“Gile gile, ini sih namanya mereka ghibahin orang di depan orangnya sendiri.”

Shikamaru berkomentar setelah menyeruput kopi hitam panasnya dari gelas, dia juga sedang ngescroll chatroom HIMAHI buat memantau bagaimana reaksi teman-teman mereka setelah tahu dia dan Ino sedang ada di bukit bintang juga hanya berdua. Di sampingnya, ada Ino yang sedang fokus menggigit jagung bakarnya.

Sebenarnya baik Shikamaru dan Ino sudah pasrah saja semisal mereka bakal keciduk dan agenda mereka berakhir digangguin sama orang-orang usil seperti Naruto atau Kiba. Tapi nyatanya keduanya merasa beruntung ketika teman-teman mereka memilih buat menyingkir dan nggak hadir di tengah-tengah mereka.

“Mana sih liat??” Ino semakin beringsut untuk menaruh kepalanya di pundak Shikamaru sambil menatap layar ponsel coowk itu. Setelah membaca beberapa bubble chat, Ino berdecak. “Ck! Norak banget mereka, kaya dari dulu gapernah ngeliat kita pergi berdua aja.”

“Ya dulu sama sekarang mah beda, No.”

“Beda apanya??”

Ino mengangkat lagi kepalanya dari bahu cowok itu, sehingga Shikamaru menengok dan mengunci pandangannya dengan manik akuamarin cewek itu.

“Halah kalo gue jelasin bedanya dimana, entar lo marah lagi.” kata Shikamaru.

Cewek itu meringis saja, karena apa yang Shikamaru ucapkan itu ada benarnya. Ino belum siap untuk membahas tentang perbedaan-perbedaan yang hadir di antara mereka berdua dari dulu hingga sekarang. Atau mungkin saja Ino sedang denial, dulu dia hanya melihat Shikamaru sebagai bocah mageran yang nggak punya motivasi dan sudah dia kenal sejak masih pakai popok.

Kalau sekarang, Shikamaru di dalam sudut pandang Ino adalah seseorang yang bisa dnegan mudah bikin pipinya memanas dan memerah, bikin jantungnya berdebar, seseorang yang bikin dia ingin berusaha keluar dari trauma yang selama ini membelenggu, juga seseorang yang nggak ingin Ino sakiti hatinya.