Under the glimmering night sky
Pieck seharusnya tidak perlu pusing memikirkan tentang hal-hal seperti pakaian apa yang harus dia kenakan untuk agenda makan malamnya dengan Jean, atau aroma parfum mana yang kira-kira lebih cocok untuk dipakai pada occasion seperti ini.
Hell, Pieck. You’re not a teenager who went to a dinner date for the first time. Lagi pula acaranya ini sama sekali bukan kencan, Pieck hanya dengan senang hati memberi orang yang sudah repot-repot membantunya sebuah traktiran makan malam. Sebab mungkin saja setelah malam ini, dia sama sekali tidak akan bertemu Jean lagi di lain waktu. Setidaknya, ini adalah bentuk balas budi yang bisa dia lakukan.
Seharusnya begitu, namun apa yang terjadi satu jam sebelum Pieck sampai di restaurant dengan pemandangan riverside yang cantik membuatnya bingung setengah mati. Pieck hampir frustasi mengapa dia merasa perlu tampil mengesankan hanya untuk Jean Kirstein.
Pieck langsung disambut hangat oleh Jean ketika sampai di meja yang sudah Jean booked beberapa jam lalu. Adegan yang mirip dengan pertemuan pertama mereka, namun suasananya nya begitu beda karena Pieck tidak lagi menuduh dan meneriaki Jean sebagai seorang penipu.
“This is for you.”
Pieck menerima sebuket bunga dari Jean dengan senang hati, setelah mengucap terima kasih, Jean beralih dan mendekat ke Pieck kemudian menarik sebuah kursi untuk Pieck duduki.
Gentleman.
“Please have a seat, Pieck.”
“Thank you, Jean.”
Sejak pertama kali kedua netranya menangkap sosok mungil Pieck Finger malam ini, Jean sudah terpana. Ditambah dengan fakta bahwa kini mereka duduk berhadapan, membuat Jean semakin bisa melihat setiap inci kecantikan Pieck Finger dari jarak yang lebih dekat.
Semilir angin menjadi sesuatu yang menemani mereka berdua karena meja mereka terletak di area yang memiliki akses langsung ke outdoor and the riverside. Pieck beruntung karena dia memilih sebuah blazer kasual untuk dikenakan malam ini.
“Have you ordered anything, Jean?” tanya Pieck ketika dia memindai deretan nama makanan di sebuah buku menu.
“I got this Pinot Noir red wide, would you like a sip?”
“Yes, please.”
Keduanya bersulang dan saling bertukar pendapat tentang menu apa yang sebaiknya mereka santap malam ini. Mungkin pilihan yang terbaik adalah steak daging merah, pikir Jean dan Pieck. Klasik memang. Lalu seorang pelayan datang untuk mencatat pesanan mereka dan mempersilakan keduanya untuk menunggu beberapa menit sampai makanan mereka datang.
“So, how’s Marley, Jean?”
“Never been this great to be in Marley. Biasanya saya cuma ke sini buat urusan kantor. Now that I’ve met you here, saya jadi kepingin ke sini sering-sering.”
Jawaban Jean membuat Pieck mendengus, baru sehari bertemu laki-laki ini, dia sudah paham kalau Jean is such a sweet talker.
“Berarti, besok kamu pulang ke Paradis? It’s Monday tomorrow, you need to work.”
“Yeah, sayang sekali saya harus pulang besok. I’m taking an early flight. Saya bakal masuk kantor setelah jam makan siang,” jawab Jean sambil menopangkan dagunya seraya memusatkan perhatiannya ke arah Pieck.
“May you have a safe flight then.”
“Thanks, lady.”
Makan malam mereka berlangsung dengan tenang, namun sama sekali tidak ada kecanggungan yang menyelimuti keduanya. Semua percakapan yang mayoritas Jean angkat selalu mengalir begitu saja, keduanya mampu menghidupkan topik-topik baik yang penting maupun yang tidak penting sekalipun malam itu. Dari menceritakan tentang kehidupan kerja mereka, sampai mengomentari bagaimana servis pelayanan di restoran ini sangat baik.
“Actually saya punya temen yang kerja di Reiss Holdings juga, tapi dia ada di kantor Marley,” ucap Pieck yang menandakan topik kesekian dari percakapan mereka setelah makan malam usai.
Kini keduanya sedang bersantai di area luar restaurant sambil menyesap anggur merah dari gelas masing-masing.
“Oh ya? Siapa? Siapa tahu saya kenal.”
“Reiner Braun, kenal nggak?”
Jean sontak tertawa ketika mendengar nama seseorang disebut, “Loh, yang tinggi besar dan rambutnya pirang? Dia sih juga teman kuliah saya, Pieck.”
