Sore menjelang petang memang waktu yang paling pas untuk bersantai. Ditemani alunan lagu-lagu romantis yang dinyanyikan oleh street artist dan semilir angin yang berhembus membuat Shikamaru berfikir agaknya tidak buruk juga kalau semisal dia betulan menyampaikan sesuatu yang sudah dia ingin beri tahu Ino sejak dulu.
Dia sudah membulatkan tekadnya dan mengumpulkan nyali yang sebesar-besarnya untuk menyatakan perasaannya kepada Ino. Sudah cukup dengan banyak kesempatan yang dia buang sia-sia. Kali ini, Shikamaru enggan melangkah mundur.
“Ino—“
“Shika—“
“Eh?”
Pandangan yang semula difokuskan ke arah depan kini bertemu satu sama lain, kemudian terdengar gelak tawa keduanya di tengah kerumunan manusia yang bising, sebab tidak menyangka nama mereka akan saling disebutkan secara bersamaan.
Tepat saat Shikamaru selangkah lagi akan menyatakan perasaannya untuk Ino, perempuan itu berhasil membuat kalimat pernyataan cinta jadi tertunda untuk dikeluarkan.
Shikamaru memilih memberi Ino kesempatan terlebih dahulu untuk berbicara. “Ladies first. Kenapa, Ino?”
“It’s just… Hehe, gue mau cerita.”
Shikamaru dapat merasakan gelagat Ino di sampingnya yang menunjukan gestur-gestur keraguan disertai semburat merah di kedua pipinya. Kalau bukan karena sifat sahabat perempuannya yang biasanya blak-blakan dan tidak tahu malu, Shikamaru tidak akan merasakan debuman kencang di hatinya karena melihat Ino berperilaku kebalikannya.
Ingatkan Shikamaru untuk tidak merasa kelewat percaya diri dan berpikir kalau semburat merah di wajah Ino adalah ulahnya.
“Cerita lah, I am listening.”
Dengan satu tarikan nafas, Ino bilang cepat-cepat, “Shikamaru, I think I’ve found a love.”
Kini kecepatan jantung Shikamaru terasa semakin dipercepat akibat pacu yang Ino berikan lewat kalimatnya. Lelaki itu tidak berekspektasi Ino akan mengangkat pembicaraan tentang cinta. Ketika dirinya yang sudah siap untuk menyatakan cintanya, Ino sudah lebih dahulu menggeret topik serupa di antara mereka.
Shikamaru belum tahu tentang rincian seperti apa yang akan Ino berikan selanjutnya tentang gagasan tersebut, yang jelas, Shikamaru berharap perempuan itu menemukan cinta dalam sosok dirinya—sosok Shikamaru Nara.
“Oh ya? Ketemu dimana?” Shikamaru memberanikan diri untuk bertanya dengan keringat yang mulai berkumpul di pelipis.
Namun senyum merekah yang menyertai jawaban Ino membuat Shikamaru merasa terlempar dari langit kesembilan ke permukaan tanah. Menghantam keras-keras permukaannya sampai rasanya begitu sakit.
“Namanya Sai. We met last December, di salah satu art exhibition in Konoha. Ternyata dia kurator nya.”
Oh…
Wah…
Sial…
Entah siapa Sai yang namanya Ino sebutkan dengan nada penuh kagum ini, tetapi jika Shikamaru bisa berhadapan langsung dengan pria itu dan berteriak sambil menghujani sumpah serapah karena telah membuat Ino-nya jatuh cinta kepadanya, Shikamaru akan melakukannya pada saat itu juga.
Tapi bukan salah Sai jika lelaki itu bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa Shikamaru lakukan.
Fuck it, bahkan Shikamaru belum sempat mencoba untuk membuat Ino jatuh cinta kepadanya. Semua yang selama ini Shikamaru telah lakukan adalah membuat Ino mendengus kesal, marah, emosi, bahkan menangis akibat lontaran sarkas yang lelaki itu lemparkan pada Ino, atau singkatnya karena menganggap Ino sebagai seorang yang merepotkan.
Mengingat itu, Shikamaru tersenyum miris. Menyadari kalau semua yang dia lakukan tidak akan membuat Ino jatuh cinta dengannya.
Well, Shikamaru never thought to make her fall in love with him either, only recently when he couldn’t think of anyone other than Ino whom he should give his love to and make her love him back.
Tapi semuanya sudah terlambat. Shikamaru sudah kehilangan kesempatan untuk menyatakan cinta kepada sahabat perempuannya.
Di sampingnya, Ino mencoba mengembalikan fokus Shikamaru yang sempat hilang entah kemana karena disapu kemelut, “Shikamaru! Do you hear me?? Males ah!”
Terperanjat, Shikamaru menoleh, “Eh sorry. Lo bilang apa??”
“Gue mau lo ketemu Sai!” Ino dengan permintaan bossy-nya seperti biasa membuat Shikamaru ingin merotasikan bola matanya, namun nada perempuan itu terdengar melembut di kalimat selanjutnya, “Hmm, maksud gue… gue mau kalian berdua kenalan gitu, Chouji udah gue kenalin ke Sai. Lo ada waktu kapan?”
Pahitnya amerikano dingin yang Shikamaru sedot habis beberapa saat lalu kembali muncul dan kini mendominasinya. Bagaimana bisa Chouji tidak memberi tahu Shikamaru tentang kabar ini? Setidaknya Shikamaru tidak harus merasakan patah hatinya secara langsung di hadapan Ino.
Teralalu menyedihkan.
Senyum Ino yang diakibatkan oleh antusiasmenya selalu terlihat manis, tapi Shikamaru tidak suka dengan fakta bahwa senyuman itu terbentuk dengan Sai yang ada dipikiran perempuan itu, bukan dirinya.
Hal itu membuat Shikamaru sangat sulit menyanggupi permintaan Ino barusan. Telinganya tiba-tiba diserang dengungan hebat, Shikamaru tak sanggup mendengar bagaimana perempuan di sampingnya kembali menceritakan tentang si pujaan hati yang baru ditemukan.
Ternyata dia salah. Shikamaru tidak menyangka bahwa selama satu tahun, telah terjadi banyak perubahan yang tidak dia antisipasikan. Mungkin hanya dia yang tidak sadar akan kemungkinan-kemungkinan perubahan itu.
Sekarang, Shikamaru harus apa? Agak akan kurang apik jika dia menyuarakan patah hatinya di hadapan Ino yang sedang berbahagia. Maka Shikamaru hanya mampu tersenyum, berharap agar Ino sedikit melihat kalau dia sedang tidak baik-baik saja.
Tapi kalau boleh egois, Shikamaru hanya ingin harapan agar Ino balas mencintainya menjadi nyata.
Atau… haruskah Shikamaru mengakhiri cerita tentang perasaannya yang tak terbalas dan cintanya yang sepihak itu?
In that very moment, Shikamaru begins to learn that some matters are meant to be passed over in silence. So are his abundant amount of his feelings towards the woman he’d always love.
Shikamaru memutuskan untuk tetap menyimpannya sendirian, tanpa menuntut untuk dibalaskan.