Drunken Night

Jean tiba di rumah ketika jam hampir menunjukan waktu tengah malam. Huru-hara yang terjadi sejak pagi tadi sungguh membuatnya kelelahan, Jean sudah membayangkan untuk segera mandi dan tidur namun matanya menangkap sosok Pieck yang terduduk di ruang makan sendirian, hanya ditemani oleh sebotol anggur merah. Rasa bersalah langsung menyelimuti Jean, dirinya sudah cukup terlalu banyak menyakiti hati wanita bersurai legam yang menjadi istrinya itu selama setahun lebih.

Mengurungkan niatnya untuk menuju ke kamar, Jean memilih untuk berjalan mendekat ke arah Pieck yang kondisinya begitu kacau, matanya sembab dan sudah dapat dipastikan kadar kesadaran istrinya begitu rendah akibat pengaruh alkohol.

“Pieck,” ucap Jean lembut sambil mendudukan dirinya di kursi yang ada tepat di sebelah istrinya. Sedangkan Pieck enggan untuk menghadap ke arah suaminya.

“Pieck,” ulang Jean dengan tangannya yang diulurkan untuk mengelus surai hitam Pieck dijemarinya.

You come home, Jean.

Hmm, I’m coming home,

Mendengar jawaban dari Jean, Pieck justru terkekeh dengan miris.

Jean, I know you also feel what I feel somehow—that our marriage wouldn’t work... And neither of us are trying to make it work.

Jean hanya mematung mendengar renteta kalimat yang keluar dari bibir ranum istrinya, yang dimana diamnya adalah bentuk bahwa dia juga setuju dengan kalimat tersebut.

“Maaf, Pieck.”

You know what—aku juga salah disini. I’m as effortless as you. Kamu pasti juga muak kan sama semua ini?”

Atmosfer yang menyelimuti keduanya membuat Pieck gusar, pada akhirnya Pieck mencoba untuk menatap Jean, namun yang ditatap justru matanya berlari kesana dan kemari, enggan jatuh dan membalas tatapan iris kelabu milik istrinya.

“Jean, lihat dan jawab aku!” tangan kanan Pieck terulur untuk menarik paksa dasi yang masih melingkari leher Jean, membuat jarak keduanya semakin dipersempit, Jean bisa merasakan hidung mereka saling bersentuhan. Ketika Jean mencoba membalas tatapan Pieck, yang dirinya temukan untuk pertama kalinya adalah sebuah amarah dan keputusasaan dalam iris kelabu Pieck.

“Jean, kita bukan orang baik. We hide behind each other’s mask.” ucapnya mulai meracau.

“Pieck, you’re drunk but you’re right.

Detik berikutnya digunakan Jean untuk mengalihkan tatapannya dari iris kelabu Pieck, tangan kanannya diselipkan ke belakang kedua lutut Pieck, dan tangan kirinya ada di belakang punggung mungil istrinya, menggendong Pieck ala bridal style. Kaki Jean melangkah ke anak tangga untuk menuju ke kamar mereka berdua dengan Pieck yang masih meronta di dekapannya.

Enough with your drinking session, kita lanjut bicara besok pagi.”

Ketika Pieck berhasil turun dari gendongan Jean setelah mereka memasuki kamar, alih-alih berjalan ke ranjang, Pieck merapatkan tubuh mereka dan mengalungkan kedua lengannya di sekitar leher Jean. Jean tidak merespon dan hanya menundukkan kepalanya kemudian menemukan gairah lain yang tertanam di mata Pieck.

Memberikan satu kecupan di bibir suaminya, Pieck kembali meracau setelah memberikan sedikit jarak untuk bibir mereka, “I wonder how many times you have kissed other girls,” Jean dapat merasakan manisnya aroma wine yang tersisa di bibir Pieck, tangannya yang semula ada di samping tubuhnya kini bertengger di pinggang istrinya.

“Pieck, I don’t kiss other girls.

“Hm, really?”

Yeah, I was only going out with them.

Kiss me then.

Nada sensual yang keluar dari bibir istrinya membuat Jean mengerang, aroma lavender yang menguar dari tubuh istrinya tidak membantunya untuk berpikir, cahaya remang kamar mereka berdua menjadikan dirinya semakin disetir oleh gairahnya. Bagaimanapun juga, Jean adalah lelaki normal. Meskipun keduanya tidak terikat secara emosional, namun daya tarik fisiknya sama sekali tidak bisa ditampik. Jean mulai mencondongkan kepalanya hingga jarak mereka semakin terkikis kemudian bibirnya disambut dengan manis oleh bibir istrinya. Jean dan Pieck saling berpaut, ciuman mereka jauh dari kata lembut, keduanya berusaha untuk menerobos masuk lebih dalam ke rongga mulutnya masing-masing dengan Jean yang memberikan gigitan-gigitan kecil di bibir ranum Pieck, satu tangannya naik ke tengkuk Pieck untuk semakin memperdalam ciuman mereka.

Pieck menjadi yang pertama memutuskan tautan bibir mereka, mencoba untuk menghirup lebih banyak oksigen, sedangkan mata Jean masih hinggap di bibir istrinya, mencoba untuk kembali menyatukan miliknya dan milik Pieck yang sungguh terasa manis. Di sisi lain Pieck semakin mengeratkan kedua lengannya di leher Jean, ketika bibir mereka kembali bersatu, Jean menggiring tubuh mungil istrinya ke ranjang, ranjang Pieck.

Makes us love each other, Jean.” suara rintihan Pieck disela-sela kecupan bibir Jean yang menjelajahi rahang hingga leher Pieck ditangkap sempurna oleh di kedua telingga Jean, membuatnya semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh mungil Pieck yang sekarang berada di bawah kungkungannya.

Kalimat terakhir Pieck lontarkan tersebut mengantar mereka ke lebih banyak ciuman-ciuman bergairah lainnya, juga mengantarkan mereka ke klimaks yang hanya Jean, Pieck, dan Tuhan akan tahu rasanya seperti apa.