Farewell Hands
Jean terlihat tampan seperti biasa ketika Pieck melihatnya sudah terduduk di sudut kafe dengan segelas matcha latte di depannya sedangkan sang wira sendiri fokus pada ponselnya. Pieck sedikit tiba terlambat karena padatnya lalu lintas rumah sakit ke tempat janjian mereka, “Jean haai, maaf telat tadi macet banget.”
Mengalihkan pandangannya, Jean menemukan Pieck yang sudah ada dihadapannya, cewek mungil ini terlihat letih akibat aktivitas padat yang telah dilewatinya hari ini, mata sayunya semakin menunjukan kelelahannya membuat Jean tersenyum prihatin, “Gapapa, gimana presentasinya tadi? Mau pesen apa?”
“Yang kaya biasa aja—lancar kok fortunately, cuma ya nguras otak banget,” jawab Pieck kemudian diberi anggukan kepala dari Jean.
Baik Pieck dan Jean sudah membulatkan keputusan mereka sejak malam sebelumnya untuk menyelesaikan apapun yang harus diselesaikan, entah itu masalah atau hubungan mereka. Keduanya sudah tidak lagi menemukan kehangatan ketika berada di pelukan masing-masing, genggaman tangan mereka yang semula erat kini sudah mengendur, binar gemerlap sudah tidak lagi terlihat di kedua mata mereka ketika menatap satu sama lain.
Bagi Pieck, bertemu dengan Jean di masa-masa seperti ini terasa seperti ada membebani dirinya. Sedangkan Jean sendiri juga merasakan hal yang serupa, sama-sama enggan bertemu, dia merasa sudah kehilangan Pieck-nya yang semula pernah menjadi seseorang yang lebih berharga dari dirinya sendiri. Rupanya sebuah perpisahan sudah mereka ekspektasikan tanpa mereka sendiri sadari entah sejak kapan.
They have lost them, the feelings that were becoming the essential part of a relationship.
“Jadi… gimana?” Jean membuka suara ketika Pieck memasukan suapan terakhir wafflenya.
“Kayanya kita ngerasain sesuatu yang sama ya Je? Tapi kali ini menjurus ke sesuatu yang beda, kita udah ngga kaya dulu lagi.”
Setuju dengan kalimat Pieck, Jean mengangguk singkat, “Kita… We have lost our sparks, gitu ya maksudnya?”
“Mhm.”
“Maaf ya Pieck.”
“Oh no, jangan minta maaf. Aku tahu ini bukan cuma kamu, kalau boleh jujur aku juga udah mulai menciptakan jarak di antara kita. Kaya… Aku ngerasa lebih baik ketika aku sendirian, not literally sendirian… But, like you’ve said aku udah nyaman ketika kamu ngga ada di sekitar aku.”
“Yeah Pieck, I understand that feeling. We’ve expected this to come—the break up I mean.”
Di sisi lain Jean merasa bisa saja membohongi dirinya dan mengatakan bahwa tidak ada satupun perasaan miliknya yang berubah untuk Pieck. Well, to the hell with it, he can fool himself, but he doesn’t want to fool her.
And a break up has never been easy, anyway.
Pieck menyadari hal tersebut sampai dia harus dengan susah payah hanya untuk menyunggingkan seulas senyum sebelum dia mengatakan sederet kalimat yang sudah lama terpendam di dalam benak, “Jean, let’s break up.”
Semuanya akan berakhir, apa yang dihadapi keduanya hanya soal perihal waktu yang tepat dimana mereka harus mengakhirinya. Keduanya tahu apa yang terbaik untuk mereka saat ini.
“Yeah, let’s break up Pieck.”
A meaningless sigh has now left both of them and they hope they will become a little more free in their own.
Potongan-potongan memori yang mereka buat bersama akan selamanya tersimpan, keduanya tidak berniat untuk menghapus kenangan-kenangan indah yang telah dilalui bersama begitu saja. Jean dan Pieck, keduanya tidak pernah menyesal telah begitu mencintai satu sama lain. Tidak ada siapapun yang menyalahkan siapa, yang tersisa di antara mereka adalah rasa syukur.
Perpisahan yang terjadi di tengah rintik hujan yang mulai turun pada malam itu kini menjadi sesuatu yang menandai akhir dari kisah romansa Jean Kirstein dan Pieck Finger.
Pieck and Jean, they don’t and will never hold any regrets to have each other as lovers. They enjoyed and treasured the time they’ve spent together. And those feelings were real, they loved each other.