Study Group
“Mau kemana kamu malam-malam begini?”
Grisha Yeager bertanya ketus ke putra sulungnya ketika Zeke muncul di anak tangga terakhir dan berjalan melewati Ayahnya acuh.
“Mau ngerjain tugas di rumah Pieck,” jawab Zeke singkat.
“Kenapa nggak sama Erwin aja? Dia lebih pintar daripada Pieck Finger.”
Mendengar itu, Zeke menjadi geram. Ayah nya ini gemar sekali merendahkan dan underestimate banyak hal, Pieck contohnya. Kedekatan Zeke dan Pieck juga sering dikritik oleh Grisha karena Ayah nya ini mempunyai gagasan kalau seharusnya Zeke bergaul dengan Erwin saja—melihat ke latar belakang keluarga teman pirangnya ini yang Ayahnya adalah seorang Senator, sehingga dianggap bisa lebih menguntungkan Grisha dan Zeke sekaligus.
“Bukan saya yang menentukan anggota kelompok belajarnya, Pa. Permisi dulu.”
“Pulangnya jangan malam-malam!”
Kalimat terakhir Grisha tidak diindahkan oleh Zeke, juga tidak dia dengar sepenuhnya karena Zeke buru-buru keluar dari rumah dan agak membanting pintunya sampai menutup.
Pieck sudah siap menunggu kedatangan Zeke di ruang tamu kediamannya. Dia masih tidak percaya harus kembali berkutat dengan jurnal dan paper-paper kuliah yang selalu enggan Pieck jamah lagi—meskipun dia pada akhirnya tetap mengerjakannya dengan baik. Di masa kuliahnya dulu, Pieck memang golongan mahasiswa berprestasi, namun sayangnya dia kurang menonjol karena tidak memiliki ambisi.
Berbeda dengan Zeke, pria itu punya segudang prestasi. Di versi yang dulu, Zeke digadang-gadang untuk meneruskan dinasti politik yang sudah keluarganya bangun. Untuk versi yang sekarang, Pieck belum tahu seperti apa keadaan Zeke karena ada kemungkinan yang berbeda mengingat beberapa peristiwa baru yang tidak terjadi di tahun 2016 versi pertama satu persatu mulai datang.
Ketika bel rumahnya berdering, Pieck langsung membuka pintu utama dan melihat Zeke berdiri sambil menjinjing ranselnya. Namun, Pieck dikejutkan ketika telapak tangan Zeke ditempelkan ke keningnya sebagai gestur mengecek suhu tubuh, “Normal kok, nggak sakit beneran ternyata.”
Maklum, sudah hampir seminggu terdampar di masa lalu dan Pieck masih saja belum cukup beradaptasi dan menurut Levi, Pieck kian bertingkah aneh atau terlalu lama mencerna banyak hal, membuat Zeke ikut bertanya-tanya tentang kewarasan Pieck.
“Heh, lo nya aja yang gak percaya. Sini, masuk Zeke.” ucap Pieck yang membuka pintunya lebih lebar untuk mempersilakan Zeke masuk.
“Om Finger mana, Pieck?”
“Barusan udah masuk kamar sih, katanya capek habis main golf sama temen-temennya.”
Bicara tentang Ayahnya, di dimensi waktu tempat Pieck terdampar sekarang, dia tidak menemukan banyak perubahan. Hanya ada satu perubahan yang sangat Pieck syukuri karena dulu, Ayah nya cenderung lebih kurang sehat dari Ayah nya yang dia temui sekarang. Buktinya, Mr. Finger mampu melakukan serangkaian aktivitas sampai olahraga dengan bugar.
Pieck dan Zeke langsung mendudukan diri di lantai berlapiskan karpet hangat dan mengeluarkan semua yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas. Pieck masih belum terbiasa menggunakan kembali laptop jadulnya sehingga dia kerap menggerutu di tengah-tengah aktivitas mengetiknya.
“Kenapa sih Pieck?” Zeke bertanya ketika menyadari Pieck terlihat tidak nyaman di sampingnya.
“Eh—nggak, gue cuma kurang suka aja nih sama matkul ini.”
“Lah? Perasaan minggu lalu lo satu-satunya yang aktif diskusi sama Pak Zackly di kelas matkul PPNB.”
Mendengar itu Pieck menjadi canggung sendiri, dia juga menyadari banyak hal yang tidak dia ingat dan terlewat olehnya, “Hehe iya sih, yaudah ayo lanjutin dulu ni reviewnya. Land reform ini efektif nggak Zeke menurut lo?”
“Menurut gue sih a good progress ya, cuma yang menyebabkan belum berhasilnya ya itu tadi, masyarakat Filipina nya yang masih menganut sistem konvensional.”
Oh tentu saja, Zeke masih se-cemerlang dahulu.
Meskipun di versi lama tahun 2016 mata kuliah ini tidak termasuk dalam daftar matakuliah yang Pieck ambil, dia tidak merasa kesulitan sekarang untuk sekadar mereview sebuah artikel jurnal. Mungkin karena berkat Zeke juga yang selalu bisa Pieck andalkan untuk sesi brainstorming ketika ada konsep yang belum dia pahami dari mata kuliah ini.
