Selamat Tahun Baru
Ho-oh, kasihku Kau bilang kau akan kembali padaku Masih terasa Kau lembut, anggun, dan mempesonaku Tapi kini kau telah berlalu Meninggalkan kisah yang biru
Selama (hampir) tiga tahun penuh, Jean punya rutinitas mendengarkan lagu lawas dengan judul Sepercik Harap yang dilantunkan oleh Fatur. Melodinya memang nggak seberapa sedih, tapi liriknya sukses memberikan bekas tersendiri di hatinya. Apalagi ketika dulu dia masih naif dan percaya kalau sepercik harapannya akan terwujud menjadi sebuah manifestasi nyata.
Biasanya Jean mendengarkan lagu itu seorang diri, namun kini ketika dia menyalakan stereo mobilnya di tengah-tengah perjalanan mengantar Pieck ke Stasiun Gambir untuk kembali ke Surabaya, Sepercik Harap-nya Fatur terputar dengan volume sedang menyelimuti keheningan diantara keduanya.
Sensasinya menjadi sedikit berbeda ketika lagu itu didengarkan berdua, apalagi bersama Sang Kekasih (sekarang mungkin mantan) yang dulu meninggalkan Jean bagai kisah yang biru.
Pieck yang diam-diam memfokuskan dirinya pada bait-bait dan untaian liriknya dibuat tertegun, sontak gugup dan memilih untuk menggigit bibir bawahnya agar Jean nggak menyadarinya.
Kalau bertemunya kembali dengan Pieck terjadi tiga tahun lalu, Jean akan senang bukan main. Namun terlambat sudah, Jean sempat berbesar hati kalau lebih baik mereka nggak usah bertemu sama sekali. Apalah daya, justru dia mendapatkan sesuatu yang sudah nggak lagi dia minta. Makanya Jean sempat bingung bukan main harus seperti apa dalam merespon.
Sepercik Harap selesai diputar dari stereo mobil Jean ketika mereka sudah sampai tepat di area parkir. Pieck membuat dirinya fokus kembali dan siap untuk keluar dari mobil Jean kemudian menghilang dari hadapan cowok itu.
Ketika Jean mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, dia menyadari masih tersisa 50 menit sebelum jam keberangkatan kereta Pieck untuk pulang ke Surabaya.
“Pieck.”
“Ya?”
Jean menarik napas panjang dan dia keluarkan perlahan. Saat itu juga, dia merasa sudah cukup dengan ‘hukuman’ nya untuk Pieck. Banyak dari kata-kata yang keluar dari mulutnya sukses membuat hati perempuan di sampingnya ini sakit, Jean tahu betul soal itu. Dia memang paling jago kalau sudah dalam hal menyakiti hati seseorang lewat ucapannya.
“Aku belum sempat tanya ini, gimana kabar Ayah kamu? Udah sehat?” tanya Jean.
Pieck sontak kaget, tidak pernah mengira Jean akan mengetahui informasi tentang Ayah nya yang sempat sakit, “Kamu tahu dari mana?”
“Bang Rivai.”
Sebelum mengetahui ada beban lain yang menjadi alasan kepergian Pieck tiga tahun lalu-pun, Jean sudah berniat kalau dia akan memberi maaf dengan tulus kepada gadis itu. Sebab dia sempat teringat pesan dari Sang Ibu—kalau nggak akan bijak bagi Jean untuk membalas perilaku buruk seseorang dengan sesuatu yang sama buruknya. Meskipun dia pernah disakiti, menyimpan dendam bukanlah suatu solusi.
Bukan berarti Jean betulan menyimpan dendam, dia hanya… entahlah, sedikit banyak terlalu kesal dan masih keras hati. Namun, Jean rasa kalimat yang ditujukannya untuk Pieck di malam tahun baru tempo hari lebih cocok kalau dia juga mengimplementasikannya;
‘Ada baiknya kamu belajar menerima dan berdamai dengan diri sendiri.’
“Ayah sudah baik, thanks for asking,” jawaban Pieck membuat Jean lega bukan main, artinya perempuan ini nggak perlu lagi menyimpan banyak kekhawatiran.
“Aku nggak tahu kenapa dulu kamu memilih buat nyimpan cerita ini sendirian, Pieck. Kamu bikin aku salah paham, aku kira dulu kamu betulan udah gamau ketemu aku. Tapi ternyata itu cuma karena kamu nggak mampu,”
“Maaf, Jenggala.”
“Maaf juga, pasti berat ya buat kamu?”
Ketika Jean berusaha untuk membuat gadis itu melihat ke arahnya, air mata Pieck turun, mungkin dia teringat atas rasa ketukan akan kehilangan satu-satunya orang tua yang tersisa di usia belia.
