Temu
Jean sengaja bersandar di kap mobilnya ketika menunggu si sepupu Bang Rivai yang harus dia jemput di Stasiun Gambir—niatnya sih supaya lebih mudah ditemukan sekaligus memindai orang-orang yang lewat, apakah ada perempuan yang ciri-cirinya sesuai dengan deskripsi Bang Rivai tadi.
Seharusnya dia berkeras untuk menghampiri perempuan itu di starbucks alih-alih membiarkan sepupu Bang Rivai yang menghampirinya. Lelaki macam apa lo ini, Jean. Payah. Maklum, tiba-tiba dia juga merasa mager masuk ke dalam stasiun yang kelihatan sesak.
Nggak lama kemudian, ada sosok perempuan datang menghampiri sambil menarik koper yang kedua mata Jean tangkap. Meskipun masih cukup jauh jaraknya, Jean dapat melihatnya sesuai dengan deskripsi Bang Rivai.
Rambutnya hitam dan bergelombang yang kini perempuan itu biarkan jatuh melewati bahunya, juga tingginya diperkirakan tidak melebihi Rivai.
Di dalam lubuk hati yang paling dalam, Jean berharap kalau perempuan itu bukanlah sepupu yang Rivai maksud.
“Bukan… Nggak mungkin dia, atau mungkin gue salah lihat. Kebetulan aja cuma mirip.”
Pikiran Jean dipersilahkan untuk mengabsen beberapa memori masa lalu yang setiap adegannya muncul begitu saja karena dia memperoleh sebuah trigger ketika pandangannya menangkap seorang perempuan yang sedang berjalan menghampirinya itu.
Jean takut… Kalau perempuan itu betulan perempuan yang sama seperti yang ada di masa lalunya.
Cemas.
Jean nggak berharap kalau perempuan yang ada di masa lalu ternyata adalah sepupu Rivai.
Ketika jarak mereka hanya terpaut sekitar lima langkah, keduanya membeku. Sama-sama terkejut hingga rasanya dunia berhenti untuk beberapa saat. Keduanya masih mencoba mencerna apa yang sedang mereka hadapi.
“Kamu… pemilik mobil HRV abu-abu, plat nomor B 0407 JK?” perempuan itu menjadi yang pertama bersuara.
Sedangkan Jean merasakan pening di kepala ketika mendengar suara perempuan itu masuk ke telinganya.
“Jenggala? Benar kan kamu Jenggala Kamajaya?”
Benar, dan kamu… Pieck Ferdiawan.
Tapi lidah Jean kelu, nggak punya kekuatan untuk membalas pertanyaan retoris perempuan tadi.
“….”
“Jenggala? You okay?”
“Eh, iya bener. Kamu… Sepupunya Bang Rivai?”
Perempuan itu mengangguk. Meruntuhkan semua harapan Jean dan mengkonfirmasi kecemasan yang sejak tadi menggerayangi, kini dia harus menelan tiga realita yang sempat dia inginkan supaya nggak terjadi.
Pertama, Pieck Ferdiawan muncul lagi di depannya. Kedua dan ketiga, Pieck Ferdiawan adalah sepupu Rivai sekaligus cinta pertama Jenggala Kamajaya yang muncul kembali setelah tiga tahun menghilang.
Jean merasa ini berlebihan. Dia belum sempat mempersiapkan dirinya andai saja dihadapkan dengan situasi ini.
Sejujurnya, Jean bahkan nggak pernah berimajinasi untuk berada di situasi yang menjebaknya saat ini. Makanya dia nggak sempat atau bahkan nggak berniat untuk mempersiapkan diri.
Kembalinya Pieck nggak akan mudah untuk Jenggala hadapi. Cinta pertama memang selalu sulit, tapi jangan berani-beraninya menyepelekan cinta pertama seorang laki-laki.
“Sorry, silakan masuk. Biar nggak kemaleman, langsung ke rumah Bapak aja.”
