lilymagicals

Area kolam renang sudah disulap sedemikian rupa menjadi arena voli kolam tempat mereka akan bertanding yang cukup proper. Setelah melakukan pemanasan yang dipimpim oleh Rock Lee, masing-masing tim yang terdiri dari enam anggota langsung nyemplung ke kolam renang.

Tim pertama beranggotakan Neji, Chouji, Ino, Hinata, Naruto, dan Kiba. Sedangkan tim kedua beranggotakan Sasuke, Sai, Sakura, Tenten, Shino, dan Rock Lee. Menyisakan Shikamaru yang menjadi wasit karena katanya, dia masih belum termotivasi untuk ikut tanding.

Tentu saja hal itu membuat Naruto melayangkan protesnya, “Ah gaseru lo! Sini turun.” ujarnya sambil mencipratkan air ke Shikamaru di atas yang masih dalam keadaan kering.

“Shikamaru kaya kucing, njir. Gamau kena air.” kata Sai menimpali.

“Iye bawel. Entar gue turun, mau ngewasit dulu. Yok mulai.”

“BENTAR.” Naruto menginterupsi dengan mengangkat tangannya, “Bikin jargon tim dulu lah kita!”

“YAAMPUUUN RIBETNYAAH.” dari sebrang tim Naruto, Sakura yang ada di tim lawan merespon secara dramatis.

“Tim yang gapunya jargon tuh pasti semangatnya kurang. Liat aja jidat, gue kalahin lo!” Ino menjulurkan lidahnya sambil mengejek. Kalau Ino disatukan dengan Naruto dalam satu tim, sudah pasti tim itu punya jiwa kompetitif yang tinggi. Apalagi Naruto dan Sasuke berada di tim yang berlawanan, bocah oren itu semakin ambis buat mengalahkan tim Sasuke.

“Oh siapa takut!!!” Sakura menjadi terpancing oleh apa yang Ino lakukan tadi, maka cewek itu mengumpulkan tim nya di tengah kolam untuk menyusun jargon.

Di sisi lain, Hinata terheran dengan energi yang tiba-tiba menjadi panas. Cewek itu nggak menyangka kalau teman-temannya bakal seambis ini melawan satu sama lain. “Guys, ini beneran kita mainnya mau sambil ambis?”

“Ya jelas! Kalo udah di lapangan tuh gaada yang namanya temen. This is competition!!” jawab Naruto sambil meenkankan setiap katanya, kemudian Kiba menghampiri Naruto untuk memberikan pijatan di punggung cowok itu selama tiga detik. “Manteup!”

Neji dan Chouji yang nggak terlalu berapi-api seperti Naruto, hanya bisa nurut saja.

Setelah kedua tim menunjukan jargonnya, suara peluit berbunyi sebagai tanda dimulainya permainan. Kiba berkesempatan untuk melakukan servis pertama.

“Anjir susah coy pake bola ini.” cowok itu sempat tertawa setelah servisnya berhasil melambung sampai ke luar batas net.

Bola itu kemudian diterima oleh Sasuke yang kemudian cowok itu balas pukul dengan santai dan mengopernya ke rekan tim yaitu Shino agar dia balas pukul sampai melewati batas net ke area lapangan tim lawan.

Namun, berbeda 180 derajat dengan semangat yang berapi-api sebelum pertandingan dimulai, Naruto malah menghindari bola yang melambung ke arahnya sampai dia limbung sendiri dan terjatuh ke air.

Otomatis, tim Sasuke berhasil mencetak poin pertamanya. Mereka langsung melingkar di tengah sambil meneriakan lagi jargon mereka. Dan tak lupa, ngetawain Naruto.

“PFFFT BADUT BANGET SUMPAH NAR.” seru Tenten.

“Kalo gue sih malu ya udah congkak duluan, tapi sama bola plastik aja takut.” Sai dengan muka dan senyum super ngeselinnya itu menyeletuk, dan berhasil membuat Naruto misuh-misuh sambil tengsin sendiri.

“HABIS INI GUE TUNJUKIN KEMAMPUAN GUE YANG SEBENARNYA!!”

Sayangnya, kejadian yang bikin malu Naruto dan timnya nggak terjadi hanya satu kali. Sudah empat kali, Naruto gagal nge-block serangan bola dari lawan dan meskipun dia berhasil memukul bola, bolanya nggak sampai melewati batas net.

Neji lama-lama jadi frustrasi sendiri akibat kekonyolan anggota tim nya itu, “Naruto, lo mundur deh. Tuker posisi sama gue!”

