Heretofore — Lucky by Jason Mraz.

Akhir pekan merupakan sesuatu yang paling sering Zeke nantikan, bukan apa-apa, tapi akhir pekan artinya dia akan punya waktu lebih banyak untuk dihabiskan bersama sahabatnya—Pieck Finger.

Sahabat yang baru-baru ini sukses membuat hati Zeke berdebar-debar setiap kali perempuan itu ada di dekatnya. Namun hebatnya, sejak satu ciuman di bibir yang kabarnya sudah sampai ke telinga Mama Dina itu, Zeke dan Pieck sukses mengatasi hal-hal kecil yang mungkin timbul sebagai masalah dan berpotensi merusak pertemanan. Karena tidak seharusnya sepasang teman saling mencium di bibir.

Ibarat sebuah profesi, menjadi seorang teman juga harus profesional atau relasi mereka akan rusak. Meskipun sempat canggung untuk beberapa saat, keduanya berhasil kembali lengket layaknya sepasang teman. Ditambah dengan fakta kalau keduanya sangat mahir berpura-pura kalau tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.

Atau lebih tepatnya, bersusah payah menangkal gairah dan percikan api yang punya arti lain di antara mereka. Bukan sebagai teman, melainkan sesuatu yang lebih.

Di sabtu siang itu, Zeke membawa Pieck ke salah satu Vinyl shop untuk menambah koleksi piringan hitam di apartemennya. Ketika keduanya melangkahkan kaki dan masuk ke toko, mereka disambut dengan The Lazy Song nya Bruno Mars yang mengalun lewat speaker ruangan. Kemudian Pieck mengekor di belakang Zeke, lelaki itu sedang sangat serius memilih mana LP yang ingin dia beli ketika sudah disuguhkan rak-rak display berisikan piringan hitam.

“Hmm, spotify ada, apple music ada, terus kamu beli-beli ini LP buat apa Zeke Jaeger?” Pieck mengomentari hobi mahal Zeke dalam mengoleksi piringan-piringan hitam yang harganya fantastis buat ukuran mahasiswa semester tua seperti mereka yang belum punya penghasilan tetap.

“Beda dong Piecky. Vibes nya bagusan kalau denger dari LP,” kata Zeke, tangan yang semula masih sibuk kemudian diangkat untuk menunjukan dua piringan hitam yang berbeda di genggamannya. “Mending yang mana?”

Dengan melihat dua pilihan itu, Pieck tahu mana yang benar-benar ingin Zeke beli. “Stevie Wonder. Bulan lalu kamu cari itu tapi sold out di sini.”

As expected of Piecky, you always know my taste.” kata Zeke sambil mengedipkan sebelah matanya dan menunjuk Pieck dengan finger gun sebagai gesture kesayangan.

“Ckckck.” si perempuan hanya bisa berdecak, namun semburat kemerahan yang hadir di kedua pipinya lantas tidak Zeke lewatkan begitu saja.

Setelah meminta saran Pieck tadi, sejauh ini lelaki itu sudah mengeranjangi lima buah piringan hitam dan Zeke masih belum kelihatan mau berhenti. Musik yang mengalun lewat speaker sudah berganti dengan deretan lagu-lagu santai lainnya, beberapa lagu Pieck ketahui sehingga bibirnya ikut bergumam sambil iseng lihat-lihat beberapa piringan hitam seperti apa yang Zeke lakukan sejak tadi.

Tanpa sadar, keduanya terpisah. Pieck melihat sisi lain dari toko tersebut yang mencuri perhatiannya. Perempuan itu berjalan meninggalkan Zeke untuk melihat lebih jelas apa yang terpajang di sana.

Waktu lagu berjudul Lucky milik Jason Mraz diputar, Zeke mematung di tempat. Kegiatannya asyiknya Zeke hentikan, dia mencari-cari sosok perempuan yang dia bawa kemari bersama karena hilang dari jarak pandangan.

Zeke berjalan menelusuri rak-rak display, mencari sosok yang mungkin tenggelam di antaranya. Ketika Zeke menemukan kembali punggung kecil milik Pieck di sebuah sudut yang berisikan barang dan buku vintage kesukaan perempuan itu, dia menghampirinya dengan langkah-langkah lebarnya, seakan tidak sabar untuk segera meraihnya.

“Pieck!”

“Hmm?”

Yang dipanggil masih belum memusatkan atensinya untuk Zeke, sehingga dia gunakan untuk membulatkan tekadnya. Di detik pertama Lucky terputar tadi, Zeke merasa terhipnotis. Entah dorongan dari mana, yang jelas saat itu juga Zeke ingin bilang untuk menyatakan perasaan. Sudah cukup dengan Zeke dan nyali ciut nya di hari-hari yang telah berlalu, kata yang sangat ingin Zeke ucapkan hari ini akan lolos dan tidak akan lagi tertahan di ujung lidah.

“Pieeeck.”

“Ya Zekeee?”

Dengan satu tarikan nafas, Zeke bilang, “I’ve never been this lucky before.”

“Hmm?” perempuan itu menoleh sambil mengernyit ketika mendapati Zeke sedang tersenyum, “Lucky kenapa kamu? Dapet diskon?”

Zeke menggeleng, “Coba perhatiin lirik lagunya, Pieck.”

“….”

