Kantin

Suasana kantin fakultas cukup ramai dipenuhi oleh mahasiswa karena sekarang sedang jam makan siang. Untungnya, Pieck berhasil menemukan satu meja kosong dan empat kursi yang langsung dipatenkan hak miliknya menjadi miliknya dan teman-temannya selama agenda makan siang mereka hari ini.

Berada di kantin fakultas lamanya pada saat ini membuat Pieck sedikit bernostalgia akan masa-masa kuliahnya beberapa tahun lalu. Terkadang, Pieck amat merindukan momen-momen itu, namun untuk benar-benar kembali ke momen masa lalu tersebut tidak pernah terpikirkan olehnya secara serius.

Di sini lah dia, kantin fakultas.

Pieck dapat melihat Hange yang menghampirinya dengan langkah-langkahnya yang cepat, kedua tangan temannya memegang penuh makanan dan minuman.

Levi dan Erwin mengekor di belakang Hange dengan santai dan mengenakan pakaian kasual, namun terdengar suara peringatan Levi agar Hange berhati-hati, “Woy, four eyes! Jalannya pelan-pelan, jangan malu-maluin kita kalo lo sampe kesandung lagi!”

Pieck terkekeh melihat pemandangan itu, pemandangan yang sangat familiar, sebab hingga tahun 2021, mereka berempat masih dengan rutin melakukan ritual makan siang bareng karena keempatnya bekerja di perusahaan korporasi multinasional yang sama.

Hange yang kelewat antusias, Levi yang cemas mengingatkan Hange untuk berhati-hati dengan langkahnya, dan Erwin bersama Pieck yang hanya mampu berdecak dan geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua teman mereka.

Sampai detik ini, Pieck belum menemukan batang hidung Zeke, membuatnya seketika skeptis dan semakin percaya kalau yang tadi itu hanya sebuah prank belaka, “Hmm, beneran dibohongin sih ini. Mana mungkin gue ada di tahun 2016, ini cuma akal-akalan mereka buat ngajak gue makan di kantin kampus, hadeh,” gerutunya dalam hati.

Ketika ketiga temannya sampai di meja makan dan menata bangku plastik untuk mereka duduki, Hange langsung meletakan segelas Thai Tea nya untuk Pieck minum, “Nih, ganti loh duit gue!”

“Apaan anjir, orang tadi si Erwin yang bayar?” Levi langsung menyambar Hange dengan kalimatnya, membuat cewek itu meringis gara-gara gagal berbohong dan mendapat keuntungan sepuluh ribu dari Pieck padahal yang membayar thai teanya tadi betulan Erwin, “Ah lo diem kek bol!”

Pieck tertawa saja, juga merasa sedikit terkesima karena setelah melewati perjalan waktu ke masa lalu—yang masih dianggap skeptis olehnya, tidak ada yang berubah dari Levi dan Hange, masih sama-sama pasangan tom & jerry.

Namun Pieck teringat akan versi 2021 dari Levi dan Hange, dia geleng-geleng kepala sambil tersenyum miris akan takdir yang mengikat mereka berdua sebagai pasangan rumah tangga, melangkahi Pieck dan Erwin yang masih betah sendirian.

“Berhenti panggil gue cebol.”

“Lo juga manggil gue mata empat ya!”

“Emang beneran mata lo ada empat.”

“Terus lo mau denial kalo lo cebol??”

Erwin yang mulai paham situasi segera menghentikan lemparan-lemparan ejekan yang Hange dan Levi lakukan satu sama lain, “Lo berdua diem kek, panas-panas gini ribut mulu.”

Sedangkan Pieck santai saja melihatnya sambil menyeruput thai tea dari sedotan, “Eh Pai, Hans. Awas lo berdua entar lama-lama jadi suka. Kan istilahnya benci jadi cinta tuh hehe.”

Levi melengos mendengar Pieck menggodanya dan Hange, “Amit-amit,” sementara Pieck membuka mulutnya untuk tertawa. Levi boleh saja denial, tapi Pieck tahu kalau di masa depan Levi akan menjadi yang pertama jatuh cinta kepada Hange.

“Eh, itu tadi yang kata lo—boba sama croffle ya? Beli dimana tuh?”

Pieck jadi gelagapan ketika Hange melempar pertanyaannya, seharusnya boba dan croffle ini memang belum populer di tahun 2016.

Karena enggan menjelaskan akhirnya Pieck menjawab seadanya, “Nggak, maksud gue waffle tadi. Typo,” yang ditanggapi Hange dengan manggut-manggut saja sambil mengunyah dimsumnya.

Berbicara soal dimsum, Pieck melihat ada sekotak dimsum yang dia asumsikan berisi siumai di hadapan Erwin, namun kotak itu masih tertutup sehingga mengundang pertanyaan, “Itu dimsum satu kotak punya siapa?”