“Nah iya, mending lo di belakang aja deh Nar tukeran sama Neji!” sahut Ino menyetujui gagasan Neji.

“Ih gamau! Sumpah habis ini gue mainnya bakal bener!” kata Naruto mencoba meyakinkan teman satu timnya.

“Nar udah Nar hahahah.” Chouji sendiri sudah nggak bisa menahan tawanya, dia prihatin dengan kekalahan tim nya tapi apa yang Naruto lakukan dari tadi memang konyol.

“Dicoba dulu aja Naruto main dibelakang.” timpal Hinata sambil tersenyum prihatin.

“HUFFTT YAUDAH DEH.”

Akhirnya, Naruto bersedia bertukar posisi dengan Neji. Dan secara ajaib, dengan Neji yang menempati posisi awal Naruto sebagai blocker, poin mereka secara perlahan berhasil mengimbangi poin tim Sasuke.

Sasuke sendiri sampai nyeletuk. “Ih, ngeri banget loh Kak Neji.”

Yang tentu saja, disambut oleh gelak tawa orang-orang yang ada di sana.

Kemudian di tengah permainan, akhirnya Shikamaru nyemplung ke kolam juga dan bergabung ke tim Naruto untuk menggantikan Chouji yang kebetulan kakinya merasa kesemutan tiba-tiba.

“Eh, satu tim sama ayang.” kata Shikamaru menyempatkan diri buat noel bahu Ino.

Kiba yang ada di sebelah mereka jadi salty dan mencipratkan air dengan jumlah besar ke arah keduanya. “Geli banget bangsaaat.”

“Sirik aja jomblo, wle!” balas Ino.

Permainan berlanjut masih dengan diiringi semangat api oleh kedua tim yang saling kejar-kejaran dalam mencetak poin. Tim Naruto semakin membuat Tim Sasuke kewalahan apalagi setelah Shikamaru bergabung. Alhasil, meskipun sempat terseok-seok di awal permainan, Tim Naruto berhasil menang hanya dengan selisih dua poin lebih unggul.

Bisa dijamin, setelah ini Naruto dan Ino nggak akan berhenti mengejek Sasuke dan Sakura, minimal sampai besok lah.

Good game guys, good game!” Rock Lee bertepuk tangan dan manyalami satu persatu rekan tim nya, juga anggota tim lawan saat mereka semua sudah keluar dari kolam.

“Ah Neji, lo pake minta tukeran posisi sama Naruto. Jadi kalah kan tim gue!” ujar Tenten sambil menyikut Neji.

Neji nyengir saja dan membalas, “Loh, kan itu tujuan gue. Biar tim lo kalah.”

Sai menghampiri mereka sambil menenteng kamera, “Shik, tadi pas lo ngewasit, udah dokumentasi kan?”

“Aman bos.” jawab Shikamaru sambil mengacungkan jempol.

“Yaudah, yuk foto bareng dulu.”

“Duh, udah lepek banget ini cuy.” ucap Sakura yang sedang membenarkan tatanan rambut basahnya.

“Yok ayok pose yuk!”

Setelah Sai selesai menempatkan kamera dan memasangnya di tripod, dia langsung berlari kecil untuk bergabung dengan teman-temannya yang sudah siap ber-pose.

Dalam hitungan sepuluh detik, kamera tersebut mengeluarkan flash dan membidik satu dari banyak momen yang nggak akan dilupakan oleh tiga belas pemuda dan pemudi tersebut.

Setelah kurang lebih dua setengah jam perjalanan, rombongan akhirnya sampai di villa dan langsung dibuat terkagum dengan betapa indahnya villa milik keluarga Sasuke yang megah itu.

“Gila, jackpot ini namanya! Staycation di villa fancy, gratis pula.” celetuk Kiba antusias sambil menenteng sebuah kardus yang berisikan bahan-bahan makanan yang mereka beli kemarin.

Kemudian Tenten menimpali, “Sayang banget ih kita cuma semalem di sini. Bisa nggak sih kita staycation nya seminggu aja??”

“Eits. Kita bukan pengangguran, mana bisa staycation seminggu.” ujar Sai.

Memang benar, sejatinya mereka ini adalah mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir yang penuh tekanan, bukan pengangguran. Mau staycation dan healing selama apapun juga nggak cukup untuk mereka.

“Ya bisa aja sih seminggu, tapi bayar.” kata Sasuke santai. Dia melenggang mendahului beberapa teman-temannya untuk menemui bapak penjaga villa yang sudah stand by di pintu masuk utama bangunan tersebut.

