lilymagicals

cw / agak red flag

Sai dan Ino sepakat untuk bertemu di warung pasta yang terletak di dekat gedung fakultas psikologi. Ino sangat bersyukur dengan tempat pilihan mereka, selain karena dekat, cewek itu kebetulan sedang nyidam banget buat makan pasta.

Sore itu cukup ramai dan warung pasta dipenuhi pengunjung, untung saja Sai dan Ino masih kebagian meja yang cukup nyaman sebagai tempat mereka ngobrol dan berdiskusi tanpa diganggu.

“So! Jadi gue harus gimana Sai pas dilukis nanti?” Ino bertanya dengan antusias.

“Hmm… Pertama, lo akan telanjang,” Sai menjeda sebentar kalimatnya dan menemukan Ino dengan semburat merah di kedua pipi cewek itu, “Tapi lo nggak harus sepenuhnya telanjang kok kalo emang nggak nyaman.”

Ino mengangguk paham, sebetulnya dia nggak punya masalah kalau harus berpose tanpa sehelai pakaian, apalagi cewek itu adalah seorang model. Meskipun belum pernah melakukannya, tapi Ino tahu bagaimana caranya untuk tetap bersikap profesional. Hitung-hitung ini akan jadi pengalaman pertama buatnya.

Yang menjadi masalah adalah, Ino nggak tahu apakah dia bisa tahan untuk nggak tremor waktu Sai melihatnya telanjang selama proses pelukisan. Setelah beberapa kali ngobrol dengan cowok itu, Ino merasakan adanya sebuah ketertarikan terhadap Sai yang membuatnya akan sedikit lebih kerepotan untuk menata hatinya supaya nggak kelewat deg-degan.

“Okay noted!” cewek itu mengangguk dan tersenyum sambil memperhatikan Sai yang juga ikut tersenyum. “Nanti gue harus pose berapa lama?”

“Sekitar satu sampai dua jam, karena gue akan lukis sketch nya dulu. Untuk detail dan finishingnya lo nggak perlu pose lagi kok.”

Alrighty.

Percakapan keduanya diinterupsi oleh kedatangan waitress yang membawakan pesanan mereka, spaghetti carbonara dan lemon tea untuk Ino, kemudian beef lasagna dan cola untuk Sai. Kadar excitement Ino langsung naik drastis waktu makanannya sudah menunggu untuk dia santap, apalagi waktu Ino bisa merasakan aroma carbonara sudah menusuk hidung nya.

Bon appetit!”

“Bon appetit.”

Nggak terjadi obrolan penting di sela makan, sebab Ino sibuk dengan makanannya, sedangkan Sai mengamati cewek itu dengan tatapan yang kalau Ino lihat pun, cewek itu nggak akan tahu artinya apa.

“Untuk seorang model, makan lo banyak juga ya.” komentar Sai ketika melihat cewek di depannya makan dengan kecepatan tinggi. “Lo nggak takut gendut?”

Hal itu membuat Ino menjeda kunyahannya. “Maksudnya?”

“Kalau nggak salah, Sakura manggil lo babi kan?” Sai malah balik bertanya, kemudian melanjutkan, “Pantes aja. Look at you, gobbling down your food like a pig.”

Sakura memang selalu memanggil Ino dengan sebutan Inobabi setelah resmi menjalin persahabatan. Ino sendiri nggak pernah keberatan dengan cara bagaimana Sakura memanggilnya seperti itu, toh dia punya panggilan sayang nya sendiri untuk Sakura—yaitu jidat lebar.

Namun entah kenapa, ketika Sai yang memanggilnya begitu disertai dengan komentar tentang cara makannya, perut Ino rasanya terkoyak seketika.

Nafsu makannya resmi hilang pada saat itu juga. Rasa lapar yang ditahan Ino sejak pagi karena belum sempat mengunyah sesuatu langsung hilang dan digantikan dengan gejolak aneh yang membuat Ino ingin memuntahkan spaghetti carbonara yang baru saja dia telan. Sebab Ino merasa melihat bayangan sang Ibu yang tiba-tiba muncul pada Sai.

Pintu bilik toilet yang Sakura tempati diketuk oleh seseorang yang dia asumsikan adalah Sasuke. Tapi waktu Sakura membuka pintu bilik toiletnya, yang dia temukan adalah seorang pegawai perempuan sushi house tersebut.

“Mbak maaf, tadi ada Mas-Mas yang nitip ini buat Mbaknya.”

Pegawai itu menyerahkan satu bungkus sanitary pads dan pada saat itu juga, Sakura akhirnya bisa bernafas dengan tenang. “Makasih banyak mbak!”

Setelah itu, Sakura langsung menyelesaikan urusannya di toilet dan buru-buru kembali ke meja untuk berterimakasih kepada Sasuke, kemudian pulang karena sudah nggak mood untuk tetap berada di sana.

Waktu Sakura kembali ke mejanya, cewek itu dibuat terkejut sampai mulutnya sedikit terbuka karena melihat kondisi Sasuke yang jauh dari kata proper.

Saat ini, Sasuke kelihatan seperti bebek yang habis kecebur sungai.

“Sasuke! Lo kenapa basah kuyup begini??” Sakura bertanya dengan heboh, sedangkan yang ditanya kelihatan lebih santai dan bahkan terkesan nggak peduli dengan kondisinya saat ini.

“Tadi di luar hujan.” jawab Sasuke singkat.

“Lo nggak naik mobil?”

“Bawa mobil sih, tapi kalo naik mobil kelamaan. Gue jadi minjem motor salah satu karyawan sini.”

“Tapi kan hujan, anjir.”

“Lo keliatan sedang berada di situasi emergency, jadi gue harus cepet-cepet, meskipun itu hujan.”

Sasuke hanya mengangkat bahunya santai di akhir kalimat, menunjukan kalau yang barusan cowok itu alami bukan masalah baginya. Namun tidak dengan Sakura, meskipun sering ilfeel dengan tingkah laku cowok itu, nyatanya Sasuke baru saja berkorban sampai kehujanan hanya untuk membantunya. Apalagi waktu cewek itu sadar kalau suhu ruangan saat ini sangat rendah, Sakura yang sudah pakai cardigan saja merasa cukup kedinginan, apalagi Sasuke yang basah kuyup.

Sakura memandangi cowok itu dan memindai penampilannya yang jadi lumayan berantakan. Rambut Sasuke yang biasanya ditata keren jadi lepek, kaos berwarna putih yang basah itu sukses membuat Sakura bisa melihat pahatan otot yang tercetak di tubuh cowok itu.

Sakura jadi merasa bersalah, tapi rasa bersalah itu berganti dengan putaran di bola mata waktu Sasuke notice dia sedang memandangi cowok itu dan bertanya, “Like what you see?”

“Hadeh.” Sakura langsung meneguk ocha hangat yang sudah tidak hangat dari gelasnya, merasa sedikit tengsin. Meskipun begitu, Sakura harus tetap sadar diri kalau atas keadaan Sasuke saat ini. Setidaknya dia harus menunjukan concern nya, “Sas… lo basah kuyup, nanti masuk angin.”

“Santai.”

“Err… Lo lepas aja kaos lo.”

Sasuke mengangkat sebelah alis nya, “Lo pengen banget liat gue telanjang ya?”

“Anjir” cewek itu mengepalkan tangannya dan memukul udara. Namun gerakan yang selanjutnya Sakura lakukan membuat justru membuat Sasuke gantian menatap cewek itu seksama.

Sakura melepas cardigan yang sedaritadi melekat di tubuhnya. “Lo pake cardigan gue aja nih.”

Merasa nggak yakin, Sasuke melihat cardigan dan Sakura secara bergantian. “You seriously told me to wear your pink cardi—hacim!

Suara bersin Sasuke yang menggelegar berhasil membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka.

“Tuh kan! Lo udah mulai bersin, bisa sakit kalau lo tetep pake kaos basah itu. Nih!”

Cardigan yang Sakura lempar berhasil cowok itu tangkap, kedua matanya masih menatap miris kain rajut berwarna merah muda itu. Tapi ya sudah lah, Sasuke menuruti perkataan cewek itu dan melangkah gontai ke toilet untuk mengganti kaos nya. Untung saja, celananya cuma basah sedikit.

Waktu kembali ke meja, Sasuke disambut oleh ledakan tawa Sakura karena cewek itu merasa lucu melihatnya memakai cardigan berwarna pink yang dikancing sampai atas. Tapi Sasuke nggak keberatan, toh tawa Sakura itu berdendang manis di telinganya.

“Ketawa mulu, sakit perut ntar lo.”

“Abis nya lo keliatan aneh banget sumpah! HAHAH.”

“Gue mau makan ramen biar anget, lo mau nggak?” tawar Sasuke.

“Mm. Boleh deh.” Sakura mengangguk karena ramen memang bisa membantunya untuk merasa lebih hangan dan membuat nyaman perutnya. Di sisi lain, cewek itu jadi teringat Naruto, membayangkan sepasang sapphire milik cowok itu yang akan berbinar jika sedang makan ramen.

Sambil menunggu pesanan ramen datang, Sasuke dan Sakura berbincang tentang banyak hal. Percakapan mereka mengalir begitu saja sampai Sakura lupa jalau tujuan awal cewek itu adalah betemu Sasuke, bilang terima kasih atas bantuannya, dan langsung pulang.

Nyatanya, Sakura masih betah bertahan di sana bersama Sasuke—cowok yang katanya bakal Sakura hindari.

Ino menyesap anggur merah yang Itachi tuangkan ke dalam gelasnya, rasa manis dan pahitnya cairan tersebut menjadi satu kemudian mengalir begitu saja ke kerongkongannya. Kalau boleh pilih, Ino sebenarnya lebih suka untuk minum sesuatu yang menyegarkan untuk menmani nya di tengah malam musim panas. But wine is not bad either way.

