Temptation. 🔞

Jean menekan bel kamar hotel Pieck dan langsung disambut oleh penghuninya. Perempuan yang kini berbalut gaun satin merah marun mempersilakan Jean untuk masuk, sesekali tangannya sibuk dia gunakan untuk menata beberapa barang yang terlihat kurang rapi di dalam kamar itu.

“Sisir nya ada di meja itu, ambil aja Jean. Sorry kamarku sedikit berantakan,” ucap Pieck santai.

“Nggak masalah.” Jean menemukan sebuah sisir yang Pieck maksud dan langsung menempatkan dirinya di depan cermin, “Aku nyisir di sini sekalian ya.”

“Hmm.”

Di pantulan cermin itu, Jean melihat Pieck yang sedang menata surai hitam setengah ikalnya. Dia amati baik-baik setiap pergerakan jemari perempuan itu di antara helai rambutnya lewat pantulan cermin, seketika otak Jean tersengat fantasi liar untuk mengganti jemari Pieck dengan jemarinya sendiri dan menyusuri betapa lembutnya surai hitam kesayangannya itu.

Tiba-tiba Jean lupa tujuannya untuk menyisir rambutnya sendiri. Di sisi lain, Pieck tidak bisa melewatkan sengatan yang dia rasakan ketika mengetahui ada sepasang mata lain yang melekat pada dirinya. Ketika Pieck mengangkat kepalanya, dia menemukan sepasang mata itu di sana, kemudian beradu tatap dengan miliknya lewat pantulan cermin.

“Jean? Ada yang salah sama aku?”

“Uhuk!” Hanya dengan batuk itu Jean bisa menutupi rasa panas di wajahnya akibat tertangkap basah atas apa yang telah dia lakukan. “Nggak kok, you look perfect.”

Sejak kapan berada di satu ruangan dengan Pieck Finger akan terasa secanggung ini?

Jean berpikir begitu awalnya, namun dia menyadari dengan cepat ada intensitas di kamar itu yang membuatnya terjebak rasa sesak. Semua yang ada di sana tercium feminitas Pieck Finger, saat perempuan itu beranjak dari duduknya di atas tempat tidur, gerakannya begitu anggun, feminin, dan secara tidak langsung provokatif sampai membuat hatinya berdebar tidak karuan.

Perempuan itu meraih sepasang anting untuk dipasangkan ke telinganya. Jean ingat dia paling suka memberikan kecupan-kecupan ringan tepat di bawah telinga Pieck, lalu perempuan itu akan terkekeh. Kemudian Pieck meraih sebuah kalung yang akan menghiasi leher jenjangnya, Jean punya kebiasaan untuk membenamkan wajahnya di ceruk yang menguarkan wangi bunga lavender itu—tapi semua itu adalah masa lalu.

Melihat Pieck kesusahan untuk mengaitkan kalungnya, Jean berinisiatif untuk menawarkan bantuan.

“Hey, let me help you with your necklace.”

“Thanks.”

Sesaat, sebelum jari-jari Jean mengambil ujung rantai kalung Pieck, mereka saling bertatapan lagi di cermin. Jean dapat dengan jelas menemukan manik kelabu Pieck yang sepekat malam itu kini membara akibat api gairah yang mendominasi, sama dengan manik hazel miliknya sendiri.

Ketika sepenuhnya berhasil mengaitkan rantai kalung Pieck, kedua tangan Jean melekat di sepasang bahu telanjang perempuan itu. Keduanya terdiam, namun tubuh masing-masing saling memancarkan pesan-pesan seksual di tengah aroma lavender yang menyeruak dari tubuh Pieck.

Jeam dibuat pening karena perempuan yang kini berstatus sebagai mantan kekasihnya sekarang. Pieck sendiri tidak kalah pusing ketika dirinya berbalik waktu masih berada di bawah kungkungan Jean.

Jean dan Pieck saling berhadapan, dari situ lah datang sebuah dorongan untuk saling mendekatkan bibir keduanya masing-masing. Jean sudah siap untuk menjemput bibir ranum perempuan itu, namun sepersekian detik berikutnya ada sesuatu yang mencengkram kain kemejanya dan menahan Jean untuk semakin mendekat.

“Jean…”

Mendengar namanya lolos dari bibir yang gagal dia pangut, Jean mengerang.

“Jean… nanti kita terlambat.”

Kemudian kesadaran nya kembali masuk ke otak.

“Oh—right? Kita bisa terlambat. Yaudah, yuk? Eh, aku ke kamar dulu. Handphone sama blazzer aku masih di sana.”

“Okay.”

Kalau saja Jean terlambat untuk keluar dari kamar Pieck malam itu, dia yakin keduanya akan berakhir di ranjang kamar hotel Pieck dan saling meneriaki nama mereka masing-masing, alih-alih menikmati perjalanan malam di atas kapal pesiar.