The Moon That Represents My Heart
Sesuai dengan arahan manito lewat menfess yang Hinata terima tadi, sekarang cewek itu sedang berdiri di ambang pintu yang menghadap ke arah kolam renang villa. Hinata menunggu manito nya muncul dan menurutnya, menunggu nggak pernah terasa se-lama ini. Pasalnya belum ada lima menit menunggu, tangan Hinata sudah berkeringat, rongga dadanya seperti nggak mampu untuk menopang jantungnya yang sudah berdebar nggak karuan.
Selain deg-degan, yang Hinata rasakan sekarang adalah perasaan excited untuk bertemu Manito nya, bahkan cewek itu sampai lupa nggak memakai cardigannya di tengah angin malam. Padahal sebelumnya Hinata sempat bertanya-tanya karena menfess si manito ini punya kesan kalau dia bakal ngelabrak cewek itu. Tapi kalau dipikir-pikir lagi sih kayanya nggak mungkin ya.
Dari luar, Hinata masih bisa mendengar lantunan lagu yang dinyanyikan oleh teman-temannya di sesi karaoke. Kalau nggak salah, saat ini Kiba dan Rock Lee masih duet menyanyikan lagu yang berisikan rap dari milik Bazzi yang berjudul Mine.
Tiba-tiba, Hinata merasakan bahu sebelah kirinya dicolek oleh seseorang. Waktu Hinata menengok ke sisi kirinya dia nggak menemukan siapapun. Lalu dia nengok ke kanan, baru lah Hinata bisa menemukan oknum yang nyolek bahunya barusan.
“Kak Neji???”
“Hai.”
Hinata terkejut, sangat malah. Neji kah manitonya? Kalau iya, kira-kira apa yang membuat Neji perlu bicarakan dengannya hanya berdua?
“… Kak Neji, kok disini? Kak Neji manito aku??” dengan hati-hati, Hinata bertanya.
Namun seulas senyum yang Neji berikan menjadi satu-satunya jawaban yang cewek itu dapatkan. Hinata bahkan nggak sadar kalau Neji membawa sesuatu di tangannya.
Neji melangkah maju dan semakin mendekat ke Hinata kemudian menyampirkan sesuatu yang cowok itu bawa untuk cewek yang ada di depannya. “Ini pakai dulu cardigannya, dingin.”
“M-makasih, Kak Neji.”
Tapi bukannya menetap dan mengajak Hinata bicara, Neji malah bersiap untuk kembali masuk ke dalam.
“Kak Neji! Mau kemana??”
“Mau masuk.”
“Kak Neji bukan manito aku?”
Lagi-lagi, Neji tersenyum. Kali ini disertai kekehan. “Bukan hehe. Tadi kakak liat kamu keluar nggak pake cardigan, yaudah samperin deh.”
“Astagaa, jantung aku rasanya udah kaya mau copot tau kak!”
“Siap-siap aja, jangan sampe abis ini copot beneran.”
“Kak Neji ih!”
“Hehe, kakak masuk duluan ya?”
“Iyaa Kak, makasih ya cardigannya.”
Setelah itu, Neji mengacungkan jempolnya dan kembali masuk ke dalam meninggalkan Hinata menunggu sendiri lagi.
Kali ini, cewek itu nggak dibuat menunggu terlalu lama. Suara derap langkah bisa Hinata dengar semakin mendekat dan dia berasumsi kalau kali ini, manito nya benar-benar akan muncul.
“DOR!”
“Aaaa kaget banget.”
“DIH PARAH MALAH PURA-PURA KAGET!!”
Benar, barusan Hinata pura-pura kaget dengan prank yang cowok di depannya, Naruto, lakukan. Karena ya… cewek itu sudah merasakan kehadiran Naruto bahkan sebelum cowok itu ngagetin Hinata dengan heboh.
“Hehe soalnya aku udah denger kalo ada orang.” cewek itu nyengir sekilas.
“Anjir, gagal dong prank gue.” kelihatannya, Naruto masih belum terima kalau siasatnya gagal.
“Maaf maaf, lain kali mungkin bisa lebih totalitas lagi ngeprank nya.”
“HEHEH.”
Hinata kemudian menyandarkan punggungnya di kusen pintu, sama seperti apa yang Naruto lakukan. Gesture yang menunjukan bahwa Naruto akan tetap berada di sana untuk beberapa waktu kedepan.
“Naruto…” Hinata bersuara lagi, “Ngapain di sini?”
“Lha? Kok ngapain. Ini gue manito lo, Hinataaa.”
“Oh…”
“KOK OH DOANG??? NGGAK KAGET???”