Lantunan musik sendu menemani keduanya yang belum bersuara karena masih sibuk dengan gelasnya masing-masing. Sebelum Ino bergabung dengan Itachi di sofa, lelaki itu sudah menyalakan piringan hitamnya untuk memberikan nuansa yang terkesan sendu namun terasa cukup romantis. Perfect for a pair of lover. Sayangnya, mereka tidak termasuk ke golongan tersebut.

Tiba-tiba Itachi tertawa, menjadikannya sebagai yang pertama untuk bersuara.

Ino menoleh ke samping kanan nya karena merasa heran. “What’s wrong? Ada yang lucu?”

“Ada,” Itachi ikut menoleh ke arah Ino dan membalas pandangan perempuan itu. “It’s funny how years ago, Harumi was created in this factory.

“Pabrik?? Yang bener aja, Itachi!” perempuan itu meringis dengan pilihan kata yang Itachi gunakan. Pabrik, katanya. Sangat konyol. “Tapi kamu nggak salah sih. Lucu juga kamu bawa dia stay di rumah ini untuk liburan, the house where she was created. Apa sih sebenernya intensi kamu?”

“Rumah ini sudah saya beli. Masa iya kita nginep di tempat lain.”

“HAH??”

Ino terkejut karena setelah bertahun-tahun, dia baru tahu kalau rumah yang dulu disewakan sebagai airbnb ternyata sudah Itachi beli.

“Sebentar lagi Harumi ulang tahun yang ke limabelas. Saya jadi ngerasa sedikit nostalgia, kangen sama momen di rumah ini mungkin.”

“Kangen? Seakan-akan momen itu berarti banget sampai kamu kangen gitu.”

“Momen itu memang berarti Ino.”

Sepasang netra Ino mengerjap mendengar penurutan Itachi, sebab kalimat itu disampaikan dengan sebuah magis yang membuat sekujur tubuhnya terasa meremang.

“Lebay ah. It’s not like you were in love with me or something.” Ino berusaha sesantai mungkin ketika menyampaikan kalimatnya meskipun di dalam hatinya, dia merasakan debaran yang amat kuat.

“Kata siapa?”

“Hah?”

“Ino, lihat saya,” kedua lengan perempuan itu sudah berada di cengkeraman tangan Itachi yang mengunci pergerakan tubuhnya. “Who said that I wasn’t in love with you?

Dalam jarak kedua wajah yang sangat dekat, Ino bisa merasakan hangatnya hembusan nafas milik lelaki yang ada di depannya. “Aku rasa kamu sudah mabuk, Itachi. You better sleep now.

Itachi tidak menyetujuinya ketika Ino bilang dia mabuk. Penolakannya lelaki itu tunjukan dengan sebuah dominasi supaya membuat Ino sadar bahwa perkataannya tidak main-main. Itachi lantas menarik Ino ke atas pangkuannya dan membuat perempuan itu memekik.

“Itachi!”

“Kamu pernah denger yang namanya love at first sight kan, Ino? Mungkin kedengerannya klise, tapi itu betulan terjadi sama saya. I was in love with you, since then. Sejak aku kejar kamu yang kabur karena nggak mau dijodohin dan akhirnya—I found you hiding in this house.

Ino berusaha mencerna apa yang barusan dia dengar. Banyak sekali yang dia tangkap ke otaknya, namun perempuan itu masih menolak untuk percaya kalau Itachi menyampaikan kebenaran. Sebab ada satu pertanyaan besar yang muncul dan ingin sekali Ino ketahui jawabannya.

But why, Itachi? If you were in love with me, kenapa kamu setuju waktu aku minta cerai?”

Sepasang manik legam Itachi terlihat sendu dan rapuh, Ino sama sekali tidak menemukan tatapan lelaki itu yang biasanya didominasi oleh kepercayadirian.

Itachi menjatuhian kepalanya di perpotongan leher mantan istrinya, menghirup kuat-kuat aroma yang dirindukannya. “I feel guilty. Aku merasa bersalah karena selama lebih dari sepuluh tahun, aku sudah merenggut kebebasan kamu. Kamu sudah terjebak sama aku buat waktu yang lama. Maaf… Maaf.”

“Ya Tuhan… I thought you hated me.” dengan sekuat tenaga Ino mengiggit bibirnya supaya suaranya yang bergetar tidak terdengar oleh Itachi. “Itachi, coba gantian kamu yang lihat aku.”

Waktu Itachi mengangkat lagi kepalanya, dia menemukan sepasang cerulean yang masih bergetar.

“Itachi, kamu pikir kenapa aku baru minta cerai setelah terjebak sama kamu lebih dari sepuluh tahun? no—dua belas tahun to be exact.

Lelaki itu menggeleng sebab tidak menemukan jawaban.

“Karena selama itu kamu ada di samping aku dan Harumi. Dan selama itu juga, aku mulai lupa gimana rasanya hidup aku waktu sebelum ada kamu.”

Kehidupan rumah tangga memang pelik, apalagi ketika masing-masing pihak menyembunyikan sudut pandangnya dari satu sama lain. Itachi dan Ino memang cenderung kurang terbuka mengenai apa yang mereka rasakan. Itachi yang canggung dan super sibuk sehingga terkesan sulit untuk dijangkau, sedangkan Ino sendiri yang juga sibuk merasa gengsi dan percuma untuk menunjukan apa yang dia rasakan sebenarnya.

Kurangnya komunikasi membuat mereka berdua terasa jauh.

Namun tidak untuk malam ini. Itachi memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya dan menjemput bibir Ino dalam satu ciuman dalam yang setiap belaiannya diselimuti oleh kerinduan.

Itachi tidak tahu sejak kapan tubuhnya bisa bermanuver sacara otomatis untuk menggendong tubuh ringan Ino dan berjalan menuju kamar tidurnya. Dan sontak, lengan Ino langsung mengular di leher lelaki itu. Keduanya masih belum melepaskan tautan bibir mereka.

Karena kebutuhan akan oksigen, dengan terpaksa bibir keduanya mengambil jarak barang beberapa inchi namun mereka masih bisa merasakan hembusan nafas masing-masing.

Setelah Itachi berhasil menempatkan Ino di permukaan ranjangnya, lelaki itu bertanya. “Nggak apa-apa kan kalau malam ini Harumi tidur sendirian?”

No problem. Harumi is a big girl now.

Good.

Ino melangkah masuk ke butik dimana dia dan Mami nya janjian untuk bertemu. Sore ini, agenda fitting terakhir gaun pengantin akan dilaksanakan.

Gaun pengantin siapa? Tentu saja gaun pengantin Mami nya. Benar, Mami nya akan menikah lagi setelah bercerai dengan Papinya beberapa tahun lalu.

Jujur saja, Ino sangat malas untuk terlibat dalam serangkaian urusan tentang pernikahan baru Mami nya itu. Bahkan cewek itu nggak peduli. Tapi Mami nya bersikeras untuk melibatkan Ino, sesimpel karena cewek itu adalah putri satu-satunya.

Maminya memberi kecupan di kedua pipi Ino, kemudian memindai penampilan putrinya dari ujung kepala sampi ujung kaki. “Halo sayangnya Mami, you look good today. Sini, gaun kamu sudah siap buat dicoba.”

“Hmm.” Ino cuma menjawab dengan sebuah gumam singkat dan mengikuti kemana mami nya melangkah.

Gaun-gaun yang Ino lihat terpajang di butik itu tentu saja membuatnya terkesima. Dia selalu suka melihat semua hal yang cantik. Bahkan Ino sudah punya rancangan tentang bagaimana gaun pernikahannya akan terlihat di masa depan. Namun sekarang, apa yang berkaitan dengan pernikahan justru membuat cewek itu jengah.

Ino nurut saja ketika Mami nya menyuruh dia memakai gaun untuk acara pernikahan maminya bulan depan. Dia mematut diri di cermin, memandangi pantulannya tanpa rasa minat.

Suara Mami yang ada di sebelahnya membuat Ino terlonjak. “Ino! Berat badan kamu naik ya?? Yaampun ini kenapa bagian zipper nya ketat sampai nggak bisa dinaikkan ke atas??”

Ino memutar bola mata, kemudian memutar badannya sehingga punggungnya bisa dia lihat di pntulan cermin. Dan ternyata benar, bagian zipper gaun itu nggak menutup dengan sempurna.

Cut me some slack, Mami! It’s been a hectic week dan aku emang makan banyak, biar nggak stress.” jelas Ino.

No excuse, Ino. Kan mami sudah bilang untuk jaga pola makan kamu! Pasti makan kamu nggak bener ya? Aduh, makanya nggak usah main sama Chouji lagi deh, bisa setiap hari nanti kamu makan daging. Jadi gendut gini kan!”

Ukuran tubuh Ino jelas nggak bisa dikatakan gendut, bahkan designer yang sedari tadi membantu memasangkan gaun untuk Ino hanya bisa meringis mendengar omelan customer nya.

Ino cuma bisa menunjukan ekspresi jengahnya, amarah nya mulai naik ke puncak namun harus dia tahan. “Udah selesai ngomelnya?”

“Mulai sekarang Mami yang akan atur pola makan kamu! Kamu harus nurut Ino kalau kamu mau comeback modeling lagi. Aduh, pasti mami bakal kaget banget kalau liat angka timbangan kamu sekarang.”

Ino dan Mami nya bernaung di industri yang sama meskipun beda sektor. Ino sudah berkarir sebagai model sejak masih kecil, namun cewek itu memilih untuk hiatus dengan alasan ingin fokus terhadap studinya. Sedangkan Mami Ino adalah mantan artis papan atas. Sehingga masalah berat badan cukup sensitif untuk keduanya. Sebab, kesempurnaan adalah yang harus mereka miliki.

“Kalau udah selesai aku pulang.” tukas Ino final, cewek itu beralih ke designer dan memintanya untuk membantu melepaskan gaun yang masih melekat di tubuhnya. “Mbak, tolong bantu lepasin ya.”

