Farewell To The Skies.

Pesawat berada di ketinggian 34.000 kaki di atas permukaan air laut ketika mesin di sayap kanan badan pesawat meledak, sesuai dengan perkiraan Erwin dan Zeke. Ketika peringatan kebakaran untuk mesin di sayap kanan berbunyi dan lampu merahnya menyala, Erwin segera bereaksi dan melakukan persis seperti diajarkan padanya dan sudah biasa dilakukannya selama bertahun-tahun selama menerbangkan pesawat 737. Dia menarik tuas peringatan kebakaran, yang secara otomatis langsung membuat mesin mati.

Petugas mekanik pesawat terlihat panik ketika mencoba untuk mencari tahu situasi bagian tubuh pesawat yang meledak. Di dalam kokpit, Erwin dan Zeke berusaha setenang mungkin mengendalikan manuver kemudi pesawat agar tetap seimbang, tangan mereka sama-sama sibuk untuk memberikan radar ke menara ATC.

“Mayday! mayday! mayday!”

Namun, tidak ada balasan apapun dari menara. Radar mereka terputus begitu saja, “ZEKE! Tetap coba hubungi menara, CEPAT. I’ll try to tell the cabin crew to keep the passengers calm.

Meskipun hal-hal kekacauan seperti ini sudah mereka berdua antisipasi, naluri Zeke dan Erwin sebagai seorang pilot tetap mempimpin mereka untuk menjaga pesawat agar tetap stabil meskipun dapat mereka rasakan kalau pesawat sudah mulai berposisi menukik curam ke bawah, “KEEP THE PLANE STEADY!

“Mayday! Mayday! Mayday!”

Masih tidak ada respon, menara ATC tidak menerima sinyal.

Aliran listrik di dalam kabin pesawat sudah mulai padam, jeritan-jeritan panik dan tangisan yang terdengar membuat hati Erwin dan Zeke teriris, perasaan berat yang timbul belum sempat mereka berdua antisipasi. Para awak kabin berusaha menginstruksikan penumpang untuk segera mengenakan kembali sabuk pengaman mereka disertai dengan tabung oksigen, “Everyone! Don’t be panic, fasten your seatbelt and put the oxygen to yourself!

Pesawat berguncang semakin hebat, membuat para penumpang di dalamnya kehilangan keseimbangan dan tubuh mereka terlempar di dalam kursi penumpangnya ke arah kanan dan kiri secara bergantian. Banyak dari mereka yang sudah mengalami cidera, serangan panik, bahkan sudah kehilangan kesadaran.

“Ymir… if we don’t survive this, I have no regret. I love you, I owe you a lot.”

“Mami… maaf kayanya Jean ngga bisa natalan di rumah tahun ini dan seterusnya.”

“What a beautiful day amidst the disaster...”

“Aku mau pulang, Ayah, aku mau pulang.”

“Levi, it’s been a great time to work together with you, thanks ya hehe.”

“Mikasa, pegang tangan aku erat-erat ya…”

“Pa, even though I will be the first one to leave, please continue your life even it’s hard.”

“Ma, maaf belum bisa bikin mama bangga…”

“Let’s meet in another lifetime, my dear little Pieck…”

“Farewell to the skies.”

Sebelum terperangkap di dalam sebuah kecelakaan pesawat, semua penumpang merupakan orang-orang yang telah ditunggu kehadirannya di tempat tujuan mereka masing-masing. Tangisan-tangisan para penumpang terasa begitu memyakitkan bagi Pieck dan semuanya yang bisa mendegarkan. Ada yang merapalkan kalimat-kalimat terakhir mereka dengan lirih, ada juga yang berteriak keras-keras, namun tidak ada dari mereka yang memiliki harapan untuk selamat dari guncangan pesawat ketika mereka dapat merasakan pesawat sudah mulai terjun bebas ke bawah.

Dear passengers, for once in a lifetime, we will finally be able to land heaven after passing the horizon. May the force to be upon you, God bless.

Beberapa detik berikutnya yang begitu menyiksa, pesawat Boeing 737 ED854 telah jatuh dan tenggelam di wilayah perairan.