Konversasi Sore Hari di Panti

Sai sibuk membidik berbagai objek dengan lensa kameranya, kebanyakan dia menangkap momen teman-teman himpunannya yang sedang menghabiskan waktu mereka dengan para lansia penghuni panti werdha di taman yang tersedia.

Contohnya ada Shikamaru yang sedang main catur dan mahjong melawan beberapa kakek secara bergantian, Rock Lee yang memberikan pijatan di punggung, Sakura Hinata dan Tenten yang bergabung di kelompok menyulam yang berisikan beberapa nenek cantik, Neji yang diminta membuat puisi dan membacakannya pada saat itu juga, ada juga yang cuma sekedar ikut antusias mendengarkan cerita para tetua sambil minum teh seperti Naruto dan Choji.

Semua orang kelihatan sibuk dan menikmati aktivitasnya masing-masing, namun Sai mendapati Ino berdiam diri sambil menatap ke arah sekumpulan orang yang ada di taman panti itu. Kalau dilihat-lihat sih, cewek itu sengaja mengasingkan diri. Alasannya entah kenapa, Sai belum tahu. Sai sempat membidik kameranya dengan Ino sebagai objek utama sebelum menghampiri cewek itu.

“Sendirian bae. Awas entar kesurupan. Ngelamunin apa sih?”

Ino menoleh kala mendengar sapaan Sai yang ada-ada saja, “Gue nggak ngelamun. Lagi mikir nih.”

Sai mengangkat kameranya untuk mengambil beberapa potret teman-temannya lagi dari kejauhan, “Mikirin apa?” tanya Sai lagi, entah karena dia memang penasaran atau sekadar basa-basi.

Deru nafas yang Ino keluarkan itu panjang, seakan memberi tanda bahwa apa yang barusan cewek itu pikirkan cukup berat. “Mikirin entar pas gue udah tua, kayanya gue mau tinggal di panti werdha aja deh kaya mereka.”

“Kenapa panti werdha?”

“Karena kalau di sini gue nggak bakal sendirian.”

“Sendirian? Terus keluarga lo kemana? Nanti kan lo bakal punya mereka.”

Ino tersenyum mendengar pertanyaan Sai. Dia berasumsi kalau Sai mungkin berpikir bahwa ketika dia sudah tua nanti, dia akan sudah ada di fase kehidupan untuk membangun keluarga dan tinggal bersama mereka.

Namun Ino punya gagasan lain, “Gue nggak berencana buat punya keluarga sendiri.”

Sai mengernyit heran. “Kenapa tuh?”

Ino nggak mengerti kenapa hari ini Sai jadi banyak bertanya, padahal biasanya dia nggak pernah se-kepo itu. Ino sih nggak berniat untuk menjawab kenapa, sehingga hanya sebuah senyum yang Sai nggak tahu apa artinya dan gendikan bahu dari cewek itu yang dia peroleh sebagai jawaban. Kemudian Sai bilang lagi, “Aneh banget. Gue malah pengen punya keluarga.”

Gagasan yang barusan Sai lontarkan membuat Ino menatap cowok berkulit pucat itu dengan lembut. Ino tahu bahwa Sai telah ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak usianya yang masih belia, membuatnya harus tinggal berdua hanya dengan seorang kakak laki-laki yang bernama Shin. Meskipun air muka nya terlihat tetap tenang, Ino nggak bisa melewatkan adanya gurat kesedihan dan kerinduan yang terpasang di kedua manik legam cowok itu.

Ino memberikan tepukan di punggung Sai, “Makanya Sai, sehat-sehat terus ya? Biar lo bisa berkeluarga di masa depan hehe.”

“Yoi.” jawab Sai singkat sambil mengangguk.

Kemudian suara tawa kecil Ino datang menyusul yang mengakibatkan Sai menaikkan sebelah alisnya karena heran, “Kenapa deh?”

“Hehehe.” Ino tertawa singkat, menyadari kalau dari obrolan mereka barusan, cewek itu semakin paham kalau mereka berdua punya gagasan yang saling bertolak belakang. “Gue jadi mikir deh, gara-gara ini ga sih makanya kita jadi gak cocok?”

“Gara-gara apaan?”

“Lo punya gagasan buat bangun keluarga di masa depan, sedangkan gue nggak. Jadinya ya… gue bukan orang yang cocok buat ngewujudin gagasan lo itu.”

“Nggak mau berkeluarga tapi coba gue hitung—udah berapa kali lo pacaran setelah sama gue?” tanya Sai, di nadanya kentara sekali ada semangat buat menyindirnya. “Gue kira lo lagi punya misi buat cari cowok mana yang paling oke buat lo ajak berkeluarga.”

Ino cuma nyengir ketika mendengar tuduhan Sai kalau dia sudah pacaran sana-sini setelah putus dengan cowok itu. Memang wajar kalau Sai menuduhnya seperti itu, karena nyatanya orang-orang selalu melihat Ino PDKT bahkan mungkin pacaran dengan beberapa cowok setelah putus dengan Sai. Namun yang nggak Sai tahu adalah sebetulnya Ino nggak pernah melanjutkan sesi PDKT nya ke tahap yang lebih serius. “Gue nggak pacaran, Sai. Sometimes I just crave for affection, that’s it.

Sai memandang Ino dengan tatapan yang sulit diartikan, isi kepala cowok itu sedikit mulai ada pencerahan sebab sekarang dia mulai paham kenapa hubungan mereka cuma bertahan tiga bulan di tahun pertama mereka kuliah, “Aduh. Gue pengen ketawa tapi kok ini pembahasan kita kaya berat banget ya??” kata Sai canggung.

“Hahaha! Lemesin aja lah!”

Keheningan menemani mereka selama beberapa menit. Ino masih saja setia melihat-lihat pemandangan di depannya tanpa ada niatan untuk bergabung. Sedangkan Sai sendiri sibuk menatap layar kameranya, memindai beberapa potret yang dia ambil sebelumnya.

“Ino.” ucap Sai masih fokus dengan kameranya, “Santai aja. Lo masih muda, still have a long way to go. Siapa tau nanti ketemu sama orang yang bikin gagasan lo itu jadi berubah. Hidup kagak ada yang tau, ya kan?”

Ino mengangguk pertanda menyetujui, “Bener juga haha.”

Jujur saja Sai berpikir kalau nggak ada yang salah dengan gagasan Ino untuk nggak membangun keluarga baru, hanya karena gagasan mereka berdua berbeda, bukan berarti dia bisa judge pilihan hidup orang. Sebagai mantan pacar dan sekarang teman baik, Sai bakal selalu turut senang dengan pilihan hidup Ino selama itu baik.

Entah dengan Ino yang tetap yakin pada gagasannya yang nggak mau membentuk keluarga baru, atau ketika nanti Ino menemukan orang lain yang tepat (jelas bukan dirinya) dan bisa mengubah gagasan Ino itu sehingga cewek itu mau berkeluarga, Sai akan terus mendukungnya.