“Apa kabar, Pak?” sapa cowok itu. “Kenalin ini temen-temen saya. Yang ini Naruto, terus ada Sakura…”

Sasuke memperkenalkan teman-temannya satu-persatu ke Bapak tersebut.

“Kabar baik nak Sasuke, wah rame ya rombongannya. Ayo pada masuk dulu!”

Rombongan dipersilahkan masuk dan mereka langsung disambut dengan interior villa moderen yang aesthetically pleasing itu dan seekor anjing keluarga Uchiha yang bernama Shiro. Kiba yang mendedikasikan dirinya sebagai budak cinta untuk para anjing, langsung heboh apalagi cowok itu sempat galau karena batal membawa Akamaru ikut staycation.

Beberapa dari mereka seperti Ino, Hinata, Tenten, Sakura, dan Naruto langsung ngacir ke berbagai sudut ruangan, ceritanya melakukan room tour ala-ala—mengecek satu persatu ruangan sambil terkagum-kagum, apalagi waktu mereka menemukan kolam renang yang super luas di halaman belakang.

“Woy! Ayo nyebur!” Naruto sudah berlari ngibrit ke ruang tamu villa yang menampakan Sai, Shikamaru, dan Sasuke sedang duduk-duduk malas.

“Bisa nggak lo anteng sebentar Nar? Capek bener gue liatnya.” balas Shikamaru yang sudah setengah rebahan.

Naruto langsung bersungut-sungut dan berkacak pinggang. “Idih! Gue gamau ya kalo kita staycation tapi malah pada rebahan doang, kalo itu mah di kontrakan juga bisa!”

“Mending lo bantuin mereka tuh yang lagi pada beresin barang-barang.”

Mereka yang Sai maksud adalah Neji, Shino, Chouji, dan Lee. Mereka sedang meletakan beberapa bahan makanan ke kulkas dan menata beberapa peralatan yang akan mereka gunakan nanti untuk barbecue party.

Shikamaru bilang lagi, “Sabar, kita punya rundown. Nanti bakal diatur sama Neji.”

“Hufft yaudah!”

Kemudian Naruto menyusul tim yang sedang beres-beres. Sasuke berseru waktu Naruto sudah hampir nggak terlihat dari pandangan, “Beer nya tolong taro kulkas dulu, Nar!”

“Iye!”

Nggak lama setelah itu, tim yang daritadi sedang room tour ikut bergabung dengan ketiga cowok yang masih duduk-duduk di ruang santai.

“Ini nanti pembagian kamarnya gimana?” tanya Ino yang langsung mendudukan diri di samping Shikamaru dan nyender ke bahu cowok itu.

Pertanyaan Ino barusan membuat Shikamaru tersadar kalau mereka nggak punya aturan pembagian kamar sebab di hari-hari sebelumnya waktu dia berdiskusi dengan Neji, mereka nggak membahas persoalan pembagian kamar.

Sakura yang baru saja membuka bungkusan snack dan menawarkan ke teman-temannya justru balik bertanya sambil menyeringai. “Emang kita bakal tidur malem ini? Hehe.”

Pertanyaan tersebut disusul oleh anggukan kepala dari Hinata yang memiliki pertanyaan yang sama dengan Sakura. Beberapa dari mereka juga berpikir bahwa hari ini akan sangat disayangkan kalau dilewati dengan tidur. Rasanya, mereka nggak mau ada waktu yang terbuang untuk tidur, maunya bareng-bareng saja karena setelah ini, mereka akan super sibuk dengan agenda masing-masing.

“Tidur lah! Kaya panitia aja nggak tidur.” celetuk Sai yang langsung direspon dengan gelak tawa dari mereka yang mendengar. “HAHAHAHAHA”

Sasuke nyomot chiki dari bungkus yang diulurkan oleh Sakura. “Kalo dipikir, jaman jadi panitia tuh gak banget dah.”

Ino mendengus dan menepuk tangannya, kemudian menunjuk Sasuke sebagai tanda kalau cewek itu setuju dengannya. “Bener!!!! Kok bisa ya mau-maunya kita sampe ga tidur!!”

“Aku lebih bingung lagi ternyata ada orang lain yang bukan panitia, dan mereka anggap kepanitiaan itu seru…” tambah Hinata.

“Yang anggep panitia bego juga banyak Hin.” timpal Kiba.

“Yah, emang gini lah nasib panitia.”

Setelah itu, tim yang barusan beres-beres bergabung di ruang santai. Neji menghampiri Shikamaru dan menepuk pundak Shikamaru, “Shik, mau dimulai sekarang aja?”

