Two Brothers

Seharusnya Ezekiel Yeager sedang bersiap untuk menghadiri undangan Gala Dinner yang dikirimkan ke kediaman keluarga Yeager minggu lalu. Seharusnya, Zeke bersiap untuk mengukir senyum lebar sampai rahangnya terasa pegal, sehingga Grisha Yeager tidak perlu menanggung malu ketika dia memperkenalkan si putra sulung ke seluruh kolega.

Zeke heran, apa yang dilakukan Ayah nya di seluruh acara penting yang pernah dia hadiri tidak jauh dari seperti seorang pedagang yang sedang menawarkan barang dagangannya kepada semua orang. Grisha memang selalu mengatakan betapa bangganya dia karena Zeke adalah anak yang kelewat pintar dan berprestasi, kemudian meyakinkan seluruh kolega bahwa Zeke adalah orang yang paling pantas meneruskan dinasti politik yang sudah dibangun para pendahulunya.

Grisha Yeager selalu mau Zeke Yeager menjadi yang nomor satu. Meskipun kemauan Ayahnya sendiri sama sekali tidak memberikan percikan api antusiasme di kedua mata Zeke, Grisha tidak akan peduli sampai sana.

Zeke sudah terlewat muak, dia lelah memasang topeng yang sama sekali bukan jati dirinya. Zeke tidak mau ikut campur dalam perpolitikan Ayahnya, Zeke tidak mau dijadikan alat untuk meneruskan legasi apapun yang berhubungan dengan politik.

Karena Zeke punya mimpi lain.

Zeke pernah membaca sebuah kutipan, katanya orang tua bisa membunuh lebih banyak impian seorang anak lebih dari siapapun. Padahal, Zeke selalu punya potensi di semua bidang sehingga dia bisa jadi apapun di masa depan. Namun hanya satu yang nggak Zeke punya, yaitu restu orang tua supaya dia bisa memilih untuk menjadi apapun di jalan hidup yang dia pilih sendiri.

Lima belas menit sebelum Gala Dinner dimulai, Zeke masih belum hadir dan membuat Grisha kalang kabut bukan main. Dia marah besar ketika pada akhirnya harus menghadiri acara tersebut dengan tangan kosong, tanpa Zeke untuk dia ‘presentasikan’.

Bukan kali pertama Zeke menghilang tanpa bisa dijangkau oleh seseorang, entah itu orang tuanya sendiri hingga teman-teman yang mungkin sedang ikut mengkhawatirkan dirinya. Namun, Zeke tidak pernah menghilang di sebuah agenda yang menurut Ayahnya sangat penting untuk masa depan Zeke.

Di sisi lain, Eren Yeager selalu bisa menemukan dimana Abang nya bersembunyi. Meskipun begitu, Eren sepertinya tidak terlalu peduli untuk ikut campur soal kemelut Abangnya. Sehingga dia selalu membiarkan Zeke menghilang sampai kembali dengan sendirinya. Namun kali ini ada sesuatu yang menggelitik hatinya untuk menghampiri Zeke di tempat persembunyian.

Eren menemukan Zeke di salah satu apartemen pinggiran kota, sedang berdiam diri di teras balkon. Dia juga dapat melihat kepulan asap rokok yang beberapa kali naik ke udara.

Malam itu belum terlalu larut, namun terlihat amat kelabu karena sinar rembulan dan gemintang enggan menampilkan kerlipnya yang ditutupi awan mendung. Membuat gundah suasana hati siapapun yang lemah.

“Gue nggak tahu apa yang bakal Papa lakuin kalau dia yang nemuin lo di sini.”

Kalimat itu membuat Zeke menoleh ke belakang dan menemukan Eren yang berdiri tidak jauh darinya. Belum ada respon ketika Zeke kembali menghisap gulungan batang nikotin itu untuk yang kesekian kalinya.

Zeke kemudian berkata, “Kalau lo kesini karena di suruh Papa, lebih baik lo pulang sekarang.”

Eren mendengus, “Lo sendiri tahu, Papa nggak pernah menyuruh gue untuk melakukan apapun. Jadi dengan adanya gue disini, seharusnya lo bisa simpulkan itu kemauan siapa.”

Oh tentu saja, Zeke tahu betul Ayah mereka tidak perlu repot-repot mengatur si bungsu dengan sedemikian rupa agar sesuai kemauannya. Bukan berarti Grisha tidak peduli dengan Eren, tapi Grisha hanya berbaik hati memberikan kebebasan untuk Eren. Kebebasan yang tidak bisa Zeke impikan.

Mata Eren menelusuri ruangan apartemen persembunyian Zeke dan menemukan beberapa kaleng soda beralkohol berserakan di lantai, juga sekotak pizza kosong yang terletak di sebuah meja. Menurut Eren, Zeke terlihat sangat berantakan.

“Tsk,” Eren berdecak dan dengan sengaja menendang salah satu kaleng kosong ke sembarang arah, “Gue juga nggak tahu apa yang bakal Papa lakuin kalau dia tahu anak sulungnya otewe jadi seorang alcoholic.”

Zeke merasa tidak perlu menjawab kalimat tersebut, masih memunggungi Eren yang mulai berjalan mendekat dan kemudian berhenti di sebelahnya dan menyenderkan bahu ke kusen pintu.

“Rokok?” Zeke mengulurkan tangan untuk menawarkan sebatang gulungan nikotin kepada adiknya. Namun yang dia dapati kemudian hanyalah suara decakan remeh.

“Gue punya Asthma. Lupa? Atau memang nggak tahu?”

