Was It A dream?

Seumur hidup, Pieck Finger tidak pernah berpikir bahwa dirinya akan mengalami suatu peristiwa yang membuatnya kebingungan setengah mati. Pada dasarnya, Pieck sangat enggan untuk memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal seperti memikirkan konspirasi-konspirasi yang menjadi topik perbincangan banyak orang bahkan para pakar teoritis, meskipun otak cewek itu terlampau encer, Pieck tetap malas dan memilih untuk hanya memikirkan apa yang perlu dipikirkannya.

Namun di pagi hari menjelang siang ini, dia harus dihadapkan dengan situasi yang membuatnya untuk berpikir keras saking bingungnya. Seingat Pieck, dia sempat berada di sebuah jalan raya untuk menyebrang ke halte bus di malam hari setelah dia pulang dari kantornya. Bukan Pieck Finger namanya kalau tidak melakukan hal-hal bodoh, dia selalu berjalan tanpa melihat arah dan tidak memperdulikan sekitar, ditambah dengan fakta bahwa tubuhnya yang sangat mungil membuatnya mudah terlempar atau setidaknya terjatuh meskipun hanya disenggol sedikit.

Pada akhirnya Pieck tersungkur ke aspal jalan raya itu, alih-alih segera bangkit dan melanjutkan agenda menyebrangnya, dia justru sibuk mengaduh kesakitan sambil mulutnya berkomat-kamit mengeluarkan sumpah serapah untuk orang yang telah menyenggolnya hingga membuatnya tersungkur. Sampai-sampai Pieck tidak sadar ada mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi yang menghampirinya, lampu sorot dari mobilnya begitu menyilaukan hingga membuat matanya sakit. Detik kemudian yang terjadi adalah Pieck merasa badannya dihantam oleh mobil tersebut dan kesadarannya yang mulai menghilang. Semuanya menjadi gelap sebelum dia terbangun kembali.

Yang membuat Pieck bingung setengah mati adalah ektika dia mendapati dirinya terbangun dari kasurnya, dia menyadari sedang berada di kamarnya yang familiar.

“Kejadian yang tadi itu cuma mimpi kali ya?”

Dia bahkan sempat berpikir akan mati muda secara dramatis seperti adegan drama-drama korea yang rutin dia tonton. Namun pada akhirnya, Pieck bisa menghela napas lega.

Tangannya berusaha meraih ponselnya yang berada di nakas samping tempat tidur, tiba-tiba dia merasakan ukuran ponselnya berubah menjadi jauh lebih kecil di dalam genggamannya. Pieck membelalak panik, “Lah kok ini? Iphone 12 Pro gue mana?? Anjir jangan sampe ilang mana itu masih nyicil!”

Pieck masih mencoba untuk mencari Iphone 12 Pro nya dengan cara menyibak-nyibak selimut di atas kasurnya dan memindai seluruh permukaan yang ada di kamarnya, namun nihil. Yang masih ada di genggamannya sekarang adalah Iphone 6, ponsel jadul yang masih dia ingat pernah menjadi miliknya beberapa tahun silam.

Merasa frustasi, Pieck menekan tombol power ponsel jadulnya tersebut untuk mengecek waktu, “Oh, masih jam sepuluh. Masih ada sejam buat meeting.”

Kemudian Pieck dikejutkan dengan bunyi notifikasi pesan yang datang berentetan, membuat ponsel itu berbunyi dan bergetar. Dia mengernyitkan dahinya, tidak menyangka kalau ponsel jadulnya masih bisa berfungsi. Ternyata notifikasi yang masuk datang dari group chat sohib-sohibnya, jarinya bergerak di layar sentuh untuk membuka chatroomnya.

Kerutan di dahinya semakin dalam ketika membaca pesan-pesan yang ada di dalamnya, terutama pesan dari Hange.

“Ini si Hange mabok??”

Semakin Pieck mencoba untuk mengetikkan jarinya dan mengirim pesan ke grup chat, semakin bingung dirinya ketika membaca pesan balasan dari teman-temannya. Pasalnya, tidak hanya Hange yang menurutnya aneh, tapi Erwin dan Levi juga, dua teman prianya terlihat sama-sama membicarakan topik yang Hange angkat di awal chat mereka.

“Ini apa maksudnya sih? Mereka kali yang halu. Kenapa jadi ngomongin urusan kuliah si??” gerutu Pieck frustrasi, karena dia tahu betul kalau mereka semua sudah lulus bahkan sudah bekerja di salah satu perusahaan terbesar di negara mereka.

Ketika Pieck mencoba ‘menyadarkan’ Hange, Levi dan Erwin, justru dia yang mendapatkan ‘makian’ dari teman-temannya. Sampai di mana satu bubble chat muncul dan tertera nama Zeke sebagai si pengirim pesan, Pieck membulatkan matanya dan semakin bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Tidak masuk akal, sampai detik ini Pieck masih optimis kalau teman-temannya sedang melakukan prank kepadanya bahkan setelah Pieck berbalas beberapa pesan dengan Zeke di kolom pesan pribadi.

Namun Pieck teringat oleh bubble chat Levi yang menyuruhnya untuk mengecek kalender. Mulanya Pieck malas, namun pikirnya kemudian mungkin dari sana dia akan menemukan sesuatu untuk menjawab ketidak masuk akalan ini, jadi dia memutuskan untuk membuka aplikasi kalender di ponsel jadulnya.

Matanya dibuat semakin terbelalak, badannya menjadi lemas ketika kalender menunjukan tanggal, bulan, dan tahun yang berbeda dengan apa yang seharusnya Pieck ketahui. Masih belum ingin percaya, Pieck mencari kalender lain yang selalu menggantung di permukaan dinding kamarnya hanya untuk dikecewakan setelah menemukan apa yang dia lihat.

26 Agustus 2016

Pieck jatuh terduduk lemas di atas kasurnya. Matanya jelalatan ke seluruh penjuru ruangan kamarnya, dia baru sadar, dekorasi kamar yang sekarang dia tempati adalah dekorasi kamar Pieck pada tahun 2016, bukan dekorasi kamarnya pada tahun 2021. Iris kelabunya jatuh ke sebuah objek yaitu laptop yang terletak di atas meja belajar—seharusnya meja kerjanya, lagi-lagi berwujud laptopnya yang dia miliki di tahun 2016, alih-alih laptopnya di tahun 2021.

“Nggak mungkin…” setelah apa yang dilihatnya membuat Pieck melongo, dia memikirkan sesuatu, gagasan itu cukup tidak masuk akal untuknya sampai Pieck menggelengkan kepalanya sebagai bentuk denial, “Nggak mungkin lah? Masa iya gue lagi time travel? Yang bener aja Pieck Finger, lo bukan main character di drakor fantasi,” monolognya sambil iseng menampar pipinya.

Gagasan yang dipikirkannya tersebut justru membuat Pieck tertawa miris, semakin tertekan ketika dia mencoba untuk mengelak. Untuk membuktikan bahwa semua yang dilihatnya barusan itu salah, Pieck akan mencoba untuk mencari jawaban dengan menemui teman-temannya. Persetan dengan meeting perusahaan yang harus dihadirinya satu jam kedepan, apa yang telah dilihatnya membuat Pieck ragu akan eksistensi nyata dari meeting tersebut.

Dimana? Satu-satunya tempat yang terbesit di dalam otaknya saat ini adalah tempat dimana teman-teman Pieck menyuruhnya datang, yaitu kampusnya.