya, Mei Terumi, pernah bercerita kalau beliau ini belum menikah. Dan entah kenapa… Ino sangat excited waktu mendengar kalau Papinya dan Mei Terumi adalah sepasang mantan kekasih berdasarkan informasi yang Shikamaru dapat dari papanya.

Cewek itu menyeringai licik, “Shika Shika. Gue punya rencana.”

“Apa? Nggak usah aneh-aneh lo!”

“ACK!!!!” Ino memekik kegirangan sampai lupa memberi tahu Shikamaru tentang entah rencana apa yang sedang dia susun.

Sedangkan Shikamaru, cowok itu cuma bisa geleng-geleng kepala. Dia menunggu Ino menjadi lebih tenang dan berhenti cengar-cengir nggak jelas. Baru lah Shikamaru mengunci tubuh Ino untuk tetap diam dan berhadapan dengannya dengan jarak yang super dekat.

Merasa tubuhnya nggak bisa bergerak, Ino bertanya dengan heran. “Eeeeeeh kenapa Shik?”

“Sekarang gue mau tanya.” selain tubuh Ino yang Shikamaru kunci, cowok itu juga mengunci tatapan aquamarin Ino untuk menatap manik hazelnya. “Are you ready to define our relationship now?

Ino tercekat, sedikit terkejut meskipun dia sudah tau pertanyaan itu bakal datang dari Shikamaru kapan saja, cepat atau lambat.

Sebelumnya, Ino sama sekali nggak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan jawaban apa karena keraguannya sendiri yang menghalanginya. Sekarang, Ino juga masih belum tau. Bedanya, dulu kedua mata Ino selalu berlari kesana kemari dan enggan jatuh di mata Shikamaru, apalagi sampai terkunci. Sekarang, Ino berani membalas tatapan manik hazel Shikamaru tak kalah dalam. Bahkan sekarang cewek itu bisa tersenyum.

“Hmm… Gue masih nggak tahu harus mendefinisikan hubungan kita kaya apa…”

Ino menjeda kalimatnya, tapi kemudian dia lanjutkan sebelum manik Shikamaru kehilangan harapan. “Tapi intinya sih, gue nggak akan kemana-mana karena gue sayaaaaang banget sama lo, Shikamaru, lo yang udah ada di sisi gue semenjak gue lahir. Shikamaru yang udah bikin gue berani. Shikamaru yang mageran tapi selalu nempatin gue di daftar prioritas paling atas. Shikamaru anak baik kebanggaan Mamah Yoshino dan Papah Shikaku. Shikamaru yang paling reliable buat temen-temennya. Gue juga udah bisa menerima diri gue sendiri, thanks to you. Aduh, ini cheesy banget tapi pokoknya I am yours deh.”

Shikamaru mengerjap, dia sedang mencerna kalimat panjang lebar yang Ino katakan barusan.

“Shik? Kok diem aja?”

“Kalo lo punya gue, seperti yang lo bilang tadi. Artinya apa?” Shikamaru balik bertanya.

Ino berdecak sambil terkekeh, “Hadeh. Yaudah biar gampang, kita pacaran aja yuk? Aduh, gue jadi nggak sabar mau cerita ke Chouji sama Papi juga!”

Cuma Ino yang dengan entengnya ngajak orang lain pacaran. Padahal dulu, waktu diajak pacaran, dia selalu panik. Tapi karena orang itu adalah Shikamaru, semuanya jadi terasa mudah.

Shikamaru meresmikan label hubungan mereka dengan ciuman hangat di bibir Ino, yang dibalas cewek itu dengan lumatan lembut dan penuh sayang.

Took us long enough…” Shikamaru bergumam setelah menyudahi tautan bibir mereka untuk mencari asupan oksigen, meskipun jarak antara bibir keduanya hampir tidak terlihat.

Ino tersenyum. “But we’re finally getting here, aren’t we?

Yes, love.

People call it love, while Shikamaru be calling her.