Seusai agenda fitting gaun, Ino diantar oleh Mami nya ke gramedia di mall terdekat karena cewek itu butuh untuk membeli beberapa perlengkapan kuliah.

Ketika Ino berniat untuk membuka pintu mobil untuk keluar, kalimat Mami nya berhasil menghentikan cewek itu. “Ino. Make sure berat badan kamu sudah turun bulan depan!”

Persetan. Tanpa menjawab, Ino langsung keluar dan membanting pintu mobil itu agak keras.

Di gramedia, Ino langsung bertolak ke section komik untuk menyegarkan pikirannya. Dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sana hanya untuk membaca beberapa volume komik atau novel random yang kebetulan sudah terbuka segelnya.

Saking fokusnya, Ino bahkan nggak sadar kalau di sebelahnya sudah ada orang lain sampai orang lain itu bertanya. “Baca komik juga?”

Ino sedikit kaget dan langsung menoleh ke samping, “Yaampun, Sai!”

Dan setelahnya, sepasang mata yang membentuk sabit akibat senyum adalah yang membuat Ino ikut tersenyum untuk pertama kalinya di sore itu.

Sakura nggak berharap kalau Sasuke betulan nyamperin dia di kantin Fakultas Kedokteran. Akibat gonjang-ganjing nya dengan Ino tempo hari lalu yang sampai saat ini belum mereda, Sakura merasa dirinya nggak boleh untuk terlihat bersama Sasuke di ruang publik.

Makanya waktu cowok itu sampai di meja yang Sakura tempati bersama beberapa teman satu departemennya, cewek itu langsung menarik tangan Sasuke untuk menjauhi kerumunan.

Sasuke sengaja membiarkan Sakura menariknya sampai terhuhyung, nggak ada penolakan waktu cewek itu membawanya ke tempat yang jauh lebih sepi.

“Okay Sakura, santai aja. I get it, you prefer a quiter place.

Sakura celingukan sambil memantau situasi. Aman.

Kemudian dia baru sadar dengan perkataan yang dilontarkan Sasuke sambil menyeringai. “I get it I get it apa maksud lo?!?”

“Ya… Mungkin lo prefer tempat yang sepi kaya gini, biar lebih enak kalo kita mau ngapa-ngapain.” jelas cowok itu santai juga sambil menyeringai.

“Argh lo tuh!” Sakura dibuat kesal dengan cara Sasuke meladeni nya, emang susah buat ngomong secara normal dengan seorang buaya. “Ngapain lo ke kantin FK?!”

“Mau ketemu lo, nggak boleh?”

“Iya, nggak boleh!”

Sakura berusaha menahan volume suaranya agar tetap rendah, tapi cewek itu sudah kepalang kesal waktu Sasuke masih memasang his smug face. “Gara-gara lo tuh, gue sama Ino jadi berantem tau nggak!”

“Kok jadi salah gue??” tentu saja Sasuke nggak terima. Meskipun sebenarnya, kasus dimana dua perempuan sampai berantem karena mereka naksir Sasuke bukan yang pertama cowok itu temukan.

“Lo udah tau Ino suka sama lo, tapi lo malah ngajak gue jalan. Gila lo!” sambung Sakura.

“Jadi cuma gue yang salah di sini?” Sasuke mengangkat sebelah alisnya, “Damn Sakura. Lo bahkan nggak nolak ajakan gue, meskipun lo bisa nolak dan posisi nya lo tau, kalo temen lo suka sama gue. You can’t blame me.

“Gue—“

Belum sempat Sakura menyelesaikan kalimatnya, Sasuke memotong dan berkata, “You don’t event hangout with other guy alone, kecuali sama si Naruto. Dan kemarin, lo mau gue ajak pergi berdua. Lo tau itu artinya apa? Itu artinya lo juga tertarik sama gue, Sakura.”

Sasuke mengeluarkan rentetan kalimat itu dengan santai, namun terdengar serius karena disampaikan dengan sepasang manik legam Sasuke yang menatap lurus ke sepasang emerald milik Sakura, sampai pada akhirnya—cewek itu mempertanyakan dirinya sendiri.

“Nggak mungkin, gue nggak tertarik sama lo.” cewek itu menggeleng pelan, suaranya sedikit bergetar, menandakan kalau Sakura nggak yakin dengan jawaban yang dia keluarkan sendiri.

Fine. Lo boleh denial sekarang. Dan soal Ino, gue nggak peduli karena perasaan dia ke gue, itu masalah dia sendiri.” Sasuke mempersempit jarak, dia menaruh tangannya di kedua bahu Sakura dan menahannya supaya cewek itu tetap berdiri menghadapnya, kemudian Sasuke membungkukan badannya sedikit sampai wajahnya berada di level ketinggian yang sama dengan wajah Sakura. “Tapi kalau lo. Gue lebih seneng kalau lo yang tertarik sama gue, bukan perempuan lain.”

Cowok itu kembali menegakkan punggungnya, satu tangan yang bertengger di bahu Sakura berpindah ke puncak kepala cewek itu, dan mengacak pelan surai merah muda yang hanya Sakura miliki.

Setelahnya, Sasuke melangkah meninggalkan Sakura sendirian.

Sakura mengerjap dan satu-satunya kalimat yang bisa dia lontarkan sambil berusaha menutupi semburat merah di kedua pipi adalah, “Dasar buaya!”

Sakura nggak tahu apa yang sudah merasuki dirinya sampai dia sekarang ada di sebuah warung kopi, bersama Sasuke yang duduk di depannya sambil menggenggam ponselnya karena cowok itu sedang mabar pubg dengan entah siapa.

Sebelumnya, Sakura menjadi rekan mabar Sasuke. Tapi cewek itu memilih berhenti main game dan memesan cheesecake untuk yang kedua kalinya.

Apapun itu yang sudah merasuki Sakura, yang jelas cewek itu sedikit menyayangkan keputusannya karena lebih memilih untuk mengiyakan ajakan Sasuke. Padahal jalan aesthetic ke art exhibition dengan Sai nampaknya lebih menarik meskipun pada akhirnya dia tolak juga. Tapi bukan apa-apa, Sai is an art geek dan Sakura takut kalau dia nggak bisa mengimbangi topik pembicaraan Sai tentang seni.

“Sori, lama ya gue mainnya?” Sasuke meletakan ponselnya setelah selesai main game, kemudian menyedot menyendokan affogato ke mulutnya.

“Sans.” Sakura hanya mengangkat bahunya cuek. “Jadi gimana? Katanya lo ngajak gue nongkrong buat cerita kenapa lo putus sama pacar lo.” sambung cewek itu.

“Oh iya.”

Mungkin hal itu bisa jadi alasan bagi Sakura untuk menjustifikasi keputusannya. Sasuke sempat bilang kalau dia baru saja putus dengan pacarnya, dan dia nggak tahu harus cerita ke siapa. Karena kebetulan waktu itu Sasuke sedang chat dengan Sakura, jadi kenapa nggak dia cerita saja ke cewek itu?

Satu kekhawatiran Sakura hilang, karena dia nggak harus nongkrong dengan pacar orang. Namun Sakura masih overthinking karena merasa bersalah sudah jalan diam-diam dengan Sasuke meskipun tahu kalau sahabatnya—Ino, naksir berat ke cowok itu.

Tapi ya sudah lah, Sakura tinggal merahasiakannya dan menyuruh Sasuke untuk tutup mulut kalau mereka habis jalan berdua. Sekarang, yang menjadi fokus cewek itu adalah cerita tentang alasan kenapa Sasuke putus dengan pacarnya.

“Ya gitu lah. Itu cewek gold digger banget, minta dibeliin ini itu as if gue berkewajiban buat menuhin apa yang dia mau. Hell, we are not even married.”

Sasuke menyelesaikan ceritanya dengan raut muka yang terlihat super kesal. Hal itu lantas membuat Sakura tertawa, “Haha mampus! Mungkin ini salah satu karma karena lo playboy, jadi diporotin kan duit lo!”

“Anjir juga lo kalo ngeledek—By the way, you okay if I smoke?” tanya cowok itu waktu mengeluarkan sekotak rokok beserta lighter nya.

Sure, gue juga mau nge-vape kok.” jawab Sakura santai sambil memperlihatkan vape miliknya ke Sasuke, yang mana membuat cowok itu membulatkan matanya.

“Masa anak FK nge-vape?” cowok itu bertanya heran.

“Ya emang kenapa sih?? Dokter juga banyak yang ngerokok. Sebagian dokter itu cuma nerapin nilai-nilai baik dari apa yang mereka pelajarin ke pasien mereka, ke diri sendiri belum tentu.”

Setelah itu, Sakura sengaja meniupkan asap vape ke arah Sasuke padahal cowok itu sendiri berusaha agar asap rokoknya nggak mengenai Sakura.

By the way, Sas. Kalau lo cuma butuh temen nongkrong buat cerita, kenapa lo nggak ajak Ino aja?”

Pertanyaan Sakura membuat Sasuke menekan puntung rokoknya ke asbak, “Kenapa harus Ino dan nggak boleh lo?”

“Karena Ino suka sama lo. Kalau lo butuh cewek baru setelah putus kan gampang, dia pasti langsung mau sama lo.

“Gila. Lo ngomong gitu seakan-akan gue ini fuckboy banget.”

“Lah? Lo kan emang fuckboy!”

Ada sekelibat rasa tersinggung yang Sasuke rasakan ketika mendengar jawaban Sakura. Biasanya Sasuke nggak peduli dengan orang lain mau melihatnya bagaimana, tapi waktu Sakura dengan enteng nya bilang kalau dia ini fuckboy, hati Sasuke dibuat sedikit mencelos.

“Iya deh gue fuckboy. Tapi fuckboy-fuckboy gini, gue masih jadi dambaan cewek-cewek kampus.” kata Sasuke dengan enteng dan percaya diri, berusaha menyembunyikan harga dirinya yang tergores sedikit oleh perkataan Sakura.