Pieck dipersilahkan untuk memasuki mobil Jean dan duduk di samping kursi kemudi. Ketika mobilnya mulai membelah jalanan ibukota, hanya terdapat sunyi. Nggak ada dari keduanya yang berusaha memecah sunyi. Kalau Jean sendiri, dia dipaksa untuk bungkam. Namun hatinya sedang bergejolak dan isi kepalanya riuh. Entah memikirkan tentang kembalinya sang cinta pertama yang harus disambut dengan sukacita atau duka… atau bagaimana.
Setelah beberapa menit yang panjang digunakan untuk meragu, Pieck mencoba untuk memecah sunyi dengan sebuah pertanyaan klasik, “Kamu apa kabar… Jenggala?”
“Sebelum ketemu kamu lagi, baik. Tapi kalau sekarang… nggak tahu,” saat ini Jean hanya mampu bermonolog, kejujurannya hanya mampu keluar sebatas di dalam hati, nggak mampu dia ucapkan secara gamblang.
“Baik.”
“It’s been a while, Jenggala…”
Jenggala… Jenggala…. Jenggala…
Telinganya berusaha menolak suara lembut dari perempuan yang memanggil nama depannya. Sial, semua orang nggak lagi memanggilnya Jenggala… tapi perempuan ini masih.
Bukannya Jean benci atau apa terhadap nama depannya. Tetapi dipanggil Jenggala seperti itu—apalagi oleh prempuan ini, Pieck Firdiawan, akan sukses membuatnya bermuram durja mengingat masa lalu.
“Jenggala… Aku mau minta ma—“
“Stop…”
“Jen—“
“Jangan lanjutin apapun yang mau kamu omongin, Pieck.”
Sepanjang perjalanan yang diselimuti kesunyian pada akhirnya sampai di tempat tujuan. Ketika mesin mobil sepenuhnya berhenti dan mati, Pieck langsung keluar dari sana dan berniat mengambil kopernya di bagasi mobil. Namun Jean bergerak lebih cepat, lelaki itu menurunkan semua barang bawaan Pieck sedangkan perempuan itu setia menunggu sampai Jean selesai dengan kegiatannya.
Lalu pintu gerbang Griya Paradis dibuka oleh seorang pemuda berpotongan rambut cepak dengan senyum sumringahnya, menyambut Jean dan perempuan di sampingnya.
“Wadaaaw, jadi ini sepupunya Bang Rivai?? Kenalin mbak, gue Connie hehe,” sapanya ramah sambil memberikan tangan untuk dijabat.
“Halo, kenalin juga gue Pieck.”
Setelah keduanya berjabat tangan, Jean berkata, “Con, bawain ini barang-barang ke tempatnya Bapak.”
“Oke sini gue yang bawa. Lu berdua kalau udah selesai langsung nyusul aja, yang lain udah pada ngumpul di sana.”
Jean mengangguk untuk menjawab Connie.
Sepeninggal pemuda itu, hanya tersisa Jean dan Pieck lagi. Masih dikelilingi kecanggungan yang mencekik. Rahang Jean mengeras, ingin sekali mengucap sepatah kalimat namun masih tertahan. Sedangkan Pieck bergerak dengan gelisah di sampingnya, entah harus berbuat apa.
“Pieck—“
“Jenggala—“
Sahut keduanya bersamaan, namun Pieck buru-buru melanjutkan, “Aku mau langsung ke tempat Om Kenny, duluan Jenggala.”
Perempuan itu melangkah perlahan, semakin menjauh dari jangkauan Jean. Menyisakan pemandangan punggung kecilnya dari belakang.
“Pieck!”
Dia menoleh ke belakang, melihat Jean yang mulai menyusul langkahnya, mempersempit jarak hingga keduanya berhadapan.
“Boleh minta tolong?” tanya Jean.
“Iya, apa?”
“Boleh kalau kamu bersikap seolah-olah kita nggak pernah kenal sebelumnya?”
Hati Pieck mencelos. Nggak menyangka sebuah permintaan pertolongan Jean akan berbentuk seperti ini.
“Bisa kan, Pieck?”
“Y—ya.”
“Oke.”
Kemudian Jean melangkah meninggalkannya yang masih mencerna kejadian barusan dengan susah payah.