Shikamaru melirik arlojinya, sudah menunjukan pukul setengah empat sore, dan waktu yang mereka miliki nggak banyak sebelum beralih ke agenda selanjutnya. “Boleh deh.”

Kemudian, Neji beralih bertanya ke Sasuke. “Sasuke, mikrofon nya boleh dipake?”

“Pake aja, kan emang buat kita.” jawab Sasuke.

“Eh mau ngapain Ji?? Kita mau karaoke sekarang kah?” Chouji bertanya, masih dengan aktif mengunyah keripik kentangnya.

“Belomm. Ini Shikamaru mau welcoming speech.”

Welcoming speech apaan anjir!”

Hal itu menuai protes dari Shikamaru, karena menurut dia, ngapain juga ya kan sampai ada welcoming speech hanya untuk staycation ala-ala ini.

“WIHH ayo siapin mikrofon nya! Kiba ATP, gue bantuin sini ayok!” Lee dengan antusias beranjak ke tempat di mana peralatan karaoke berada, disusul oleh Kiba yang sudah biasa menyiapkan hal-hal tersebut.

“Mic test satu dua tiga. Mantap!” ketika mikrofon sudah siap, Kiba langsung memberikannya ke Shikamaru. “Nih, mas leader Shikamaru. Waktu dan tempat dipersilahkan.”

“Berasa lagi kepanitiaan makrab inaugurasi deh.” celetuk Shino yang teringat akan agenda makrab dan inaugurasi pelantikan mereka sebagai badan pengurus harian dan kepala departeman HIMAHI.

“Tau nih! Kenapa jadi formal gini kesannya.” protes yang Shikamaru layangkan justru membuat teman-temannya semakin terkekeh dengan keras.

“Udah buruan Shik! Ini lo gak paham apa kalo kita lagi kangen Kahim Shikamaru!!” ucap Naruto menggebu-gebu.

“Yuhuuu ayo maju pak kaaahiiim.”

“Keburu waktunya habis cepetaaaaan!!”

Dan Shikamaru cuma bisa menghela nafas, “Hadeh.”

Pada akhirnya, cowok itu pasrah saja dan mengangkat mikrofonnya, sebisa mungkin dia akan menghindari cuap-cuap basa-basi yang kelewat basi supaya suasana nggak berubah jadi formal. “Hai semuanya. Met dateng di villa nya Sasuke.”

Sekarang, semua atensi sudah tertuju kepada mantan ketua himpunan mereka dan kalo kata Naruto sih, Shikamaru akan terus tetap menjadi leader mereka tercinta. “HAAAAAI SHIKAMARUUUUU!!!”

“Hadeh, ini kalian rese bener ya nyuruh gue buat bikin welcoming speech...” Shikamaru merasa cringe sendiri, namun mau tidak mau dia harus tetap melanjutkan speech nya, “Tapi makasih banyak udah luangin waktu kalian buat kumpul bareng, full team. Karena mungkin kedepannya bakal susah buat kumpul full team kaya gini lagi.”

“Ih sedih!”

“Jadi gue harap kita semua bisa enjoy dan seneng-seneng sampe bego di sini. Karena Neji udah nyusun agenda yang asik, salah satunya main voli di kolam renang seperti yang kalian inginkan. Kebetulan habis ini, kita bakal langsung caw ke pool. Bener ga Jen?”

Shikamaru melirik Neji untuk memastikan, kemudian dihadiahi acungan jempol oleh Neji sendiri.

“Yaudah si cukup sekian dari gue—oh iya, sebelum nyemplung ke kolam, jangan lupa pemanasan dulu. Oke?”

Akhir kata dari Shikamaru mendapatkan sahutan dari teman-temannya, “OKEEEEE.”

Bergegas lah mereka ke kamar (cewek dan cowok dipisah tentu saja) untuk berganti pakaian yang lebih santai dan reapply sunscreen biar nggak gosong karena meskipun sudah sore, panas matahari masih menyengat.

“Girls, ini kalian nggak pake warna terang kan??” Ino bertanya sambil menurunkan celana jeans nya dari pinggang.

Tenten yang sedang membuka hoodienya menjawab, “Hmm, gue warna terang sih. Tapi aman lah, gak bakalan nyeplak beha gue!”

“Kalian ngerasa ga si kalo tete kalian kerasa jadi lebih berat kalo di air??” dengan polosnya, tiba-tiba Sakura bertanya begitu.

Ino dan Tenten langsung ngakak, sedangkan Hinata mukanya jadi merah seketika

“Berat gimana Sak?? Tete lo kan kecil HAHAH.” Ino memang suka sekali menggoda ukuran dada Sakura, tapi no offense kok, hal-hal seperti itu sudah menjadi inside jokes mereka berdua.

