Walk You Home.
Musim semi tahun lalu adalah dimana pertama kalinya kedua mata kita saling bertemu, waktu itu yang kuingat dari dirimu hanyalah iris biru sebening bentang lautan dan surai pirang yang hampir sama persis dengan milikku. Sungguh, aku sangat ingin mengetahui namamu.
Ketika kulihat kau mendudukan dirimu di sebuah bangku taman, bunga-bunga yang bermekaran semakin mempercantik indahnya dirimu yang tertawa dengan manis sembari mendengar celotehan temanmu. Sungguh, aku begitu ingin menghentikan langkahku dan ikut duduk di sampingmu—mendengar suara tawamu dengan lebih dekat.
Pada suatu hari ketika aku akhirnya mengetahui namamu, nama yang terus berlarian di dalam pikiranku, nama yang begitu indah ketika kau ucapkan dari sela bibirmu—Annie Leonhart, aku ingin segera bisa tenggelam dalam percakapan panjang denganmu.
Aku selalu percaya kalau semua perempuan adalah kelopak bunga. Ada yang bersemi mekar dengan megah, ada juga yang bersemi namun masih malu-malu memperlihatkan keindahan kuntumnya.
Kalau Annie Leonhart, aku melihatnya seperti bunga yang kelopak di kuntumnya belum sepenuhnya mekar, namun memiliki warna yang tidak dia sadari membuat hatiku susah untuk diatur ritme detaknya.
Ketika aku berhasil menggapai sesuatu tentang dirimu, mana mungkin aku bisa berhenti menginginkan sesuatu yang lebih tentang dirimu untuk kembali kugapai?
Annie, di musim semi tahun ini, aku memberanikan diri dan memohon izin kepadamu untuk berjalan beriringan di sampingmu ketika bel terakhir sekolah telah berdering. Anggukkan kepalamu membuatku tak berhenti tersenyum dan terus bertanya dalam benak.
Annie, meskipun aku hanyalah seorang Armin Arlert, namun bolehkah aku berjalan saraya menggandeng tanganmu?
Annie, aku memiliki sebuah harapan—harapan agar setidaknya aku bisa berjalan beriringan denganmu dalam jarak yang lebih jauh dari pemberhentian bus sekolah yang begitu ramai sampai rasanya sesak, sehingga waktu yang kita lewati bersama akan lebih panjang.
Annie, aku begitu benci ketika diriku dan dirimu harus dipisahkan dengan langit sore yang mulai merubah warna senjanya menjadi lebih gelap.
Setiap kali aku melihat bangku taman yang bisa kita duduki berdua, aku ingin kita singgah di sana sebentar saja untuk mengulur waktu perpisahan. Aku ingin terus berhenti di sana, sambil memanggil namamu meskipun aku tidak memiliki sesuatu yang lain untuk dikatakan.
Satu langkah
Dua langkah
Dan langkah lainnya yang mengantar kita ke tempat dimana kita harus berpisah terasa begitu berat untuk kujalani sendirian.
Tapi Annie, sebelum berpisah, aku ingin memberikanmu kehangatan, maka terimalah sebuah pelukan ini dan tunggu... tunggu hingga hari esok, sampai kita akan bertemu kembali.
Annie, aku berpesan kepadamu agar kau sampai di rumah dengan selamat di tengah-tengah lambaian tanganku yang kau balas dengan senyum singkat. Ketika kau mulai berjalan masuk ke dalam bus dan punggung indahmu mulai hilang dari jarak pandanganku, aku berbalik dan sudah mulai merindukanmu pada detik itu juga.
Annie, aku selalu menyertakan namamu di setiap doa di malam hari sebelum tidurku. Beberapa saat lagi lagi kita akan sampai di akhir pekan yang telah ditunggu-tunggu, aku berharap kau akan tidur nyenyak di malam ini.
Sebab, aku akan menjadi seseorang yang datang untuk menjemputmu di akhir pekan yang telah kita nantikan untuk dilewati—juga mengukirnya dengan kenangan-kenangan indah bersama.
“Annie, mari bertemu kembali di halte bus yang sama pukul dua siang di akhir pekan.”
Dengan hati yang berdebar, langkah kakiku membawaku ke tempat tujuan, melalui angin yang berhembus, ditemani birunya langit, untuk menemui dirimu.