“Berarti mata cewek-cewek itu yang nggak beres!”

“Parah, emang lo nggak suka sama gue Ra??”

Pertanyaan Sasuke membuat cewek itu terkesiap.

Sasuke has a reputation dan semua warga kampus tahu bagaimana cowok itu bisa pdkt dengan cewek yang berbeda dari berbagai fakultas setiap tiga bulan sekali. Paling lama, Sasuke bisa berhubungan serius selama tiga sampai enam bulan.

Tapi Sakura nggak bisa bohong, waktu dia pertama kali bertemu Sasuke di gathering kelompok ospek universitas, cewek itu memang sempat tertarik dengan Sasuke. Simply karena cowok itu tampan dan sangat attractive. Tapi setelah tahu kalau Sasuke ternyata tak ubahnya satu spesies dengan buaya di rawa-rawa, Sakura lupa kalau dia pernah naksir cowok itu.

“Gue? Suka sama lo?? Ya nggak mungkin lah!” Sakura mengibaskan tangannya di depan wajah.

Kemudian cewek itu melihat sebuh seringai yang terpatri di wajah Sasuke.

“Bukan nggak mungkin, Ra. Lo cuma belum suka sama gue. Nanti kalo udah suka, kasih tahu ya?”

Hell yeah.

Ino bertolak ke kos Shikamaru hanya dengan memakai hoodie kedodoran untuk menutupi lekuk tubuhnya—terutama payudaranya yang sekarang nggak di-support oleh bra karena semua stok bra di lemari Ino belum ada yang kering.

Sesampainya di kos, cewek itu disambut dengan sunyi. Wajar saja karena hari ini adalah hari Sabtu sehingga semua penghuni kos memanfaatkannya untuk molor sampai siang bahkan sore.

Ino melihat motor Kiba di garasi, dia sempat berhenti melangkah sambil memikirkan gimana caranya dia masuk tanpa berpapasan dengan cowok itu. Sebenarnya mereka berdua nggak punya masalah, tapi Ino kadang merasa super capek buat ngeladenin gombalan jamet temannya itu.

Tapi pada akhirnya, Ino merasa beruntung karena nggak berpapasan dengan Kiba sampai dia berhasil masuk ke kamar Shikamaru yang nggak terkunci.

Ternyata, kamar itu kosong. Padahal Ino berekspektasi kalau Shikamaru sedang tidur atau minimal goleran malas di kamar nya. Di atas meja belajar cowok itu, Ino menemukan paketnya yang sudah terbuka.

“Shikamaru rese juga bukain paket gue.” katanya sambil mencibir.

Tanpa pikir panjang, Ino membuka hoodie nya dengan santai dan langsung mencoba beberapa pasang gaun tidur yang dia beli untuk dirinya sendiri. Setelah puas bercermin, Ino menyudahi proses try on nya—kemudian memasang bra baru ke tubuhnya diikuti dengan hoodie kedodorannya.

Tepat setelah itu, pintu kamar Shikamaru terbuka. Memunculkan si pemilik kamar yang membawa keranjang berisikan pakaian yang habis dijemur di hari sebelumnya. Ino sempat heran karena biasanya Shikamaru lebih memilih pakai jasa laundry. Tapi kalau dipikir lagi, jawaban yang akan Shikamaru berikan kalau Ino tanya kenapa, pasti cowok itu bakal bilang kalau dia sedang ngirit.

“Yah telat lo.” kata Ino masih fokus melipat kain-kain lembut yang tadi dia coba kenakan.

Shikamaru menaikkan sebelah alisnya. “Telat kenapa?”

“Gue habis nyobain ini lingerie, lo telat masuk, jadinya nggak lihat.”

“Nggak penting banget. Gue bahkan udah sering lihat lo telanjang.”

Ino jadi tergelak mendengar jawaban Shikamaru, dia melemparkan salah satu bra yang mendarat di muka cowok itu. “And that’s when we were only six ya, anjir!”

Shikamaru berhasil menangkap bra yang Ino lemprakan kemudian bergabung ke tempat tidurnya dan menyenderkan punggung ke kepala ranjang. “Berhubung lo lagi lipet-lipet, lipetin jemuran gue sekalian dong.”

Ino mendengus, meskipun begitu dia tetap meraih keranjang pakaian Shikamaru yang kebanyakan isinya cuma kaos, beberapa kemeja, dan boxer. “Boleh. Tapi nggak gratis.”

“Lo mau apa?”

“Bantuin gue PDKT sama Sasuke.”

“Pffft. Kasian banget Sasuke kalo pdkt sama lo, fuck girl.”

“Cocok dong! Sasuke kan juga fuck boy.”

Shikamaru nggak habis pikir dan menggelengkan kepalanya. Habis itu keduanya diam. Ino telaten melipat pakaian Shikamaru dan cowok itu sibuk scroll twitter siapa tau ada tweet-tweet kebodohan netizen untuk naikin moodnya.

Di sisi lain, Ino jadi teringat akan perkataan Temari tempo hari lalu, katanya cewek itu sempat papasan dengan Shikamaru di abang sate langganan. “Denger-denger kemaren lo ketemu Temari.”

Shikamaru melirik ke Ino, “Emang.”

“Gimana? Deg-degan nggak ketemu mba mantan?”

“Yang ada pengen mukul, but no—I don’t hit girls.” tentu saja, Shikamaru agak kesal pasalnya cowok itu menemukan Temari dengan Sasori.

“Kirain pengen cium.” cewek itu terkekeh, suka sekali kalau sudah meledek Shikamaru soal urusannya dengan Temari, sedangkan cowok itu melengos saja.

Menurut Ino, apa yang Temari lakukan pada Shikamaru di masa lalu emang anjir banget sih. Sebetulnya Ino juga nggak heran dengan kelakuan teman-temannya (termasuk dirinya) yang minus akhlak itu, tapi dia sedih juga waktu tahu Shikamaru yang jadi korbannya meskipun cowok itu juga nggak sepenuhnya punya akhlak mengingat bagaimana dia hanya ngajak Temari pacaran karena Truth or Dare.

“Ututu gausah dibuat overthinking lah. Umur segini tuh enaknya buat ena-ena aja!” Ino menepuk pahanya kemudian bangkit, “Dah lah gue mau pulang. Habis itu kencan. Bye.”

“Sama siape?” tanya Shikamaru.

“Itachi!”

Shikamaru ingat beberapa menit lalu cewek itu meminta bantuannya supaya bisa pdkt dengan Sasuke, eh sekarang malah semangat banget mau kencan sama abangnya. “Dasar cewek gila.

Menjelang agenda terakhir yaitu tukar hadiah dan penutupan acara staycation, bukan semangat yang mereka bawa, melainkan perasaan beratnya hati karena perpisahan sudah semakin dekat.

Kelihatannya memang lebay, karena mereka nggak akan betulan langsung berpisah tanpa memiliki kesempatan untuk ketemu lagi setelah ini. Tapi yang jelas, frekuensi pertemuan mereka bertigabelas secara full team akan semakin berkurang mengingat kesibukan masing-masing yang berbeda.

Setelah sarapan dan mandi (bagi yang mandi) mereka segera berkumpul di ruangan yang semalam menjadi tempat karaoke, duduk melingkar secara random karena sebentar lagi, mereka akan menebak siapa saja manito masing-masing.

“Mulai dari mana nih??” tanya Naruto yang duduk di antara Ino dan Sakura.

Clockwise aja, mulai dari lo deh Nar.” kata Neji.

Naruto nyengir, dia langsung menegakkan punggungnya, “Asik pertama. Nebak nih ya gue, tapi sebenernya udah yakin sih kalo manito gue tuh Shikamaru.”

“Lah? Kok gue?” yang namanya disebut oleh Naruto tadi berlagak bingung, Shikamaru malah balik bertanya sambil ngeledek Naruto.

“Lu doang anjir yang typing jelek kaya si Willy! Terus lo diem-diem ngajak gue ngerjain revisi proposal, abis itu ngelarang gue makan mie instan.” tunjuk Naruto kepada mantan kahim nya sambil bersungut-sungut setelah memutar balik otaknya dan mengingat apa saja yang telah Shikamaru lakukan sebagai manito nya.

Shikamaru berdecak, pada akhirnya menyerah juga menutupi fakta. “Yaudah, iya deh gue manito lo Nar.”

“KAN!”

Setelahnya, Shikamaru memberi Naruto bingkisan kado yang lumayan besar dan terbungkus rapi oleh selembar koran. Tentu saja, Naruto langsung protes, “Jelek banget anjir pake koran bungkusnya!”

“Oke lanjut!”

Giliran Sakura yang menebak siapa manitonya. Sama seperti Naruto, cewek itu sudah yakin kalau tebakannya nggak akan salah. “Hmm… Manito gue sudah pasti mbak Ilona Nozaria Yunandar anaknya Pak Indra Yunandar!”

“Buset! Sekalian ae lo spill nama bapak semua yang ada di sini!” cibir Ino sambil tersenyum miring.

“Hehehe.” Sakura nyengir.

“Kenapa kok yakin kalo manito lo adalah Ino, Mbak Saku?” Rock Lee yang ada di sebelah Sakura mengepalkan tangannya dan diarahkan ke cewek itu, seperti reporter yang sedang mewawancarai narasumber.

“Soalnya tuh yang biasanya request dibuatin soft cookies sama gue ya… cuma Ino! Terus video tiktok yang dia kirim lewat menfess tuh, energi nya Ino banget lah pokoknya.”

Jawaban Sakura yang disuarakan dengan mantap itu membuat Ino mengedipkan sebelah matanya ke arah sahabatnya sambil menyerahkan bingkisan kado, “As expected! Gue bakal sakit hati kalo lo ga ngenalin gue sih.”

“Awww makasih Ino babi kesayangan gueee!”

