No Saint

Precautions 🔞

Narasi akan berisikan penggambaran hubungan toxic, abusive, guilt tripping, kata-kata kasar dan aktivitas seksual baik secara implisit maupun eksplisit. Jika dirasa nggak sesuai dengan preferensi kamu, jangan dibaca!

I don't come close to an angel You ain't never been no kind of saint But when we both came together Hell to heaven, you were my escape


“Sakit nggak?”

“Udah nggak kerasa.”

“Berarti tadi sakit, maaf. Besok-besok nggak kasar lagi.”

“Hmm.”

Pieck tidak tahu harus mempercayai perkataan pria itu atau sebaliknya, nyatanya dia sudah mendengar kalimat serupa janji kosong itu berkali-kali, namun hal yang sama masih selalu terjadi—Zeke tidak kunjung menepati perkataannya. Selalu ada celah di dalam dirinya yang membuat pria berperilaku kasar terhadapnya.

Saat ini Zeke Yeager terduduk di ujung ranjang menghadap ke jendela apartemen yang menembuskan sinar rembulan, membuat tubuh setengah telanjangnya ikut dimandikan oleh sinar tersebut.

Sedangkan Pieck Finger sendiri mulai mengangkat tubuhnya yang masih terasa ngilu—terutama di bagian bawah dan lehernya, dia mulanya terbaring kemudian menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang.

Pieck mengangkat selimut sampai ke dada sebagai upaya mencari kehangatan. Karena tubuh Zeke yang biasa memberinya kehangatan sedang terpisah oleh beberapa jarak dari gapainya.

Seharusnya di ruangan ber-AC, rokok tidak boleh dinyalakan, namun Zeke tidak mengindahkan peraturan tersebut. Batang rokok yang sudah dihisapnya habis sampai ke puntungnya dia singkirkan dari sela jemari, lalu tangannya beralih untuk meraih bungkus rokok untuk mengambil batang lainnya.

Melihat pergerakan itu, Pieck menginterupsi “Satu batang aja cukup, Zeke.”

Interupsi Pieck membuat niat lelaki itu terpaksa dihentikan. Zeke menghela nafas berat. Dari tempat Pieck berada, dia disuguhkan oleh pemandangan punggung telanjang Zeke yang bidang.

Pieck tidak suka melihat pria itu dari belakang. Entah kenapa, menurut Pieck, punggung Zeke terlihat sangat rapuh dan menunjukkan kesendiriannya. Berbanding terbalik dengan bentuk fisiknya yang begitu kokoh.

Beberapa jam lalu, leher Pieck terasa sangat nyeri akibat cengkraman salah satu tangan Zeke yang melingkari leher dan satunya lagi berada di rahangnya.

Kali ini disebabkan oleh Zeke yang menangkap basah Pieck berinteraksi dengan laki-laki lain, seorang adik tingkat yang berkali-kali menjadi sasaran pelampiasan kecemburuan Zeke pada gadisnya.

Pieck ingat sekali tadi dia sempat menjelaskan kalau interaksinya tidak berarti apa-apa, “Aku asisten praktikum dia, Zeke. Aku cuma jawab pertanyaan tentang praktikum yang Colt tanyain,” namun Zeke enggan mendengar penjelasannya, alih-alih, Pieck dihadiahi oleh cengkeraman tangan Zeke yang semakin menguat di lehernya.

“Zeke… Stop! I can’t breathe…”

Ketika dirasa Pieck hampir sepenuhnya sulit bernafas, cengkeraman tangan Zeke mulai mengendur. Pieck menangkap tubuh Zeke yang lelaki itu jatuhkan ke arah gadis yang ukuran badannya jauh lebih mungil. Di dalam dekapan Pieck, Zeke mulai terisak, “I saw that bitch with another man earlier today.”