Setelah kurang lebih tiga jam berkutat dengan paper dan jurnal mereka, keduanya akhirnya bisa lebih santai. Pieck mengeluarkan beberapa cemilan dan membaginya dengan Zeke. Dilanjutkan dengan perbincangan ringan yang membuat Pieck senang bukan main karena bisa berada di momen-momen seperti ini dengan Zeke lagi, hingga dia tersadar kalau malam sudah mulai larut.
“Zeke? Lo nggak mau pulang?”
Pertanyaan Pieck membuat Zeke melirik ke arlojinya, ternyata sudah hampir pukul sebelas. Namun Zeke merasa berat untuk memilih jawaban yang harus dia berikan kepada Pieck, walaupun dia sendiri sebenarnya sudah tidak enak karena bertandang ke rumah temannya hingga larut malam.
Rumah Zeke dan Pieck memang berada di satu komplek perumahan yang sama, tetapi untuk melangkahkan kakinya kembali ke rumah sendiri terasa sangat berat bagi pria itu. Bukan apa-apa, dia merasa lebih baik jika tidak berada di rumah. Toh di sana, tidak ada seorang pun yang membuat Zeke betah berada di rumah.
“Sebentar lagi, gapapa kan?” tanya Zeke, sedangkan Pieck mengangguk saja.
Pieck jadi heran melihat Zeke yang air mukanya berubah, terlihat raut yang tidak pernah Pieck temukan sebelumnya. Kalau perempuan itu tidak salah ingat, Zeke tidak pernah terlihat seperti ini, dimana sorot birunya terlihat kosong.
Sepertinya Zeke Yeager yang ini lebih jujur dalam memperlihatkan sebuah ekspresi. Dulu, Pieck hampir tidak bisa membaca pria di sampingnya ini.
Apa yang terjadi selanjutnya hanyalah mereka berdua yang sibuk berdiam diri, meskipun tidak diselimuti kecanggungan, Pieck tetap bertanya-tanya mengapa Zeke memilih untuk mengulur waktu kepulangannya apabila sudah tidak ada yang ingin pria itu lakukan dengannya.
“Zeke? Are you there?”
“Eh Pieck, sori-sori. Err… Lo pasti udah ngantuk ya? Gue pulang aja deh kalau gitu.”
“Belum ngantuk sih… Tapi gapapa kalo lo mau disini dulu,” seharusnya Pieck merasa senang ketika mengetahui ada bagian dari diri Zeke yang ingin tetap tinggal, dia bisa saja berpikir kalau Zeke ingin berduaan dengannya untuk waktu yang lebih lama.
Tapi Pieck tidak bisa berpikir demikian, justru dia penasaran dengan apa yang membuat Zeke ingin menunda kepulangannya. Sayangnya, rasa penasaran Pieck tidak terjawab saat itu juga ketika Zeke justru memegang bahunya.
“Ke warung wedang ronde depan komplek mau nggak?” tawar Zeke.
Pieck berpikir itu bukan ide yang buruk. Malam ini cukup dingin dan cocok untuk menikmati semangkuk wedang ronde, dengan Zeke pula. Mengingat kelas pertamanya besok akan dimulai siang hari, Pieck langsung menyetujui tawaran Zeke yang artinya jam tidurnya akan lebih terlambat malam ini, “Boleh, yuk!”
Di tengah perjalanan dari rumah Pieck ke kedai ronde yang mereka tuju dengan berjalan kaki, juga ditemani sinar rembulan yang membuat suasana menjadi terasa lebih nyaman meskipun tidak ada dari keduanya yang berbicara. Pieck menemukan dirinya sedikit terlena di antara senyuman yang dia sembunyikan agar tidak diketahui oleh Zeke.
Sampai-sampai gadis mungil itu tidak menyadari sebuah sepeda motor yang melaju sambil oleng ke arahnya—perlu diingat, Pieck Finger adalah gadis ceroboh. Kalau tidak karena Zeke yang sigap menarik dirinya, alih-alih terdampar di pelukan Zeke yang dekapannya sangat erat, Pieck mungkin sudah terjatuh mencium aspal.
“Lo nggak apa-apa, Pieck?” tanya Zeke sedikit panik, matanya menjelajahi Pieck dari atas sampai bawah, mengecek apa gadis mungil ini punya luka.
Pieck menggeleng, “Nggak apa-apa kok gue. Makasih ya hehe.”
“Siniin tangan lo.”
Merasa bingung dengan perkataan serasa perintah Zeke, mau tidak mau Pieck tetap memberikan tangannya yang berujung digenggam oleh Zeke sambil meneruskan perjalanan mereka.
“Lo emang harus dipegangin gini biar gak ceroboh. Watch your step, little girl.”
Selain mendapatkan ekstra kehangatan, Pieck juga merasakan ekstra degup jantung yang temponya kian cepat. Malam itu, Zeke tidak melepaskan genggaman tangannya sampai dia berhasil membawa Pieck pulang kembali ke rumahnya.