lilymagicals

Agenda terakhir acara reuni diisi dengan makan malam. Mereka singgah di salah satu restoran untuk mengisi perut setelah selesai foto studio. Seperti biasa, agenda makan berjalan dengan suasana hangat sampai menu yang disajikan tersantap habis.

Shikamaru beranjak dari duduknya setelah meminum habis sisa cocktail yang ada di gelasnya. Namun entah kenapa, pergerakan cowok itu justru mengundang tanya bagi teman-teman lainnya.

“Mau kemana Shik?” tanya Kiba

“Ke depan.”

“Sebat?”

“Yoi.”

“Ikut lah gue.”

Waktu Kiba hendak ikutan berdiri, Shikamaru justru menahan cowok itu supaya nggak mengikuti nya. “Eh nggak, lo di sini aja.”

Kiba jadi semakin bertanya-tanya, “Kenapa dah??”

Kemudian Chouji angkat bicara sambil tertawa, “Itu Shikamaru mau ke depan, bayar bill.”

“Loh kenapa Shikamaru yang bayar?? Kan biasanya kita semua juga split bill?” Tenten bertanya sambil ikutan bingung.

Memang benar ketika mereka masih ada di bangku kuliah, untuk urusan bayar makanan pasti biayanya mereka tanggung masing-masing, kecuali memang ada special occasion baru salah satu dari mereka akan mentraktir.

Namun kali ini agak berbeda, Shikamaru pikir nggak ada salahnya kalau dia yang membayar semuanya, toh cowok itu sudah bekerja dan punya sedikit uang lebih untuk mentraktir teman-temannya. Sedikit di sini bukan secara harfiah nominalnya bill mereka betulan sedikit ya, apalagi mereka sedang berada di restoran fancy yang kalau kata Chouji sih pernah direview sama chef dan f&b specialist yang namanya Kode Biru.

“Waduh ceritanya gentleman ya, Shik. Anti split bill.” kata Sai menimpali.

“Split bill aja udah lagian dari awal nggak ada yang bilang mau traktir.” sahut Neji.

“Ya makanya ini gue bilang, santai aja lah.” kata Shikamaru menaikan bahunya.

“Ih jangaaan.”

“Daripada bingung mending gue aja kalau gitu.” Sasuke mengangkat tangannya untuk memberi isyarat kepada waiter supaya dibawakan bill meja mereka.

“Eits!” Naruto mencengkeram tangan Sasuke, membuat pergerakan cowok itu terhenti. “Aduh gue bingung banget, ternyata kalian udah beneran pada dewasa sampai rebutan bayar gini!”

Kalimat Naruto disusul dengan kekehan teman lain nya yang sedang geleng-geleng kepala.

“Gini aja deh biar seru…” sambungnya sambil menyeringai. Bukan Naruto kalau cowok itu nggak iseng dengan ide-ide di kepalanya yang quirky, “Yang berkenan boleh keluarin kartu kredit atau debit kalian, kumpulin di sini, terus diacak. Habis itu biar waiter atau waitress yang pilih secara random kartu siapa buat bayar makan kita kali ini.”

OH MY GOD THIS IS GOING TO BE SO FUN!” Ino memekik, cewek itu ikut buru-buru mengeluarkan salah satu kartu miliknya dari dompet dan diserahkan ke Naruto.

“Anjir si Naruto. Tapi boleh lah, ini punya gue.” seru Sai.

“Hadeh, ada-ada aja.” Shikamaru melempar kartunya ke tengah meja, di mana beberapa kartu lain sudah diletakan.

Sakura kembali mengingatkan, “Yaampun guys, inget ya ini buat yang berkenan aja. Yang enggak ya nggak usah ikut-ikutan.”

“Naruto yang kasih ide berarti harus ikut keluarin kartunya juga nggak sih?” giliran Hinata yang berbicara sambil menggoda Naruto.

“OH JELAS DONG.”

Ketika beberapa kartu dari berbagai bank yang berbeda sudah terkumpul, Naruto mengacak kartu-kartu tersebut dan memanggil seorang waitress yang kebetulan standby di dekat meja mereka.

“Mbak, tolong pilih satu kartu yang ada di sini, random ya!”

Waitress tersebut terlihat bingung dan ragu-ragu untuk beberapa saat, sehingga dia pun bertanya untuk memastikan. “Ini betulan, Kak?”

“Betul mbak, pilih aja bebas yang mana.” jawab Neji yang tetap duduk anteng di kursinya.

“Oh iya, baik kak.”

Tangan waitress tersebut kemudian meraba kartu-kartu yang ada di depannya dan mengulang gerakan tersebut beberapa kali. Sampai ketika waitress tersebut pada akhirnya menarik sebuah kartu, di situ lah riuh tepukan tangan langsung terdengar.

“WADUUUUUH.”

“HAHAHAHA.”

“INI BLACK CARD AMEX PUNYA SIAPA?? HAHAHA.”

Si pemilik black card tersebut merasa malu sendiri mendengar sorak dan tepukan tangan dari teman-temannya, padahal harusnya mereka bereaksi biasa saja.

“Aduh! Congrats sayangku!”

Sakura meraih pipi si pemilik black card untuk dikecup singkat, yang mana pemiliknya tidak lain tidak bukan adalah Sasuke.

Setelah Sasuke melakukan payment, mereka semua merapikan barang-barang bawaan pribadi karena agenda makan bersama telah usai.

“Sedih banget sekarang kalau mau ketemuan harus tentuin tanggal, padahal dulu hampir setiap hari bisa ketemu.” Ino mengerucutkan bibirnya setelah selesai mengoleskan liptint sebagai ritual touch up wajib sehabis makan.

“Tapi meskipun begitu, jangan lupain satu sama lain ya guys. Kalau ada kabar baik atau apapun itu jangan sungkan untuk share di grup!” Sakura menimpali sebagai upayanya untuk menjaga tali pertemanan mereka supaya tidak renggang.

“Iya bener, ya meskipun sekarang kita udah sibuk sama kerjaan masing-masing, tapi kalo grup nya rame tuh jujur seneng banget.” ujar Naruto.

“Mungkin gak semuanya bakal bisa respon, tapi pasti tetep ada lah orang-orang chronically online kaya Naruto yang responsif banget.” Shikamaru melanjutkan, sambil tersenyum miring dan mendapat acungan jempol dari teman yang namanya disebut.

“Kalau pengan kumpul juga gas lah cuy, nggak harus full team kan. Ya maklum lah, toh kita masih bisa catch up lewat manapun meskipun nggak ketemu langsung, ya kan?”

Pertanyaan Kiba diberi afirmasi dengan beberapa kepala yang mengangguk, pertana setuju.

Ketigabelas pemuda dan pemudi berjalan bersama, keluar dari restoran ke lahan parkir di mana kendaraan mereka akan mengantar menuju kepulangan.

“Ini pulang nya aman semua? Ada yang perlu tebengan?” tanya Neji.

“Gue! Anterin ke stasiun MRT aja.” kata Tenten angkat tangan.

Sedangkan permintaan cewek yang masih setia mencepol rambutnya menjadi dua itu membuat Hinata menggelengkan kepalanya. “Nanggung banget Tenten, sekalian minta anter Kak Neji sampai kos aja. Lagian searah kan?”

Tenten sendiri menggaruk pipinya yang nggak gatal, “Iya sih. Tapi kos baru gue kan harus masuk ke jalan sempit gitu, sungkan.”

“Sungkan sungkan kaya sama siapa. Yuk lah.” kata Neji final.

“Ino, pulang sama gue?”

Pertanyaan Shikamaru yang dilempar untuk Ino membuat cewek itu merasa canggung. Ditambah dengan pertanyaan Sai selanjutnya.

“Bukannya tujuan pulang kalian itu sama ya?”

Ino semakin nggak tahu harus menjawab apa.

“Shik, gue nggak bawa kendaraan. Gue bareng lo sama Ino ya!” untung saja, ada Chouji yang menyelamatkan Ino dari ketidaknyamanannya, perkara pulang kemana, akan cewek itu pikirkan nanti saja. Shikamaru pun mengiyakan permintaan Chouji.

“Yaudah nanti soft-file foto studio tadi sama yang lainnya gue compile ke gdrive terus share di grup ya.” ujar Sai ketika yang sudah bertengger di motor nya.

Sambil mengangkat tangan membentuk salam hormat, Rock Lee menjawab dengan semangat yang masih belum padam, “Siap!”

“Jangan kelamaan share nya.” timpal Sasuke.

Shino menjadi yang pertama mengucap pamit, sebab setelah ini dia masih ada agenda lain untuk dilaksanakan. “Hati-hati di jalan guys, gue duluan ya.”

Kepergian motor Shino diiringi dengan lambaian tangan dan seruan dari Sakura yang mengingatkan teman-temannya, “Kalau udah sampe rumah kabarin di grup!”

Maka di sini lah mereka semua kembali berpisah, pulang ke tempat masing-masing. Kepulangan yang berarti kembali ke realita, kepulangan yang berarti mereka harus merelakan kalau reuni kecil-kecilan ini telah berakhir, kepulangan yang berarti akan memakan waktu luang mereka dengan diisi oleh kesibukan, kepulangan yang menandakan grup whatsapp mereka akan kembali sunyi.

Pelaksanaan inaugurasi pengurus baru HIMAHI harusnya dimulai dalam sepuluh menit kedepan, namun Shikamaru dan tamu undangan lainnya belum diberi instruksi untuk memasuki ruangan tempat akan dilaksanakannya prosesi inaugurasi. Bahkan Shikamaru dan keduabelas teman lainnya masih bersantai makan dan nyebat sambil berceloteh di kantin FISIP yang mereka rindukan ini.

Keterlambatan memang hal biasa, apalagi untuk negara Konoha yang sumber daya manusia nya identik dengan budaya ngaret. Namun hal itu nggak membuat Shikamaru berhenti memantau situasi. Cowok itu sempat ngechat di grup dewan pengawas organisasi dan bertanya apakah mereka sudah boleh masuk ke ruangan inaugurasi, tapi nggak ada jawaban yang didapatnya dari perwakilan pengurus baru HIMAHI.

“Ini kita ke aula nya kapan? Udah jam sepuluh lewat loh.” Sakura melirik arloji nya, sebagai orang yang terbiasa tepat waktu, jelas cewek itu bakal bertanya-tanya.

“Gue belom dapet kabar dari anak-anak, tunggu aja lah sampe dikabarin.” balas Naruto.