Meskipun begitu lirih, gumaman Zeke bisa ditangkap jelas oleh kedua telinga Pieck. Bukan rahasia lagi untuknya kalau Zeke memanggil ibunya dengan sebutan yang menurut Pieck sangat tidak pantas. Namun setelah mengetahui apa yang terjadi pada Zeke dan keluarganya, Pieck tidak bisa dan tidak memiliki hak untuk menyalahkan Zeke.

Setelah mengetahui alasan kenapa Zeke semakin kalut hari ini membuat Pieck otomatis merasa bersalah. Pieck merasa secara tidak langsung dialah penyebab Zeke menjadi sangat berantakan.

Kalau bisa, dia ingin memutar waktu dan menghindari dirinya untuk berbicara dengan lelaki lain—meskipun itu tidak ada artinya sama sekali. Dengan begitu, Zeke tidak akan sekacau malam ini.

“Maaf. You don’t deserve to see that,” sambil mengusap lembut tangannya ke kepala Zeke, Pieck hampir ikut terisak. Sudah berkali-kali Pieck melihat Zeke dengan kondisi serupa, sangat hancur.

Berkali-kali pula Pieck menjadi seseorang yang Zeke gunakan untuk melampiaskan kekesalannya. Kadang membuat Pieck kewalahan sendiri dan berujung menemukan beberapa memar di tubuhnya. Namun, Pieck berkali-kali mensugesti dirinya untuk tetap bertahan dengan kuat.

Sebab, kalau dia yang lemah, siapa yang akan menguatkan Zeke?

Malam itu, mereka berdua berakhir di ranjang kamar apartemen Zeke. Permainan laki-laki itu di atas ranjang agak sedikit lebih kasar sampai membuat Pieck lelah bukan main. Lelahnya menyerang baik batin dan fisik dirinya.

Dia sempat menangis, namun tangisannya berhasil disembunyikan berkat racauan dan desahan nama Zeke yang Pieck keluarkan seiring dengan Zeke yang memasuki dirinya dengan tempo yang cepat, tanpa lelah, tanpa henti.

“Pieck.”

Lamunan gadis itu seketika buyar ketika namanya dipanggil oleh satu-satunya orang yang berada di ruangan tersebut selain dirinya, Pieck menolehkan kepalanya ke arah Zeke yang masih memunggunginya, “Kenapa Zeke?”

“Why didn’t you stop me?” tanya Zeke parau.

“Stopping you from what?” alih-alih mendapatkan jawaban, Zeke dihadiahi sebuah pertanyaan lain dari Pieck.

“Stopping me from hurting you. Kenapa kamu ga berhentiin aku waktu aku nyakitin kamu?”

Pieck sendiri bingung dengan apa yang harus dia jawab untuk pertanyaan Zeke. Sudah banyak opini yang dia dengar kalau hubungannya dengan Zeke adalah hubungan yang jauh dari kata sehat, teman-temannya terus mendesak Pieck agar berhenti. Namun gadis itu memilih untuk menjadi tuli.

Otak dan hatinya tidak bekerja secara sinkron ketika dia dihadapkan dengan kasus yang sama, ketika Zeke mulai tanpa sadar melukainya. Pieck merasa dia hanya melakukan apa yang nalurinya perintahkan. Meskipun seharusnya tidak ada yang bisa dibenarkan dari pola hubungan mereka.

Untuk saat ini, dia jelas tidak bisa meninggalkan Zeke. Hidup tanpa ada Zeke di sekitarnya juga bukan gagasan yang akan Pieck terima begitu saja.

Dia beranjak dari duduknya dan mulai mempersempit jarak dengan Zeke, memeluk punggung telanjang lebar laki-laki bersurai pirang itu dari belakang, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Zeke.

Indera penciumannya menangkap aroma tembakau yang tercampur dengan aroma citrus khas tubuh Zeke saat ini. Setelah berhasil menemukan jawaban, Pieck mencoba untuk menyampaikannya kepada Zeke dengan lembut;

“Nggak apa-apa Zeke, selama kamu nggak nyakitin diri kamu sendiri… Aku nggak apa-apa.”

ă…ˇ fin