Finding Home

Terbangun di suatu entah, satu-satunya yang otak Pieck tangkap ketika kedua netranya terbuka adalah sebuah ruangan yang amat luas. Kinerja otak Pieck hanya dapat mencerna bahwa ruangan itu juga amat sangat terang namun tidak cukup untuk menyilaukan sampai membuat sakit kedua netranya. Sejauh ini Pieck tidak melihat ada siapapun yang ada selain dirinya di ruangan tersebut.

Suasananya begitu tenang, Pieck sempat berpikir apakah tempat ini terletak selangkah sebelum pintu surga? Tapi kalau dipikir kembali, tidak akan semudah itu dia berada di tempat tersebut karena semasa hidupnya, Pieck banyak melakukan dosa-dosa manusia.

Melihat dirinya mengenakan gaun putih yang panjangnya menjuntai ke bawah membuat Pieck berfantasi untuk menjadi seorang peri cantik… atau malaikat—entahlah, yang jelas tidak ada kejelasan di mana dia berada sekarang. Kembali lagi, otaknya berusaha mencari jawaban, terakhir kali Pieck ingat dia sedang berada di dalam perjalanan menuju suatu tempat, tapi tentu saja, bukan tempat ini yang dia tuju.

Makam Zeke.

Ya, makam Zeke. Pieck sudah berjanji akan mengunjungi makam pria tersebut, namun kenapa justru dia ada di tempat ini sekarang?

Apakah ini… Ini tempat di mana aku akan bertemu dengan Zeke? Benar-benar bertemu di dimensi yang sama? pikir Pieck.

Kedua netranya menjelajahi seluruh ruangan, tapi keduanya belum juga menangkap apapun.

Kak Zeke? Kau dimana? Aku sudah ada di sini, mari bertemu.

Alih-alih Zeke, yang menghampiri ke arah Pieck sekarang adalah sebuah kabut yang semakin menghalangi pandangan Pieck ke depan. Salah satu tangannya mencoba untuk diangkat dan meraih kabut tersebut, membiarkan tangannya tetap di udara selama beberapa detik. Kemudian jantungnya terasa berhenti berdetak untuk beberapa saat ketika Pieck merasakan ada jari-jari lain yang ditautkan ke sela-sela jari tangan miliknya sendiri.

“Kak Zeke?!”

Sosok itu muncul—tinggi besar, bahkan puncak kepala Pieck tidak sampai melampaui letak bahu lebarnya. Pria di seberang Pieck ini juga memakai pakaian dengan warna serupa dengannya. Ezekiel Jaeger terasa begitu nyata dilihatnya setelah bertahun-tahun tidak diberi kesempatan untuk melihatnya sedekat ini.

“Halo, Pieck. Kamu masih sekecil dulu ya?” sapa Zeke sambil terkekeh.

Dulu, Pieck selalu mengerucutkan bibirnya sebagai bentuk protes setiap kali lelaki di hadapannya ini menggoda tinggi badannya yang tidak semampai. Namun sudah bertahun-tahun lamanya pula Pieck merindukan godaan itu ditambah dengan air muka jenaka Zeke yang biasa dia temukan ketika masih berada di usia tujuh belas.

“Kak Zeke? Ini beneran Kak Zeke?”

“Iya, ini beneran aku. Your one and only Kak Zeke.

Belum percaya dengan apa yang dia lihat, tangan Pieck diulurkan menuju pipi Zeke dan menyentuhnya. Ternyata benar, lelaki ini nyata.

Telapak tangannya bahkan dengan pasti bisa meraba garis rahang tegas lelaki di depannya, tidak salah lagi, dia memang Ezekiel Jaeger-nya. Pieck tidak pernah melihat Zeke se-ethereal-itu seperti saat ini ketika mereka masih bersama di masa lalu, “Kak Zeke, apa karena kamu tinggal di surga jadi bikin kamu kelihatan seperti malaikat?”

Yang diberi pujian hanya terkekeh kecil, melihat perempuan mungil di hadapannya masih dengan ekspresi bingung dan takjubnya, Zeke mencondongkan kepalanya kebawah dan meraih salah satu pipi bulat Pieck untuk dikecup, “Come here. Kamu nggak mau peluk aku, Pieck?”

Tanpa disuruh dua kali, Pieck langsung menghamburkan tubuh mungilnya dan mengalungkan kedua lengannya di sekitar leher jenjang Zeke, tidak lupa untuk menenggelamkan kepalanya di ceruk leher lelaki itu, “I miss you, Kak Zeke. I miss you till my heart hurts.