Di sisi lain, Kiba menanyakan suatu hal yang mustahi. “Kalo ternyata acara nya udah mulai tapi kita kagak diajak gimana??”

“Ya kalau gitu ngapain kita diundang peleh.” jawab Shino sambil nggetok kepala temannya.

“Coba ada yang cek ke sekre…” kata Hinata melihat situasi yang nggak pasti ini.

Shikamaru menarik rokoknya dan membuang sisa yang masih setengah ke asbak. Dia berencana buat melakukan usulan Hinata, walaupun sebenarnya malas, tapi kalau nggak dilakukan, takutnya ada sesuatu yang terjadi. “Gue cek deh.”

“IKUT! Gue pengen jalan-jalan.” Naruto mengejar Shikamaru yang sudah jalan duluan. Di belakangnya, Sasuke ikut mengekor tanpa bilang apapun, meninggalkan teman-teman lain yang masih stay di kantin.

Ketiganya menerobos lapangan FISIP untuk menuju gedung departemen Hubungan Internasional, di mana ruang sekre mereka ada di lantai dua. Tapi dari bawah, mereka bisa melihat kalau area depan sekre masih ramai, artinya pengurus baru HIMAHI juga belum menempati aula FISIP sebagai tempat inaugurasi.

“Hadeh gimana ini bocah-bocahnya aja belom ke aula? Katanya mulai jam sepuluh kan??” Naruto mulai menggerutu setelah melihat sekre yang masih ramai.

“Coba tanya ke itu tuh.” Sasuke menunjuk seorang perempuan yang baru saja keluar dari ruangan kantor dosen. Cewek itu memakai jaket himpunan, jadi bisa dipastikan kalau dia adalah salah satu pengurus baru HIMAHI.

Shikamaru berjalan mendekat ke adik tingkat cewek itu waktu dia akan menaiki tangga untuk kembali ke sekre. “Sorry, Sumire ya?”

Cewek itu menoleh, sedikit terkejut waktu mendapati tiga cowok kakak tingkat nya, “Kak Shikamaru! Halo iya kak ini Sumire. Ada yang bisa dibantu, Kak?”

“Inaugurasinya kenapa belum dimulai ya? Udah ngaret hampir dua puluh menit.”

“Aduh oh… Itu…” Sumire terlihat nggak tenang, cewek itu merasa panik karena beberapa hal. “Maaf kak, sebenernya lagi ada masalah administrasi sama venue nya.”

“Masalah administrasi? Surat peminjaman? Sekretaris nya siapa?”

“Saya kak. Surat peminjaman aula FISIP nya hilang.”

Pantas saja kalau Sumire panik, ternyata masalah yang katanya sedang terjadi ini berhubungan dengan cewek ini. Nggak lama kemudian, Sumire menjawab panggilan yang masuk ke ponsel nya. Kalimat yang disampaikan oleh rekan Sumire di sambungan telefon justru membuat cewek itu semakin pucat.

“Kak Shikamaru maaf saya harus pamit ke sekre dulu, ada miskom. Maaf ya kak, nanti LO untuk angkatan Kak Shikamaru bakal nyamperin kok.”

“Bentar, di aula ada siapa aja?”

“Kalau nggak salah ada Sarada, saya pamit ya kak. Mari Kak Shikamaru, Kak Naruto, Kak Sasuke.”

Setelah Sumire pamitan, cewek itu langsung berlari menaiki anak tangga menuju ke sekre. Sedangkan, Shikamaru, Naruto, dan Sasuke memilih untuk pergi ke aula untuk memantau situasi lebih lanjut.

Namun situasi yang Shikamaru dkk lihat sesampainya di area aula justru membuat dahi mereka bertiga dikerutkan. Di sana ada adik tingkat berkacamata yang ketiganya kenal, Sarada, sedang terpojok oleh segerombol anak cowok yang mengenakan jaket himpunan dari departemen sebelah.

Kalau dilihat dari jauh sih, situasinya sedang nggak baik-baik saja. Bisa dikatakan situasinya cukup tegang. Shikamaru, Naruto, dan Sasuke belum berniat untuk menginterupsi. Sampai sesuatu yang membuat ketiganya geram sehingga mereka sudah nggak bisa diam lagi. Bahu Sarada terlihat didorong cukup kencang oleh salah satu cowok yang entah siapa namanya itu.

Sasuke langsung menghampiri kerumunan itu dan berhasil mencengkeram satu tangan yang hampir saja dilayangkan ke arah Sarada yang memasang badan tanpa tersentak.

“Sorry, ini area kampus dan nggak sepantasnya lo main tangan.” kalimat dingin Sasuke lolos dari mulutnya, jangan lupakan cengkeraman tangannya yang membuat anak cowok itu meringis.

“Woy lepasin, lo siapa? Kaga usah ikut campur bisa bisa gak lo??”

“Lo anak himpunan mana sih?” Sasuke semakin mengencangkan cengkeraman tangannya waktu cowok di hadapannya mencoba untuk melawan. Dia juga membalikan cowok itu untuk melihat tulisan departemen di bagian punggung jaket himpunan cowok itu. Sasuke berdecak setelah memastikan dari departemen mana cowok tengil ini berasal. “Pantesan. Nggak berubah ya. Departemen kalian masih anarkis, seperti biasa.”

“Lepasin anjing.”

Sesuai permintaan, Sasuke melepas cengkeraman tangannya dangan kasar, sampai cowok dari departemen [redacted] tersebut sedikit tersungkur.

“SARADAAAA. KAMU GAPAPA??” Naruto dengan heboh ngecek kondisi Sarada yang kemungkinan lumayan terkejut, meski air muka adik tingkat yang akan segera dilantik menjadi ketua HIMAHI ini cukup tenang.

“Aku nggak apa-apa kok, Kak. Maaf ya ada keributan.”

Shikamaru yang tetap tenang kemudian mencoba meminta klarifikasi atas kegaduhan yang barusan terjadi. “Ini kenapa ya? Kenapa Sarada dipojokin gini?”

“Kahim cewek ini yang gak becus ngurus acara. Harus nya himpunan kami yang pake aula ini duluan buat inaugurasi!” salah satu cowok lain dari himpunan departemen sebelah menunjuk Sarada secara meremehkan.

“Lo tunggu dulu ya setan! HIMAHI udah dapet izin dari sarpras fakultas buat pake aula ini jam sembilan pagi sampe tiga siang!”

Sarada yang daritadi cuma diam akhirnya bersuara juga, lumayan ngegas pula. Sampai Naruto dan Shikamaru sempat cengo sebentar.

“Yaudah mana coba gue liat surat izin lo!” cecar cowok itu lagi.

“…..”

Namun kali ini, Sarada nggak bisa membalas cecaran cowok dari himpunan departemen lain itu.

Shikamaru menaikan sebelah alisnya, kemudian bertanya dengan sedikit berbisik. “Surat izin kalian mana?”

“…. Hilang kak.” jawab Sarada.

“Kok bisa hilang? Siapa yang terakhir pegang?”

“Kadep Operasional Kak, waktu dia lagi beres-beres ruangan ini, suratnya dipegang dia.”

Naruto yang mendengar percakapan tersebut ikut nimbrung, “Kadep operasional siapa emang??”

“Kawaki.”

“Pffftt.” Muka Naruto yang sudah asem duluan waktu mendengar lagi-lagi bagian operasional yang bermasalah, jadi makin asem waktu tau siapa nama kepala departemennya.

“Departemen operasional kapan bener nya sih??” Sasuke menimpali.

Shikamaru memutar bola matanya. Dia jadi teringat jaman kepengurusannya, sama seperti ini—Kiba sebagai kepala departemen operasional juga langganan menghilangkan beberapa sirat izin peminjaman yang cukup penting.

“SARADAAAAAAA.”

Teriakan seseorang yang cukup melengking itu terdengar di sekitar area aula. Sarada tanpa repot-repot sudah tau siapa yang memanggilnya dengan nada seperti itu. Cewek itu memijat pelipisnya sebentar, merasa pusing karena di hari pertamanya akan resmi menjadi ketua himpunan, sudah banyak saja huru-hara yang terjadi.

“SARADA SURATNYA UDAH KETEMUUUU.” sebuah kepala kuning berjenis kelamin laki-laki muncul dari entah arah mana sambil membawa sebuah amplop yang diangkat oleh tangannya tinggi-tinggi. Kemudian di belakangnya, ada Kawaki sebagai pelaku utama masalah yang terjadi, dan beberapa mahasiswa mengenakan jaket himpunan HIMAHI seraya menyusul. Selain anak-anak pengurus baru HIMAHI, beberapa alumni juga mulai terlihat di pelataran aula.

“BORUTO NGGAK USAH BIKIN GADUH!” Sarada menjitak kepala kuning Boruto waktu cowok itu sudah ada di depannya untuk menyerahkan surat izin.

“Nggak usah pake bumbu jitak!” protes Boruto.

“Tenang Sarada, tenang.” Mitsuki tersenyum saja melihat temannya dijitak oleh Sarada dan mencoba menenangkan cewek itu meskipun entah mempan atau nggak.

“Sorry banget Sar, ternyata ini surat sialan ketinggalan di kos gue.” ucap Kawaki dengan penuh penyesalan.

“Lo tuh yang sialan! Ada-ada aja sumpah. Yaudah buruan mulai mobilisasi alumni ke aula, habis itu kita mulai inaugurasi nya a s a p.”

“Siap!”

Ketika tim nya mulai melakukan mobilisasi, Sarada langsung menghampiri segerombolan cowok dari himpunan sebelah dan menyerahkan surat izin milik HIMAHI. Cewek itu didampingi oleh Shikamaru dan Sasuke yang sebetulnya nggak perlu, tapi mereka cukup penasaran.

“Ohhh ini sih HIMAHI duluan yang dapet izin. Liat aja tuh tanggalnya.” Shikamaru menunjuk bagian pojok kanan bawah surat izin HIMAHI. “Ditandatangi tanggal 13, sedangkan punya jurusan sebelah baru tanggal 15 di acc.”

Sarada tersenyum jumawa waktu melihat cowok-cowok himpunan sebelah nggak bisa berkutik. Kemudian cewek itu menunjuk satu persatu dari mereka dan menuntut sesuatu yang sudah sepantasnya dia dapatkan, “Minta maaf lo semua sama gue!”

Di samping Sarada, Sasuke tersenyum miring melihat keberanian adik tingkatnya yang patut diacungi jempol. Sedangkan Shikamaru, dia yakin HIMAHI akan berjalan dengan baik di bawah kepemimpinan Sarada.

