The Painter and His Muse

cw / agak red flag

Sai dan Ino sepakat untuk bertemu di warung pasta yang terletak di dekat gedung fakultas psikologi. Ino sangat bersyukur dengan tempat pilihan mereka, selain karena dekat, cewek itu kebetulan sedang nyidam banget buat makan pasta.

Sore itu cukup ramai dan warung pasta dipenuhi pengunjung, untung saja Sai dan Ino masih kebagian meja yang cukup nyaman sebagai tempat mereka ngobrol dan berdiskusi tanpa diganggu.

“So! Jadi gue harus gimana Sai pas dilukis nanti?” Ino bertanya dengan antusias.

“Hmm… Pertama, lo akan telanjang,” Sai menjeda sebentar kalimatnya dan menemukan Ino dengan semburat merah di kedua pipi cewek itu, “Tapi lo nggak harus sepenuhnya telanjang kok kalo emang nggak nyaman.”

Ino mengangguk paham, sebetulnya dia nggak punya masalah kalau harus berpose tanpa sehelai pakaian, apalagi cewek itu adalah seorang model. Meskipun belum pernah melakukannya, tapi Ino tahu bagaimana caranya untuk tetap bersikap profesional. Hitung-hitung ini akan jadi pengalaman pertama buatnya.

Yang menjadi masalah adalah, Ino nggak tahu apakah dia bisa tahan untuk nggak tremor waktu Sai melihatnya telanjang selama proses pelukisan. Setelah beberapa kali ngobrol dengan cowok itu, Ino merasakan adanya sebuah ketertarikan terhadap Sai yang membuatnya akan sedikit lebih kerepotan untuk menata hatinya supaya nggak kelewat deg-degan.

“Okay noted!” cewek itu mengangguk dan tersenyum sambil memperhatikan Sai yang juga ikut tersenyum. “Nanti gue harus pose berapa lama?”

“Sekitar satu sampai dua jam, karena gue akan lukis sketch nya dulu. Untuk detail dan finishingnya lo nggak perlu pose lagi kok.”

Alrighty.

Percakapan keduanya diinterupsi oleh kedatangan waitress yang membawakan pesanan mereka, spaghetti carbonara dan lemon tea untuk Ino, kemudian beef lasagna dan cola untuk Sai. Kadar excitement Ino langsung naik drastis waktu makanannya sudah menunggu untuk dia santap, apalagi waktu Ino bisa merasakan aroma carbonara sudah menusuk hidung nya.

Bon appetit!”

“Bon appetit.”

Nggak terjadi obrolan penting di sela makan, sebab Ino sibuk dengan makanannya, sedangkan Sai mengamati cewek itu dengan tatapan yang kalau Ino lihat pun, cewek itu nggak akan tahu artinya apa.

“Untuk seorang model, makan lo banyak juga ya.” komentar Sai ketika melihat cewek di depannya makan dengan kecepatan tinggi. “Lo nggak takut gendut?”

Hal itu membuat Ino menjeda kunyahannya. “Maksudnya?”

“Kalau nggak salah, Sakura manggil lo babi kan?” Sai malah balik bertanya, kemudian melanjutkan, “Pantes aja. Look at you, gobbling down your food like a pig.”

Sakura memang selalu memanggil Ino dengan sebutan Inobabi setelah resmi menjalin persahabatan. Ino sendiri nggak pernah keberatan dengan cara bagaimana Sakura memanggilnya seperti itu, toh dia punya panggilan sayang nya sendiri untuk Sakura—yaitu jidat lebar.

Namun entah kenapa, ketika Sai yang memanggilnya begitu disertai dengan komentar tentang cara makannya, perut Ino rasanya terkoyak seketika.

Nafsu makannya resmi hilang pada saat itu juga. Rasa lapar yang ditahan Ino sejak pagi karena belum sempat mengunyah sesuatu langsung hilang dan digantikan dengan gejolak aneh yang membuat Ino ingin memuntahkan spaghetti carbonara yang baru saja dia telan. Sebab Ino merasa melihat bayangan sang Ibu yang tiba-tiba muncul pada Sai.