“Aku selalu disini, Pieck. Aku selalu ada di dekat kamu.”

Setelah hampir lima menit diam di pelukan Zeke, Pieck menjadi yang pertama untuk melepaskan tautan tersebut, dirinya masih harus mencari jawaban dari sebuah pertanyaan yang sejak tadi belum terjawab, “Kak, kenapa aku bisa di sini? Kak Zeke mau bawa aku ikut kakak?”

“Aku memang mau bawa kamu keliling,” Zeke menjawab pertanyaan Pieck dengan senyuman yang dibalas oleh senyuman lain milik Pieck.

“Akhirnya aku bisa ketemu kamu lagi, Kak! Kali ini kamu nggak akan ninggalin aku lagi kan?”

“Buat yang itu, aku nggak bisa memutuskannya sendiri.”

“Maksudnya?”

“Sini ikut aku,” ajak Zeke yang mulai melangkah dengan tangannya yang semula kosong beralih menggenggam tangan mungil Pieck untuk mengisi kekosongan yang ada di sana. Hangat. Sama hangatnya seperti bertahun-tahun silam.

Pieck dan Zeke mulai berjalan ke sisi lain ruangan terang tersebut, genggaman tangan keduanya semakin erat ketika Pieck sadar bahwa Zeke mengajaknya keliling dan berwisata ke masa lalu. Menurut Pieck, apa yang dia lihat sekarang begitu ajaib. Salah satu adegan yang ada di depannya saat ini—entah muncul dari mana, menjadi potongan adegan yang menurut Pieck paling dia ingat di semasa hidupnya hingga sekarang.

“Kamu masih ingat sama yang itu?” tanya Zeke dengan jari telunjuknya yang mengarah ke adegan tersebut seakan menyuruh Pieck untuk memfokuskan dirinya.

Sambil mengangguk, Pieck secara otomatis menarik bibirnya untuk mengulas sebuah senyum, “Aku nggak akan pernah lupa, itu hari Minggu pagi dimana aku ketemu Kak Zeke buat pertama kalinya.”

Di antara tujuh hari dalam seminggu, yang paling menjadi kesukaan Pieck adalah hari Minggu. Bukan berarti Pieck terlalu bersemangat untuk berangkat ke Sekolah Minggu-nya—melainkan untuk bertemu dengan Ezekiel Jaeger yang ternyata lebih akrab dipanggil dengan nama Zeke di sebuah Gereja setiap hari Minggu.

Pieck paham betul bahwa Tuhan Maha Baik—saking baiknya, Pieck menemukan cinta pertamanya dalam bentuk manifestasi sosok lelaki muda yang duduk di belakang piano besar dengan jari-jarinya yang bergerak lincah di atas tuts-tuts hitam putihnya, mengiringi lagu-lagu kebaktian di Minggu pagi.

Pieck tidak tahu apakah di dunia ini ada yang terasa lebih mudah dibandingkan dengan semudah dia jatuh cinta kepada Ezekiel Jaeger pada pandangan pertama.

Pertemuan pertama mereka menjadi sebuah penanda pertemuan-pertemuan berikutnya di setiap hari Minggu. Mereka saling bertukar nama hingga cerita. Usia keduanya hanya terpaut dua tahun, untuk pertama kalinya Pieck merasa menyesal telah mengenyam pendidikan di sekolah menengah atas khusus perempuan setelah bertemu Zeke di gereja, karena itu membuat keduanya hanya bisa bertemu di Sekolah Minggu yang singkat, tidak memberikan cukup waktu bagi mereka untuk melepas rindu.

Satu adegan telah selesai Pieck saksikan ulang, kini dirinya tanpa sadar telah sampai ke sisi lain dari ruangan putih nan terang tersebut yang lagi-lagi menyuguhkan Pieck dengan satu adegan lain, namun kali ini latarnya terlihat berbeda.

“Sekarang kita mampir ke kampus kita dulu, yuk Pieck.”

Hening beberapa detik, Pieck belum menjawab ajakan Zeke sehingga membuat lelaki itu mengerutkan dahinya, “Kenapa? Kok diem?”

“Aku nggak suka sama adegan yang disitu karena—“

“Karena saat itu aku pergi ninggalin kamu dan nggak kembali?” dengan enteng pertanyaan tersebut keluar dari bibir Zeke yang justru membuat Pieck merasa hatinya teriris. Kepala perempuan itu dianggukkan sebagai jawaban.

“Lihat dulu coba, jangan takut ya?”