“Kib kata gue elu diem deh!” Naruto berusaha mengeluarkan dirinya dari situasi yang sedang cowok itu hadapi sekarang.

Semenjak Kiba menjadi yang datang paling awal di antara teman-temannya yang menyusul ke kafe untuk nongkrong, Naruto ditahan oleh temannya itu untuk mendengar penjelasan panjang lebar dengan harapan cowok itu tergiur dengan apa yang Kiba tawarkan.

“Heh kata gue elu yang diem! Sini anteng dulu dengerin penjelasan gue.” Kiba sendiri nggak mau kalah, dia menahan kedua bahu Naruto yang semula berniat beranjak dari duduknya.

“Hadeh ujung-ujungnya lo pasti mau jualan kan! Gimana sih bukanya temu kangen malah jualan lu!” protes Naruto bersungut-sungut.

“Ini namanya memanfaatkan opportunity. Tapi niat gue sih beneran mau ngebantu lo Nar, bukan sekadar jualan. Kan enak gitu kalo lo buka polis asuransi, hidup lo bakal tenang sampai meninggoy deh gue jamin.”

Naruto sudah mendengarnya puluhan kali, sampai hafal malahan bagaimana teknik rayuan Kiba supaya dia mau membeli produknya. “Gue udah punya asuransi anjir Kib, barengan sama Ayah Bunda gue!”

“Lo kan sekarang udah kerja tuh, buka polis asuransi sendiri lah! Gak bakal rugi sumpah, karena ini asuransi jiwa dan bakal kasih keluarga lo proteksi sampai bahkan setelah lo meninggoy. Kalo lo meninggoy, Hinata bisa dapet duit!”

Cowok berambut pirang itu sontak melotot, bukan hanya karena perkataan Kiba soal ‘what if kalau dia meninggoy, tapi juga karena nama Hinata dibawa-bawa. “KENAPA JADI HINATA YANG DAPET DUIT??”

“Ya kan nanti kalo lo berdua udah nikah, kemungkinan Hinata yang jadi ahli waris! Kan dia istri lo!”

“BUSET PELAN-PELAN PAK SOPIR!!”

Hinata—yang tadinya masih berusaha fokus untuk mengetik tesis nya, tertawa mendengar percakapan tersebut dan langsung mengubah laptopnya ke mode sleep untuk bergabung ke obrolan teman-temannya.

“Tapi Kiba, kamu udah dapet berapa M dari bisnis asuransi ini?” cewek itu bertanya karena murni penasaran.

Di sisi lain, Sai yang tangannya masih lihai menari di layar iPad kemudian ikut bertanya, “Iya tuh, berapa M? Kalo gue liat di tiktok katanya income nya bisa sampe 2M sebulan.”

“Dua em nya bukan makasih mas tapi ya, Sai?” timpal Chouji sambil tertawa ringan, sedangkan Sai ikut nyengir saja.

Kiba mengambil cangkir kopinya yang isinya tinggal setengah, kemudian menjawab dengan nada yang terdengar lesu, “Yakali, income gue belum sampai segitu lah. Dapetin nasabah aja masih susah banget ini.”

“Namanya juga hidup, yang penting cari duitnya nggak haram.” seperti biasa, Neji memang selalu terdengar yang paling bijak. Lelaki bersurai panjang yang sekarang berkarir sebagai penulis itu menepuk bahu Kiba.

Semenjak kelulusan mereka dari universitas kurang lebih dua tahun yang lalu, mereka memilih jalur tempuh yang berbeda-beda untuk melanjutkan karir dan hidup.

Kebanyakan sih mereka nggak berkarir di bidang yang sesuai dengan apa yang mereka pelajari di sewaktu kuliah. Memang bukan rahasia umum kalau lulusan Hubungan Internasional ini cukup sulit mendapat pekerjaan karena satu dan lain hal.

Misalnya saja, Kiba memilih berkarir di industri Asuransi. Naruto, karena dia punya koneksi orang dalam—bisa bergabung di sebuah partai politik yang menaungi Ayah nya sebagai anggota dewan. Banyak dari mereka yang nggak menyangka Naruto bakal terjun ke politik, tapi kata cowok itu sih yang penting nggak nganggur sambil menemani Hinata kuliah S2. Toh saat ini lingkup kerjanya masih di seputar tim sosial media atau branding.

Sai sendiri hidupnya nggak jauh-jauh dari design, dia baru saja diterima kerja di menjadi designer di salah satu perusahaan game developer. Shino yang semenjak kuliah rajin melakukan riset, bekerja di lembaga tink-tank yang mana kemampuan riset cowok itu bakal diperas.

Kalau Sasuke, dia punya kesempatan untuk bekerja di perusahaan automotive, tapi akhir-akhir ini sering mengeluh bosan dan ingin resign ke pacarnya. Sakura—sedang melanjutkan karirnya untuk menjadi diplomat muda. Chouji dan Tenten masih merintis bisnis F&B nya masing-masing.

Yang menurut mereka paling ekstrem adalah Rock Lee, dia menjadi pelatih Muay Thai di sanggar milik Baba nya—well, sebetulnya nggak ekstrem karena mereka tahu cowok itu punya passion di bidang tersebut. Bahkan Rock Lee semangat banget waktu bercerita kalau salah satu muridnya adalah adik tingkat mereka, namanya Metal, yang biasa dipanggil Mamat.

Jujur saja—nggak ada yang berubah dari mereka, mereka hanya telah tumbuh menjadi lebih dewasa dan lebih lelah.

“Huuuuft, kalau dipikir-pikir ya jaman kuliah dulu capenya ga seberapa ya dibanding sekarang.” celetuk Tenten.

Adulting sama working life emang capek. Tapi kayaknya kalian ini masih keliatan cukup waras lah. Kecuali yang itu tuh, lagi kurang waras kayanya.” Sakura menghela nafasnya dan menunjuk seseorang yang duduk di posisi paling ujung dengan dagunya.

Naruto geleng-geleng kepala melihat penampilan acak-acakan seseorang yang tadi ditunjuk Sakura, “Buset pak! Dari tadi lo diem aja ternyata lagi enak ngisep!”

Seseorang yang dimaksud tersebut adalah Shikamaru, dia baru saja menyelesaikan batang kelima rokoknya semenjak sampai di kafe tersebut empat puluh menit yang lalu. Sekarang, cowok itu sedang mengisap panjang batang keenamnya, kemudian asapnya dia kepulkan di udara. “Santai-santai dulu lah.”

Beberapa orang yang ada di sana jadi bingung. Shikamaru terlihat lebih kurus dari biasanya, penampilannya kusut, bahkan Chouji tahu kalau mantan kahim nya itu sudah kira-kira lebih dari tiga hari nggak shaving sebab rambut halus di janggut nya mulai terlihat menumbuh. Padahal kalau mereka pikir, pekerjaan Shikamaru sebagai budak korporat perusahaan rokok terbesar di Konoha nggak seburuk itu. Cowok itu punya pendapatan yang cukup fantastis untuk seumuran mereka. Bahkan mereka semua sepakat Shikamaru itu emang udah paling cocok bekerja di industri rokok, mulutnya saja sudah dia sulap sendiri jadi cerobong asap.

Tapi bukan karena masalah pekerjaan mengapa Shikamaru terlihat kusut, melainkan kejadian setahun yang lalu masih menghantui cowok itu. Semua temannya juga tahu apa yang Shikamaru alami itu nggak mudah, tapi mereka nggak menyangka hal itu akan memberikan efek jangka panjang yang sepanjang ini buat cowok itu.

“Shik, lo kaya hidup segan mati tak mau.” Sai asal nyeletuk dengan entengnya, seperti nggak ada beban hidup saja. Bukan tanpa alasan sebenarnya Sai bilang begitu, melihat bagaimana Shikamaru bisa menghabiskan dua bungkus rokok dalam sehari.

“SHIKKK JANGAN MENINGGOY DULU KITA BELUM PUAS PARTY BARENG”

“Astaghfirulloh.”

Shikamaru hanya membalasnya dengan sebuah seringai miring, tanpa mengambil hati celetukan teman-temannya. Selanjutnya, cowok itu mengetukan tangannya di meja untuk meminta atensi. “Bentar gue mau ngomong.”

“Apa nih? Kok kayaknya serius.” timpal Sasuke.

“Serius, tapi ya santai sih,” Shikamaru mengangkat bahunya lalu mengeluarkan sebuah amplop dan meletakkannya di meja, “Ini ada undangan—“

“SHIKAMARU LO MAU NIKAH??” Naruto melompat dari tempat duduknya untuk menghampiri Shikamaru dengan heboh.

Hal itu membuat yang lain ikutan heboh, Sakura memukul meja dengan telapak tangannya cukup keras, “SERIUS?? SHIK?? MARRIED??”

“Kok gue malah nggak tau ya Shik lo ada rencana mau married??” Chouji juga nggak kalah kaget, namun cowok tambun itu lebih ke merasa bingung.

“Nggak mungkin lah gue nikah,” rooftop kafe yang mereka tempati menjadi hening seketika. Shikamaru terlihat memijat pelipisnya, pusing dengan reaksi teman-temannya, “Ini undangan dari himpunan. Kita diundang untuk hadir di acara inaugurasi kepengurusan baru HIMAHI.”

“YAAAAHHHH.” Sontak Sakura, Naruto, dan Chouji yang sempat berdiri pada akhirnya mendudukan diri mereka kembali.

Namun kurangnya reaksi antusias yang Shikamaru dapatkan justru membuat cowok itu bertanya, “Lah? Ini kenapa tiba-tiba pada nggak excited gini??”

“Kayanya temen-temen bakal lebih excited kalau yang tadi itu beneran undangan pernikahan kamu deh, Shik.” sambil tersenyum, Hinata menjawab pertanyaan cowok itu untuk mewakili teman-temannya.

“Ck.” Shikamaru geleng-geleng kepala, nggak heran kalau ternyata teman-temannya masih absurd begini. “Acaranya minggu depan, pada bisa dateng kan?”

Naruto mengacungkan jempolnya, “Berangkat laaah. Eh, ini angkatan si siapa tuh—Boruto ya berarti??”

“Ho’oh.”

“Kahim nya siapa?” tanya Sasuke.

“Katanya sih cewek, Sarada kalau nggak salah.”

“SARADA??” Sakura melebarkan matanya karena terkejut dan tepuk tangan, “Yang dulu jaman ospek katanya pengen jadi Kahim itu kan?? KEREN BANGET.”

Bukan hanya Sakura yang merasa bangga, tapi mereka semua. Sebab baru kali ini HIMAHI memiliki ketua himpunan seorang perempuan.

