Parkiran FISIP — Seusai Kelas
Setelah Pak Asuma mengakhiri perkuliahan dan meninggalkan ruang kelas, Shikamaru langsung menghampiri Ino yang masih beres-beres di kursinya.
“Jadi pulang sama gue kan?” tanya Shikamaru memastikan.
Ino mendongak dan menghentikan aktivitasnya sebentar, kemudian kembali melanjutkan, “Jadi kok jadi.”
“Tapi gue ngurus motor si orang ini dulu bentar, gapapa?”
“Gapapa.” Ino beranjak dari duduknya, kemudian memposisikan diri di belakang Shikamaru dan menaruh kedua telapak tangannya di masing-masing bahu cowok itu, mendorongnya dari belakang. “Yuk!”
Setelah obrolan mereka di whatsapp beberapa hari lalu, keduanya memang kembali seperti semula. Rasa canggung dan bingung yang keduanya alami hilang seketika. Bagaimana pun, Ino dan Shikamaru sudah berteman sejak masih kecil—hal itu membuat keduanya tanpa sadar nggak bisa berjauhan untuk waktu yang lama.
Meskipun Shikamaru belum bisa mendefinisikan hubungan mereka itu sebenarnya apa—tapi dia tahu pasti kalau keduanya saling menyayangi lebih dari sekadar teman. Hal itu dibuktikan dengan bagaimana cara Ino membalas setiap ciumannya yang dalam.
Mereka sampai di area parkir, Shikamaru menemukan motornya yang tergeletak mengenaskan menindihi motor lain—motor milik cewek yang ngomel-ngomel di DM twitter nya tadi.
“Astagaaa Shikamaru. Ini gimana ceritanya bisa sampe roboh gini sih?? Lo parkir sambil tidur apa gimana?!” tanya Ino sambil geleng-geleng kepala.
“Asli, tadi mah kagak kaya gini bentukannya.”
Berani sumpah, waktu Shikamaru memarkirkan motornya, bukan seperti ini kondisinya. Kemungkinan ada oknum tidak bertanggung jawab yang membuat motornya roboh sampai membuat motor lain jadi korbannya, sehingga Shikamaru harus dikorbankan jadi kambing hitamnya.
Tanpa mereka sadari, tiba-tiba ada satu geplakan yang melayang ke kepala Shikamaru.
Plak!
“Anjrit!” umpat cowok itu.
Saking kagetnya, Ino sampai dibuat menganga. Dia membalikkan badannya dan sudah siap untuk mengomel ketika menemukan seorang perempuan dengan surai kemerahan yang barusan menggeplak kepala Shikamaru. “EH, MBAK! APA-APAAN KOK MAIN GEPLAK KEPALA DIA???!!” tanya Ino nggak terima.
Shikamaru meringis, kalau Ino sudah ngegas, perkara ini nggak bakal bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Belum lagi waktu dia melihat cewek si pemilik motor itu yang gaya berpakaian nya kelihatan super metal.
Cewek bersurai merah itu menarik nafas panjang, kemudian bilang dalam sekali hentakan, “EH ASAL LO TAU YA! COWOK LO INI YANG BIKIN MOTOR GUE RINGSEK!!”
“DIA BUKAN COWOK GUE!” Ino membalasnya dengan nggak kalah ngegas.
Aduh. Rasa sakit akibat digeplaknya itu belum hilang, eh dia harus dengar Ino bilang seperti itu. Makin ngenes saja Shikamaru ini.
“OHHH BUKAN COWOK LO??” cewek itu menatap ke Shikamaru dan Ino secara bergantian.
“BUKAN!”
“Oh, bukan?? Padahal cakep.”
“?????”
Tiba-tiba, cewek bersurai merah itu merubah suaranya menjadi lembut dan manis. Berubah 180 derajat dari awal ketika cewek itu datang. Shikamaru jadi merinding, apalagi ketika melihat gelagat cewek itu yang mulai mendekatinya dengan sepasang puppy eyes-nya sambil menyampirkan rambutnya ke belakang telinga dan menyeringai.
“Nama lo Shikamaru kan?!”
“Iya.”
“Inget baik-baik, nama gue Tayuya. Dan gue minta pertanggung jawaban atas apa yang udah lo perbuat ke gue!”
Shikamaru bingung. Ino apalagi. Pasalnya apa yang cewek bernama Tayuya bilang itu sangat dramatis, seolah-olah Shikamaru berbuat yang tidak-tidak ke cewek itu. Untung saja area parkiran saat itu sedang sepi, jadi mereka bertiga nggak mengundang banyak atensi.
Shikamaru menghembuskan nafasnya dengan kasar. Dia nggak punya tenaga buat menjelaskan kalau sebetulnya apa yang menimpa motornya dan Tayuya bukan salahnya. Shikamaru nggak ingin berdebat, karena itu sangat merepotkan. Jadi lah dia cuma bisa menyetujui soal pertanggungjawaban yang Tayuya minta atas kondisi motornya yang mengenaskan.
Yang ada di pikiran kepalanya saat ini adalah pulang, dan memohon pada Ino supaya dia dibolehkan tidur di kasur cewek itu sebab Shikamaru nggak yakin dia bakal bisa tidur kalau bukan di kasur Ino.