“For real?? No way ternyata dunia sesempit itu!”
Antusiasme membuat Pieck ikut mengeluarkan tawa—tawa yang menurut Jean cantiknya tidak ada dua. Jean memang selalu dikelilingi wanita-wanita cantik, bahkan dia pernah mengencani beberapa dari mereka.
But Pieck Finger has another level of beauty yang tidak bisa Jean deskripsikan dengan mudah. Words can not do justice to her beauty. Under the starry night’s sky, the glimmering look in her face looks very splendid.
Menyadari tatapan intens Jean, tawa perempuan itu terhenti dan membuatnya sedikit merasa canggung. Tatapan Jean Kirstein ini… menurut Pieck sangat membahayakan, Pieck merasa dirinya telanjang setiap kali ditatap seperti itu oleh Jean.
Bukan berarti Jean selalu memberinya tatapan nakal, tetapi tatapan itu memiliki daya tarik tersendiri yang sedang berusaha Pieck tangkis.
Untuk menutupi rasa canggungnya, Pieck kembali menyesap anggur merahnya. Lalu sudut mata Pieck menangkap Jean yang tengah mengeluarkan ponsel dari saku celana.
“Pieck, saya boleh ambil foto kamu?” tanya Jean.
Pertanyaan itu membuat Pieck mengernyit, fotonya? Untuk apa? Dia bukan seorang publik figur yang worth untuk difoto, “My photo? Untuk apa?”
“Buat kenang-kenangan aja, boleh?,” balas Jean santai.
“Hng… boleh deh.”
“Okay, kamu nggak harus pose yang gimana-gimana. Saya lebih suka ambil foto candid. Yang penting saya sudah izin sama kamu, ya?”
“O-okay…?”
Malam mulai larut meskipun masih panjang, Pieck harus segera pulang karena suatu hal yang membuatnya tidak bisa pulang terlalu larut di hari Minggu malam, “Jean, thank you so much ya sekali lagi. Tapi saya harus pulang sekarang.”
Jean merasa dia harus mengantar Pieck ke rumahnya mengingat tadi perempuan itu cukup banyak meminum anggur merahnya, “Wait Pieck—let me drive you home.”
“No need to, saya bawa mobil sendiri loh, Jean.”
“Kebetulan saya nggak bawa kendaraan, jadi biar saya yang nyetir sampai ke rumah kamu then I’ll take an uber buat ke hotel saya. Lagi pula kamu tadi minum banyak wine, ini juga sudah terlalu malam.”
Alasan yang barusan Jean sebutkan cukup membuat Pieck terdiam dan merutuki dirinya sebab kehilangan kontrol atas konsumsi alkoholnya malam ini. Mau tidak mau, dia harus menerima tawaran lelaki di hadapannya sekarang.
“Maaf jadi ngerepotin kamu lagi,” jawab Pieck pada akhirnya sambil menyerahkan kunci mobil kepada Jean.
Jena hanya menanggapi singkat sambil tersenyum, “Saya nggak merasa direpotin kok.”
Di dalam mobil yang dilajukan dengan kecepatan sedang untuk membelah jalanan kota Liberio, Jean fokus mengemudi setelah Pieck memberi tahu tempat tinggalnya yang ternyata ada di sebuah gedung apartemen mewah di tengah kota, jaraknya cukup dekat dengan hotel tempat Jean menginap selama dua malam.
“Pieck, kalau saya bilang saya jatuh cinta sama kamu, would you be mad?”
Entah dorongan apa yang membuat Jean dengan mudah melontarkan kalimatnya barusan. Datangnya tiba-tiba, pun tanpa aba-aba, yang jelas Jean tahu kalau dia tidak punya banyak kesempatan untuk bertemu dengan Pieck karena terhalang oleh jarak dua negara. Sebelum Jean kembali ke Paradis, dia merasa at least Pieck harus tahu bahwa rasa ketertarikannya terhadap perempuan itu ialah nyata.
Sedangkan Pieck membeku di kursi penumpang. Sekeras apapun hatinya ingin setuju atas rasa ketertarikan yang sama pada lelaki di sampingnya, otak Pieck justru bekerja dengan sibuk untuk menghalau perasaan tersebut.
Membuat sang puan semakin denial dan mensugesti dirinya sendiri kalau dia sama sekali tidak tertarik dengan hubungan apapun yang akan melibatkan dirinya dan Jean Kirstein.
“Boleh saya kasih saran buat kamu, Jean?”
“What is it?”
“Jangan jatuh cinta sama saya, kamu hanya akan buang-buang waktu.”