“Harus berangkat full team sih kita, ini lagi pada di Konoha semua kan?? Bisa lah full team!” Tenten berseru, menantikan kemungkinan adanya reuni di acara inaugurasi HIMAHI minggu depan.

“Ino nggak ada...” kata Shikamaru lirih.

“Eh iyaa, gila udah lama banget gue nggak denger kabar Incess.” timpal Naruto.

Chouji melirik ke arah Shikamaru yang terlihat lebih lesu dari sebelumnya setiap pembicaraan tentang cewek itu naik ke permukaan. Chouji mengeluarkan ponselnya untuk membuka chat room dengan Ino yang mana pesan terakhir nya belum dibalas cewek itu lebih dari dua minggu. “Eh iya nih, gue juga kurang tau kapan dia bakal pulang, coba gue chat lagi Incess nya.”

“Katanya bakal pulang minggu depan, nggak tau hari apa.”

Pernyataan Sasuke barusan langsung membuat semua orang beralih melihat ke arahnya, termasuk Shikamaru yang sekarang sedang menaikkan sebelah alis nya untuk meminta penjelasan.

“Kamu tau dari mana, Sas?” Sakura menyenggol lengan pacarnya, sebab dia juga nggak kalah penasaran dengan kepulangan sahabatnya.

“Dari Itachi.”

Dua kata yang dilontarkan Sasuke lantas membuat sepasang bahu Shikamaru menurun, terlebih setelah mengetahui dari siapa Sasuke mendengar kabar kepulangan cewek itu.

Ino keluar dari shower room kamar hotel yang akan ditempatinya staycation malam ini. Harum segar menyeruak memenuhi ruangan kala cewek itu bergerak, sebab dia habis berendam selama hampir satu jam untuk membuat rileks tubuhnya. Ino melangkah ke area sofa hanya untuk mendapati Shikamaru sedang duduk sambil bermain ponsel sendirian di sana, satu sahabatnya yang lain tak terlihat entah dimana.

“Chouji mana?” Ino bertanya sambil mengusap rambut panjangnya dengan handuk, kemudian cewek itu biarkan setengah basah.

Cowok yang ditanya hanya menjawab singkat, “Ke tempat ceweknya, lagi rewel. Period cramp katanya.”

“LOH?? Terus yang staycation cuma kita berdua gitu??”

“Ya iya mau gimana lagi.”

Ino memandang dengan tatapan nggak percaya ke arah Shikamaru. Bukan apa-apa, dia nggak masalah harus staycation berdua saja dengan Shikamaru. Namun kotak-kotak pizza dan makanan lainnya yang menjadi masalah. Sebelum mandi, Ino mendapati Chouji memesan beberapa makanan dengan jumlah yang cukup banyak.

“Terus gimana caranya kita habisin ini semua??” cewek itu melayangkan protes waktu Shikamaru mengambil satu slice pizza pepperoni.

“Tinggal dimakan.” cowok itu menjawab dengan kedua pipi yang menggembung. “No way I would eat these, ngitung jumlah kalori nya aja udah mual sama ngeri duluan gue.”

“Ribet banget deh lo.” Shikamaru mengambil satu french fries dan menghampiri Ino untuk duduk di sampingnya supaya lebih mudah menyodorkan kentang goreng ke mulut cewek itu, “Nih makan, aa!”

Ino memberi tatapan sengit, meskipun pada akhirnya kentang goreng di tangan Shikamaru masuk juga ke mulutnya dan dikunyah secara perlahan dan susah payah.

Di tengah kunyahan keduanya, nggak ada kalimat yang dilontarkan sehingga hanya terdengar suara televisi bervolume rendah sebagai background noise. Meskipun begitu, rasa canggung nggak ikut menemani mereka berdua.

“Terus kita ngapain nih berdua doang?” Ino mulai gusar, karena bingung juga apa yang harus dia lakukan di agenda staycation kali ini. Apalagi cewek itu nggak mau menghabiskan waktunya hanya untuk numpang tidur, sebab biasanya—dia, Shikamaru, dan Chouji bakal begadang sampai pagi entah itu untuk menonton film atau ngobrol waktu staycation begini.

“Biasanya kalo berdua enaknya ngapain?” Shikamaru balik bertanya sambil menyeringai.

Sedangkan Ino memutar bola matanya. Selempeng-lempengnya Shikamaru, yang namanya cowok, dia bakal tetap melempar jokes suggestive ke teman-temannya, termasuk Ino.

“Diem lo, freak banget kalo mesumnya ke gue!”

Shikamaru mendapat hadiah sebuah lemparan bantal sofa yang mendarat di dada, kemudian berdecak. “Ck. Chouji tadi bawa board games, ambil aja.”

“Ih mau! Ayo main UNO!!”

“Di kasur tapi, gue capek pengen rebahan.” “Najis jompo banget!”

Cewek itu bergegas mengambil beberapa board games yang dibawa Chouji, sedangkan Shikamaru mengeluarkan sebotol wine dari wine cooler dan membawa sekotak pizza ke tempat tidur. Ino menatap Shikamaru heran, “Seriously, wine and pizza?

“Adanya ini dan gue males turun buat beli beer. Nggak usah banyak komen dah.” Shikamaru menuangkan anggur merah ke dua cangkir, miliknya dan Ino, karena nggak ada gelas wine yang proper untuk digunakan. Setelahnya, cowok itu merebahkan dirinya dengan nyaman sedangkan Ino duduk sambil menyilangkan kakinya di atas tempat tidur berukuran king size.

“Kaya biasa, yang kalah dapet punishment. Oke??” sebelum membagikan kartu UNO, Ino memastikan bahwa di permainan malam ini, akan ada punishment bagi yang kalah. Cewek itu percaya diri saja, karena dia sering hoki dan menang waktu main UNO.

“Gas. Tapi kalo punishment biasa kurang seru sih.” nggak seperti biasanya, Shikamaru ngide begini.

“Terus apaan?”

“Punishment nya delapan plus plus.” Ino menyeringai, tantangan Shikamaru membuatnya sepuluh kali lebih semangat.

Apalagi waktu cewek itu merasakan gelagat licik dari temannya, karena nggak seperti biasa, Shikamaru berani menantangnya seperti ini sehingga hal itu membuat Ino semakin ingin memenangkan permainan.

“Oh, siapa takut?”

Shikamaru menaikan sebelah alisnya, “Liat aja. Siapa yang bakal takut di sini.”

Kartu sudah dibagikan untuk keduanya. Shikamaru tersenyum miring, di hadapannya, cewek itu terlihat sedang mengigit bibir bawahnya. Dia yakin kalau kartu yang Ino pegang saat ini membuat cewek itu nggak percaya diri untuk menang. Sangat berkebalikan dengan rasa jumawa yang cewek itu gemborkan sebelum permainan dimulai.

Permainan pertama berjalan dengan cukup singkat, Shikamaru menang dengan mudah, sesuai dengan ekspektasinya. Ino mendesis, namun tetap menerima kekalahan nya dan siap menerima punishment dari Shikamaru.

Cowok itu terlihat menuangkan kembali wine ke mug Ino yang belum sempat cewek itu sentuh. Setelah wine hampir memenuhi mug tersebut, Shikamaru bilang, “Nih minum, one shot.”

“Sialan.” Namun bukan Ino kalau nggak menerima punishment Shikamaru dengan percaya diri. Toleransi alkohol Ino cukup tinggi, sehingga minum secangkir wine sekali teguk bukan hal sulit buat dia. “Ini mah gampang.”

“Iya baru pertama makanya gue kasih yang gampang dulu.” kata Shikamaru meremehkan.

“Kalo di ronde kedua gue yang menang, you strip in front of me.” tantang Ino setelah selesai menghabiskan wine nya dan membereskan kartu UNO yang berantakan.

“Cool, kalo gue yang menang, lo yang strip di depan gue.”

Balasan Shikamaru membuatnya meringis, adalah keputusan yang tepat memakai underwear setelah dia mandi tadi. At least cewek itu nggak harus telanjang bulat karena kalah bermain UNO.

Fine.

Permainan kedua dimulai dan berjalan lebih lama untuk menemukan pemenangnya. Kali ini, Ino berhasil mencetak score yang sama dengan Shikamaru. Membuat cowok itu harus mematuhi punishment yang sudah disepakati sebelum permainan dimulai. Shikamaru menyesap wine nya, kemudian mulai melucuti pakaian nya dengan cepat bahkan sebelum Ino menyuruhnya.

Wow slow down! Lo bar-bar banget sih, kan gue minta striptease??”

“Nggak ya, kesepakatan kita tadi cuma strip, no tease.”

“Yaudah sih gue juga males liat lo striptease!” Ino menjulurkan lidahnya, lalu tangannya bergerak untuk mengusap permukaan dada dan perut Shikamaru yang ototnya seketika mengencang karena dinginnya telapak tangan cewek itu, “Ih badan lo lumayan juga buat ukuran cowok yang males work out!”

Shikamaru nggak berkomentar, hanya menikmati bagaimana telapak cewek itu yang masih melanjutkan usapan di perutnya.

Ino memekik waktu menemukan sesuatu yang dia cari. “Satu dua tiga empat lima… you got a six pack!”

Waktu Ino merasa sudah puas memainkan perut Shikamaru, dia mengangkat tangannya untuk menyudahi apa yang dia lakukan sebelumnya. Sampai tangan Shikamaru berhasil mencengkeram pergelangan tangan kecilnya.

Girl, you are such a tease.” Cowok itu mendesis dan menarik Ino sampai cewek itu ikut terbaring di sebagian atas tubuhnya yang setengah telanjang. “Gue udah nggak mau main UNO lagi.”

Ino harus mendongak untuk melihat wajah Shikamaru dengan jelas, cewek itu mendapati kedua manik cokelat milik sahabatanya sudah mulai diselimuti kabut. “Nggak seru banget lo, kita baru main dua kali. Bahkan punishment yang lo sama gue kasih belum betulan delapan belas coret.” Ino melayangkan protes sambil mengerucutkan bibirnya, membuat Shikamaru agak sulit mengontrol dirinya sendiri.

“Kita main yang lain aja.”

“Main apa?”

“Nggak tau, you tell me.

“Hmm…” Kepala Ino jatuh di sisi dada kanan Shikamaru, perempuan itu bergumam dan berpikir. “Apa ya?”

Tangan Shikamaru bergerak naik untuk menyentuh helai rambut Ino yang sudah hampir sepenuhnya kering kering. Sedetik kemudian, dia dikejutkan dengan pergerakan kepala Ino yang mendongak lagi.