“Pfft iya deh yang tetenya gede!”

“Tapi bener kata Sakura… Eh bukan berat sih, tapi malah jadi ngambang gitu…”

Ketiga cewek yang ada di kamar itu langsung menoleh heran ke Hinata, karena cewek itu biasanya sangat jarang ikut membahas persoalan seperti itu.

“Ngambang gimana, Nat…?”

“Aaa ya gitu deh!” Hinata malu dan langsung menutupi mukanya dengan cardigan yang tadi cewek itu pakai, membuat tiga cewek lainnya terkekeh.

Lalu dari luar ruangan, terdengar sebuah teriakan yang dari siapa lagi kalau bukan Naruto. “WEHHHHH GUE MINJEM KOLOR DONG!! TERNYATA KETINGGALAN.”

Hadeh.

Mereka tau, sebelum benar-benar nyemplung ke kolam renang, pasti mereka harus melewati berbagai kegaduhan. Tapi nggak apa-apa, justru itu yang bikin staycation ini nggak akan terlupakan.

ps. contains major flashback

Ino harus menelan fakta pahit bahwa dia nggak satu kelas dengan Shikamaru waktu kelas 12. Jadi Ino sebagai pacar yang jelas lebih nggak mageran di antara keduanya, dia punya tugas untuk ngapelin Shikamaru di kelasnya atau mengajak cowok itu ke kantin dan makan bareng. Tentunya nggak cuma berdua sih, karena Chouji, Naruto, Sasuke, dan Sakura pasti gabung dengan sepasang kekasih itu di meja yang sama.

Singkat cerita, di suatu siang pada bulan September, tepatnya tanggal 22 di mana ulang tahun Shikamaru yang kebetulan bertepatan dengan agenda class meeting untuk merayakan hari jadi hari jadi sekolh mereka, Ino sudah berseri-seri buat nyamperin pacarnya itu di kelasnya. Kebetulan saat itu juga sedang free time karena lomba-lomba class meeting telah selesai dilaksanakan.

Niat awal, Ino mau mengajak Shikamaru ke suatu sudut sekolah. Karena dia—dibantu oleh Chouji cs, sudah menyiapkan surprise kecil-kecilan untuk merayakan ulang tahun ke-17 Shikamaru.

Waktu Ino sudah hampir sampai di depan kelas Shikamaru, dia bisa melihat pacarnya sedang ngobrol sambil memasang muka asem bersama beberapa teman-teman cowok satu kelasnya.

Ino sudah bersiap memanggil Shikamaru, namun niatnya itu diurungkan karena dia nggak sengaja mendengar sebuah percakapan yang sangat membuat cewek itu merasa hatinya dihujani oleh ratusan pisau tajam.

“Woy! Gimana sih lu kok keterusan pacaran sama Ino sampe tiga bulan? Padahal perjanjian taruhan kita kan cuma sebulan!”

Perjanjian taruhan?

Sambil bersembunyi di balik tembok kelas Shikamaru, Ino sangat berharap kalau dia salah dengar atau pertanyaan itu ditujukan kepada orang lain. Tapi pertanyaan dari salah satu teman Shikamaru itu jelas ditujukan untuk pacarnya, lagian siapa juga pacar Ino saat ini kalau bukan Shikamaru?

Berarti, satu-satunya harapan Ino saat itu adalah kalau dia salah mendengar. Namun, harapannya pupus seketika dia mendengar suara yang jelas milik Shikamaru.

“Diem deh lo. Biar gue yang urus.”

“Widih ngeri. Udah ngapain aja lo Shik sama Ino??” tanya salah satu teman Shikamaru yang lain.

Dengan nada malasnya, suara Shikamaru terdengar jelas di kedua telinga Ino. “Bacot dah.”

Setelah mendengar percakapan singkat barusan, Ino langsung lemas dan matanya seketika memanas. Dia masih bersusah payah mencerna kalau percakapan tersebut mengandung fakta atau tidak.

Ino masih belum, atau lebih tepatnya nggak mau percaya kalau selama ini dia hanya dijadikan objek taruhan oleh Shikamaru.

Cewek itu ingin menyangkal, tapi kemudian dia teringat dengan bagaimana sikap Shikamaru kepadanya meskipun mereka berdua sudah pacaran.

Shikamaru tetaplah Shikamaru yang malas. Selama pacaran, selalu Ino yang punya inisiatif untuk mengajak cowok itu pergi kencan atau melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh pasangan kekasih. Sementara Shikamaru sendiri ogah-ogahan, cowok itu hanya mengikuti kemana Ino akan membawanya, sama sekali tidak menunjukan effort yang sama dengan Ino.

