Two Kids Too Young and Dumb
“Buseeeet buset wangi lo nyegrak banget,” Porco mendengus di kursi kemudinya ketika Pieck membuka pintu kursi penumpang yang ada di samping kirinya, seketika harum tubuh Pieck langsung menyeruak dan ditangkap oleh indra penciumannya, membuat Porco menyadari bahwa aroma yang menguar dari tubuh Pieck tercium berbeda. Cewek itu mengganti parfumnya.
“Lebay lo! Soft gini wanginya, Jean brought me this perfume.” protes Pieck.
Hmm, pantesan wanginya ga cocok di hidung gue. Batin Porco.
Tangan kiri Porco lalu meraih gagang persneling dan kakinya menginjak pedal gas mobilnya, lalu tangan kanannya bermanuver di kemudi, “Ini langsung mall? Lo mau mampir kemana dulu gak?”
Pertanyaan Porco tidak langsung dijawab oleh Pieck sehingga membuatnya sedikit menolehkan kepalanya ke sisi kiri, menemukan cewek di sebelah kirinya sedang berkutat dengan ponselnya, “Hape teroooosss.”
“Hehe sorry sorry, langsung aja Pock gue ga mampir kemana-mana.”
“Oke.”
Destinasi yang mereka berdua tuju sore itu adalah salah satu mall yang terletak di pusat ibukota dimana Porco akan mereparasi gitar yang senarnya terputus akibat ulah sok jago main gitar-nya Pieck di sebuah music station yang ada di dalam mall tersebut. Mall itu juga menjadi destinasi yang paling sering Porco dan Pieck kunjungi untuk menghabiskan waktu, biasanya mereka sekadar menonton di cinema, jajan di foodcourt karena keduanya adalah food fighter, atau mengunjungi gramedia untuk memuaskan rutinitas Pieck yang hampir dua kali seminggu hunting buku-buku baru untuk dibaca.
Namun intensitas aktivitas mereka di mall tersebut semakin hari semakin surut semenjak kehadiran orang lain di tengah-tengah mereka. Membuat Porco mau tidak mau mulai merasakan jarak yang muncul diantaranya dan Pieck. Kemarin saja Porco dan Pieck tidak bisa menyaksikan bersama salah satu premier film yang baru saja dirilis, alasannya karena tidak lain tidak bukan adalah Pieck yang memilih untuk beralih ke partner nonton lain, dari Porco ke Jean, yang notabene adalah gebetan Pieck saat ini.
Dari tahun pertama mereka berkuliah di program studi yang sama, Porco dan Pieck telah menjalin hubungan pertemanan yang lengket seperti perangko hingga mereka berada di jenjang tahun ketiga masa perkuliahan mereka. Kelengketan pertemanan mereka justru banyak mengundang tanya, pasalnya gagasan-gagasan klise seperti pertemanan antara cewek dan cowok, salah satunya nggak mungkin nggak baper, sedang menjadi trend di kalangan muda-mudi seperti mereka. Namun, Porco (mulanya) dan Pieck cuek saja.
Sikap cuek Porco berubah ketika dia mulai merasakan kalau dia menginginkan lebih dari sebuah tali persahabatan, namun Porco paham kalau dirinya terlalu cupu untuk mengungkapkan perasaan. Salah satu hal yang membuat Porco dianggap ngenes oleh teman-temannya yang lain adalah fakta bahwa Pieck sudah pernah menjalin hubungan kekasih dengan dua orang pria semasa kuliahnya, tetapi Porco masih betah menjomblo saja sejak tahun pertama kuliah.
Menurut asumsi Reiner, Porco itu seakan-akan menunggu hati Pieck tidak ada yang memiliki, tapi ketika hati Pieck tidak dimiliki siapapun dan sudah kosong, Porco masih dengan mental tempenya yang tidak berani menyampaikan perasaan, “Gak semudah itu goblok,” hanya satu kalimat singkat tersebut yang Porco lontarkan sebagai jawaban atas asumsi Reiner. Lagi pula menurut Porco, tidak ada gunanya dia menjelaskan panjang lebar karena Porco tahu, Reiner tidak akan paham rasanya seperti apa.
“Karcis parkirnya lo pegang Pieck, awas kalo sampe ilang.”
“Iya bawel!!”
Kini mereka berdua berjalan beriringan dari basement menuju elevator untuk naik ke lantai dimana music station yang Porco tuju berada. Di tengah-tengah perjalanannya, Porco dan Pieck ngobrol ringan sambil sekali-kali Pieck memukul keras lengan Porco lalu tertawa kencang karena celotehan-celotehan jenaka temannya. Kedua netra Porco sempat menangkap satu layar billboard dengan display poster The Conjuring 3, film yang batal mereka tonton berdua.
“Eh, gimana tuh Conjuring 3?” tanya Porco santai. Lalu dia dapat merasakan antusias Pieck naik seketika dia mendengar suara cewek itu yang melengking ketika hendak menjawab pertanyaan Porco.
“Seru banget, anjir! Lo tau kan gue paling ga kuat sama jumpscare, terus gue sama Jean—“
“Stop stop stop! Gue tahu habis ini lo mau spoiler.”
