Quadriplegia
Levi Ackerman is diagnosed with Quadriplegia after being a survivor of a helicopter crash ten years ago with Zeke Jaeger.
Flashback to 10 years ago
“Pieck is flying to Russia within two hours,”
“No shit, I have to talk to her.”
“Gue ikut, Zeke.”
Sore itu di Boston, Amerika Serikat. Zeke dan Levi sedang menempuh pendidikan masternya di Massachusetts Institute of Technology. Levi yang mengetahui bahwa hubungan diantara Zeke dan Pieck lebih dari sebatas kerabat dekat, meskipun dia tahu bahwa keduanya tidak akan bisa bersama, memilih untuk menyertai Zeke mengejar adiknya.
Zeke dan Levi mengejar keberangkatan Pieck ke bandar udara internasional John F. Kennedy menunggangi helikopter yang Zeke kemudikan sendiri, dengan harapan semuanya belum terambat dan dia masih dapat bertemu Pieck. Levi ada di kursi penumpang di samping kiri Zeke.
Namun naas, helikopter yang mereka tunggangi tidak pernah sampai ke tujuan dengan selamat. Helikopter itu jatuh dari ketinggian ratusan kaki, kemudian menelan habis kesadaran Levi dan Zeke begitu mereka mendarat dengan kehancuran dimana-mana.
end of flashback
Ketakutan terbesar Levi adalah kehilangan kemampuan untuk menjalani hidupnya secara normal setelah kecelakaan yang terjadi, dengan begitu, Levi tidak akan mampu untuk melindungi orang-orang terkasihnya. Dirinya merasa tidak berguna dan terus menyalahkan diri sendiri atas ketidaksempurnaannya. Namun berkat bantuan dari dr. Hange Zoe, Levi berhasil melewati masa-masa sulitnya dengan menjalani terapi eksklusif untuk memulihkan kembali kondisinya.
Setelah beberapa tahun kemudian, rasa sakit itu kembali menghampiri tulang belakangnya. Malam itu, untuk kedua kalinya dalam satu hari lututnya mati rasa, bagian bawah tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakan, Levi tidak bisa merasakan kakinya yang berpijak dan mematung dalam posisi berdirinya sebelum akhirnya terjatuh dan cangkir teh yang ada digenggamannya ikut terlepas hingga pecah.
“LEVI!”
Petra yang melihat suaminya ambruk berlari dengan panik untuk menghampirinya.
“Petra, jangan lari! Stop di sana, jangan panik!” teriak Levi berusaha mencegah istrinya untuk mendekat, kondisi di sekitarnya berantakan. Pecahan kaca berserakan dan dirinya tidak mau memberi risiko kepada istrinya.
“It’s okay, kaki aku cuma kram dan tadi kesandung.” ucap Levi dengan dusta.
Kedua mata Petra masih terus bergetar, sebab Petra tahu apa yang telah dialami suaminya sepuluh tahun lalu di hari pertama mereka bertemu. Waktu itu, Levi belum sepenuhnya pulih dari keterpurukannya, kehadiran Petra dalam hidup Levi bisa dikatakan memberikan secercah harap untuk bangkit kembali. Tidak hanya Petra, kedua adik perempuannya, Pieck dan Mikasa, tidak ada hentinya untuk ikut menopang beban yang Levi pikul. Semenjak itu, Levi berpikir menjadi pulih kembali adalah the least thing he could do for the three of them.
“Kamu panggil maid aja dan suruh mereka beresin ini,” perintah Levi.
“Kamu bisa berdiri?”
“Bisa,” bohong, Levi bahkan tidak tahu apakah dia bisa menggerakan kakinya, apalagi untuk berdiri.
“Petra, I am sorry. This is who I am, the man who is unable to accept the fate of being unable to be the active and adventurous man he once was, the man who once wanted to to end his life.”