“Lo sama gue… Have we ever kissed?”

“Ck.” Shikamaru berdecak, pikirannya melayang ke memori-memori lampau untuk menemukan sebuah jawaban. “I am damn sure you were my first kiss.

Bibir Ino membentuk huruf O, “Oh iya, pas graduation SMA nggak sih?!”

“Iya.”

“Oh okay,” pandangan mata Ino turun dan yang hanya bisa cewek itu lihat adalah kulit polos permukaan dada Shikamaru. “Berarti belum pernah yang pakai lidah kan.”

“Hah?”

Ino kembali mendongakan kepalanya, kali ini menatap secara langsung kedua mata Shikamaru dengan miliknya yang menajam

“Iya, belum pernah pakai lidah kan. Mau dicoba?”

Tawaran permainan dari Ino—boleh juga untuk dicoba. At least itu adalah satu hal yang terbesit di kepala Shikamaru. Cowok itu tahu bagaimana rasanya ciuman pakai lidah, pengalaman Shikamaru dalam hal seperti ini nggak dangkal. Tapi dia nggak tahu bagaimana rasanya melakukan dengan Ino. Jadi ya… tawaran tersebut bukanlah sesuatu yang ingin cowok itu tolak.

If I got your permission then, let’s try.

“Dude, I allow you to play this game.”

Entah karena pengaruh alkohol yang membuat mereka sedikit tipsy, namun cukup sober untuk menyadari apa yang mereka inginkan pada malam itu juga. Tapi yang jelas, sedetik kemudian bibir keduanya saling bertaut, dengan Ino yang berada di atas Shikamaru, saling menempel tanpa jarak.

Mereka saling menekan, Shikamaru membiarkan Ino memimpin seluruh pergerakan di awal. Setelah merasakan lidah cewek itu dia persilahkan masuk untuk mengabsen deretan giginya, cowok itu semakin menekan tengkuk Ino sehingga dia lebih bisa merasakan Ino lebih dalam, baru kemudian mengambil alih permainan.

Ino memekik waktu merasakan lidah Shikamaru menerobos masuk sehingga membuatnya dengan senang hati membuka mulutnya lebih lebar. Bertukar rasa manis yang sama satu sama lain. Shikamaru mempelajari dan mengeksplor setiap sisi dalam rongga mulut Ino dan menyimpan ingatan di dalam otak tentang bagaimana manisnya cewek itu.

Bagi keduanya, memisahkan tautan berarti membuang waktu. Maka Ino dan Shikamaru bertahan selama yang mereka bisa untuk merasakan satu sama lain. Ketika kebutuhan oksigen semakin menjadi sebuah urgensi, keduanya baru berhenti meskipun jarak di antara kedua bibir masih sangat dekat, sehingga Ino masih bisa merasakan eksistensi milik Shikamaru di bibirnya.

Cewek itu mengecup sekilas bibir Shikamaru, masih dengan nafasnya yang pendek-pendek, Ino berkomentar. “You did well.

Shikamaru memejamkan matanya, cowok itu menempelkan dahinya dengan milik Ino, dia berbisik, “Gue… nggak yakin bisa berhenti main game ini. Kalau lo suruh gue berhenti sekarang juga, I will stop. Kalau nggak—“

“Good, karena lo berhasil lolos ke tahap selanjutnya. Let’s continue this game.

Is that okay? Gue nggak ada pengaman.”

“I will have my pill in the morning.”

“Nice.”

And so they continued playing this game until the sun began to rise.

Ketika matahari sudah berada di puncak, Ino terbangun di pelukan Shikamaru karena ponselnya yang bergetar karena notifikasi pesan dari Chouji yang bilang kalau cowok itu akan segera tiba di hotel dua puluh menit lagi. Ino memutar bola matanya, berharap kalau sahabat nya yang akan datang nggak tahu permainan apa yang terjadi semalam

“Shit!”

Waktu Ino memasuki studio atau tempat yang lebih suka Sai sebut sebagai bengkel lukis, dia merasa seperti dibawa masuk ke dunia lain. Ino memang nggak asing dengan seni, tapi cewek itu melihat ada sesuatu yang sangat intens ketika dia menelusuri bengkel Sai di setiap sudutnya.

Kebanyakan, yang Ino lihat adalah warna monokrom, hitam dan putih. Meskipun ada warna lain yang dia lihat, seperti merah, namun nggak ada warna vibran lain yang Ino temukan—dan jujur saja, hal itu membuatnya merasa sedikit terintimidasi.

Aroma menyengat dari cat minyak dan plistur membuat Ino bersin untuk beberapa kali, sebab hidungnya nggak terbiasa mencium aroma sekuat itu. Sai yang melihatnya terkekeh sebentar, kemudian bilang sambil menyerahkan sekaleng soda. “Kalau nggak terbiasa, pakai masker aja daripada bersin terus.”

Namun Ino menolak gagagasan Sai dengan lembut. “Nggak usah gapapa kok.” dan cewek itu berjalan menuju salah satu sisi ruangan yang menampakan beberapa canvas yang sudah terisi oleh lukisan Sai. Meskipun kanvas-kanvas tersebut didominasi oleh sapuan warna hitam dan putih, di mata Ino, apa yang dia lihat tetaplah indah. “These are very beautiful, Sai. You are so damn talented.

Thank you. Miss.” jawab sang Kurator yang sudah terduduk dengan santai di salah satu sofa usang.

“Boleh lihat nude drawing yang udah lo lukis nggak? Biar gue ada referensi gituuu.”

“Boleh. This way,” Sai berdiri dan melangkah mendahului Ino untuk mengarahkan cewek itu menuju sisi lain ruangan. Di sana, terdapat satu kain lebar yang menutupi beberapa jejer kanvas, Ino asumsikan jumlah nya lebih dari lima. “Here.

Mulur Ino spontan terbuka untuk beberapa detik sebelum dia menutupnya kembali. Cewek itu sedikit terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bukan berarti dia nggak pernah melihat nude drawing, Ino pernah melihatnya, lewat perantara layar ponsel. Ketika dia berkesempatan untuk melihatnya secara langsung dengan mata telanjang. Sumpah, Ino ingin teriak.

Because Sai painted them so magnificently, so raw, so sensual.

Ino nggak bisa membayangkan bagaimana rasanya waktu nanti—Sai akan mengamati setiap jengkal tubuh telanjangnya, kemudian Sai akan simpan apa yang dia lihat di dalam memorinya, sebelum pada akhirnya akan dia torehkan ke atas kanvas dengan setiap usapan kuas nya.

“Ino? You okay? Kok diem aja?”

Bahkan Ino nggak menyadari kalau sedari tadi dia sudah terlalu lama berdiam diri. Ino kembali ke alam sadarnya ketika Sai bertanya. Waktu cewek itu menoleh ke arah Sai, dia dikejutkan dengan betapa dekatnya cowok itu berdiri menghadapnya sehingga membuat kedua mata dengan warna iris kontras mereka saling beradu.

“Aku okay… Cuma tiba-tiba nge-freeze sedikit waktu lihat lukisan-lukisan ini.”

“Kenapa ngefreeze?”

“Aku nggak tahu model lukisan kamu udah cantik dari sananya atau emang karena kamu yang lukis, mereka jadi kelihatan se-breathaking ini di canvas kamu. Oh—mereka siapa aja by the way?

Sosok-sosok yang ada di dalam kanvas membuat Ino bertanya, semuanya adalah orang asing bagi cewek itu, kecuali satu orang yang dikenalinya—Genta Rasuna, biasa dipanggil Gaara, yang kalau tidak salah ingat, cowok itu sempat menjadi muse nya Sai untuk beberapa waktu.

“Ada beberapa teman sekelasku, they volunteered untuk dilukis di depan kelas. Terus sisanya kebanyakan model, I forgot their names.” Sai memutus pandangannya dengan cewek itu, mengalihkannya ke beberapa kanvas di depannya dan mengangkat bahunya sekan nggak peduli mau dia ingat atau lupa nama mereka, karena ya… itu memang nggak penting.

Sedangkan Ino—cewek itu masih memandang Sai dari sudut pandangnya yang lebih rendah, sehingga membuatnya harus mendongakan kepala sedikit.

“Sai…”

Ketika namanya disebutkan, Sai mengembalikan atensinya ke arah Ino. “Mhm?”

Do you think… I can look as good as them?

Sai tersenyum akan pertanyaan Ino—senyum ciri khas yang kerap cewek itu lihat diberbagai kesempatan, bibir yang melengkung ke atas, dan sepasang mata yang membentuk sabit. Namun sayangnya, sampai sekarang Ino nggak tahu apakah Sai benar-benar tulus dalam memberikan senyuman itu atau hanya dipaksakan.

Don’t worry Ino,” Sai menjeda kalimatnya. Secara tiba-tiba, Ino merasakan tangan Sai jatuh di puncak kepalanya, lalu turun ke bagian ikatan rambut yang cewek itu kenakan untuk menciptakan gaya rambut ponytail tinggi andalannya, kemudian Sai tarik ikat rambut tersebut sampai ujung dan terlepas dari rambut Ino. Secara otomatis, rambut panjang Ino jadi terurai secara dramatis dan jatuh ke seluruh permukaan punggungnya. Dan selama itu, jantung Ino nggak berhenti berdebar dengan kencang, “I will make you look perfect.”

Kalau saja Sasuke membalas pesannya, sekarang Naruto nggak mungkin berada di depan apartemen cowok itu sambil menekan bel secara membabibuta. Naruto diserang overthinking akibat asumsinya sendiri mengenai alasan Sasuke yang tiba-tiba mepet ke Sakura, sehingga prioritas utama Naruto sekarang adalah mengeluarkan cewek itu dari dalam sana.

Naruto hendak menerobos masuk waktu pintu apartemen terbuka, menampakan Sasuke yang betelanjang dada. Namun, Sasuke bisa menahan Naruto supaya tetap berada di ambang pintu.

“Lo emang nggak punya manner atau gimana? Seenaknya nyelonong masuk.”

“Sakura mana?!”

Pertanyaan Naruto nggak membuahkan jawaban, malahan dia mendapatkan poker face dari Sasuke. Sehingga cowok itu harus mengulang pertanyaannya, kali ini sambil lebih ngotot. “Sakura mana, anjing??”

Asleep.

Kali ini dia mendapat jawaban, namun jawaban itu minumbulkan debuman keras di dada Naruto. Melihat penampakan Sasuke yang setengah telanjang dan cuma pakai boxer, pikiran cowok itu jadi kemana-mana. Mukanya langsung memerah karena amarah.