Justru Hinata lebih kaget waktu Naruto kembali meninggikan suaranya sampai melengking. Entah, Hinata nggak berharap banyak kalau Naruto akan menjadi manito nya… Hinata senang sih ternyata Naruto adalah manitonya. Tapi selain senang, Hinata juga bingung.
“Serius Naruto?? Berarti kamu yang kirim menfess itu?”
“Iya gue hehe.”
“I see…” cewek itu mengangguk-angguk, “Terus… Kamu mau kita ngobrol apa nih?”
“Hmm. Gue pengen nanya dulu sih.”
“Okay tanya aja Naruto…”
Kendati telah dipersilahkan, Naruto nggak langsung menyampaikan pertanyaannya. Cowok itu menghabiskan beberapa menit untuk membiarkan hening menyelimuti mereka. Canggung memang, hanya saja Naruto benar-benar membutuhkan beberapa menit itu untuk menyiapkan diri.
“Hinata, lo pernah nggak sih ada di masa-masa jam tiga pagi ngebet banget pengen pacaran? Eh tapi habis itu pas bangun tidur, lo udah ga kepikiran hal-hal yang lo haluin di jam tiga pagi itu.” Pada akhirnya, pertanyaan itu lolos dari Naruto yang sedang menerawang ke atas, melihat bintang-bintang yang bertebaran di langit malam dan ditemani cahaya rembulan.
Sedangkan Hinata menjawab sambil terkekeh. “Hng… Nggak pernah, Naruto. Soalnya jam tiga pagi aku pasti udah tidur.”
“Duh! Iya bener juga, lo nggak suka begadang kaya gue.” Naruto tertawa canggung dan menggaruk pipinya salah tingkah, kemudian dia bertanya lagi. “Eh tapi, mau tau nggak gue ngebet nya pengen pacaran sama siapa?”
“Sama siapa tuh?”
“Sama lo, Hinata.”
“….. E-eh?”
Hangat adalah yang dirasakan pipi Hinata sekarang, padahal suhu di daerah villa yang mereka tempati cenderung rendah. Hal itu membuat Hinata sulit untuk mengeluarkan kata-kata yang koheren. Ngobrol biasa dengan Naruto saja kadang bikin dia super deg-degan, apalagi sekarang—waktu Naruto tiba-tiba ngaku kalau cowok itu halu pacaran sama Hinata waktu jam tiga pagi.
“N-naruto… maksudnya gimana ya?”
Naruto yang semula masih memandang langit sekarang memandang Hinata, sambil menunduk sedikit karena cewek itu sangat mungil.
“Hehe. Ya gitu Hin, jam 3 pagi gue suka halu dan pengen pacaran sama lo. Tapi…”
“T-tapi?”
“Tapi gue nggak mau pacaran sama lo beneran hanya karena keinginan sesaat, hanya karena keinginan jam tiga pagi yang bakal gue lupain di siang hari nanti. It’s not fair for you.”
Hinata hampir lupa caranya bernafas dengan normal. Sebab jantungnya sudah berdetak nggak karuan, apalagi waktu mendengar perkataan Naruto barusan, dan Hinata nggak pernah melihat air muka Naruto yang seserius itu.
“Naruto…”
Belum selesai Hinata berusaha menormalkan degup jantungnya, kedua telapak tangan Naruto sekarang menangkup kedua sisi pipinya. Ada sensasi dingin yang menyengat ketika sepasang telapak tangan itu menyentuh permukaan kulit pipi Hinata. Sepertinya, Naruto nggak kalah nervous.
“Hinata, Ya Allah Hin… Nafas Hin, entar pingsan loh. Ini muka lo juga merah banget astaga! Hahahaha.”
Masih dengan keadaan pipinya yang ditangkup oleh telapak tangan Naruto, Hinata akhirnya bertanya, “Naruto kamu serius??”
“Seriuuuuuuuuus.” Cowok itu mengangguk, “Makanya Hin, gue gak berani make a move. Karena gue belum yakin sama diri sendiri.”
“Kalau sekarang gimana? Sudah yakin?”
“Keyakinan gue udah meningkat dua puluh persen. Tadinya cuma enam puluh persen hehe. Sekarang jadi delapan puluh. Heheh.”
“Terus dua puluh persen sisanya kemana?”
Waktu Hinata bertanya begitu, Naruto jadi teringat dengan percakapan bujang-bujang HIMAHI waktu nongkrong sore hari di taman.
Sore itu, para bujang lagi ghibahin teman-teman cewek mereka. Lumayan ya kan, kapan lagi mereka bisa ghibah tanpa direcokin cewek-cewek beringas yang kebetulan adalah teman mereka itu. Yang namanya cowok, ternyata punya lidah yang lebih tajam dari yang kalian kira waktu mereka sudah mulai ghibah.
