Selamat Tahun Lama
Gemerlap cahaya pancaran letupan kembang api memenuhi bentangan langit malam, teriakan dan kelakar para manusia di pekarangan taman belakang rumah Bapak menggelegar sebagai tanda selebrasi pergantian tahun.
Tetapi Jean punya sesuatu lain dari yang orang lain sampaikan pada umumnya;
“Selamat Tahun Lama.”
Awalnya Pieck nggak menangkap sinyal apa yang coba Jean sampaikan. Yang tadi itu terdengar seperti kalimat aneh untuk diucapkan di tengah euphoria perayaan tahun baru. Niatnya, Pieck cuma akan menganggap kalau kalimat yang tadi Jean lontarkan hanya sebuah guyonan belaka. Tetapi ketika dia melihat mata Jean yang tampak nanar menatapnya, niat yang semula Pieck keluarkan untuk lebih mempermudah situasi terhempas begitu saja.
“Kita—nggak seharusnya kamu melangkah ke tahun baru kalau belum bisa menyelesaikan masa lalu.”
Tentu saja kalau berbicara tentang masa lalu itu nggak akan mudah. Pieck masih belum paham kenapa Jean barusan bilang begitu. Mungkin karena dia pernah meninggalkan luka yang berbekas untuk lelaki itu. Luka memang perih, tapi Pieck yakin Jean terlampau kuat untuk sakadar merasakan perih dari luka yang dia torehkan, karena lukanya akan lekas pudar.
Ditambah, Pieck kira saat ini Jean terlihat seperti seseorang yang ketika melihat lukanya sudah memudar dan hanya tertinggal bekasnya, dia bisa merasa bangga karena berhasil melewati masa-masa perihnya.
Namun sepertinya Pieck salah.
Jean nggak sekuat itu untuk melupakan luka yang dulu dia torehkan.
“Maaf Jenggala, aku nggak bisa.”
Sore itu hujan, dan sehari sebelum jadwal terakhir ujian nasional dilaksanakan keesokan harinya. Pieck dan Jean duduk di bangku panjang yang terpisahkan sebuah meja di salah satu ruang tunggu bimbel. Membuat mereka saling berhadapan dan terpaksa mendengar suara derasnya air hujan yang masuk sampai ke dalam ruangan.
“Aku nggak bisa sama Jenggala lagi di sini.”
“Pieck mau kemana?”
“Aku mau ikut Ayah ke luar kota, kuliah di sana.”
Kedua mata Pieck berlari kesana kemari sebagai bentuk perlindungan diri, enggan jatuh di mata Jean yang sedang intens menatapnya.
“Oh, nggak apa-apa. Toh kita tetap bisa komunikasi lewat handphone. Iya kan, Pieck?”
Berat rasanya untuk mengiyakan pertanyaan Jenggala yang satu itu, karena Pieck sudah merasa—atau lebih tepatnya nggak mau mencoba untuk bisa. Tapi Pieck juga nggak semudah itu bisa mematahkan hati seorang anak laki-laki yang di kedua matanya muncul sepercik harap.
Satu-satunya hal yang bisa Pieck lakukan di momen itu adalah menjadi pengecut. Karena dia lebih baik nggak melihat kekecewaan Jenggala di depan mata sebab dia nggak bisa mengiyakan permintaannya dari pada harus melihatnya langsung. Maka dari itu, Pieck mengangguk—dengan sebuah anggukkan kepala yang berisi dusta.
Karena sejak awal Pieck meninggalkan Jenggala di ruangan bimbel, dia nggak pernah sama sekali berniat untuk menyambung komunikasi dengan Jean pada saat itu juga—dari jarak dekat maupun jauh. Entah seberapa keras usaha Jenggala yang mencoba untuk menggapainya dari ribuan jarak, nggak ada satupun usahanya yang Pieck balas dengan sesuatu yang mampu memberi ketenangan hati.
Akhirnya, Jenggala dibuat bertanya-tanya selama tiga tahun. Nggak tahu harus mencari jawaban kemana atau ke siapa, sebab satu-satunya perempuan yang jawabannya ingin dia dapatkan memilih untuk bungkam.
Pendewasaan memang lucu, awalnya ingin membuang masa lalu yang nggak lagi memberi percikan kebahagiaan, namun sialnya gagal. Pieck harus sekali lagi terjerat masa lalu yang melibatkan mereka berdua. Karena menurut Jean, masa lalu mereka belum selesai.