“Lanjut, gue nih berarti?” Rock Lee bertanya ke audiens setelah sesi Sakura selesai, kemudian dibalas dengan anggukan kepala. “Manito gue… Neji bukan sih?”

“Wah! Kaya ragu nih, kenapa Ijen bwaang?” tanya Naruto.

Cowok berpotongan rambut mangkok itu masih cengengesan setelah menebak Neji sebagai manitonya. “Karena, Yang ngetweet di salon dan nolak potong rambut mangkok emang Neji, gue tau soalnya dia sempat bilang gitu kapan hari mau creambath. Abis itu Neji nyusul nongkrong, eh dia pake baju ijo sesuai misi dari gue. Sayangnya dia gak bawa sepeda, makanya gue agak ragu hehe.” jelasnya panjang.

Selayaknya moderator, Naruto balik bertanya ke Neji. “Bener gak Bang Ijen??”

“Bener-bener.” cowok bersurai panjang itu mengangguk, lantas melempar hadiahnya untuk Rock Lee.

“Walah, konco kentel banget ya Neji sama Lee, tak terpisahkan!” kata Tenten sambil terkekeh.

“Tapi gue masih ngetawain kok bisa yang dapet misi disuruh potong mangkok tuh Neji anjir!” timpal Kiba.

Neji berdecak dan menggelengkan kepalanya, “Emang sableng si Rock Lee.”

“HAHAHAHA.”

Setelah Rock Lee, giliran Shino pun tiba. “Hinata, lo kan manito gue?” tembaknya.

Hinata tersenyum lembut dan as expected, cewek itu langsung mengangguk tanpa neko-neko.

“Heeee spill dulu kenapa lo bisa mikir kalo itu Hinata!” pinta Naruto.

Shino bergumam sebentar, kemudian menjawab dengan santai. “Jawaban misi dari manito gue tuh adalah jawaban yang bakal Hinata kasih kalo ditanya begitu.”

“Wah Shinoooo. Hehe.” cewek itu mengacungkan jempolnya tersanjung karena Shino mengenalnya cukup baik, kemudian secara hati-hati menyerahkan bingkisan kadonya untuk Shino. “Semoga kamu suka hadiahnya ya Shino!”

“Kereeeen-keren, bonding nya anak-anak Miss Kurenai solid berarti.” komentar Naruto lagi yang dari tadi memang semua hal dia komentari.

“Lanjot Ten!”

“Kiba maju lo sini!” cewek dengan gaya rambut pucca itu tiba-tiba beranjak dari duduknya dan mengajak Kiba ikut serta. Kemudian Tenten memberikan Kiba sebuah aba-aba yang untungnya, langsung dipahami oleh cowok itu. “Satu dua tiga—SOOOO SALLY CAN’T WAIT… SHE KNOWS IT’S TOO LATE AS WE’RE WALKING ON BY…”

Nyanyian mendadak dari Tenten dan Kiba sontak membuat teman-teman yang masih duduk melingkar rusuh seketika, keduanya mendapat sambutan tepuk tangan meriah.

“Anjaaay! Let’s gooo.”

“Ih dilanjut dulu ini nebaknya!”

Ino terpaksa menghentikan Naruto, karena kalau tidak, cowok itu bakal kelepasan.

“Oh iya sorry-sorry! Wih, ngeri banget nih duo maut dari Mbak Tenten dan Kiba. Berarti fix nih manito nya adalah Kiba?”

Fix, final answer Kiba!” kata Tenten bersemangat.

“Mantaaap.” Kiba sendiri membenarkan dan langsung mengajak cewek itu untuk tos.

Giliran Chouji akhirnya tiba, “Gue mau makasih banget sama Rock Lee nih, makasih Lee udah ngeracunin gue pake snack sehat yang lo kasih pas kita nongkrong itu!”

“IH SENENG BANGET KALO DIRIMU SUKA CHOUJI! Jangan sungkan ajak gue kalo mau olahraga bareng!” sahut Lee.

Sasuke yang duduk di sebelah Chouji sudah bersiap untuk menebak siapa manitonya, “Sakura kan?”

“AH GA ASIK MASA DAPET MANITO NYA AYANG SENDIRI!” protes Naruto.

“Sirik aja bocah oren!” Sakura memberi Naruto jitakan singkat di kepalanya, kemudian beralih ke arah pacarnya. “Betul, itu aku!”

Awalnya Sasuke bahkan nggak yakin dengan tebakannya sendiri. Karena manito nya ini sudah terlampau terbiasa melakukan hal-hal yang dia jadikan misi itu. Ibarat nya sih misi-misi itu adalah daily activities yang biasa mereka berdua lakukan, kecuali misi memberi makan stray cats. Kegiatan itu sendiri juga baru untuk Sasuke, cowok itu mulai melakukannya setelah dia mengadopsi anak kucing di kontrakan. Karena kesibukan Sakura, mereka berdua belum sempat melakukannya bersama.

“Yok Sai.”

“Jujur gue punya dua nama, tapi yang satu udah ke-spill duluan. Berarti tinggal satu, Sasuke.” ucap Sai setelah dipersilahkan oleh Naruto.

“Kok bisa lo punya dua tebakan?? Kurang obvious apa lagi gue?” tanpa disangka-sangka, Sasuke kelihatan nggak terima karena Sai meragukannya sebagai manito cowok pucat itu. Padahal, Sasuke sudah susah payah menahan Sai supaya nggak impulsif dalam menggunakan uangnya.

“Emang satunya lagi lo nebak siapa, Sai?” tanya Sakura.

Sai menunjuk ke arah orang yang namanya dia sebut dengan dagunya. “Ino.”

Namun, cewek yang disebut namanya malah membelalakan matanya. “KOK GUE???”

“WOW.” seru Naruto.

“Hadeh. Cewek ini emang paling demen bikin orang salah paham.” Shikamaru akhirnya buka suara sambil mengacak puncak kepala Ino yang kebetulan duduk di sebelahnya.

“Ih kok bisa lo kepikiran gue, Sai??” Ino masih penasaran, maka dia kembali bertanya untuk menuntut jawaban.

“Iyaaa spill dong!”

“Jadi kapan hari gue ketemu Ino di mall, yang pas gue mau beli kursi belajar baru itu. Inget gak, Ino?” tanya Sai.

Ino mengangguk. “Inget!”

“Nah, habis itu jadinya Ino nemenin gue pilih-pilih kursi. Di situ dia bener-bener ngomelin gue pas gue pilih kursi mahal, katanya sih ga worth it beli kursi semahal itu. Terus dia bilang, banyak yang lebih murah dengan kualitas yang sama bagusnya. Si Ino juga komen terus kalo gue boros pas lagi beli ini itu. Sebelumnya juga kan, Sasuke udah ngomel duluan. Jadinya di satu hari itu, gue bener-bener dihantam sama Sasuke dan Ino yang nyuruh gue buat lebih hati-hati pas spending money. Makanya gue bingung, manito gue ini yang mana.” jawab Sai panjang lebar, nggak lupa dengan senyumnya sampai membuat sepasang matanya membentuk sabit.

“Oalaaaaah! Tapi lo itu emang boros banget Sai, barang mahal dan nggak diskon aja enteng banget lo nge-gesek itu kartu!”

Ino manggut-manggut dan gagasannya itu disetujui oleh Sasuke. “Bener, tiap hari itu bocah kedatengan paket.”

“Kerja keras ngerjain komisyen buat apa kalo duitnya gak dipake jajan, ye gak Sai???” tanya Naruto sambil cengar-cengir dan mengangkat alis nya berkali-kali.

“Hehe nggak juga sih, Nar.”

“Yowes lanjooot!”

“Aduh, gue males banget kalo orang ini beneran manito gue anjir.” Kiba mendengus, cowok itu masih terbayang akan apa yang terjadi beberapa hari lalu. “Elu kan manito gue? Soalnya lo yang paling setia jalan-jalan sama gue dan akamaru pas kita nongkrong sore itu, meskipun lo naik sepeda.” tunjuknya pada Shino yang dibalas dengan anggukan kepala.

“OOOOOH CALON KAKAK IPAR TERNYATAA.” seru Sakura sampai membuat Hinata tertawa lumayan keras.

“Anjir!”

“Eh ceritain dong Shin, kok lo bisa sama Kak Hana??”

Bukan cuma Tenten yang penasaran, melainkan semua yang ada di sana, termasuk Kiba sendiri.

“Ya… kata Kiba di misi nya kan, Kak Hana lagi sedih dan dia minta bantuan buat hibur kakaknya. Jadi ya… yaudah gue hibur sebisa gue.” jawab Shino kalem.

Namun, jawaban Shino membuat Kiba semakin panas, “ANJEEENG. Gue minta saran itu biar gue yang ngehibur Kak Hana, bukan elo anjeeeer!!”

“KIB UDAH KIIIIB.”

Smooth banget ya Shino modusnya.” komentar Hinata yang masih tertawa.

“Yok Hinata yok, lanjut!” seru Naruto yang tiba-tiba mukanya menjadi terasa hangat akibat mengingat apa yang terjadi semalam.

“Halaaah manito Hinata mah udah jelas si Naruto.” timpal Ino sambil menyenggol tubuh cowok itu sampai limbung secara dramatis.

Hinata terkekeh saja melihat Naruto yang sedang salah tingkah. “Hehe iya betul, Naruto.”

“Semalem ngobrol apa aja sama Naruto?” Neji merendahkan kepalanya untuk betanya ke Hinata sambil berbisik.

Sekarang nggak cuka Naruto yang pipinya menghangat, tapi Hinata juga. “Hehe nanti aku ceritain ya, Kak.”

Neji pun mengangguk, dan kini sekarang giliran cowok itu untuk menebak siapa manito nya. “Giliran gue ya, sisa Tenten gak sih ini yang namanya belum disebut?”

“Ada Tenten, Chouji, sama Sai!”

