My Daughter’s Problem

Ada kalanya seorang ayah merasakan jarak yang terbentuk dengan anak perempuannya ketika ia mulai tumbuh menjadi seorang remaja. Sebab anak perempuan terkadang lebih memilih untuk membagikan banyak hal hanya ke sesama perempuan atau yang sebaya dan terpaksa menciptakan jarak dengan sang ayah.

Biasanya juga seorang ayah akan menjadi figur yang paling dikagumi oleh anak perempuannya, maka ketika sang ayah melakukan sesuatu yang menurutnya tidak sempurna, anak perempuan akan sangat mudah kecewa setelah melihatnya.

Itu apa yang dialami oleh Emina dan Zeke hari ini. Tadi siang ketika Zeke sampai di sekolah Emina dan melihat putrinya sedang nongkrong cantik (namun wajahnya jelas terlihat cemas) di jam istirahat bersama teman-temannya, Zeke tanpa berpikir panjang menghampiri Emina untuk menyerahkan produk esensial bagi perempuan ketika datang bulan.

Emina menerima barang itu dengan baik, sehingga Zeke tidak menyangka kalau setelahnya dia bakal kena konfrontasi anak perempuannya sendiri karena menyerahkan barang itu di depan teman-temannya dan membuatnya malu.

Zeke pikir tidak ada yang salah bila teman-temannya tahu, toh menstruasi merupakan siklus alami yang pasti akan dialami oleh semua perempuan, Emina tak terkecuali. Namun setelah cukup berdebat dengan anaknya lewat pesan di ruangan chat keluarga, Zeke akhirnya menyadari kalau hal kecil itu betulan bisa membuat Emina merasa malu setelah Pieck menengahi perdebatan keduanya.

Mungkin karena Zeke yang kurang mengerti, dan Emina yang hormon menstruasinya sedang bereaksi tidak stabil sehingga emosinya mudah meluap. Bukan satu hal baru yang Zeke lihat sebetulnya, dia cukup berpengalaman sebab perubahan emosi seperti itu kerap dia temui pada Pieck setiap bulan. Namun yang belum dia dapatkan adalah pengalaman dengan anak perempuannya, yang tadi itu baru pertama kali Zeke temui.

“Emina, ayo dong berhenti main handphonenya. Masa Ayah dicuekin gini,” ucap Zeke yang kesekian kali mencoba merebut perhatian putrinya dari layar gawai.

Sungguh, dia tidak berekspektasi akan terjebak di situasi yang cukup membuat sepasang ayah dan anak itu merasa canggung satu sama lain.

“Kan tadi Ayah udah minta maaf, Emina…”

Masih diselimuti rasa kesal, Emina menjawab, “Iya Ayah, tapi maaf nggak akan ngubah situasi. Aku betulan malu banget tadi.”

“Oke, coba cerita sama Ayah kenapa kamu segitu malunya? Selain karena Udo ya.”

Zeke kembali membujuk, dia rasa Udo yang merupakan sahabat karib putrinya sekaligus anak dari teman Zeke sendiri tidak akan mempermasalahkan menstruasi Emina. Jadi kenapa dia harus malu?

Isn’t it gross… Darah menstruasi kan kotor, Ayah nggak jijik?” samar-samar suara Emina terdengar setelah menyeruput minumannya dan pertanyaan itu sukses membuat Zeke terkejut.

“Jijik gimana? It’s just a blood. Menstruasi itu siklus biologis, dari kacamata sains, darah yang keluar itu karena sel telur kamu nggak dibuahi oleh—“

“Stop Ayah! Ih, aku udah sering dengar itu di kelas.”

Zeke menghela napas, dan Emina semakin menundukan kepalanya.

“Kalau sudah sering dengar, jadi di mana letak masalahnya?”

“Kok Ayah bisa dengan santai ngomongin soal menstruasi sih?”