Cewek itu ingin menangis, tapi dia tidak boleh menangis di depan kelas Shikamaru. Ino nggak mau kalau Shikamaru tau dia mendengar percakapan tadi.

Kemudian Ino berlari dan menemui teman-temannya yang sudah menunggu. Sakura menjadi orang pertama yang melihat Ino berlari sambil menangis, maka cewek bersurai merah muda itu dengan sigap memeluk sahabatnya. “Ino?? Lo kenapa kok nangis??”

Ino menggeleng, “Nggak apa-apa Sak. Nanti gue ceritain.”

Tapi baik Sakura, Chouji, Naruto, maupun Sasuke yang ada di sana jelas tau kalau Ino sedang tidak baik-baik saja.

Pada akhirnya, perayaan kecil-kecilan itu tetap berlangsung. Shikamaru berhasil diseret oleh Naruto karena Ino meminta tolong teman pirangnya itu untuk membawa Shikamaru ke sudut sekolah. Meskipun berjalannya perayaan ulang tahun Shikamaru penuh riang, Ino sama sekali nggak bisa menikmatinya. Bahkan waktu Shikamaru mengajak Ino untuk foto berdua—yang mana adalah fenomena langka, cewek itu merasa ingin kabur saja.

Kemudian sepulang dari sekolah, Ino langsung disambut oleh kedatangan Sakura yang terlihat sangat khawatir karena melihatnya menangis tadi. Maka Ino ceritakanlah apa yang dia dengar tadi siang.

Sakura sudah siap melayangkan bogemannya kepada Shikamaru, namun Ino menahannya. “Jangan Sak! Gue nggak mau Shikamaru tau… Kalo dia tau, gue bakal ngerasa pathetic banget.”

“Ino, tapi gue gamau tau ya. Lo harus putusin Shikamaru sebelum dia yang mutusin lo! Brengsek banget anjir itu cowok??” tukas Sakura yang menggebu-gebu.

“Iya, minggu depan gue putusin. Kalo besok gabisa, soalnya dia ngajak gue pergi buat rayain ulang tahun gue. Gue aja sampe heran dia ngajak gue jalan hahah.”

“Lama amat minggu depan!”

“Lagian kalo kecepetan, nanti Shikamaru bisa curiga kalau ada kemungkinan gue denger percakapan dia sama temen-temennya.”

“Oh iya bener juga…”

Setelah itu, hanya Sakura yang tau rahasia Ino sampai dua tahun kemudian. Ino juga sudah memperingatkan Sakura untuk bersikap biasa saja ke Shikamaru—yang mana sangat susah dilakukan oleh cewek bersurai merah jambu itu, sebab Ino nggak mau ada drama di antara lingkaran pertemanan mereka, apalagi kalau dramanya dari dia sendiri.

Seminggu berikutnya, Ino mengajak Shikamaru berbicara di depan teras rumah cowok itu. Tanpa basa-basi, Ino langsung mengatakan intensi nya ke Shikamaru sambil susah payah untuk menahan supaya nggak menangis atau memaki cowok itu.

“Shika, maaf nih sebelumnya. Gue rasa kita cukup sampai di sini aja deh.”

Shikamaru yang merasa nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba Ino minta putus, langsung kaget. “Lo… lagi bercanda? Atau ngeprank?”

Justru lo yang nge-prank gue, anjing. Kata Ino di dalam hati.

Waktu Shikamaru melihat Ino menggeleng dengan mantap dan bilang kalau cewek itu nggak bercanda, Shikamaru langsung mencengkeram dua bahu Ino kencang.

“Gue ada salah apa sama lo, Ino?”

Banyak.

Namun yang keluar dari bibir Ino adalah, “Lo nggak ada salah kok, Shik. Cuma ya gitu… gue ngerasa kita lebih cocok jadi temen aja, bukan pacar. Thanks ya buat tiga bulan nya.”

Kemudian Ino berhasil melepaskan dirinya dari cengkeraman Shikamaru dan berbalik, sudah siap melangkah untuk meninggalkan cowok itu.

“Ino!”

Ino terpaksa menghentikan langkah yang belum sempat dia ambil ketika merasakan Shikamaru telah memeluknya dari belakang.

“Ino… Jangan gini…”

Shikamaru memohon tepat di telinga Ino, dan air matanya langsung jatuh begitu saja. Dengan susah payah, Ino menampik permohonan Shikamaru untuk dikabulkan. Dia nggak mau keras kepala dan mengabaikan fakta kalau mereka berdua pacaran hanya karena sebuah taruhan.