“Haha, ya jelas Tenten lah. Siapa lagi di sini yang masakannya jadi favorite kalian semua kalo bukan dimsum nya dia?” jelas Neji. “Makasih loh, Ten. You really live up to your self-description, leisure, santai.”

Tenten langsung cekikikan, “Ah bisa aja lo Jen! Ntar gue kasih kupon gratis dimsum deh!”

Giliran Shikamaru untuk menebak manitonya akhirnya datang juga. Namun, seperti manito Naruto, manito Shikamaru juga sudah bisa ditebak siapa. “Ah ini mah udah ke-spill, Chouji konco kentel gue dari orok.”

“Konco kentel gue dari orok juga!” kata Ino nggak mau kalah.

Di seberang sana, Chouji memberikan finger heart ala Korea 🫰 untuk Shikamaru dan Ino.

Last but not least, nama yang Ino simpan sebagai suspect manito nya langsung terkonfirmasi karena di sana, hanya Sai yang namanya belum disebutkan. “Khas banget typing nya pake emoji senyum yang merem itu! You are really appreciated and loved, Sai!” kata cewek itu sambil tersenyum hangat ke arah mantan kekasihnya.

Sesi tebak menebak manito sudah usai. Setelah itu mereka menggunakan sisa waktu untuk unboxing bingkisan kado dari manito masing-masing yang tentunya, pekikan suara dan gelegar tawa ketika melihat kado apa yang mereka terima langsung mendominasi seluruh ruangan, namun ada juga yang mewek karena terharu seperti Sakura ketika mengetahui isi bingkisan yang Ino berikan berupa scrap-book yang cewek pirang itu buat sendiri, atau Ino yang tersentuh menerima self-portrait yang digambar oleh Sai.

“ANJRIT AGAK LAEN EMANG SHIKAMARU KALO NGASIH KADO!”

Naruto berseru dengan heboh dengan apa yang dia terima. Ternyata, Shikamaru memberinya sebuah kain Sarung.

Shikaamru tertawa singkat, “Inget mati Nar, semoga bermanfaat haha.”

Di tengah hiruk pikuk sesi unboxing kado, Sai berkutat sendiri dengan laptopnya di depan layar televisi. Cowok itu kemudian menyambungkan kabel televisi ke laptopnya, sehingga apa yang ada di layar laptop juga terlihat secara jelas di layar besar televisi.

“Eh Sai, apaan tuh?” tanya Kiba.

“Ini proyek besar yang dari kemaren gue kerjain, semoga kalian suka yaa.”

Ketiga belas pemuda-pemudi tersebut secara kompak langsung menghadap layar televisi dan mengantisipasi secara saksama apa yang akan terputar di sana.

Setelah Sai benar-benar bergabung dengan mereka, layar tersebut bergerak dan menampilkan momen-momen kebersamaan yang Sai rangkum dalam sebuah video singkat. Video di awali dengan cuplikan singkat masing-masing dari mereka.

Kemudian terpampang jelas cuplikan program-program kerja yang mereka jalani dan berbagai momen yang terjadi di balik layar. Video singkat tersebut jadi semakin lebih berarti karena isinya diambil sendiri oleh beberapa dari mereka, meskipun mayoritas diabadikan oleh Sai dan kameranya.

Ulasan senyum lebar, tarikan ingus, dan luapan air mata sukses mengalir ketika video tersebut selesai diputar. Mereka jadi teringat bagaimana awal tali kerja sama yang mereka punya dari belum sempat terikat, sampai menjadi terikat sangat erat seperti sekarang.

Mereka saling memindai satu persatu wajah teman-teman satu perjuangannya. Shikamaru menjadi yang pertama bergerak untuk merengkuh beberapa teman-temannya ke dalam pelukan hangat, tangis Naruto langsung pecah waktu Shikamaru membisiknya dengan kalimat-kalimat apresiasi dan mengatakan kalau cowok itu sudah bekerja keras.

Sasuke melirik Sakura, masih ingat jelas bagaimana pacarnya menjadi pilar arus keuangan himpunan dan betapa tegasnya dia waktu meminta pengurus lain agar tepat waktu dalam membayar uang KAS. Chouji sendiri tersenyum jahil ke arah Kiba, sambil sedikit bernostalgia mengingat betapa berantakannya pola kinerja Kiba meskipun pada akhirnya, kerjaan cowok itu beres juga. Tenten memberikan tepukan di bahu Neji, cewek itu selalu kagum dengan cara berpikir Neji yang nggak ada habis nya memberikan gagasan untuk kemajuan sumber daya mahasiswa.

Selanjutnya, terlihat Ino dan Hinata yang masih menempel satu sama lain, mengenang betapa rumitnya bagian kesekretariatan himpunan karena harus berurusan langsung dengan birokrasi kampus. Sedangkan Shino dan Lee masih berjabat tangan, dua orang yang mengepalai sektor akademis dan non-akademis, sektor yang saling bertolak belakang namun berkesinambungan secara bersamaan.

Kemudian, Shikamaru dan Naruto menghampiri Sai. Mereka berdua yang paling tahu betapa beratnya tugas dan pekerjaan yang dipikul Sai. Keduanya bersyukur, karena setelah ini beban kerja Sai akan sedikit berkurang, meskipun banyak hal-hal baru yang akan menunggu sentuhan tangan ajaib milik cowok pucat.

Rasa lelah itu mutlak, namun kehadiran tiga belas pemuda dan pemudi yang ada untuk satu sama lain telah membuat semuanya terasa lebih mudah. Mereka sanggup bertahan karena memiliki teman yang saling mendukung dan menguatkan.

College life isn’t all sunshine and rainbows. However, everything becomes bearable when they have each other’s back.

Setelah ini, sesuatu yang lebih besar dari sekadar menjadi ‘budak HIMAHI’ sedang menanti untuk mereka gapai. Jalur yang akan mereka tempuh akan semakin berliku. Semoga dalam prosesnya, hanya kelancaran dan restu Tuhan yang menemani mereka semua.

Sesuai dengan arahan manito lewat menfess yang Hinata terima tadi, sekarang cewek itu sedang berdiri di ambang pintu yang menghadap ke arah kolam renang villa. Hinata menunggu manito nya muncul dan menurutnya, menunggu nggak pernah terasa se-lama ini. Pasalnya belum ada lima menit menunggu, tangan Hinata sudah berkeringat, rongga dadanya seperti nggak mampu untuk menopang jantungnya yang sudah berdebar nggak karuan.

Selain deg-degan, yang Hinata rasakan sekarang adalah perasaan excited untuk bertemu Manito nya, bahkan cewek itu sampai lupa nggak memakai cardigannya di tengah angin malam. Padahal sebelumnya Hinata sempat bertanya-tanya karena menfess si manito ini punya kesan kalau dia bakal ngelabrak cewek itu. Tapi kalau dipikir-pikir lagi sih kayanya nggak mungkin ya.

Dari luar, Hinata masih bisa mendengar lantunan lagu yang dinyanyikan oleh teman-temannya di sesi karaoke. Kalau nggak salah, saat ini Kiba dan Rock Lee masih duet menyanyikan lagu yang berisikan rap dari milik Bazzi yang berjudul Mine.

Tiba-tiba, Hinata merasakan bahu sebelah kirinya dicolek oleh seseorang. Waktu Hinata menengok ke sisi kirinya dia nggak menemukan siapapun. Lalu dia nengok ke kanan, baru lah Hinata bisa menemukan oknum yang nyolek bahunya barusan.

“Kak Neji???”

“Hai.”

Hinata terkejut, sangat malah. Neji kah manitonya? Kalau iya, kira-kira apa yang membuat Neji perlu bicarakan dengannya hanya berdua?

“… Kak Neji, kok disini? Kak Neji manito aku??” dengan hati-hati, Hinata bertanya.

Namun seulas senyum yang Neji berikan menjadi satu-satunya jawaban yang cewek itu dapatkan. Hinata bahkan nggak sadar kalau Neji membawa sesuatu di tangannya.

Neji melangkah maju dan semakin mendekat ke Hinata kemudian menyampirkan sesuatu yang cowok itu bawa untuk cewek yang ada di depannya. “Ini pakai dulu cardigannya, dingin.”

“M-makasih, Kak Neji.”

Tapi bukannya menetap dan mengajak Hinata bicara, Neji malah bersiap untuk kembali masuk ke dalam.

“Kak Neji! Mau kemana??”

“Mau masuk.”

“Kak Neji bukan manito aku?”

Lagi-lagi, Neji tersenyum. Kali ini disertai kekehan. “Bukan hehe. Tadi kakak liat kamu keluar nggak pake cardigan, yaudah samperin deh.”

“Astagaa, jantung aku rasanya udah kaya mau copot tau kak!”

“Siap-siap aja, jangan sampe abis ini copot beneran.”

“Kak Neji ih!”

“Hehe, kakak masuk duluan ya?”

“Iyaa Kak, makasih ya cardigannya.”

Setelah itu, Neji mengacungkan jempolnya dan kembali masuk ke dalam meninggalkan Hinata menunggu sendiri lagi.

Kali ini, cewek itu nggak dibuat menunggu terlalu lama. Suara derap langkah bisa Hinata dengar semakin mendekat dan dia berasumsi kalau kali ini, manito nya benar-benar akan muncul.

“DOR!”

“Aaaa kaget banget.”

“DIH PARAH MALAH PURA-PURA KAGET!!”

Benar, barusan Hinata pura-pura kaget dengan prank yang cowok di depannya, Naruto, lakukan. Karena ya… cewek itu sudah merasakan kehadiran Naruto bahkan sebelum cowok itu ngagetin Hinata dengan heboh.

“Hehe soalnya aku udah denger kalo ada orang.” cewek itu nyengir sekilas.

“Anjir, gagal dong prank gue.” kelihatannya, Naruto masih belum terima kalau siasatnya gagal.

“Maaf maaf, lain kali mungkin bisa lebih totalitas lagi ngeprank nya.”

“HEHEH.”