Apa yang Pieck lihat di adegan selanjutnya adalah Zeke yang tersenyum lebar dan diapit oleh kedua orang tuanya. Ada Pieck di sisi lain yang memegang sebuah kamera untuk mengambil potret. Di dalam sana, tubuh Zeke dibalut dengan jubah kelulusannya setelah menempuh pendidikan di salah satu universitas paling prestisius di negara mereka.

Pieck dibuat melongo oleh potongan adegan tersebut. Seingat Pieck, Zeke bahkan tidak sempat untuk menyelesaikan pendidikannya karena… Karena hidup Zeke yang lelaki itu akhiri sendiri tidak diijinkan untuk mengantarnya sampai ke momen tersebut. Namun, Zeke-nya yang ada di sana terlihat sehat, terlihat begitu bahagia dengan toga yang membuatnya tampak lebih gagah dari yang Pieck ingat.

Setelah dua potong adegan selesai dilihatnya, Pieck kini sadar bahwa Zeke bukan membawanya berkeliling dalam wisata masa lalu. Sebaliknya, Zeke sedang memanifestasikan realitas alternatif di mana Zeke tetap berada di sampingnya, di mana nafas Zeke tidak pernah diputusnya sendiri, di mana jantung Zeke tidak pernah dia hentikan berdetak untuk semesta.

Intuisinya dikonfirmasi oleh kemunculan adegan selanjutnya yang menggambarkan dirinya dan Zeke sedang berdiri berdampingan di altar gereja tempat mereka bertemu untuk pertama kalinya. Zeke yang tampan dengan tuxedo putihnya begitu serasi untuk berada di samping Pieck yang dibalut oleh gaun pengantin berwarna putih yang indah.

“I will marry Pieck Finger for the better, for the worse, for richer, for poorer, in sickness and in health, til death do us apart.”

That could be our wedding day, Pieck,” guman Zeke di sampingnya, memberi Pieck sebuah penjelasan singkat.

Jadi seperti itu gambaran hari pernikahan Pieck dengan lelaki yang dicintainya? Seperti itukah gambaran Zeke yang mengucap janji suci di hadapan Tuhan untuk meminang dirinya? Angan-angan hanya akan menjadi sebuah angan, tapi setidaknya Zeke memiliki kesempatan untuk mewujudkannya pada saat ini, di dimensi yang letaknya serba ‘diantara’ bagi Pieck.

That’s so funny… Death tore us apart even before we planned our wedding day.

Zeke hanya bisa tersenyum kecut kali ini, memang semesta begitu lucu. Semesta sering berjalan dengan tidak sesuai seperti apa kemauan yang mereka pinta. Semesta mengajarkan tidak semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana. Semesta begitu kejam dan tidak adil sampai Zeke tidak mampu bertahan untuk menanggungnya sendirian, maka pilihannya yang menurut Zeke paling tepat untuk mengakhiri bebannya pada saat itu adalah dengan mengakhiri hidupnya sendiri.

Semenjak kematian Zeke, Pieck menjadi semakin percaya bahwa pil kehidupan yang paling pahit untuk ditelan adalah kehilangan seseorang yang dicintainya harus dikalahkan oleh maut.

“Aku masih punya satu buat kamu lihat,” ucap Zeke memecah keheningan. Pieck beranjak dan mengikuti langkah Zeke menuju ke potongan adegan selanjutnya.

Pieck melihat Zeke dan dirinya yang ‘lain’ lagi-lagi berada di potongan adegan yang sedang ditampilkan. Zeke terlihat sedang berdiri dengan cemas, sedangkan Pieck berbaring di atas sebuah ranjang persalinan, dia juga terlihat sedang berjuang, sedang berteriak sebagai sebuah reaksi atas rasa sakitnya, semua kejadian itu terjadi di ruangan bersalin. Pieck yang berada di dalam adegan tersebut sedang melahirkan seorang bayi! Ketika suara tangisan bayi mulai terdengar dengan keras, teriakan yang semula Pieck keluarkan secara perlahan otomatis dia hentikan.

Congratulations Mr. and Mrs. Jaeger! The baby is a healthy boy.

Ketika tangisannya sudah mulai reda, mata Zeke dan Pieck beradu dengan sepasang mata bayi dengan helai rambut keemasan yang baru terbuka. Bayi mungil itu mengerjap beberapa kali, seperti sedang mengamati seperti apa wajah kedua orang tuanya. Mereka menemukan warna iris mata yang sangat identik dengan iris mata Zeke.