“Shikamaru maaf… Tapi gue beneran nggak bisa. Setelah ini kita masih temenan kok, gue janji!” dengan suara yang setengah bergetar, Ino memberikan janji yang nggak bisa dia tepati.

“Dah ya, gue mau pulang!”

Sekali lagi, Ino berhasil meloloskan dirinya dari pelukan Shikamaru. Dan tanpa menunggu balasan dari Shikamaru, cewek itu langsung berlari menuju rumahnya sendiri yang ada di seberang rumah cowok itu tanpa menoleh lagi ke belakang—di mana Shikamaru berdiri dan menatapnya punggung Ino nanar.

Shikamaru ingat bagaimana Ino tiba-tiba menutup rapat-rapat mulutnya setelah cewek itu selesai menyebutkan pesanan mekdi-nya. Shikamaru pikir, Ino marah karena kebiasaan merokoknya yang sempat dibahas di grup WhatsApp.

Bahkan sesampainya di apartemen, Shikamaru dan Ino makan dengan diselimuti keheningan. Padahal Shikamaru berekspektasi kalau Ino akan mulai bicara dan bercerita sewaktu makan, dan seperti biasa, cowok itu bakal jadi pendengar setia.

Namun sampai Shikamaru menyerahkan kulit ayam spicy nya ke Ino di akhir-akhir menjelang mereka selesai makan, cewek itu masih diam saja.

Ino secara otomatis bangkit dari duduknya dan membawa piring Shikamaru ke dapur apartemen kemudian mencuci beberapa gerabah yang menumpuk.

Shikamaru berdiri dengan punggung cewek itu yang membelakangi nya sambil sibuk mencuci piring-piring kotor itu, “Ada yang bisa gue bantu nggak?”

“Nggaak. Biar gue aja.” jawaban Ino super singkat dan sangat kentara kalau dia seakan-akan menyuruh Shikamaru untuk segera enyah dari sana.

Akhirnya, Shikamaru melipir ke balkon apartemen untuk merokok—seperti biasa. Kepulan asap dari batang rokok yang dihisapnya itu menemani Shikamaru yang tiba-tiba overthinking, sebab beberapa saat nanti, mungkin saja dia akan mendengar fakta-fakta yang kurang menyenangkan dari Ino. Kalau Ino akan menyampaikan kabar-kabar baik, Shikamaru tahu cewek itu bakal bersenandung sebelum mulai bercerita. Nggak seperti sekarang—selain diam saja, Ino nggak kelihatan seperti dirinya sendiri, cewek itu kelihatan bingung dan tegang.

Shikamaru menyelesaikan ritual merokoknya yang sudah habis 2 batang, dan menuju ke salah satu sofa yang ada di apartemen Ino. Secara kebetulan, cewek itu juga menuju ke sofa yang sama.

“Okay, ini saatnya gue cerita semuanya ke lo, Shika.”

Ino menarik nafasnya panjang, kemudian dia hembuskan pelan-pelan. Shikamaru sudah duduk di hadapannya sekarang, sangat atentif, dan sudah siap untuk menangkap kapan saja cewek itu akan terjatuh.

“Iya cerita aja. Gue dengerin kok.” Shikamaru mengambil salah satu tangan Ino, kemudian menarik cewek itu sampai posisi mereka berubah. Ino membelakangi Shikamaru, dan menurutnya itu menjadi sebuah keuntungan karena mungkin saja rangkaian kalimat yang sudah cewek itu susun di otak akan sulit dia sampaikan kalau berhadapan langsung dengan Shikamaru.

Punggung Ino sekarang diistirahatkan di permukaan dada Shikamaru. Sebelumnya, Ino merasa tegang, namun dengan Shikamaru yang mendekapnya dari belakang sekarang, ketegangan itu hilang.

“Gue ikut konseling ke psikolog, udah jalan hampir tiga bulan. Maaf nggak bilang-bilang sama lo.” ujar Ino lirih.

Shikamaru bertanya lembut sambil memainkan helai-helai rambut cewek itu. “What happened, Ino?

“Ih, lo jangan mainin rambut gue, nanti gue bisa ngantuk!” protesnya sebelum kembali menjawab, “Lo tau kan Shik, gue punya trauma masa kecil…”

Masih sambil memainkan helai rambut Ino, Shikamaru menjawab, “Iya tau.”

“Nah, gue nggak mau selamanya ada di bayang-bayang trauma itu Shik.”

