Dilemma
Erwin sudah berada di dalam kokpit pesawat dan duduk di kursi kemudi sebelah kanan, dia tampak rileks seperti biasa seolah-olah dia tidak perlu menerbangkan pesawat hingga satu sampai dua jam kemudian untuk dijatuhkan. Mata dan tangannya mulai bergerak untuk memindai instrumen peralatan kemudi yang sudah dia hafal di luar kepala. Apabila sesuai rencana, mesin dari sayap kanan pesawat akan meledak dan timingnya harus pas.
Ketika sedang fokus, Erwin dikejutkan dengan kemunculan Zeke di dalam kokpit dan rekannya tersebut terlihat panik, “What’s wrong dude?”
“Erwin, Pieck is here.”
“Hah?”
Setahu Erwin, seharusnya tidak seorangpun yang mereka kenal akan ada dalam penerbangan mereka saat ini. Zeke juga sudah mengkonfirmasi kalau kekasihnya tidak akan bertugas di pesawat ini.
“Erwin, I can’t do this. Kita ubah rencana ya? Gue ga sanggup jalanin rencana ini.” ucap Zeke mendesak Erwin untuk setuju dengannya.
“Zeke, the plane will crash eventually.”
Erwin paham konflik yang sedang terjadi dalam diri Zeke, agenda kabur dari ledakan pesawat mereka tidak akan melibatkan Pieck yang artinya Zeke harus meninggalkan ke kasihnya di dalam pesawat sementara dia dan Erwin akan terjun bebas menggunakan peralatan yang telah tersedia.
“Win, kita bisa emergency landing, inget??” Zeke benar, emergency landing merupakan sebuah opsi. Namun itu berarti rencana tidak akan berjalan seperti yang telah mereka rancang, sedangkan Erwin selalu hanya akan berfokis pada satu penyelesaian sebuah misi tanpa melihat opsi atau faktor lain meskipun akan membahayakan nyawanya, “Kita liat nanti. Cepetan Zeke, sit down and put your equipment ready. We’ll board soon.”