“Brengsek ya lo!” Naruto siap melayangkan pukulannya ke arah lawan bicara, namun Sasuke langsung bisa menangkisnya.

“Dia cuma ketiduran, bangsat. Nggak usah mikir aneh-aneh lo.”

Sasuke jelas nggak terima dituduh habis melakukan yang enggak-enggak ke Sakura. Padahal nyatanya setelah selesai makan dan minum obat, cowok itu berkeringat dan panasnya langsung turun. Jadinya dia ganti baju karena kaosnya sudah basah, tapi belum sempat Sasuke pakai baju, apartemennya sudah dibombardir duluan sama Naruto.

Kebetulan, waktu itu Sakura udah ketiduran setelah membuka laptopnya buat nyicil belajar selama kurang lebih dua puluh menit. Cewek itu jelas kecapean. Makanya, Sasuke buru-buru membuka pintu apartemennya meskipun belum pakai baju, dia nggak mau Sakura terbangun karena suara bel yang berisik.

I’ll take her home.” pungkas Naruto sambil berjalan ke arah ruangan di mana Sakura berada, kali ini tanpa Sasuke yang menahannya.

Waktu Sakura sudah berada di jarak pandang Naruto, cowok itu malah mematung. Biasanya kalau ketiduran begini, Naruto bakal langsung menggendongnya untuk dibawa ke mobil. Di sampingnya, ada Sasuke yang sekarang sudah pakai kaosnya entah sejak kapan ikutan nggak melakukan suatu pergerakan apapun.

Both Naruto and Sasuke stare at how peaceful Sakura is in her sleep.

Beda sekali ketika cewek itu dalam keadaan terbangun, Sakura bisa jadi segalak macan.

Keduanya sama-sama seperti merasa disihir oleh cewek itu. Sudut bibir Naruto terangkat secara singkat, meskipun di dalam hati, cowok itu nggak suka kalau Sasuke merasakan hal yang sama dengan dirinya.

Sambil bergerak buat beresin barang-barang Sakura. Naruto bilang, “Meskipun gue sama Sakura udah putus, bukan berarti gue bakal diem aja kalau dia jatuh ke orang kaya lo.”

Sedangkan Sasuke tetaplah Sasuke yang nggak akan peduli dengan bagaimana cara orang lain melarangnya melakukan sesuatu, termasuk Naruto. “Lo nggak berhak bilang gitu.”

“Gue cuma nggak mau kalau pada akhirnya lo nyakitin Sakura, padahal yang mau lo hancurin itu gue kan?”

“Sampai kapanpun, lo nggak akan pernah termaafkan. Begitu juga dengan gue. Tapi gue nggak nyangka lo mikir serendah itu tentang gue.”

Because that’s what you always do, selalu nggak pernah mau lihat gue seneng dengan ambil semuanya dari gue.”

“Gue nggak merebut apapun, karena gue nggak bisa kontrol hati milik seseorang mau jatuh ke siapa. Bukan salah gue kalau dulu dia—“

“Diem, Sasuke. Lo nggak berhak bicara apapun soal dia.”

Kalimat Naruto ditekankan seolah-olah ‘dia’ dari masa lalu yang keduanya sebut adalah sebuah forbidden topic dan tabu untuk mereka bicarakan.

Perbincangan Naruto dan Sasuke resmi selesai waktu keduanya mendengar lenguhan Sakura. Ketika kedua cowok itu mengalihkan perhatiannya ke Sakura, cewek itu terbangun dari tidur singkatnya sambil terkejut melihat Naruto yang ada di sana apalagi kesadarannya belum sepenuhnya tekumpul.

“Naruto…”

“Sakura, kita pulang sekarang.”

“Hngg… okay.”

Sakura tentu saja bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti armosfer ruangan, jelas datang dari Naruto dan Sasuke. Tapi cewek itu nggak mau ambil pusing, dia langsung berdiri dan mengikuti Naruto setelah mengecek suhu tubuh Sasuke yang sudah rendah, kemudian pulang.

Shikamaru menatap malas tumpukan kotak bingkisan yang ada di hadapannya saat ini. Sudah dua minggu semenjak pernikahan mereka, lelaki itu baru ingat kalau baik dia maupun Ino belum sempat membuka kado-kado yang doberikan oleh banyak orang untuk hadiah pernikahan mereka. Maklum saja, mereka berdua sedang sibuk-sibuknya mengurus segala hal keperluan pindah ke rumah baru yang saat ini dihuni keduanya.

“Ino, ini kado mau dibuka apa dibiarin aja?” Shikamaru langsung bertanya waktu merasakan keberadaan Ino yang entah datang dari mana, tapi kalau boleh Shikamaru asumsikan sih perempuan yang sekarang sudah jadi istrinya itu baru selesai mandi, soalnya Ino cuma memakai bathrobe dan rambutnya dibiarkan tergerai setengah basah.

Ino sendiri memindai tumpukan kado itu dan menghela nafas, “Buka aja deh, kalau dibiarin gini malah numpuk doang nggak keurus.”

“Oke.”

Kemudian satu persatu bingkisan mulai Ino dan Shikamaru unboxing. Sejauh ini sih, keduanya dibuat senang karena isi dari kado-kado pernikahan mereka adalah barang yang bermanfaat.

“Yaampun liat ini set cangkir nya, cantik banget nggak sih??” Ino bertanya heboh sambil menyodorkan barang tersebut ke depan wajah Shikamaru, “Dari Hinata! As expected, dia kalau ngasih barang tuh nggak pernah asal-asalan.”

Shikamaru yang melihat Ino kegirangan hanya geleng-geleng kepala, sementara tangannya masih sibuk membuka bingkisan lain. “Ini apaan kira-kira isinya? Enteng nih.”

“Coba buka aja!” Ino berseru tanpa melihat ke arah Shikamaru sehingga setelahnya, perempuan itu tidak melihat betapa tengilnya wajah Shikamaru.

“Pffft liat deh, Ino!”

Baru ketika Shikamaru meminta perempuan itu buat melihat ke arahnya, Ino mengalihkan perhatian kemudian. Bukannya mendapati Shikamaru, perempuan itu malah melihat sebuah lingerie yang Shikamaru angkat sampai menutupi wajahnya.

“Anjrit, Shikamaru! Turunin!”

Shikamaru melihat satin lembut yang ada di tangannya dan Ino secara bergantian sampai mengangkat sebelah sudut bibirnya membentuk seringaian, “Coba pake ini dong, gue pengen liat!”

“Ih apaan deh lo, siniin itunya!”

“Itunya apa??”

“Astaga itu yang lagi lo pegaaang, Shikamaru.”

“Kalo gue kasih, lo harus pake tapi No.”

“Yang bener aja!”

Ino langsung berusaha merebut lingerie yang masih Shikamaru pegang, namun karena keseimbangannya yang oleng saat mencoba meraih lingerie tersebut, Ino jatuh terduduk di pangkuan Shikamaru.

“Shik ah! Sakit kan pantat gue, siniin nggak!”

Ino tidak segan untuk menatap langsung lawan bicara tepat di sepasang matanya, tanpa menghiraukan jarak yang hampir tidak ada di antara mereka. Shikamaru menjadi yang pertama untuk menyadari betapa dekatnya tubuh mereka menempel saat ini, tiba-tiba intuisi jahil nya mereda dan mengalah untuk memberikan Ino apa yang perempuan itu minta.

“Kenapa sih nggak mau dipakai? Bukannya lingerie ini fungsinya buat tidur ya.” tanya Shikamaru, yang secara tidak sadar melingkarkan lengannya di sekitar pinggang Ino.

“Gue mau aja pake, tapi nggak di depan lo!”

“Kenapa tuh? Kan kita udah nikah.”

Rona yang langsung muncul di permukaan pipi Ino membuat Shikamaru merasa geli. Bersahabat dengan Ino selama bertahun-tahun membuat Shikamaru tidak menyangka kalau perempuan itu bakal merona karenanya.

“Emang kenapa sih lo pengen banget lihat gue pakai lingerie? If I remember correctly, lo itu udah pernah ngeliat gue pakai ginian doang.” jelas bukan Ino namanya kalau perempuan itu tidak mendebat sebuah pertanyaan dan melemparnya pertanyaan lain.

“Beda lah, kan sekarang lo istri gue.”

Such a pervy.

“Enak aja!”

Sebelum Ino kembali mendebat, suara bel rumah terdengar dan membuatnya menyadari posisi seperti apa yang sedang membuatnya terperangkap ketika perempuan itu hendak beranjak. Sekarang Ino bisa melihat dengan jelas bagaimana lengan lelaki itu memgular di sekitar pinggangnya.

Ding dong!

“Shik, I think we have a guest.” kata Ino sambil berbisik.

Shikamaru menghela nafas, merasa sedikit menyayangkan karena posisi intimate mereka diganggu oleh suara bel yang menandakan kedatangan pengunjung dan membuatnya harus mengembalikan jarak yang semula terkikis di antara mereka berdua. Belum lagi Shikamaru harus menggerutu karena ini sudah cukup malam untuk tamu berkunjung.

Yeah. Biar gue aja yang buka.”

Dengan begitu, Ino berhasil merebut lingerie dan melesat menuju ke kamarnya untuk menyimpan kain tersebut, memastikan Shikamaru tidak akan melihat kain itu lagi.

Semenjak Sara masuk dan mendudukan dirinya di kursi penumpang depan mobil Gio, dirinya tidak bisa berhenti menerka-nerka tentang siapa teman Gio yang akan dia temui nanti. Sara tahu bahwasannya Gio memiliki banyak relasi pertemanan yang tentu saja orang-orang di dalamnya tidak ia ketahui. Tetapi perempuan itu tidak menutup kemungkinan kalau dia dan Gio akan bertemu ‘mereka’.

Mobil yang Gio kemudikan terjebak di antara rush hour yang membuat jalan raya menjadi sesak, sehingga membuat mereka harus memakan lebih banyak waktu untuk tiba di rumah Hazel.

Di passenger seat belakang, Hazel sibuk menyedot susu rasa pisangnya dan siap untuk diantar pulang oleh paman kesayangan setelah kelas ballet nya selesai, meskipun sebenarnya anak itu masih ngotot untuk ikut pergi bersama mereka berdua. “Uncle! Ini betulan aku nggak boleh ikut??”

No Hazel. Kamu harus ngerjakan PR buat besok loh.” jawab Gio—yang membuat Sara tersenyum karena melihat bagaimana cara lelaki itu berinteraksi dengan Hazel.