Bercak darah masih menyelimuti beberapa permukaan kulit bayi mereka, namun Zeke dan Pieck berani sumpah, mereka baru pernah melihat seseorang yang paling cantik pada momen tersebut. Kemudian air mata Pieck dan Zeke larut, diselimuti kebahagiaan yang amat besar, besarnya tidak akan bisa Pieck dan Zeke yang ada di semesta lain itu untuk mereka deskripsikan.

“Kak Zeke…” semua potongan adegan yang baru saja Pieck saksikan membuat hatinya terasa berdenyut dan nyeri bukan main. Air matanya mengalir deras sama seperti air mata dirinya ‘yang lain’ ketika berada di ruangan persalinan tersebut. Bedanya, Pieck dengan air matanya yang ada pada saat ini disebabkan oleh berakhirnya potongan-potongan adegan yang semula sangat jelas dia lihat.

Perasaan yang bergelut di dalam hati Pieck membuatnya jatuh terduduk, dengan raung tangisan yang lebih keras, telapak tangannya yang mengepal Pieck gunakan untuk memukul dadanya berkali-kali, berharap bisa menghilangkan rasa sakit yang menggerayangi hatinya. Pieck masih merasa belum cukup, dia sangat menginginkan semua kejadian tersebut untuk menjadi nyata, bersama Zeke, hanya Zeke. Dia ingin melihat potongan adegan selanjutnya bahkan hidup didalamnya.

Namun Zeke bukan Tuhan. Hanya sejauh ini yang dapat Zeke berikan untuk Pieck, the alternate reality where they become a happy family—sebagai upayanya untuk menebus semua waktu yang terbuang ketika Zeke membiarkan gadisnya menderita karena merindukannya sendirian di semesta lain, semesta dimana Pieck seharusnya berada—bukan di sini, bukan juga di semesta alternatif yang baru saja Zeke ciptakan sendiri.

“Kamu lihat tadi yang di sana kan, Pieck?”

“Ya, aku lihat semua…” jawab Pieck dengan parau.

“Kamu ingat kan? Semua itu adalah mimpi-mimpi kamu,” kedua tangan Zeke kini mencengkram kedua bahu Pieck, menghalau pergerakan perempuan itu untuk menghindari tatapannya karena kedua iris kelabunya enggan menetap di iris biru Zeke.

“Bukan cuma aku yang punya mimpi itu, tapi Kak Zeke juga.”

I know baby… Tapi sayang—aku terlalu pengecut untuk punya sebuah mimpi.”

“…..”

“Pieck, kejar mimpi kamu… You have so much more to come, so much lives to live on, kamu harus selesaikan apa yang harus kamu selesaikan, lalu kembali hidupkan diri kamu sendiri.”

Mimpi Pieck yang dimaksud oleh Zeke seolah memiliki gagasan yang berbeda dengan apa yang Pieck gagas sendiri selama bertahun-tahun. Mimpinya adalah untuk bersama-sama dengan Zeke, namun sepertinya Pieck sendiri merasa Zeke menjadi semakin abu-abu. Kejar mimpimu, meskipun tanpa aku untuk mewujudkannya, begitu yang bisa Pieck tangkap.

Kemudian, entah apa yang dimaksud Zeke ketika dia menyuruh Pieck untuk menyelesaikan sesuatu yang perlu diselesaikan. Menyelesaikan hidupnya untuk bergabung dengan Zeke? Atau menyelesaikan semua kesedihan yang disebabkan oleh rasa kehilangannya atas kematian Zeke lima tahun silam?

Semuanya hanya diletakkan pada dua pilihan.

How do I supposed to chase my dream?” Pieck memutuskan untuk melempar sebuah pertanyaan.

“Kamu harus pulang. Ada seseorang yang bisa membantu mewujudkannya dan sedang menunggu kamu.”

Pulang? Jawaban Zeke dirasa enggan untuk dilakukan perempuan itu. Berada di dalam dimensi ini bersama Zeke sudah lebih dari cukup untuk Pieck. Siapa yang menunggunya? Apakah Zeke termasuk ‘seseorang’ yang menunggunya untuk pulang?

“Aku harus pulang ke mana?”

“Kamu yang harus pilih sendiri. Rumah yang kamu tuju untuk berpulang ada di mana, Pieck?”

Dia ingin pulang ke sebuah rumah dimana ada Zeke di dalamnya. Tapi di sisi lain, Pieck merasa itu bukan jawaban yang tepat dan bukan jawaban yang Zeke inginkan untuk pertanyaannya sendiri. Karena itu, Pieck dibuat semakin meragu.

this narration is specially inspired by eren and zeke’s path exploration, also i kinda want to make my jikupiku version of eremika’s alternative reality in the manga but make it modern life au. so here that is 🥺