Didn’t Stand a Chance

Porco sampai terlebih dahulu di gedung kost Pieck ketimbang Jean mengingat gedung kostnya masih satu komplek dengan cewek itu, kemudian Porco dengan santai berjalan menyusuri gedung dan masuk ke elevator untuk menuju lantai dimana lounge yang dijadikan satu dengan ruang makan berada. Kost Pieck ini terbilang cukup mewah untuk sekadar tempat tinggal seorang mahasiswa, terbukti dengan berbagai fasilitas yang diberikan, membuat Porco sering mampir untuk makan bareng dengan Pieck di kostannya karena tidak ada larangan untuk membawa outsider ke dalam gedung.

Ketika Porco sampai di ruang makan, dia melihat Pieck sedang menata piring-piring yang berisi berbagai masakan yang aromanya langsung membuat perut Porco berteriak ingin segera diisi, “Mantap chef Pieck, tau aja gue butuh perbaikan gizi,” ucap Porco jenaka sambil mendudukan dirinya di salah satu kursi meja makan sedangkan Pieck hanya berdecak sebagai balasan.

Tak lama kemudian, Jean datang menghampiri mereka dengan tangan yang menenteng satu bungkus kantung plastik, “Hai guys, nih gue bawain martabak.”

Kehadiran Jean membuat Porco bertanya-tanya sudah seberapa sering Pieck membawa Jean ke kostannya. Namun dia sendiri enggan untuk memastikan jawabannya, Porco tidak terlalu peduli, toh teman mereka yang lain seperti Reiner dan Bertholdt juga sering berkunjung.

“Makasih Jean! Tau aja aku lagi pengen yang manis-manis,” setelah itu, Pieck mempersilahkan Jean untuk duduk tepat di sebelah Porco. Suasana tidak canggung sama sekali, namun cukup membuat Porco sedikit mules dan ingin cepat-cepat pergi dari sana apalagi ketika melihat interaksi Jean dan Pieck yang saling menggoda layaknya sepasang kekasih.

Kalau bukan karena masakan Pieck dan Porco yang ingin bertemu dengannya, Porco tidak akan repot-repot duduk di samping Jean sambil mengunyah makanan yang terasa lebih berat dari biasanya.

Pieck menjadi lebih banyak tersenyum semenjak meresmikan hubungannya dengan Jean. Senyum Pieck masih sama cantiknya, namun sialnya, ada sesuatu yang membuat hati Porco menjadi terasa tertimpa beban berat, fakta bahwa Pieck tersenyum karena orang lain, bukan dirinya.

“Gokil sih, ini masakan Pieck enak semua. Lo beruntung banget Pock sering dimasakin sama dia!” ucap Jean ramah.

Porco hanya menyeringai, merasa sedikit lebih unggul karena telah menjadi orang yang rutin dimasakin oleh Pieck sejak dulu, “Belom tau aja lo, masakan dia juga sering failed, jadinya gue yang kudu ngabisin,” balas Porco dengan maksud sedikit pamer dan menunjukan kepada Jean kalau dia telah menghabiskan lebih banyak momen bersama Pieck dibandingkan jumlah estimasi momen yang Jean lewati bersama cewek mungil itu karena mereka berdua baru dekat kurang lebih selama tiga bulan sebelum menjadi sepasang kekasih.

“Lo ngapain buka aib gue di depan Jean anjir Pock!” Pieck menggerutu di depan Porco dan Jean yang dimana menurut mereka berdua, Pieck sangat menggemaskan ketika menggerutu dan mengerucutkan bibirnya seperti itu.

“Gimana sih yang, besok-besok kalo masakannya failed jangan kasih ke aku ya?” Jean mengulurkan tangannya dan mencubit hidung Pieck, gemas. Pemandangan yang barusan Porco saksikan sukses membuat dia memutar bola matanya malas, cemburu.

“Tenang Jean, ada Porco nih sebagai tempat pembuangan.”

“Anjir parah banget lu, mentang-mentang udah punya pacar!” nadanya dibuat seolah-olah marah karena merasa dihianati oleh sahabat perempuannya.

“Cari pacar makanye Pock,” celetuk Jean asal.

“Males.”

Wajar saja jika Porco malas, alasannya tidak lain tidak bukan adalah karena sosok kekasih yang dia inginkan sudah menjadi milik Jean.

Ketiganya melanjutkan kegiatan santap tanpa banyak berbicara sampai tidak ada makanan yang tersisa dari piring mereka masing-masing. Di tengah-tengah makan malam mereka tadi, Pieck memberi perintah pada Porco dan Jean kalau mereka berdua akan ditugaskan untuk mencuci piring dan peralatan makan lainnya, membuat kedua lelaki itu kompak mengeluh.