I have no homework for tomorrow, uncle!” Hazel mengerucutkan bibirnya dengan gemas dan bisa Sara lihat di rear-view mirror mobil Gio. Anak itu kemudian beralih ke guru ballet nya, “Ya Miss Sara ya? Aku boleh ikut ya please??”

Perempuan itu menoleh ke belakang dan mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Hazel seraya tersenyum. “Next time ya Hazel, kalau sekarang, Uncle Gio sama Miss Sara mau pergi ke acara untuk orang dewasa. Nanti Hazel malah bosan di sana.”

“Janji loh ya?!” Hazel mengangkat jari kelingkingnya dan langsung disambut oleh tautan jari kelingking Sara.

Pinky promise.”

Okay, I love you Miss Sara!

“Love uncle juga nggak?” tiba-tiba Gio menimpali. Namun lelaki itu hanya mendapatkan juluran lidah Hazel sebagai balasan.

Gio beralih ke perempuan di sampingnya yang sedang terkekeh, “Pasti Hazel sering ngerepotin kamu ya?”

Sara menggeleng, semua hal manis yang Hazel lakukan di kelas balletnya langsung terlintas di pikiran perempuan itu. “Nah. Hazel justru salah satu murid yang paling adorable, she could be my favorite easily.” jelasnya riang.

“Kamu nggak bilang begitu cuma karena ada Uncle-nya di sini kan?”

I am dead serious, Gio!” secara reflek Sara memberikan sebuah pukulan ringan di bahu Gio atas pertanyaan candaan lelaki itu.

Sentuhan itu membuat Gio tiba-tiba teringat akan suatu perasaan yang familiar. Tapi dia tidak bisa tahu secara pasti apa arti perasaan itu. Intinya, rasanya seperti apa yang Sara lakukan tadi bukan lah yang pertama kali. Maka dia hanya tersenyum tipis dan bilang, “You acted like my sister, sukanya mukul-mukul gitu.”

“Eh, maaf…”

“Nah, saya nggak keberatan.”

Untuk sampai di restoran tempat teman-teman Gio sudah berkumpul, Sara harus mampir ke rumah kakak perempuan Gio untuk mengantar Hazel. Anak itu tertidur selama sisa perjalanan, membuat Gio harus menggendongnya dan membawanya ke dalam rumah. Tentu saja, Sara ikut dengan Gio.

Sara disambut hangat oleh Hara, sedangkan kakak perempuan Gio meledek adiknya habis-habisan. Hara juga tidak lupa berpesan kepada Sara dan berpesan agar perempuan itu mampir ke rumahnya next time, dengan atau tanpa Gio.

Sesampainya di restoran, Gio menggiring Sara menuju ke meja yang sudah dipesan salah satu temannya. “Temen saya yang ada di sini ada lima, rasanya rame banget meskipun. Is it okay?”

“Nggak apa-apa. Aku suka sama yang rame-rame.” Sara menjawab santai, meskipun pikirannya berkecamuk saat ini.

Lima, ya.

Sara mempertimbangkan siapa saja empat nama yang akan ditemui malam ini. Mungkin saja, lima nama itu adalah nama-nama yang dia ketahui. Mungkin saja tidak, entahlah. Yang penting perempuan itu berusaha semaksimal mungkin agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan malam ini.

“Nah itu mereka.” tunjuk Gio.

Dari jarak mereka berdua yang berada beberapa langkah dari meja tempat keempat teman Gio berkumpul, Sara bisa melihat wajah-wajah yang tidak asing buatnya, hanya terlihat lebih dewasa semenjak terakhir kali dia melihatnya.

Benar saja, itu adalah mereka.

“Guys, ini teman yang gue bilang. Hazel’s new ballet teacher, namanya Sara.”

Dengan berbaik hati, Gio memperkenalkan Sara ke empat teman-temannya. Yang tidak Gio sadari adalah bagaimana keempat temannya mematung ketika melihat kedatangannya bersama Sara.

Di sisi paling kiri, terlihat Theo yang terdiam namun bibirnya bergerak-gerak, ragu untuk berbicara sebab lelaki jangkung itu kesulitan untuk mengeluarkan secara lisan apa yang ada di isi kepala. Kemudian, ada Sonia yang terlihat sangat dramatis karena perempuan itu lompat dari posisi duduknya karena terkejut dan menutup mulutnya dengan salah satu tangan. Lalu di sebelahnya, ada Niccolo yang menelisik teman perempuan Gio dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan wajahnya yang pias, seolah-olah dia sedang melihat hantu. Thefanya—well, kondisinya tidak jauh terkejut seperti yang lain.

Terakhir, Tareeda yang sempat kehilangan caranya untuk bernapas menjadi paling awal mengembalikan kesadarannya, perempuan itu memilih untuk bertanya. “Sara? Is that really you, Serenada?”

Gio dibuat heran dengan reaksi kelima temannya. Dia melihat mereka secara bergantian, kemudian beralih ke Sara yang sangat membuat lelaki itu terkejut. Sebab Gio menemukan air mata yang mengalir turun di pipinya.

Guys? What happened? Kalian sudah kenal sama Sara?”

Sekarang giliran Theo, Sonia, Niccolo, Thefanya, Tareeda, dan Sara yang menumpahkan seluruh atensi mereka ke lelaki itu.

Di antara mereka semua, hanya Gio yang tidak tahu bahwa mereka tumbuh bersama sebagai lingkaran pertemanan yang sama. Atau lebih tepatnya, Gio melupakan bahwa sebenarnya Sara juga tumbuh bersamanya dan kelima teman lainnya.

Sebab, fragmen-fragmen memoar milik Gideon tentang Serenada telah hilang.

“Waduh! Gue laper nih, ayok buruan pesen makanan kalian.” Sonia buru-buru kembali ke tempat duduknya, kemudian secara gusar membuka buku menu. Hal itu jelas dilakukan untuk mengalihkan perhatian Gio.

Theo secara otomatis ikut membantu Sonia untuk mencairkan suasana dengan menyetujui perkataan temannya. “Eh iya loh laper. Nungguin Gio sih kelamaan. Sara sini gabung sama kita!”

Tatapan lembut Tareeda tertuju kepada Sara, perempuan petite itu menggandeng dan memeluknya sejenak. Setelah itu baru membawa Sara untuk duduk di seberangnya. “Gio! Gue pinjem temen lo dulu ya hehe.”

“Jangan diusilin Ree anaknya.” Gio mengangkat bahunya santai dan mendudukan dirinya di kursi kosong di sebelah Sara. “Pesen gih, bills on me ya.

Sedangkan Sara tersenyum saja, dia jelas punya banyak hal untuk dijelaskan. Tapi itu bisa menunggu, sekarang Sara hanya akan menikmati makan malamnya bersama Gio dan keempat teman lainnya yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa dengannya.

Semenjak Sara masuk dan mendudukan dirinya di kursi penumpang depan mobil Gio, dirinya tidak bisa berhenti menerka-nerka tentang siapa teman Gio yang akan dia temui nanti. Sara tahu bahwasannya Gio memiliki banyak relasi pertemanan yang tentu saja orang-orang di dalamnya tidak ia ketahui. Tetapi perempuan itu tidak menutup kemungkinan kalau dia dan Gio akan bertemu ‘mereka’.

Mobil yang Gio kemudikan terjebak di antara rush hour yang membuat jalan raya menjadi sesak, sehingga membuat mereka harus memakan lebih banyak waktu untuk tiba di rumah Hazel.

Di passenger seat belakang, Hazel sibuk menyedot susu rasa pisangnya dan siap untuk diantar pulang oleh paman kesayangan setelah kelas ballet nya selesai, meskipun sebenarnya anak itu masih ngotot untuk ikut pergi bersama mereka berdua. “Uncle! Ini betulan aku nggak boleh ikut??”

No Hazel. Kamu harus ngerjakan PR buat besok loh.” jawab Gio—yang membuat Sara tersenyum karena melihat bagaimana cara lelaki itu berinteraksi dengan Hazel.

I have no homework for tomorrow, uncle!” Hazel mengerucutkan bibirnya dengan gemas dan bisa Sara lihat di rear-view mirror mobil Gio. Anak itu kemudian beralih ke guru ballet nya, “Ya Miss Sara ya? Aku boleh ikut ya please??”

Perempuan itu menoleh ke belakang dan mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Hazel seraya tersenyum. “Next time ya Hazel, kalau sekarang, Uncle Gio sama Miss Sara mau pergi ke acara untuk orang dewasa. Nanti Hazel malah bosan di sana.”

“Janji loh ya?!” Hazel mengangkat jari kelingkingnya dan langsung disambut oleh tautan jari kelingking Sara.

Pinky promise.”

Okay, I love you Miss Sara!

“Love uncle juga nggak?” tiba-tiba Gio menimpali. Namun lelaki itu hanya mendapatkan juluran lidah Hazel sebagai balasan.

Gio beralih ke perempuan di sampingnya yang sedang terkekeh, “Pasti Hazel sering ngerepotin kamu ya?”

Sara menggeleng, semua hal manis yang Hazel lakukan di kelas balletnya langsung terlintas di pikiran perempuan itu. “Nah. Hazel justru salah satu murid yang paling adorable, she could be my favorite easily.” jelasnya riang.

“Kamu nggak bilang begitu cuma karena ada Uncle-nya di sini kan?”

I am dead serious, Gio!” secara reflek Sara memberikan sebuah pukulan ringan di bahu Gio atas pertanyaan candaan lelaki itu.

Sentuhan itu membuat Gio tiba-tiba teringat akan suatu perasaan yang familiar. Tapi dia tidak bisa tahu secara pasti apa arti perasaan itu. Intinya, rasanya seperti apa yang Sara lakukan tadi bukan lah yang pertama kali. Maka dia hanya tersenyum tipis dan bilang, “You acted like my sister, sukanya mukul-mukul gitu.”

“Eh, maaf…”

“Nah, saya nggak keberatan.”

Untuk sampai di restoran tempat teman-teman Gio sudah berkumpul, Sara harus mampir ke rumah kakak perempuan Gio untuk mengantar Hazel. Anak itu tertidur selama sisa perjalanan, membuat Gio harus menggendongnya dan membawanya ke dalam rumah. Tentu saja, Sara ikut dengan Gio.

Sara disambut hangat oleh Hara, sedangkan kakak perempuan Gio meledek adiknya habis-habisan. Hara juga tidak lupa berpesan kepada Sara dan berpesan agar perempuan itu mampir ke rumahnya next time, dengan atau tanpa Gio.