Porco terpaksa menggunakan kebiasaan Pieck yang doyan memberikan spoiler sebagai alasan untuk memotong kalimat yang belum cewek itu selesaikan. Padahal alasan sebenarnya adalah Porco sama sekali tidak minat mendengar cerita apapun tentang Pieck dan Jean yang akan cewek itu ceritakan panjang lebar. Untungnya, Pieck tidak menangkap gelagat dan alasan Porco yang tiba-tiba memotong kalimatnya.
Pieck justru nyengir lebar, menyadari kalau ucapan Porco tidak sepenuhnya salah. Dia memang doyan iseng memberi spoiler untuk membuat Porco jengkel, “Hehe tau aja looo!”
Ketika mereka sampai di music station, Porco langsung menuju ke section gitar dan printilan-printilannya, menjelaskan kepada mas-mas penjaga kalau dia ingin mengganti senar gitarnya.
“Eh sini biar gue yang bayar,” tawar Pieck ketika mereka beralih ke section lain sambil menunggu gitar Porco selesai direparasi. Rupanya cewek itu masih merasa bersalah telah membuat senar gitar Porco terputus.
“Dih, ga usah kali. Gue cuma bercanda elah, Pieck. Lo nemenin gue kesini aja udah bersyukur gue.”
“Beneran?”
“Iya lah masa boongan.” jawab Porco final yang diberi anggukkan oleh Pieck.
Porco memang kerap menghabiskan banyak waktunya dengan memetik dan menggenjreng senar-senar gitar akustik favoritnya yang merupakan pemberian Marcel, abangnya. Sesi menggenjreng gitar Porco tidak akan lengkap jika tidak ada Pieck yang ikut mengiringi dengan suara emasnya. Mereka berdua telah memiliki gelar sebagai duo favorite di dalam lingkaran pertemanan mereka apalagi ketika sudah nongkrong bareng, nyanyian Pieck dan petikan gitar Porco tidak pernah absen.
Saat ini, Pieck sedang melihat Porco yang begitu fokus memindai beberapa buah gitar akustik yang terpajang di display. Kemudian Pieck bertanya, “Lo paling suka sama gitar yang mana di display itu?”
“Kalau gue kasih tahu yang mana, lo bakal beliin gak?” alih-alih menjawab, Porco balik bertanya sambil menyeringai.
“Bakal! Bakal gue beliin, apa sih yang nggak buat lo!” merasa tertantang, Pieck menjawab pertanyaan Porco dengan lantang.
Di dalam hati, Porco bermonolog, “Yang nggak buat gue itu hati lo, Pieck.”
Detik berikutnya, Porco mencoba memecah tawa agar suasana tidak menjadi canggung sambil berkata, “Anjaaay, udah kaya sugar mommy aja lo.” kemudian cowok itu lagi-lagi dihadiahi satu pukulan di lengan kirinya oleh Pieck.
Sebenarnya tanpa Porco menjawab pun, Pieck sudah tahu kalau mata Porco hanya tertuju pada satu gitar yang terpajang di display tersebut.
Ponsel Pieck bergetar ketika mereka meninggalkan music station, ada panggilan masuk yang kemudian diangkat oleh cewek itu. Bibirnya mengulas senyum lebar yang baru-baru ini Porco sadari kalau senyum itu cantik setengah mati. Kadar kecantikan senyum Pieck akan semakin bertambah ketika cewek itu tersenyum untuknya, menurut Porco.
“Eh Pock! Kata Jean dia mau nyusul kesini, lo pulang sendirian gapapa?”
Pertanyaan Pieck barusan menghamburkan lamunan Porco tentang senyum Pieck, dia seketika ingin mengumpat saja namun sialnya harus ditahan dan hanya bisa diungkapkan di dalam benak.
Hadeh. Ganggu aja si kuda.
Untuk menghindari kesalahpahaman, Porco sama sekali tidak membenci atau memiliki beef dengan Jean, faktanya mereka berdua berteman dengan baik bahkan sering nongkrong bareng di banyak kesempatan. Porco hanya kesal, dan Jean menjadi lelaki pertama sebagai gebetan Pieck yang membuatnya kesal. Selamat Jean. Semuanya disebabkan karena Porco sendiri sudah menyadari kalau dia jatuh cinta dengan Pieck.
“Gapapa, kapan doi kesininya?”
“Tadi bilangnya dia udah deket sih.”
“Yaudah gue tungguin.”
Sebelum Porco berpisah dengan Pieck, dia curi-curi kesempatan agar bisa membeli segelas boba dengan uang Pieck alias Porco minta traktir. Yah, nggak apa-apa. Setidaknya Porco tidak pulang dengan tangan kosong, ada segelas boba pemberian Pieck yang mengisi salah satu tangannya. Setidaknya pula, rasa manis yang bobanya berikan akan menghapus rasa pahit yang harus Porco telan ketika melihat Pieck dengan antusias bergandengan tangan dengan Jean dan melangkah menjauh darinya.
Merasa kesabaran dan ketabahannya diuji sekali lagi, Porco baru sadar kalau karcis parkir mobilnya masih tersimpan di kantong cardigan Pieck ketika dia sudah sampai di basement. Itu artinya, Porco harus kembali ke dalam mall lagi dan menghampiri Pieck yang sedang berdua dengan Jean.
“Anjing, ada aja yang bikin gue kesel hari ini! Sabar Porco Galliard, sabar.”