“Berat. Aku sempat nggak tahu harus gimana. Yang ada dipikiranku waktu itu cuma Ayah, dan aku harus berhenti mikir yang lain-lain, termasuk kamu. Maaf,” Pieck menjelaskan dengan sendu, lalu Jean mengangguk dan meraih tubuh gadis mungil itu ke dalam pelukannya seraya memberikan usapan lembut di kepala.
Jean selalu mengetahui kalau Pieck adalah seorang anak yang berbakti. Nggak heran kalau Pieck akan mempertaruhkan apapun demi kembalinya Sang Ayah dengan keadaan yang sehat. Dan Jean salut akan determinasinya.
Pieck melepaskan diri dari rengkuhan Jean, mengusap matanya dan mengucap terimakasih. Sedangkan Jean mengulurkan tangannya untuk membenahkan anak rambut si gadis yang sedikit acak, kemudian berkata, “Pieck, maaf ya. Harusnya kamu di sini buat seneng-seneng, tapi aku malah perlakuin kamu dengan nggak baik.”
“No, Jenggala. I think I deserve it.”
Jean berdecak dan tertawa singkat, “Udah ah, yang dulu gausah dipikirin lagi. I was being a bitch when you’re here too, maaf.”
“Jadi kita udah damai nih? No hard feelings?”
Mengangguk, Jean lantas menjawab sambil memberi senyum, “Yes, no hard feelings.”
“Thank you, Jenggala.”
“Sama-sama Pieck. Good to see you again, anyway.”
Kali ini Jean menawarkan diri untuk ikut masuk ke dalam stasiun sekaligus membantu Pieck membawa barang-barang yang akan ikut bersamanya pulang ke Surabaya.
“Anyway, kamu mempercepat kepulangan kamu gara-gara aku ya? Aku bikin awakmu ndak betah ndek rumah Bapak ya?”
Tanya Jean membuat Pieck meringis, karena Jean betulan ‘agak’ membuatnya nggak kerasan berada di rumah Bapak, “Hehe, sebenernya tenan ngerasa agak rikuh pas tau respon kamu begitu. Tapi bukan itu alasan sepenuhnya kok, mendiang Mami sebentar lagi ulang tahun. Ayah butuh aku di masa-masa kaya gini.”
“Oalah… Gitu tah. Yowes sepurane aku sudah mbikin awakmu feeling not comfortable ndek rumahe Bapak.”
Pieck hanya bisa memaklumi, lalu menggelengkan kepalanya, memberi tahu Jean kalau itu bukan masalah.
Kini sudah waktunya Pieck berada di peron dan menunggu kedatangan kereta yang nggak lama lagi akan tiba.
Keduanya akan dihadapkan dengan perpisahan (lagi).
Harapannya sebelum benar-benar terpisah, Jean harus memastikan kalau Pieck tahu tentangnya yang masih menyimpan perasaan yang sama untuk perempuan itu.
“Pieck!”
“Ya?”
Jean menahan tangan Pieck sejenak, “Boleh minta tolong?”
“Tolong apa, Jenggala?”
“Boleh pas udah sampai rumah, kamu kabarin aku?”
Pieck merasa dirinya seperti sedang tersengat, dia teringat sebuah permintaan yang sama dari Jean tiga tahun lalu. Permintaan yang nggak bisa Pieck kabulkan.
Di sisi lain, Jean sedang harap-harap cemas setelah mengulang adegan serupa, dengan harapan yang serupa pula. Namun kali ini Jean nggak akan berharap banyak, maka dari itu dia cepat-cepat berkata;
“Eh, kalau gamau juga ndak apa-apa.”
Anggukkan kepala Pieck yang Jean tangkap membuat kedua bahunya merosot, sebab dia nggak bisa menangkap apa arti dari sebuah anggukan yang diberikan Pieck kepadanya. Intinya, sekarang Jean nggak akan berharap banyak akan dihubungi oleh Pieck setelah perempuan itu sampai di rumah.
“Makasih ya Jenggala udah nganter aku sampe sini, hati-hati ndek jalan pulangnya,” ucap Pieck sambil melambaikan tangan.
“Pieck!” sela Jean, lagi-lagi mengunci salah satu pergelangan tangan Pieck di telapak tangan.
“Hmm?”
Menggaruk tengkuknya yang nggak gatal sebagai tanda kalau Jean sedikit gugup.
“Selamat Tahun Baru, Pieck. Kita sudah berhasil menerima dan berdamai dengan diri sendiri, semoga juga bisa melupakan masa lalu dan mengukir momen-momen baru di halaman kosong yang baru juga.”
Kalimat Jean berhasil membuat Pieck mengukir senyum, hatinya pun terasa jauh lebih enteng dari sebelumnya. Rasanya kali ini Pieck bisa pulang dengan damai.
“Selamat Tahun Baru, Jean.”