Shikamaru berusaha menahan diri untuk tidak menggerutu. Menunggu Ino yang terlambat menjemputnya saja sudah sangat merepotkan, maka ketika Shikamaru tahu perempuan itu berada di titik penjemputan yang salah, Shikamaru rasanya ingin collapse saja.
Namun karena Ino yang ada di sana, Shikamaru urungkan niatnya. Karena tentu saja, Ino adalah salah satu orang yang paling lelaki itu ingin temui sekarang juga. Untuk Ino, Shikamaru rela membelah kerumunan manusia yang cukup padat di bandar udara Konoha siang itu untuk menuju ke exit gate B, di mana Ino sedang menunggunya.
Kedua matanya langsung menangkap sosok berambut pirang yang surai panjangnya diikat tinggi-tinggi dan berdiri beberapa belas langkah dari tempat Shikamaru berada. Sedangkan perempuan itu sendiri masih menunduk sambil memfokuskan pandangannya ke layar ponsel yang ada di genggaman tangan.
Bukan cuma Konoha yang tidak berubah, tapi Ino juga. Di tengah kerumunan manusia, Ino selalu bisa menjadi yang paling bersinar di antara mereka.
Shikamaru mengulas senyum kemudian menghentikan langkahnya sejenak dan berseru, “Ino!”
Lantas perempuan itu mengangkat kepalanya, memberikan Shikamaru sebuah senyum dengan sepasang matanya cerulean yang bersinar terang. Ino tidak segan berlari ke arah Shikamaru kencang-kencang. Paham apa yang akan dilakukan perempuan itu selanjutnya, Shikamaru bersiap untuk menangkap Ino itu yang lari ke pelukannya.
“Shikamaru!” Ino memekik senang ketika Shikamaru berhasil menangkapnya, kemudian mendekap lelaki itu erat.
Sambil terkekeh, Shikamaru mengangkat tubuh Ino dan berputar ketika perempuan itu masih ada di dalam dekapannya. Aroma lavender dari tubuh Ino semakin menyeruak hidung Shikamaru, aroma yang paling dia rindukan selama setahun kebelakang.
“Welcome home, Shikamaru!” Ino menghadiahi kecupan di pipi Shikamaru, membuat wajah pria itu memanas.
Kecupan itu juga yang membuat Shikamaru sudah lupa kalau sebelumnya dirinya sempat menaruh sedikit kesal kepada Ino karena kebodohan perempuan itu.
“Ck, thanks Ino.” Shikamaru berdecak melihat gelagat yang sama seperti setahun yang lalu, tampaknya setahun bukanlah waktu yang lama untuk memberikan perubahan-perubahan pada seseorang. “Thanks juga udah buat gue nunggu sambil bengong kelamaan karena lo salah jemput gue.”
“HAHAHA maaf, sumpah! Gue nggak fokus kayanya waktu baca chat lo.”
“Clumsy as always ya ceritanya?”
“Huft! Nah sebagai permintaan maaf gue, ayo kita nge-sushi. My treat!”
Tanpa disuruh dua kali, Shikamaru mengiyakan dan membiarkan Ino membawanya ke their go to sushi house. Keduanya duduk berhadapan yang dipisahkan oleh sebuah meja, di sana Ino mulai menceritakan banyak hal yang telah Shikamaru lewatkan selama satu tahun.
Shikamaru mendengarkan cerita Ino dengan seksama. Di antara keduanya, peran Shikamaru sedari dulu adalah menjadi pendengar dan ia sama sekali tidak keberatan. Semerepotkan apapun mendengar Ino bercerita dengan mata yang berbinar-binar itu, Shikamaru rela menjadi pendengar yang baik meski tetap sambil menggerutu.
Di setiap cerita yang Shikamaru dengar siang itu, rahang nya dibuat pegal karena terlalu banyak tersenyum. Namun bukan cerita-cerita itu yang membuatnya tersenyum, melainkan si pendongeng.
“Terus tuh, semenjak lo ngerantau kan Chouji punya pacar, jadinya temen main gue cuma Mamah Yoshino, Mama Akimichi, sama Mami gue tau! Lo parah banget ninggalin gue sendirian ke grup ibu-ibu komplek.” Ino menyemburnya dengan rentetan kalimat protes yang terlihat menggemaskan di mata Shikamaru.
“Yang tahun lalu nolak kesempatan buat dimutasi juga ke Suna terus malah resign dari perusahaan siapa coba? Kalo lo ga nolak, kita berdua bakal tetep barengan di Suna.”
Kemudian Ino nyengir mengingat keputusannya tahun lalu dimana Tsunade memerintahkan Shikamaru dan Ino untuk dimutasi ke kantor cabang yang berada di Sunagakure. Ino merasa hatinya terlalu berat untuk meninggalkan tempat kelahirannya, apalagi ketika perempuan itu telah punya keputusan lain yaitu resign tidak lama setelahnya untuk menekuni bisnis flower shopnya, sehingga mau tidak mau Shikamaru berangkat ke Sunagakure sendirian.
Begitu berbagai jenis sushi yang mereka pesan telah dihidangkan, Ino bertepuk tangan antusias. Sedangkan Shikamaru geleng-geleng kepala saja melihat tingkah perempuan itu, melihat betapa gesture itu tak pernah lupa Ino lakukan waktu makanan enak ada di depan matanya.
Meskipun ditemani percakapan yang minim ketika keduanya menyantap sushi mereka, suasana sama sekali tidak canggung. Saling mengenal dengan baik sejak masih kecil menjadi keuntungan bagi Shikamaru dan Ino meskipun keduanya berada tengah sunyi, tidak ada yang perlu berusaha keras untuk mengusir kecanggungan.
“Habis ini mau langsung gue anter pulang? Atau mau kemana dulu?” tanya Ino usai meneguk gelas ocha terakhirnya.
Pulang ke rumah artinya berpisah dengan Ino untuk hari ini. Dan Shikamaru merasa waktu yang dia habiskan hari ini dengan perempuan itu belum lah cukup. “Kemana dulu, yuk? Gue masih pengen muter-muter Konoha.”
“Mamah nggak nyariin emang?”
Shikamaru menggeleng, “Gue udah bilang kalau mau jalan sama lo dulu kok.”
Satu cengiran terbentuk di wajah Ino, “Yeay! Okay! Gue bakal culik lo seharian.”
Dengan menggandeng tangan Shikamaru, Ino membawanya keluar dari sushi house dan sepakat untuk melanjutkan perjalanan mereka ke destinasi lainnya dengan langkah-langkah mereka sendiri.