Hinata kemudian menyandarkan punggungnya di kusen pintu, sama seperti apa yang Naruto lakukan. Gesture yang menunjukan bahwa Naruto akan tetap berada di sana untuk beberapa waktu kedepan.

“Naruto…” Hinata bersuara lagi, “Ngapain di sini?”

“Lha? Kok ngapain. Ini gue manito lo, Hinataaa.”

“Oh…”

“KOK OH DOANG??? NGGAK KAGET???”

Justru Hinata lebih kaget waktu Naruto kembali meninggikan suaranya sampai melengking. Entah, Hinata nggak berharap banyak kalau Naruto akan menjadi manito nya… Hinata senang sih ternyata Naruto adalah manitonya. Tapi selain senang, Hinata juga bingung.

“Serius Naruto?? Berarti kamu yang kirim menfess itu?”

“Iya gue hehe.”

“I see…” cewek itu mengangguk-angguk, “Terus… Kamu mau kita ngobrol apa nih?”

“Hmm. Gue pengen nanya dulu sih.”

“Okay tanya aja Naruto…”

Kendati telah dipersilahkan, Naruto nggak langsung menyampaikan pertanyaannya. Cowok itu menghabiskan beberapa menit untuk membiarkan hening menyelimuti mereka. Canggung memang, hanya saja Naruto benar-benar membutuhkan beberapa menit itu untuk menyiapkan diri.

“Hinata, lo pernah nggak sih ada di masa-masa jam tiga pagi ngebet banget pengen pacaran? Eh tapi habis itu pas bangun tidur, lo udah ga kepikiran hal-hal yang lo haluin di jam tiga pagi itu.” Pada akhirnya, pertanyaan itu lolos dari Naruto yang sedang menerawang ke atas, melihat bintang-bintang yang bertebaran di langit malam dan ditemani cahaya rembulan.

Sedangkan Hinata menjawab sambil terkekeh. “Hng… Nggak pernah, Naruto. Soalnya jam tiga pagi aku pasti udah tidur.”

“Duh! Iya bener juga, lo nggak suka begadang kaya gue.” Naruto tertawa canggung dan menggaruk pipinya salah tingkah, kemudian dia bertanya lagi. “Eh tapi, mau tau nggak gue ngebet nya pengen pacaran sama siapa?”

“Sama siapa tuh?”

“Sama lo, Hinata.”

“….. E-eh?”

Hangat adalah yang dirasakan pipi Hinata sekarang, padahal suhu di daerah villa yang mereka tempati cenderung rendah. Hal itu membuat Hinata sulit untuk mengeluarkan kata-kata yang koheren. Ngobrol biasa dengan Naruto saja kadang bikin dia super deg-degan, apalagi sekarang—waktu Naruto tiba-tiba ngaku kalau cowok itu halu pacaran sama Hinata waktu jam tiga pagi.

“N-naruto… maksudnya gimana ya?”

Naruto yang semula masih memandang langit sekarang memandang Hinata, sambil menunduk sedikit karena cewek itu sangat mungil.

“Hehe. Ya gitu Hin, jam 3 pagi gue suka halu dan pengen pacaran sama lo. Tapi…”

“T-tapi?”

“Tapi gue nggak mau pacaran sama lo beneran hanya karena keinginan sesaat, hanya karena keinginan jam tiga pagi yang bakal gue lupain di siang hari nanti. It’s not fair for you.

Hinata hampir lupa caranya bernafas dengan normal. Sebab jantungnya sudah berdetak nggak karuan, apalagi waktu mendengar perkataan Naruto barusan, dan Hinata nggak pernah melihat air muka Naruto yang seserius itu.

“Naruto…”

Belum selesai Hinata berusaha menormalkan degup jantungnya, kedua telapak tangan Naruto sekarang menangkup kedua sisi pipinya. Ada sensasi dingin yang menyengat ketika sepasang telapak tangan itu menyentuh permukaan kulit pipi Hinata. Sepertinya, Naruto nggak kalah nervous.

“Hinata, Ya Allah Hin… Nafas Hin, entar pingsan loh. Ini muka lo juga merah banget astaga! Hahahaha.”

Masih dengan keadaan pipinya yang ditangkup oleh telapak tangan Naruto, Hinata akhirnya bertanya, “Naruto kamu serius??”

“Seriuuuuuuuuus.” Cowok itu mengangguk, “Makanya Hin, gue gak berani make a move. Karena gue belum yakin sama diri sendiri.”

“Kalau sekarang gimana? Sudah yakin?”

“Keyakinan gue udah meningkat dua puluh persen. Tadinya cuma enam puluh persen hehe. Sekarang jadi delapan puluh. Heheh.”

“Terus dua puluh persen sisanya kemana?”

Waktu Hinata bertanya begitu, Naruto jadi teringat dengan percakapan bujang-bujang HIMAHI waktu nongkrong sore hari di taman.

Sore itu, para bujang lagi ghibahin teman-teman cewek mereka. Lumayan ya kan, kapan lagi mereka bisa ghibah tanpa direcokin cewek-cewek beringas yang kebetulan adalah teman mereka itu. Yang namanya cowok, ternyata punya lidah yang lebih tajam dari yang kalian kira waktu mereka sudah mulai ghibah.

Awalnya mulai dari ghibahin Ino, kemudian Sakura, lalu Tenten. Akhirnya, hanya tersisa Hinata yang belum sempat mereka ghibahin. Karena cowok-cowok HIMAHI hampir nggak punya bahan ghibah tentang Hinata, soalnya cewek itu juga nggak pernah bertingkah aneh sih.

Tapi Naruto punya sesuatu tentang Hinata yang ingin sekali dia bahas dengan teman-teman cowoknya. “Itu anjir, si Hinata. Dia tuh kenapa dah, setiap ngobrol sama gue pasti keliatan bgt ga nyaman?? Maksudnya kaya takut gitu, gak berani natap mata gue.

Lalu Shikamaru nyeletuk santai. “Namanya juga lagi salting.”

Haaah?? Salting kenapa njir??” Naruto semakin bingung dan bertanya-tanya.

Apalagi waktu dia melihat teman-temannya sedang mesem-mesem, ada juga yang geleng-geleng kepala pertanda heran dengan ketidakpekaan si bocah oren itu.

Hinata suka sama lo, Naruto.” kata Neji menimpali, “Dia suka sama lo dari jaman masih maba, sampe sekarang.” lanjutnya

“HAAAAAAAAAAAAH??????”

Dan lagi-lagi, hanya tawa ledekan yang Naruto dapatkan di sore itu akibat ketidakpekaannya.

Jujur saja, Naruto kaget waktu mendengar itu dari Neji. Tapi pada akhirnya dia bisa put two and two together. Sekarang dia bisa menyimpulkan kalau tingkah laku malu-malunya Hinata kepadanya selama ini adalah karena cewek itu suka dengannya.

Dan surprisingly, Naruto senang bukan main dengan fakta yang Neji beberkan itu. Pada dasarnya, Naruto selalu senang setiap kali Hinata ada didekatnya. Entah kenapa, eksistensi Hinata di sekitarnya itu nggak bikin Naruto merasa overwhelming. Sangat nyaman. Rasanya sangat berbeda dengan ketika Naruto dulu naksir cewek-cewek lain, dia bisa sampai mules.

Ini bukan pertama kalinya Naruto jatuh cinta. Tapi dengan Hinata, Naruto nggak tahu kalau jatuh cinta bisa se-menenangkan ini. Mungkin ketenangan itu yang membuatnya nggak sadar kalau ternyata, Naruto jatuh cinta dengan Hinata.

Hinata brought peace and serenity to his surroundings.

“Dua puluh persen sisanya bakal ada kalau lo berani natap mata gue dan mau jujur sama perasaan diri sendiri, Hinata.” Naruto menatap dalam Hinata, “Kenapa selama ini nggak pernah bilang? Kalau lo suka sama gue?”

Dan untuk pertama kalinya, Hinata berani menatap balik Naruto tepat di sepasang mata sapphire jernihnya.

“Jadi Naruto udah tau…”

Cowok itu mengangguk. “Iya, tapi sayang banget gue taunya dari orang lain. Bukan dari lo sendiri.”

“Aku cuma gamau bikin Naruto nggak nyaman. Ngeliat Naruto ketawa dan senyum aja udah bikin aku seneng, itu udah cukup buat aku…” ucap Hinata lirih.

Sedangkan Naruto berdecak dan dengan jenaka. cowok itu bilang. “Dih! Nggak bisa gitu lah Hinataaaa. You deserve more than that. Ih parah banget, masa buat diri sendiri pelit amat. Emang ga kepengen ya ayang-ayangan sama gue??”

Naruto memang seperti itu, selalu bisa membuat Hinata nyaman dengan ocehannya. Meskipun sambil tertawa, Hinata tahu cowok itu serius.

Cewek itu nyengir, “Ih Naruto mah! Ya gimana yaaa, kan sebenernya aku juga malu tau.”

“Yaudah laaaah. Berhubung kita udah sama-sama tau, lo mau nggak nungguin gue Hin??”

“Nungguin?”

“Iya, tunggu gue bisa jadi versi terbaik gue. Karena yakaliii, Hilda Natasha Hayuningrat dapet cowok yang ga seberapa kaya gue. Baru deh habis itu kita bisa ayang-ayangan kaya Sasuke sama Sakura, atau kaya Shika sama Ino.” cengiran Naruto yang lebar itu menjadi sebuah kepastian kalau cowok itu nggak akan membiarkan Hinata menunggu terlalu lama.

“Iya Naruto, aku nggak sabar lihat versi terbaik dari diri kamu sendiri.”

Buat Hinata, itu semua sudah lebih dari cukup. Mengetahui kalau ternyata dia nggak mencintai sendirian, sudah cukup.

Bergulirnya waktu terasa cepat. Setelah membereskan kekacauan selama agenda barbecue party, kini mereka akan menciptakan kekacauan selanjutnya di agenda karaoke yang telah ditunggu-tunggu oleh semua orang.

