Kemelut

Hatinya masih bergejolak dengan hebat ketika Zeke tidak sengaja membuka galeri ponselnya yang sebagian besar diisi oleh potret-potret Pieck yang sengaja dia ambil diam-diam. Even after weeks, his heart still feels numb and he doesn’t like it. Dia sudah mencoba untuk berhubungan dengan beberapa cewek lain sebab sebelumnya Zeke yakin dia tidak akan sulit move on dari hubungan monogaminya dengan Pieck yang telah dijalani selama lima tahun.

Tapi agenda-agenda brengsek yang biasa dilakukannya—bergonta ganti teman kencan, sebelum bertemu Pieck lima tahun silam tidak membuatnya merasa lebih baik. Zeke justru semakin menginginkan Pieck, ingin mencium bibir wanita itu kemudian melihat wajahnya yang memerah, ingin menenggelamkan wajahnya di helai rambut hitamnya yang begitu lembut, ingin melihat penampakan bahu mungil dibalik kemeja miliknya ketika pagi hari seusai percintaan mereka semalam, ingin mendapat cacian dari wanitanya karena selera humor Zeke yang begitu membosankan. Zeke ingin merasakan Pieck, tempatnya untuk pulang.

Zeke rindu gadisnya hingga rasanya begitu sakit. Kejadian beberapa hari lalu di stasiun menjadi pukulan terbesar buat Zeke apalagi ketika dia merasa telah membiarkan dirinya lalai untuk menjaga Pieck dari segala macam bahaya. Meskipun sebuah komitmen tidak pernah terlintas di kepalanya, melindungi Pieck adalah sebuah kewajiban tersendiri untuk Zeke laksanakan.

Seperti orang bodoh, Zeke tidak tahu lagi harus kemana untuk meredamkan gejolak hatinya. Namun ketika ponselnya berdering dan menampillan notifikasi panggilan masuk dari Bundanya, Zeke jadi teringat, mungkin ini saatnya mendekatkan diri dan mendengar pendapat apa yang akan diberikan bundanya terkait dilemma yang sedang Zeke hadapi.