Tanya sinis Eren membuatnya gelagapan. Zeke benar-benar lupa. Niatnya cuma ingin berbagi, karena dia pernah dengar kalau rokok bisa membuat dua orang yang menghisap puntungnya masing-masing secara bersamaan akan menjadi lebih dekat. Inilah salah satu alasan kenapa Zeke memilih untuk pura-pura tidak peduli pada mereka yang sebenarnya dia sayang, sebab ketika dia mencoba untuk memperlihatkan kepeduliannya, Zeke tidak pernah melakukannya dengan baik.

“Oh, sorry. Gue lupa.”

“Mau heran tapi lo Zeke Yeager, nggak pernah mau tahu sama keadaan sekitar. Bahkan sama adiknya sekalipun.”

Mendengarnya membuat satu gulungan nikotin hancur diremas oleh genggaman telapak tangan Zeke yang menguat, batal untuk memantik api dan membakar sumbunya karena batang sebelumnya sudah dihisap sampai habis.

“Dari awal memang gue nggak pernah menjadi kakak lo, dan lo juga menganggapnya seperti itu. So it’s fair, I think,” kilah Zeke.

“Ah, bener. Kita memang cuma berbagi nama belakang yang sama, that’s all. Right?” Eren menyahutinya dengan dingin.

Sejak masih belia, Eren selalu berharap bisa dekat dengan Abangnya. Bisa menghabiskan waktu bersama selayaknya sepasang kakak beradik. Semakin dewasa, Eren menyadari kalau hubungan yang dia punya dengan Zeke tidak lebih dari dua anak yang berbagi nama belakang yang sama.

Eren tidak bisa menyalahkan Zeke, waktu itu Zeke masih terlalu belia ketika harus menerima kehadiran Eren yang datangnya dari rahim yang berbeda dengannya.

Zeke hanya menaikkan bahunya, lalu bertanya, “Gimana Papa?”

“Marah besar,” jawab Eren singkat.

“Nggak sepadan dengan apa yang sudah dia lakukan ke gue selama bertahun-tahun. Gue cuma menghilang satu kali di acara pentingnya.”

“Kalo gitu seharusnya lo bisa marah besar juga, kenapa selama ini diem aja?”

Zeke dibuat mengernyit oleh pertanyaan Eren, “Gampang lo bilang begitu, lo nggak akan pernah tahu rasanya jadi gue kaya gimana.”

Of course gue nggak akan pernah tahu karena lo sendiri yang menolak untuk berbagi, gimana orang lain bisa tahu apa yang lo mau?”

Benar. Zeke sendiri yang memilih untuk memendam semua penatnya. Banyak dari orang terdekat yang mencoba menembus dinding yang Zeke bangun sendiri, namun belum ada yang berhasil. Zeke tetap membatasi diri.

“Gue muak banget sama lo, Zeke. Jujur,” tukas Eren ketus, suaranya berat, “Kenapa sih lo terima-terima aja dijadiin boneka sama Papa? Gue paling benci lihat orang yang kebebasannya dirampas tapi nggak berusaha buat mengambilnya kembali. Dan itu yang lo lakukan, Zeke. Gue benci banget.”

“Gue nggak bisa—“

“Karena lo nggak berusaha! Dari usaha yang paling kecil seperti minta tolong aja nggak lo lakukan, Zeke.”

Sudah berkali-kali Eren dibuat geram secara diam-diam oleh Abangnya yang sama sekali tidak berontak. Eren memang tidak akan pernah tahu apa rasanya menjadi Zeke, tapi kalau Eren adalah Zeke, dia tidak akan tinggal diam.

“Zeke, lo tuh pinter, masih muda, harusnya lagi menikmati hidup. Lo yakin nggak bakal nyesel setelah pada akhirnya dinasti itu sudah ada di tangan lo? Lo harus menanggung beban nya sampai lo mati—atau sampai anak-anak lo nanti lahir dan mewariskan nya ke mereka. Lo nggak mau memutus rantai didikan Papa yang menurut lo bikin tersiksa itu? Kalau nggak suka tuh bilang, anjing.

“….”

“Ayo lah Zeke, lo itu nggak sendirian.”

Alih-alih ikut mengeluarkan urat di kepala seperti apa yang barusan Eren lakukan ketika berbicara, Zeke justru terkekeh, “Gue nggak tahu ternyata lo sepeduli itu sama gue, Ren.”

“Gue selalu vokal terhadap apa yang nggak gue suka. Dan itu yang gue lakukan barusan.”

Well, okay? Thanks buat ceramah lo barusan.”

Lalu keheningan mengambil alih untuk mendominasi kekosongan di antara keduanya selama beberapa menit sampai rintik hujan mulai turun, kemudian berubah menjadi deras dan disertai gemuruh langit.

Eren beranjak masuk, mengetahui bahwa udara dingin akan berakibat buruk untuk kesehatannya.

“Gue nggak akan nyuruh lo pulang buat Papa, tapi temen-temen lo di sana semuanya khawatir. Terutama Pieck.”

Ah, Pieck. Tentu saja Zeke merindukan gadis itu lebih dari siapapun. Tetapi rasanya akan memalukan kalau harus bertemu gadis itu dengan keadaannya yang masih berantakan.

“Gue pamit,” ucap Eren yang entah sejak kapan sudah berada di pintu apartemen dan siap membukanya untuk keluar.

“Eren.”

“Apa?”

“Nggak apa-apa kalau gue rusak, yang penting lo jangan.”

Tidak ada jawaban dari Eren, yang Zeke dengar hanyalah suara pintu apartemen yang dibuka kemudian tertutup, menandakan kalau Eren sudah keluar dan tidak lagi berada di dalam bersamanya.