Diamnya Pieck pertanda perempuan itu sedang mencerna apa yang coba Zeke sampaikan lewat perintahnya untuk memperhatikan lirik lagu yang sedang mengalun di speaker.

“Pieck, it says; lucky I am in love with my best friend.”

Saat itu masih siang, namun entah kenapa Pieck bisa melihat bintang yang bertaburan di mata Zeke pada saat itu juga, pertanda kalau pria itu sedang bahagia. Mau tak mau, bibir yang semula bergetar bingung kini berubah melengkung untuk membalas senyum Zeke dengan senyum termanisnya.

Consider yourself super lucky then, Zeke.

“Because?“

“Because I’ve been yearning to say that I am in love with my best friend too.”

Dengan satu tarikan yang terasa tiba-tiba sampai Pieck belum bisa mencerna apa yang terjadi, perempuan itu sudah berada di dalam dekapan erat Zeke Jaeger. Tidak peduli dengan pengunjung lain yang mungkin akan menatap keduanya aneh karena berpelukan ala teletubbies di tempat umum, Zeke tidak peduli apapun lagi.

Lelaki itu mendaratkan dagunya di atas puncak kepala Pieck, “Kerasa nggak?”

“Apanya?” perempuan yang ada di dalam dekapan bergeming sebelum tersadar dengan apa yang telinganya dengar karena menempel erat ke dada Zeke, “Kalau maksud kamu itu detak jantung kamu, kerasa banget. Keras banget ih Zeke, kamu yakin nggak apa-apa?!”

“Hahaha. Kamu yang bikin aku berdetak sekeras itu.” Zeke melepaskan pelukan mereka untuk melihat lebih jelas paras cantik perempuannya, “Aduh Pieck, pengen cium. Yuk ah kita pulang aja!”

“Dasar! Yaudah ayok.”

Pieck membiarkan tangannya digandeng oleh Zeke ketika mereka menuju kasir untuk membayar piringan hitam yang sudah lelaki itu pilih. Di situ Pieck bisa merasakan Zeke yang kelewat semangat sehingga membuatnya terlihat seperti anak kecil, bahkan lelaki itu terus bersiul sepanjang langkah mereka menuju mobilnya.

“Zeke? Kamu kelihatan seneng banget deh.” kata Pieck sambil menatap Zeke yang sedang fokus mengemudi.

“Hehe, siapa yang nggak seneng kalau ternyata perasaanku ini terbalas?”

“AAAAAA APAAN SIH GELI TAUUU.”

“HAHAHAHA.”

Bertahun-tahun berteman, keduanya tidak familiar dengan gestur romansa meskipun tanpa mereka sadari, keduanya bertingkah seperti pasangan tua yang sudah menikah puluhan tahun, membuat teman-teman mereka yang lain hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Kamu jadi nginep kan?” tanya Zeke waktu mobilnya masuk ke basement apartemen untuk diparkirkan.

Pieck mengangguk, “Jadi.”

“Yaudah nanti sekalian video call sama Mama Dina, biar liat calon mantunya. Kangen tuh katanya.”

Hari itu, wajah Pieck sudah dibuat panas berkali-kali oleh Zeke. Jujur saja dia tidak menyangka Ibu Zeke mengetahui sejauh mana hubungannya dengan Zeke, “Ih kamu sering ghibahin aku ya sama Tante Dina??”

“Mama yang suka nanyain kamu. Aku sampe heran, yang anaknya Mama Dina tuh aku apa kamu sih?”

“Ya wajar lah! Kalau anaknya kaya kamu, mendingan tuker tambah aja ga sih sama aku.” kata Pieck membela diri, padahal sendirinya sudah salah tingkah nggak karuan.

Mendengar itu Zeke pura-pura memasang wajah kesalnya, “Yeuh, ngapain tuker tambah kalo dijadiin mantu juga bisa?”

“Aaaaaa Zeke diem.” Pieck buru-buru turun dari mobil Zeke yang sudah terparkir sempurna, menghindari lelaki itu supaya tidak bisa melihat sudah semerah apa wajahnya.

Namun begitu, Zeke berhasil menyusul Pieck dan merangkulkan lengannya di bahu mungil perempuan itu. Kemudian memberikan kecupan-kecupan ringan di puncak kepalanya.

Mengenal Zeke begitu lama, Pieck paham betul kalau lelaki itu lebih terbiasa dengan skinship ketimbang keterlibatan emosional yang sempat lelaki itu hindari. Namun bersama perempuan itu, Zeke biarkan tembok itu runtuh sehingga baik secara ketertarikan fisik dan emosional, Pieck Finger adalah pusat gravitasinya saat ini dan untuk seterusnya.

Entah sejak kapan seringaian licik bertengger di bibir Pieck Finger, dia melepaskan rangkulan lengan Zeke sehingga membuat lelaki itu terheran sebentar dan bertanya, “Kenapa?”

Tidak dengan rangkaian kata, Pieck berjinjit untuk mensejajarkan wajahnya dengan Zeke dan mencuri satu kecupan di bibir lelaki itu sebagai jawaban, kemudian berlari sekencang mungkin menuju elevator yang langsung terbuka dengan sekali pencet. Pieck masuk ke dalamnya, meninggalkan Zeke yang mematung dan geleng-geleng kepala, namun kemudian menyeringai jahil.

“Ck. Dasar kecil-kecil banyak aksi. Just wait for my little revenge then.