Niat gue mepet-mepet ke Pieck tapi kenapa jadi Jean yang nempel mulu sama gue? Hadeh,” gerutu Porco dalam hati ketika dia dan Jean berdiri bersebelahan sambil kedua tangannya sibuk mengasah perabotan kotor di bak pencucian piring.

“Jean ini martabaknya aku buka yaa!”

“Buka aja yang!”

Kegiatan makan malam tidak akan lengkap tanpa kehadiran sebuah pencuci mulut. Untuk hal yang satu ini, Porco akan berterimakasih kepada Jean karena dia sendiri doyan banget makanan manis, salah satunya martabak. Namun melihat Pieck yang seketika menghentikan aktivitasnya yang semula hendak mengambil sepotong martabak manis dengan antusias membuat satu alis Porco terangkat.

Oh, Jean membawa martabak cokelat-kacang.

“Kenapa lo beli martabak yang ada kacangnya, njir?” tanya Porco sedikit defensif.

“Ya karena enak?” Jean sendiri terlihat bingung melihat perubahan ekspresi Pieck yang tadinya semangat untuk menyantap martabaknya dan air muka Porco yang menjadi sedikit lebih gelap,

“Kenapa emang?”

“Anu—“

“Pieck nggak bisa makan kacang. Dia punya alergi,” belum sempat Pieck menjawab pertanyaan Jean, Porco sudah terlebih dahulu memotongnya dan memberikan Jean jawaban, alih-alih Pieck.

Jean langsung melongo dan merutuki kebodohannya sendiri, ekspresi wajahnya kini diselimuti oleh rasa bersalah, “Astaga… Pieck, maaf sayang, aku gatau kamu ada alergi kacang…”

Sayang-sayang mulu anjing tapi ngurus beginian aja ga becus. Umpat Porco dalam hati.

“Kenapa lo ga tanya dia dulu? Kalo Pieck sampe makan itu martabak dan dia kenapa-kenapa gimana??” nada bicara Porco meninggi seketika dan terlihat sedikit emosi mengetahui kecerobohan Jean, membuat Pieck dan Jean sama-sama terkesiap melihat sikap Porco.

“Sorry Pock, gue gak kepikiran sumpah.”

“Gimana sih lo?? Oh jangan-jangan pas alergi dia kambuh bulan lalu itu karena dia makan yang ada kacangnya sama lo ya??” cecar Porco.

“Porco stop!

Pieck yang menjadi topik pembicaraan menjadi cemas mengingat baik Porco dan Jean sama-sama orang yang hot headed. Kalau pembicaraan yang sudah membuat urat-urat di kepala Porco keluar, Pieck takut Jean akan tersulut emosi ketika menanggapi, parahnya, mereka berdua bisa baku hantam dan Pieck tidak mau hal itu terjadi sehingga dia buru-buru menengahi.

“Lo nggak usah berlebihan gini anjir? Gue tau mana yang bisa dan gabisa gue makan, gue ga sebodoh itu! Jean juga gatau karena emang gue gak pernah—eh, lupa cerita. Dan alergi gue bulan lalu bukan karena gue makan kacang sama Jean, gue sendirian pas itu. So stop, gausah mancing ribut!” jelas Pieck panjang lebar, ada rasa tidak suka yang begitu kentara di dalam nada bicara Pieck karena dia merasa Porco telah menyudutkan dan menyalahkan Jean atas perihal sepele.

Porco meremat rambutnya geram, entah kenapa dia menjadi lebih sensitif, dia menganggap Jean tidak becus untuk hal-hal sepele seperti ini namun efeknya akan sangat besar untuk Pieck apabila Jean lalai.

Sorry sorry, gue freak out. Sorry Je.”

“Santai.”

Merasa enggan untuk tetap tinggal bersama Pieck dan Jean, ditambah dengan fakta bahwa Porco merasa Pieck secara tidak langsung mengomelinya karena tidak terima dia telah menyudutkan pacar cewek itu membuat Porco semakin kesal, pada akhirnya Porco memilih untuk pamit yang langsung dipersilahkan oleh Pieck dan Jean, “Gue balik duluan, dicariin Bang Marcel. Thanks Pieck dinnernya, sorry buat yang tadi Je. Duluan ye.”

Dalam perjalanan pulang, kini Porco semakin menyadari perubahan sikap Pieck yang semakin menunjukan secara kalau posisinya di mata cewek itu sudah tergeser sepenuhnya oleh kehadiran Jean sebagai orang nomor satu yang akan cewek itu bela.