Departure 3.0

Dengan seragam pilot: celana bahan hitam, kemeja oxford putih, dasi hitam yang diikat rapi, serta jas pilot dengan empat strips di ujung lengan dan lencana yang disematkan di dada membuat penampilan Erwin terlihat sempurna ketika Erwin berjalan menuju boarding gate sambil menarik kopernya. Dia belum sempat bertemu dengan Zeke, namun kemudian partner nya itu muncul dari persimpangan lounge yang berlawanan arah dengan Erwin. Erwin bisa melihat bibir Zeke yang lebih melengkung ke bawah, menandakan suasana hatinya sedang buruk, seburuk apa yang sudah mereka rencanakan untuk dieksekusi.

“Fokus, Zeke. Gausah tegang.”

“Enteng banget kalo ngomong.”

Erwin tertawa melihat rekannya bersungut-sungut, “You will escape the crash, Zeke. Percaya sama gue.”

And so will you, Erwin Smith.”

Melanjutkan langkah mereka berdua dengan beriringan ke tempat tujuan, Erwin dan Zeke menghembuskan nafas kasar untuk kesekian kalinya. Setelah rencana mereka akan di eksekusi, keduanya tidak tahu apakah mereka akan bisa melanjutkan hidup dengan profesi ini, atau seberapa besar trauma yang akan mereka dapatkan nanti.

🕊

“Armin!”

Pria yang dipanggil namanya kemudian menoleh ke belakang dan melambaikan tangan ketika mendapati kawannya, Eren, berjalan mendekat dengan perempuan bersurai hitam di sampingnya.

“Hi Eren, ini Mikasa ya? Cantik banget, nice to meet you! Gue Armin, yang ga sengaja ketemu Eren di Paradis six years ago,” jelas Armin ramah ketika mengajak Mikasa berkenalan, keduanya kemudian berjabat tangan dan bertukar percakapan layaknya kawan lama.

Di tempat yang sama, Annie Leonhart baru saja memasukan ponselnya selepas menerima panggilan dari ayahnya ketika rekannya, Bertholdt, mengajaknya serta Reiner untuk segera check in ke boarding pass sampai tidak sadar waktu berlaku hingga mereka tiba di baris antrean boarding pass.

“Udah ngga ada yang ketinggalan kan?” ketika sudah berbaris di antrean boarding pass, Reiner bertanya, yang dijawab dengan gelengan kepala dua sobatnya. Suasana kali ini agak janggal, menurut Reiner, entah karena kedua sobatnya yang terlihat murung atau karena hal lain seperti mengantuk atau letih misalnya.

Mau tidak mau, Reiner berusaha mencairkan suasana, “Pada kenapa sih? Kok kaya lemes bener lu berdua. Ayo dong, semangat, masa athlete lemes.”

Namun Annie dan Bertholdt hanya memutar mata mereka dengan malas. Keduanya sama-sama digerayangi perasaan khawatir untuk meninggalkan orang tua mereka barang beberapa hari. Bahkan belum waktunya untuk lepas landas, keduanya sudah ingin segera pulang kembali ke rumah.

Di sisi lain, pemuda berpawakan tinggi besar dengan rambut ash-blondenya terlihat santai seperti biasa. Dia sudah berkali-kali melakukan penerbangan. Namun penerbangan dengan tujuan pulang ke rumah akan selalu menjadi penerbangan yang paling dia nantikan. Tak beda dengan pemuda cepak yang sudah menantikan penerbangannya menuju kampung halaman, dia terlihat membawa cukup banyak barang seperti yang biasanya orang lakukan ketika pulang ke rumah, membawa buah tangan dari tanah perantauan.

“Iya coach, ini mau boarding—tenang ajaa Coach, berani kok. Makasih Coach, see you di Paradis yaaa,” masih dalam satu baris antrean boarding pass, gadis dengan surai auburn yang ada di sana tidak kalah membawa banyak barang, salah satunya busur panab andalannya. Dia kelihatan capek akibat latihan-latihan yang dijalani bersama dengan atlet lainnya yang akan bertanding di pekan olah raga Marley-Paradis yang diadakan dalam rangka memperingati hubungan diplomatik keduanya.

“Lev, astaga gue laper banget gila,”

“Gausah macem-macem, ga keburu kalo mau makan sekarang. Ntar di pesawat aja.”

Memiliki kawan sekaligus partner bisnis yang menurut Levi ‘ada-ada saja’ seperti Hange Zoe menjadi cobaan tersindiri buatnya. Sebab rekannya ini sangat banyak tingkahnya sampai membuat Levi geleng-geleng kepala saking tidak lelahnya. Namun, keduanya memiliki dinamika yang begitu pas baik sebagai kawan maupun partner bisnis. Menurut Levi, kehadiran Hange membuatnya tidak perlu repot-repot melakukan hal yang unnecessary seperti bersosialisasi dengan orang baru.

“Nanti di flight jangan ganggu gue, mau tidur.” ucap Levi ketika keduanya telah selesai melakukan check in boarding pass sedangkan Hange cuek saja, toh dia tidak merasa ingin mengganggu Levi ketika pesawat sudah lepas landas nanti.

“Kak Frieda ya?”

Historia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Ymir, dia baru saja mendapat panggilan telefon dari kakak perempuannya.

“Dia bilang apa?”

A lot of things, but she decided to support my decision gitu deeh—yaudah yuk,” keduanya siap untuk masuk ke kabin pesawat, sedari tadi Historia tidak melepskan genggamannya di tangan Ymir.

“Aku gak sabar ih mau explore Paradis. Nanti aku mau belanja banyak disana!”

🕊

Zeke disambut dengan dua orang Pramugari ketika menginjakkan kakinya di dalam pesawat. Dilihatnya para awak kabin melenggang di area sela-sela tempat duduk untuk mengecek satu dan lain hal. Namun apa yang ditangkap mata Zeke detik berikutnya membuat kedua lututnya lemas.

Pieck? What are you doing here??

“Zeke! Yaampun aku tuh tadi udah ngabarin kamu kalo aku bakal ada di flight kamu, tapi handphone kamu udah inactive.” jelas Pieck sambil menghampiri Zeke.

No way, kamu ngga boleh disini. Kamu harus turun sekarang juga!” tangan Pieck dicengkeram erat oleh Zeke yang berusaha membawanya untuk keluar.

Mengernyitkan dahinya, Pieck tidak paham perintah masuk akal Zeke, “Maksud kamu apa sih? Konyol banget deh.”

Pieck, please! I need you to leave the plane right now.

And why do you think I have to leave the plane? Yang bener aja Zeke, aku disini itu kerja, bukan main-main.”

Lidah Zeke kelu, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Pieck sebab dia tidak memiliki alasan yang logis untuk membuat Pieck keluar dari pesawat dan dia tidak mungkin mengatakan kalau pesawat ini akan dijatuhkan, “Just please… leave this damn plane, Pieck. I beg you...

Kesal dengan jawaban Zeke, Pieck menyentakkan tangannya yang digenggam erat, “Gak masuk akal. I’ll talk to you later, Zeke. Duty calls await.