Awalnya mulai dari ghibahin Ino, kemudian Sakura, lalu Tenten. Akhirnya, hanya tersisa Hinata yang belum sempat mereka ghibahin. Karena cowok-cowok HIMAHI hampir nggak punya bahan ghibah tentang Hinata, soalnya cewek itu juga nggak pernah bertingkah aneh sih.
Tapi Naruto punya sesuatu tentang Hinata yang ingin sekali dia bahas dengan teman-teman cowoknya. “Itu anjir, si Hinata. Dia tuh kenapa dah, setiap ngobrol sama gue pasti keliatan bgt ga nyaman?? Maksudnya kaya takut gitu, gak berani natap mata gue.”
Lalu Shikamaru nyeletuk santai. “Namanya juga lagi salting.”
“Haaah?? Salting kenapa njir??” Naruto semakin bingung dan bertanya-tanya.
Apalagi waktu dia melihat teman-temannya sedang mesem-mesem, ada juga yang geleng-geleng kepala pertanda heran dengan ketidakpekaan si bocah oren itu.
“Hinata suka sama lo, Naruto.” kata Neji menimpali, “Dia suka sama lo dari jaman masih maba, sampe sekarang.” lanjutnya
“HAAAAAAAAAAAAH??????”
Dan lagi-lagi, hanya tawa ledekan yang Naruto dapatkan di sore itu akibat ketidakpekaannya.
Jujur saja, Naruto kaget waktu mendengar itu dari Neji. Tapi pada akhirnya dia bisa put two and two together. Sekarang dia bisa menyimpulkan kalau tingkah laku malu-malunya Hinata kepadanya selama ini adalah karena cewek itu suka dengannya.
Dan surprisingly, Naruto senang bukan main dengan fakta yang Neji beberkan itu. Pada dasarnya, Naruto selalu senang setiap kali Hinata ada didekatnya. Entah kenapa, eksistensi Hinata di sekitarnya itu nggak bikin Naruto merasa overwhelming. Sangat nyaman. Rasanya sangat berbeda dengan ketika Naruto dulu naksir cewek-cewek lain, dia bisa sampai mules.
Ini bukan pertama kalinya Naruto jatuh cinta. Tapi dengan Hinata, Naruto nggak tahu kalau jatuh cinta bisa se-menenangkan ini. Mungkin ketenangan itu yang membuatnya nggak sadar kalau ternyata, Naruto jatuh cinta dengan Hinata.
Hinata brought peace and serenity to his surroundings.
“Dua puluh persen sisanya bakal ada kalau lo berani natap mata gue dan mau jujur sama perasaan diri sendiri, Hinata.” Naruto menatap dalam Hinata, “Kenapa selama ini nggak pernah bilang? Kalau lo suka sama gue?”
Dan untuk pertama kalinya, Hinata berani menatap balik Naruto tepat di sepasang mata sapphire jernihnya.
“Jadi Naruto udah tau…”
Cowok itu mengangguk. “Iya, tapi sayang banget gue taunya dari orang lain. Bukan dari lo sendiri.”
“Aku cuma gamau bikin Naruto nggak nyaman. Ngeliat Naruto ketawa dan senyum aja udah bikin aku seneng, itu udah cukup buat aku…” ucap Hinata lirih.
Sedangkan Naruto berdecak dan dengan jenaka. cowok itu bilang. “Dih! Nggak bisa gitu lah Hinataaaa. You deserve more than that. Ih parah banget, masa buat diri sendiri pelit amat. Emang ga kepengen ya ayang-ayangan sama gue??”
Naruto memang seperti itu, selalu bisa membuat Hinata nyaman dengan ocehannya. Meskipun sambil tertawa, Hinata tahu cowok itu serius.
Cewek itu nyengir, “Ih Naruto mah! Ya gimana yaaa, kan sebenernya aku juga malu tau.”
“Yaudah laaaah. Berhubung kita udah sama-sama tau, lo mau nggak nungguin gue Hin??”
“Nungguin?”
“Iya, tunggu gue bisa jadi versi terbaik gue. Karena yakaliii, Hilda Natasha Hayuningrat dapet cowok yang ga seberapa kaya gue. Baru deh habis itu kita bisa ayang-ayangan kaya Sasuke sama Sakura, atau kaya Shika sama Ino.” cengiran Naruto yang lebar itu menjadi sebuah kepastian kalau cowok itu nggak akan membiarkan Hinata menunggu terlalu lama.
“Iya Naruto, aku nggak sabar lihat versi terbaik dari diri kamu sendiri.”
Buat Hinata, itu semua sudah lebih dari cukup. Mengetahui kalau ternyata dia nggak mencintai sendirian, sudah cukup.