Barulah kali ini lewat pertanyaan Emina, Zeke menjadi lebih memahami kekhawatiran putrinya. Rupanya banyak yang masih menganggap kalau menstruasi adalah hal tabu yang tidak boleh dibahas seorang perempuan dengab lawan jenisnya. Itu menjelaskan kenapa putrinya sempat uring-uringan tadi, apalagi ini pengalaman pertama buatnya.

Zeke tersenyum, “Kenapa harus nggak santai? Ayah juga pernah sekolah dan belajar tentang reproduksi, kali. Apalagi kan Ayah punya istri dan anak perempuan. Lagian itu harusnya sudah jadi common knowledge, ya kan?”

Emina masih ragu bahkan setelah mendengar penjelasan Ayahnya. Sebab di lingkungan pertemanannya justru yang Emina temukan adalah mereka yang menghindari topik menstruasi untuk dibahas sehingga dia merasa aneh ketika harus membicarakan topik ini dengan Ayah nya, “Hngg… Tapi teman-teman aku nggak suka bahas soal itu, terutama waktu ada anak laki-laki.”

“Wah… Kalau teman-teman kamu terutama yang cowok mikir menstruasi itu memalukan, kamu kasih tahu dong mereka. Kamu buat pikiran mereka lebih terbuka, Em. Menstruasi itu bukan sesuatu yang memalukan untuk dibahas. Ibu mereka juga menstruasi, karena itu hal yang natural terjadi, dan sama sekali nggak menjijikan atau memalukan.”

“….”

Emina masih bungkam, namun jelas terlihat sedang memfokuskan pendengarannya ke rentetan kalimat sang Ayah.

“Oke mungkin karena itu pengalaman pertama kamu, wajar sih kalau malu. Kamu pasti syok dan bingung, maaf ya tadi Ayah kurang perhatikan situasi?”

“Hngg… oke Ayah. Nanti aku bilang ke teman-temanku supaya mereka nggak malu untuk bahas ini.”

Ringan sudah kini kedua bahu Zeke yang semula terasa berat akan suatu beban yang membuatnya takut kalau dia belum menemukan jalan keluar untuk berdamai dengan anak perempuannya. Ingatkan Zeke untuk berterimakasih pada metode didikan Pieck, berkat itu Emina mampu berpikir dengan kepala terbuka dan dengan cepat menyerap hal baru untuk dipelajari.

“Kalau sudah selesai, pulang yuk? Nanti bunda kepalang kangen sama kita. Itu red velvetnya dihabiskan dulu, kalau mau bungkus kue lainnya buat ngemil di rumah juga ambil aja.”

Melihat Emina yang lahap menyuap sisa potongan kue ke mulutnya membuat Zeke gemas sendiri, sekelebat perasaan tidak menyangka anak perempuannya akan tumbuh secepat ini hadir begitu saja memenuhi benak dan pikiran.

Rasanya dia masih ingat bagaimana surai pirang anaknya masih sepanjang batas telinga, kini Emina terlihat cantik dengan rambut yang dia biarkan tumbuh panjang dan selalu ditata apik. Kemudian perasaan bangga Zeke rasakan melihat pertumbuhan Emina yang sehat dan pesat hingga tinggi badannya kini hampir menyamai tinggi sang Ibu, yang mana terbilang cukup tinggi untuk anak seusianya.

Semua orang yang melihat dua deskripsi fisik itu sudah tahu jelas Emina mewarisinya dari siapa. Kemudian untuk melengkapi ciri khas sebagai buah cinta Zeke Yeager dan Pieck Finger, dari segi kepribadian, anak itu memiliki perangai yang lebih condong mirip pada sang Ibu.

“Makasih ya Ayah buat nasihatnya, maaf Emina marah-marah tadi…”

“Nggak perlu makasih, memang sudah seharusnya Ayah kasih nasihat. Jadi, jangan sungkan buat cerita sama Ayah ya, Emina?”

“Iya Ayah.”

Setelah selesai merasa campur-aduk selama beberapa detik, Zeke membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya, kemudian memberi usapan sayang di puncak kepala putri satu-satunya lalu bersiap-siap pulang ke rumah sebab sudah ada yang menunggu mereka di sana.