“Punya Zeke,” jawab Erwin enteng membuat Pieck melongo.

“Zeke beneran ada? Dia bakalan ke sini?”

“Ada tuh lagi di kantor prodi, kesini kok ntar.”

Wow. Melihat gelagat Erwin membuatnya berpikir kalau mereka adalah mahasiswa betulan, atau lebih tepatnya Pieck dan ketiga temannya kembali menjadi mahasiswa. Karena sejak tadi bahkan dia bisa mendengar Hange menggerutu dan misuh-misuh karena kuis dadakan di kelas sebelumnya.

“Tuh doi nongol.” tukas Erwin sambil menunjuk ke arah belakang Pieck dengan dagunya.

Pieck tidak mengerti apa yang membuat jantungnya begitu berdebar sekarang. Entah dia deg-degan karena antusias akan bertemu Zeke setelah sekian lama, atau mungkin karena dia belum siap untuk bertemu Zeke lagi lewat perjalanan waktunya.

“Mana makanan gue, Win?”

Sosok itu muncul dan berdiri di samping Pieck yang terduduk, begitu menjulang sampai dia harus mendongak untuk melihat wajahnya. Beberapa detik telah berlalu, Pieck mempelajari setiap jengkal wajah Zeke.

Cowok itu memakai kacamatanya seperti biasa—yang dulu sangat dia ingat sering mengembun sampai menyembunyikan iris biru semi kelabunya yang teduh, garis rahang Zeke masih sama tajamnya sesuai memori Pieck, dan rambut keemasan yang terlihat sangat halus—surai pirang yang selalu sulit Pieck gapai untuk diacak-acak seperti yang Zeke lakukan terhadap surai hitam panjangnya.

Ack!

Sentilan di dahinya yang Zeke hadiahi membuyarkan lamunan Pieck, matanya mengerjap seusai mengaduh dan telapak tangannya mengusap lembut dahinya yang malang.

“Lo pasti nggak nyisain bangku buat gue ya? Parah banget Pieck, duduk dimana nih gue?” sembur Zeke dengan nada yang sengaja dibuat kesal.

Pieck memiliki alasan kenapa dia tidak menyisakan satu bangku untuk Zeke duduki, karena dia sudah terlampau terbiasa hanya duduk-duduk bersama ketiga temannya yang lain di tahun 2021, tentunya bersama Hange, Levi, dan Erwin, tanpa Zeke.

Hal itu menjelaskan kenapa dia hanya menata empat tempat duduk, untuknya dan ketiga temannya. Rupanya kebiasaan Pieck di masa depan tanpa sadar dia bawa ketika mengunjungi masa lalu.

Namun tidak lama, Zeke berhasil menemukan bangku plastik kosong dan segera membawanya untuk bergabung dengan teman-temannya di meja makan bundar, setelahnya Zeke langsung menyantap dimsumnya. Pieck memanfaatkan waktunya untuk lagi-lagi mengamati Zeke. Wow, Zeke betulan ada… dan nyata.

“Ngeliatin mulu! Naksir lo sama Zeke?” celetuk Hange.

Pieck menjadi tengsin sendiri karena kepergok memandangi Zeke, namun cowok yang dipandangi juga hanya ikut nyengir sebagai tanggapan.

Levi yang sudah selesai makan langsung membersihkan sampah-sampahnya dan menuangkan banyak handsanitizer ke atas telapak tangannya lalu mengusapnya berkali-kali, hmm clean freak seperti biasa. Kemudian cowok mungil itu berinisiatif menyuruh teman-temannya untuk cepat menyelesaikan makan siang dan mengajak mereka langsung bertolak ke kelas.

Di tengah perjalanan mereka dari kantin fakultas menuju kelas, Pieck termenung lagi. Kelas ya? Tidak disangka, di usianya yang sudah lebih dari seperempat abad, Pieck harus mengikuti kelas perkuliahannya di tahun ketiga untuk sekali lagi.

Entah jawaban apa yang Pieck cari, tapi sejauh ini hatinya merasa sangat lega karena bisa bertemu Zeke yang nyata kembali—bukan sekadar prank dari teman-temannya.

Sebab di masa depan, dia tidak memiliki kesempatan itu. Mungkin, dia akan terbangun dan menyadari kalau apa yang dia lihat kini hanya sebuah mimpi.

Mungkin juga, jikalau benar adanya time travel yang mengantarnya ke kesempatan ini, Pieck harus menyampaikan apa yang tidak sempat dia sampaikan kepada Zeke di masa lalu. Jika iya, Pieck akan menganggap kesempatan ini sebagai kesempatan keduanya.

Yaudah lah, let the water flows aja dulu. Batin Pieck.