Sesampainya di restoran, Gio menggiring Sara menuju ke meja yang sudah dipesan salah satu temannya. “Temen saya yang ada di sini ada lima, rasanya rame banget meskipun. Is it okay?”

“Nggak apa-apa. Aku suka sama yang rame-rame.” Sara menjawab santai, meskipun pikirannya berkecamuk saat ini.

Lima, ya.

Sara mempertimbangkan siapa saja empat nama yang akan ditemui malam ini. Mungkin saja, lima nama itu adalah nama-nama yang dia ketahui. Mungkin saja tidak, entahlah. Yang penting perempuan itu berusaha semaksimal mungkin agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan malam ini.

“Nah itu mereka.” tunjuk Gio.

Dari jarak mereka berdua yang berada beberapa langkah dari meja tempat keempat teman Gio berkumpul, Sara bisa melihat wajah-wajah yang tidak asing buatnya, hanya terlihat lebih dewasa semenjak terakhir kali dia melihatnya.

Benar saja, itu adalah mereka.

“Guys, ini teman yang gue bilang. Hazel’s new ballet teacher, namanya Sara.”

Dengan berbaik hati, Gio memperkenalkan Sara ke empat teman-temannya. Yang tidak Gio sadari adalah bagaimana keempat temannya mematung ketika melihat kedatangannya bersama Sara.

Di sisi paling kiri, terlihat Theo yang terdiam namun bibirnya bergerak-gerak, ragu untuk berbicara sebab lelaki jangkung itu kesulitan untuk mengeluarkan secara lisan apa yang ada di isi kepala. Kemudian, ada Sonia yang terlihat sangat dramatis karena perempuan itu lompat dari posisi duduknya karena terkejut dan menutup mulutnya dengan salah satu tangan. Lalu di sebelahnya, ada Niccolo yang menelisik teman perempuan Gio dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan wajahnya yang pias, seolah-olah dia sedang melihat hantu. Thefanya—well, kondisinya tidak jauh terkejut seperti yang lain.

Terakhir, Tareeda yang sempat kehilangan caranya untuk bernapas menjadi paling awal mengembalikan kesadarannya, perempuan itu memilih untuk bertanya. “Sara? Is that really you, Serenada?”

Gio dibuat heran dengan reaksi kelima temannya. Dia melihat mereka secara bergantian, kemudian beralih ke Sara yang sangat membuat lelaki itu terkejut. Sebab Gio menemukan air mata yang mengalir turun di pipinya.

Guys? What happened? Kalian sudah kenal sama Sara?”

Sekarang giliran Theo, Sonia, Niccolo, Thefanya, Tareeda, dan Sara yang menumpahkan seluruh atensi mereka ke lelaki itu.

Di antara mereka semua, hanya Gio yang tidak tahu bahwa mereka tumbuh bersama sebagai lingkaran pertemanan yang sama. Atau lebih tepatnya, Gio melupakan bahwa sebenarnya Sara juga tumbuh bersamanya dan kelima teman lainnya.

Sebab, fragmen-fragmen memoar milik Gideon tentang Serenada telah hilang.

“Waduh! Gue laper nih, ayok buruan pesen makanan kalian.” Sonia buru-buru kembali ke tempat duduknya, kemudian secara gusar membuka buku menu. Hal itu jelas dilakukan untuk mengalihkan perhatian Gio.

Theo secara otomatis ikut membantu Sonia untuk mencairkan suasana dengan menyetujui perkataan temannya. “Eh iya loh laper. Nungguin Gio sih kelamaan. Sara sini gabung sama kita!”

Tatapan lembut Tareeda tertuju kepada Sara, perempuan petite itu menggandeng dan memeluknya sejenak. Setelah itu baru membawa Sara untuk duduk di seberangnya. “Gio! Gue pinjem temen lo dulu ya hehe.”

“Jangan diusilin Ree anaknya.” Gio mengangkat bahunya santai dan mendudukan dirinya di kursi kosong di sebelah Sara. “Pesen gih, bills on me ya.

Sedangkan Sara tersenyum saja, dia jelas punya banyak hal untuk dijelaskan. Tapi itu bisa menunggu, sekarang Sara hanya akan menikmati makan malamnya bersama Gio dan keempat teman lainnya yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa dengannya.

Kalau bukan karena merasa bersalah dan kasihan, Sakura nggak mungkin berdiri di depan pintu unit apaertemen Itachi dan menunggunya terbuka untuk menemui Sasuke yang sedang demam karena dirinya. Sakura juga nggak setega itu sih membiarkan Sasuke sakit, jadi setidaknya yang bisa cewek itu lakukan adalah mengecek kondisi Sasuke setelah kelasnya selesai meskipun tugas-tugasnya sedang menunggu untuk dijamah.

Pintu unit apartemen terbuka dan Sakura disambut dengan Sasuke yang mengerubungi tubuhnya dengan selimut.

“Jadi lo betulan meriyang.” ucap Sakura.

Sasuke menggeser sedikit tubuhnya untuk mempersilahkan cewek itu masuk. “Betulan meriyang, thanks to you.

Sakura jadi semakin merasa bersalah waktu dia menaruh telapak tangannya ke jidat Sasuke dan merasakan permukaan kulit yang hangat. Cewek itu meringis. “Aduh maaf deh, gue nggak tau kalau lo gampang meriyang gini. Tau gitu kemaren pas di sushi house, lo langsung pulang aja!”

“Gamau, soalnya belom puas ketemu lo nya.”

Halah.

Sasuke dengan santai berjalan ke arah sofa panjang dan merebahkan tubuhnya di sana, serta mengeratkan selimutnya. Sakura sendiri mengikuti cowok itu dan duduk di salah satu sisi sofa yang kosong. Apartemen itu sepi, sepertinya Sasuke sendirian.

“Udah minum obat belom? Kak Itachi mana?”

“Belom ngobat, soalnya belom makan. Itachi lagi bimbingan di kampus.” Sasuke menjawab dengan tenggorokannya yang terasa kering dan sedikit perih. “By the way, tadi Itachi nitip itu tuh.” tunjuk Sasuke ke arah paperbag di sebuah meja yang terletak di sebelah sofa.

“Apaan tuh?”

“Katanya sih buat Ino. Gue ngintip dikit, isinya kaos sama undies. Dia nginep di sini kapan hari.”

Sakura melongo sebentar. Kapan hari yang Sasuke maksud sudah pasti waktu Ino nggak pulang ke kontrakan ketika kedua cewek itu slek gara-gara Sasuke. Dia nggak habis pikir kalau ternyata Ino bermalam di apartemen Itachi.

Pada akhirnya, Sakura cuma bisa terheran sendiri, “Iya entar gue bawa.” cewek itu kemudian mengeluarkan ponselnya, “Lo makan dulu gih. Mau apaan?”

“Biasanya kalo lagi meriyang gue makan sop ayam.”

“Ok—“ belum sempat Sakura betulan membuka aplikasi pesan antar makanan online, Sasuke sudah bersuara lagi.

“Tapi harus homemade. Kalo beli di luar banyak micin nya.”

Sambil melirik ke arah Sasuke, cewek itu bertanya dengan tatapan nggak percaya. “Jangan bilang lo bakal nyuruh gue masak?!”

“Ya gue begini kan karena lo juga, jadi setidaknya lo tanggung—“

“OKAY IYA GUE MASAK SOP AYAM.”

Sakura langsung bangkit dari duduknya karena sudah jengah mendengar cowok itu seolah-olah sedang menyalahkannya. Meskipun Sasuke kelihatan bercanda sih, tapi kan tetap saja cewek itu merasa nggak enak.

Untung saja Sasuke—atau lebih tepatnya Itachi, menyimpan bahan-bahan yang bakal Sakura gunakan untuk bikin sop ayam. Jadi dia nggak perlu repot-repot turun ke supermarket yang terletak di lantai dasar gedung apartemen tersebut.

Sembari menunggu cewek itu masak, Sasuke menyalakan televisi sambil rebahan. Alih-alih menonton apa yang terpampang di layar televisi, pendangannya justru nggak lepas dari punggung Sakura yang sedang sibuk masak, apalagi nggak ada penghalang yang memisahkan tempat cowok itu rebahan dan dapur apartemen.

Kalau begini kan, Sasuke jadi pengen peluk Sakura dari belakang. Biar seperti adegan menye-menye drama korea yang setahu Sasuke, sering ditonton oleh Itachi.

Am I your first patient?” tiba-tiba, Sasuke bertanya smapai membuat Sakura berdecak di seberang sana.

Nope. You are not.”

Dan jawaban cewek itu membuat Sasuke harus menutupi rasa kekecewaannya.

“Sop nya udah jadi. Lo bisa bangun dan makan di meja kan?” Sakura bersuara lagi.

Sasuke memang sedang lemas, tapi dia masih mampu untuk memindahkan pantatnya ke salah satu kursi di meja makan. Cowok itu menghampiri Sakura yang sedang menata panci sup nya di atas meja makan dengan langkahnya yang diseret.

“Kalau bukan gue, terus siapa?”

Pertanyaan Sasuke membuat cewek itu meliriknya dengan sekilas, lalu menjawab seadanya. “Naruto.”

Karena memang benar, ‘pasien’ pertama yang Sakura anggap adalah Naruto. Bahkan cewek itu sudah berkali-kali merawat Naruto yang sedang sakit, bahkan kalau boleh spill sedikit, Sakura juga sudah langganan jadi chef pribadi cowok itu waktu sakit.

Tapi setelah mengetahui nama pasien pertama Sakura, sudut bibir Sasuke jadi terangkat. “Lo…” mulutnya terbuka untuk melontarkan pertanyaan lain. “Lo udah ngapain aja sama si Naruto?”

What do you mean?

Sakura mengerjapkan matanya waktu mendapati raut Sasuke yang nggak bisa diartikan. Cowok itu menyeringai, namun seringaian itu terasa berbeda karena biasanya, Sakura bisa menemukan keusilan di sana. Kali ini, cewek itu menemukan ada sesuati yang licik dibalik seringaian Sasuke.

No need to hide it,” Sasuke menjeda kalimatnya sejenak untuk melihat reaksi lawan bicaranya, “Lo sama Naruto pernah pacaran kan?”

Sedetik kemudian, yang Sakura dan Sasuke dengar adalah suara dentingan sendok yang terbentur permukaan lantai. Jatuh dari genggaman tangan Sakura sebab cewek itu terkejut bukan main atas tembakan pertanyaan Sasuke.