Bernyanyi adalah salah satu cara untuk melepas penat yang disetujui oleh ketigabelas pemuda dan pemudi di sana sebagai metode yang paling manjur. Ditemani dengan minuman-minuman beralkohol dan makanan ringan, nyanyian sumbang dari beberapa orang nggak menjadi masalah. Yang penting stress mereka hilang!

Biasanya, mereka punya lagu wajib untuk dinyanyikan di setiap agenda karaoke. Lagu-lagu melankolis ala sad boy menempati daftar teratas dari lagu yang bisa membuat mereka kompak nyanyi bersama, meskipun yang betulan sad boy cuma beberapa.

Kali ini, agenda karaoke dibuka dengan lagu yang berjudul Dancing Queen dari ABBA. Lagu klasik yang nggak pernah ketinggalan Sakura dan Ino nyanyikan, kalau Tenten biasanya ikut goyang saja karena dia nggak begitu hafal dengan liriknya kecuali bagian chorus. Sedangkan Hinata jelas awalnya cuma jadi tim hore karena dia kelewat malu, tapi Ino nggak membiarkan cewek itu untuk tepuk tangan saja.

Hinata let’s go! You are the dancing queen, young and sweet, only seventeeeeeeen.” Cewek pirang itu menyanyikan lirik lagu tepat di depan Hinata sambil mengajaknya untuk berdiri dan menikmati groove musik. Seperti liriknya, Hinata memanglah young and sweet. “You can dance, you can jivee. Haaving the time of your lifeee~””

Bergabung nya Hinata bersama ketiga teman ceweknya itu langsung menuai tepukan tangan dari kelompok laki-laki. Tepukan tangan dari Naruto terdengar paling keras.

“Cuy, anything you want dong!” Sasuke menyebutkan judul lagu yang dia request, lagu yang belakangan ini selalu dia dna Sakura dengarkan di stereo mobilnya.

Kiba sebagai operator dan DJ langsung memasukan lagu tersebut ke daftar playlist. Bukan berarti Sasuke yang akan menyanyikan lagu tersebut, dia sendiri nggak beda jauh dengan Hinata, kurang aktif dalam bagian seperti ini meskipun tau caranya untuk bersenang-senang. Sasuke lebih senang melihat teman-temannya yang memimpin lagu, atau bahkan Sakura yang sekarang sudah duduk nyaman di pangkuan Sasuke.

Kemudian, Sai mengomentari pilihan lagu-lagu yang teman-temannya sebutkan tadi. “Baru mulai kenapa lagu-lagunya udah mellow!”

“Ini katanya Shikamaru mau nge-rapp!” tunjuk Chouji terhadap sahabatnya.

Shikamaru mengangguk ke arah Kiba, yang mana Kiba tangkap sebagai gesture kalau cowok itu mengiyakan perkataan Chouji dan memintanya memasukan lagu yang biasa Shikamaru nyanyikan ketika karaoke.

Sebenarnya agak mengejutkan, Shikamaru bakal ngerapp dengan lagu berbahasa Spanyol yang berjudul Otra Noche Sin Ti milik J Balvin & Khalid. Memang selain pintar, cowok itu memang punya bakat musical yang cukup oke, apalagi dia belajar beberapa bahasa selain Bahasa Inggris. Paket lengkap deh.

“Bohemian Rhapsody gak sih!” Naruto menghampiri Kiba dengan semangat, memastikan lagu pilihannya sudah masuk ke dalam daftar.

“Udeh gue masukin bang santay.” Kiba mengacungkan jempol.

Tenten ikut menghampiri Kiba karena cewek itu juga punya satu lagu khusus yang ingin dia nyanyikan. Sebab lagu itu adalah lagu yang manito nya sarankan untuk dinyanyikan. “Eh Kib, gue mau ini dong! Don’t look back in anger nya Oasis.”

“WEH. Nanti nyanyi sama gue ya Ten!”

“Woke!!”

Dan dengan begitu lah, Tenten membentuk kesepakatan dengan Kiba untuk berduet—nantinya sih jelas bukan hanya mereka berdua yang ikutan nyanyi, namun semua teman-temannya.

“Siapa yang mau nyanyi Arctic Monkeys??” tanya Kiba.

Namun pertanyaan itu menuai seringaian mengejek dari Sasuke, “Halah Arctic Monkeys, lagunya cowok-cowok lemah.”

“WOY ENAK AJA.”

Range music yang dinyanyikan malam itu terdiri dari berbagai macam genre. Dari rock, pop, indie, sampai k-pop juga mereka semua jabanin. Untuk lagu k-pop, biasanya mereka sepakat untuk menyanyikan lagu Twice yang berjudul What is Love. Sekarang selain Twice, mereka ini lagi tergila-gila dengan lagu baru nya New Jeans.

“Anjir, kayanya kalo sehari aja gue nggak ibadah Oma Omagat, bisa gila gue!” kata Naruto yang langsung mendapat toyoran dari Neji. “Ibadah Sholat dulu dibenerin!”

“Ampun Jen—eh, lo request lagu sana!”

Neji mengangguk kecil, “Udah.”

“Lagu apa??”

“Lately nya Stevie Wonder.”

Naruto melongo sebentar, mempertanyakan selera musik Neji yang menurutnya sedikit nggak biasa, “Tua banget selera musik lo! Stevie Wonder mah yang biasa Ayah gue dengerin.”

Selera musik Neji memang agak berbeda. Dia cenderung mendengarkan lagu jazz dari penyanyi jadul. Neji punya alasan sendiri kok—dia masih teringat kalau dulu, Ayahnya kerap mendengarkan lagu-lagu Jazz. Kebiasaan Ayahnya itu Neji bawa sampai dewasa, karena itu adalah salah satu cara yang membuat Neji merasakan keberadaan Ayah nya yang sudah tiada secara dekat.

Setelah itu, Shino dan Rock Lee sepakat request lagunya Peterpan yang berjudul Mungkin Nanti. Another sad-boy song, membuat suasana jadi lumayan sendu.

Benar kata Sai tadi, lagu yang sejauh ini terputar adalah lagu-lagu mellow. Sakura merasa prihatin, tapi cewek itu masih bertanya sambil terkekeh, “Guys kalian gapapa kan? Hehe.”

“AMAAAAN.” Chouji menjawab dengan lantang sebagai perwakilan teman-temannya. “Yaudah biar gak mellow banget, Kita nyanyi Last Friday Night nya Katy Perry!” sambung cowok berbadan tambun itu.

“Still Into You nya Paramore boleh juga tuh.” tambah Sai.

Sakura sontak menepuk tangannya, “Nah gitu dong!”

Namun bukan Naruto kalau cowok itu nggak memperkeruh suasana, “WEEEH STILL INTO SIAPA SAI?? STILL INTO MBAK MANTAN??” tanyanya secara provokatif sambil melirik Sai dan Ino yang sedang bergelayut di lengan pacarnya dengan jahil secara bergantian.

Yang dijahili hanya menampilkan senyum ciri khasnya, kalau posisi mereka dekat, sudah jelas Sai akan menjitak kepala Naruto. Sekarang sih, cowok berkulit pucat itu cuma bisa mencibir, “Ini gue kasih saran lagu yang ngebeat, lo malah bikin isu yang aneh-aneh!”

Naruto nyengir saja, kemudian bilang, “No offense ya Shik, Incess! Canda-canda.”

“NONE TAKEN BRO!” teriak Ino, sedangkan Shikamaru hanya berdecak.

Puncak dari karaoke ronde pertama malam itu adalah ketika dinyanyikannya lagu dengan genre Rock yang berjudul It’s My Life dari Bon Jovi. Shikamaru dan Kiba berkesempatan untuk memegang dua mikrofon utama dan memimpin lagu.

This ain’t a song for a broken-hearted!

Waktu Shikamaru membuka lagu tersebut dengan menyanyikan bait pertama liriknya, sorakan, tepuk tangan, sampai siulan memenuhi seisi ruangan. Mengundang semua orang untuk ikut menyanyikan liriknya secara bersamaan, apalagi ketika memasuki chorus, kegaduhan suasana semakin nggak terbendung.

IT’S MY LIFEEE IT’S NOW OR NEVER~ I AIN’T GONNA LIVE FOREVER~

Naruto menghampiri dan menarik sedikit mikrofon yang dipegang Shikamaru, sehingga satu mikrofon itu digunakan untuk berdua. Nggak ada satu orangpun dari ketiga belas pemuda-pemudi itu yang terdiam diri. Semuanya berjingkrak-jingkrak dan berteriak seakan-akan mereka sedang ada di konser betulan, menumpahkan semua penat yang mengganjal dan berhenti memikirkannya untuk semalam.

Setelah puluhan lagu yang mereka nyanyikan, biasanya beberapa orang merasa tepar karena energi mereka habis. Bagi yang merasa tepar, mereka perlu mengisi ulang energi mereka dengan berdiam diri, ngobrol ringan, atau makan camilan sambil mendengarkan teman-teman yang lain yang masih punya energi untuk nyanyi. Kemudian setelah energi mereka terisi penuh kembali, mereka akan lanjut nyanyi dan berjoget ria karena malam masih panjang.

Hinata menyalakan ponsel nya, fitur jam di ponselnya menunjukan kalau menit lagi sudah tepat pukul satu malam. Waktu yang dia sepakati bersama manito nya untuk berbicara di area kolam renang. Karena nggak ingin telat, Hinata beranjak dari posisi duduknya dan berjalan menuju area kolam yang telah mereka sepakati. Masih ada beberapa menit memang, namun Hinata merasa lebih baik jika dia sampai terlebih dahulu di sana sambil menerka-nerka apa yang ingin manitonya bicarakan dengannya.

Bersamaan dengan beranjaknya Hinata, ada dua pasang mata mengikuti kemana arah cewek itu bergerak.