“Tapi aku kan sudah minta maaf, Jenggala. Bahkan langsung setelah gue ketemu kamu lagi in three years.”
“Kamu minta maaf bukan untuk aku, Pieck. Tapi untuk diri kamu sendiri, supaya kamu terbebas dari rasa bersalah.”
Pieck terdiam, nggak bisa berdalih kalau perkataan Jean barusan itu salah.
“Kamu lagi-lagi mencoba buat lari suapaya kamu tetap berada di posisi yang aman. Pengecut.”
“Jenggala—“
“Pieck, aku bukan malaikat. Aku marah bukan main ketika kamu muncul di depanku dan minta maaf setelah apa yang kamu lakukan ke aku selama tiga tahun. Makanya, aku nggak secara gamblang bilang kalau aku sudah maafin kamu, karena sejujurnya—aku memang belum bisa maafin kamu.”
Kalimatnya membuat Pieck tersentak karena dihantam fakta yang mati-matian ingin dia tolak kebenarannya.
“Pieck, kalau aku maafin kamu, maka semuanya selesai. Rasa bersalah kamu pun akan selesai, kemudian kamu akan bebas lagi.”
Jean memberi jeda sejenak di antara kalimatnya.
“Tapi Pieck, aku nggak mau hidup bagai pengecut seperti kamu. In the end, aku harus memberi maaf ke seseorang yang memintanya, bukan? Kalau aku nggak maafin kamu, itu akan menjadi masalah buatku. Bukan masalah kamu lagi, karena pada akhirnya aku akan merasa bersalah setelah kamu berhasil menumpahkan rasa bersalah itu ke aku.”
Ketika merasa dipersilahkan untuk menyela, Pieck mencoba meluruskan; “Nggak, kamu salah Jenggala. Aku beneran minta maaf karena peduli sama kamu.”
“Kalau gitu dari awal seharusnya kamu nggak perlu minta maaf.”
“….”
“Kalau kamu peduli sama aku, Pieck… Aku mau kamu hidup dengan rasa bersalah itu, jangan lari. Bisa?”
Sekuat tenaga Pieck berusaha membendung air mata ketika mendengar semua kalimat Jean yang begitu penuh penghakiman. Lalu Pieck menyadari sesuatu, yang semula dianggapnya kalau dia hanya menorehkan luka kecil buat Jean, ternyata lelaki itu punya interpretasi lain. Luka yang Pieck torehkan buat Jean ini menurut lelaki itu sangat besar.
“Jenggala… Sudah tiga tahun, nggak bisa ya kamu lupakan itu semua aja? Lihat siapa yang nggak bisa melupakan masa lalu di sini—kamu, Jenggala… bukan aku.”
Dia mengusap wajah dengan salah satu telapak tangannya kasar.
“Gampang banget ya kamu ngomong gitu, Pieck?”
“….”
“Kalau kamu beneran cinta sama seseorang, nggak akan mudah kamu bicara gitu. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya dulu kamu beneran cinta sama aku nggak sih?”
“Wah, kenapa kamu ngomongnya jadi muter kemana-mana sih? Seharusnya aku nggak minta maaf aja sekalian!”
Lalu Jean menghela nafas, “Pieck… Just admit that you’re selfish and live with it. Kamu nggak seharusnya denial sama fakta itu, karena semua orang pun punya sisi egoisnya masing-masing.”
Mendengarnya membuat Pieck merasa semakin kecil. Ukuran tubuh Jean yang besarnya hampir dua kali lipat besar tubuh Pieck sama sekali nggak membantu. Pieck merasa sesak dan terhimpit padahal sedang berada di pelataran taman yang cukup luas.
Air mata Pieck tumpah, pada akhirnya. Merasa lemah karena nggak punya kekuatan untuk membela diri sendiri. Merasa marah karena orang lain melihatnya sebagai pengecut.
Mungkin ini balasan buat Pieck karena telah menjadi seseorang yang jahat untuk Jean. Maka orang yang paling tepat menghukumnya adalah Jean sendiri.
“Selamat tahun lama, Pieck. Sebelum melangkah ke tahun baru, ada baiknya kamu belajar menerima dan berdamai dengan diri sendiri.”