“Hu-uhm”

“Gue udah berkomitmen kalau gue nggak mau egois lagi. Gue nggak mau nyakitin lo lagi, karena dengan adanya trauma gue ini, lo jadi nggak mendapatkan apa yang lo pantas dari gue….”

Ino menjeda kalimatnya sejenak karena dia sudah bisa merasakan kecupan-kecupan lembut Shikamaru di pelipisnya.

That’s why, gue mau sembuh dulu. Gue mau sayang diri gue sendiri dulu. Baru gue bisa sayang lo sepenuhnya. I have so much love to give for you, Shikamaru. Tapi sebelumnya… gue nggak berani, gue takut nyakitin lo.”

Kedua mata Ino semakin memanas ketika Shikamaru mengeratkan pelukannya di pinggang cewek itu.

Shikamaru selalu tahu kalau Ino punya banyak cinta untuk diberikan ke siapapun. Tapi Shikamaru ingin Ino bisa mencintai dirinya sendiri terlebih dari apapun. Dan Ino tahu kalau mencintai Shikamaru bukanlah hal yang sulit, yang sulit hanyalah bagaimana cara mencintai Shikamaru dengan benar dan pantas.

“Ino… Ino sayang, thankyou, thankyou. Terima kasih lo sudah mau berjuang buat sayang diri lo sendiri. Terima kasih sudah mau berusaha, gue bakal bantu untuk lebih sayang lagi diri lo sendiri.” Shikamaru bergumam di ceruk leher Ino, memberikan sensasi geli yang cewek itu rasakan.

“Gue belajar banyak dari lo, Shika. Kadang nggak semua perubahan bisa datang dari kita sendiri, apalagi kalo perkaranya adalah berubah untuk lebih sayang sama diri sendiri. Kadang kita butuh orang lain biar paham seberapa berharganya diri kita sendiri. Dan orang lain yang gue butuhin itu cuma lo, lo yang udah bikin gue sadar dan berani melangkah sampai sejauh ini. Thank you.”

Ino berbalik dan mengecup pipi Shikamaru singkat. Hanya Ino dan Shikamaru yang tahu se-touchy dan se-clingy apa mereka berdua kalau sudah bersama. Memang seperti itu kebiasaan mereka.

“Iya Ino… Seandainya gue tau soal ini lebih cepet, hadeh lo tuh bikin gue mikir yang engga-engga tau. Gue kira lo sakit apa.” tukas Shikamaru dengan tatapannya yang penuh kelegaan.

“Gue tuh malu tau…”

“Malu kenapa??”

“Ralat, gue sempet malu kalau gue ikut konseling di psikolog. Sekarang udah nggak malu sih.”

Shikamaru mengernyitkan dahinya, kurang paham dengan alasan kenapa Ino harus malu karena dia ikut konseling. “Coba jelasin kenapa lo harus malu?”

“Duh gimana ya, kan masih banyak orang yang anggap kalau kita ke psikolog, berarti kita tuh gila. Padahal kan nggak.”

Ino mengerucutkan bibirnya karena menyayangkan persepsi masyarakat yang cenderung masih kolot dan berpikir kalau berobat ke psikolog adalah hal yang tabu. Dan nyatanya, banyak juga orang lain yang merasakan hal yang sama dengan Ino, malu mengakui dirinya berobat ke psikolog. Setelah dia ngobrol banyak dengan psikolognya, Ino jadi tahu kalau orang-orang di bidang tersebut sedang berusaha mengedukasi masyarakat dan mencoba untuk mengubah persepsi mereka.

“Wah, parah banget lo. Masa lo nyamain gue sama orang lain? Yaelah, gue mana mungkin bakal mikir begitu.” tukas Shikamaru.

Ino nyengir saja dan kemudian terkekeh. “Hehe.”

“Tapi lo tau nggak sih?”

“Tau apa??”

Biasanya, kalau pertanyaan dari Ino atau Shikamaru sudah diawali dengan ‘tau nggak sih?’ itu artinya mereka akan lanjut ghibah.

“Denger-denger, psikolog lo itu temen kuliah Om Inoichi.”

Ino membulatkan matanya, “Lo tau dari mana????”

“Dari Pak Shikaku, yang pas gue bilang kalo Mamah sama Papah habis dari rumah sakit itu dan liat lo ngobrol sama psikolog.”

“Whoaaa, masa sih??”

Shikamaru mengangguk. “He-eh. Terus denger-denger dari Pak Shikaku, dia itu mantan papi lo pas jaman kuliah.”

Perkataan Shikamaru sukses membuat Ino melongo lebar, kemudian dia menutupi mulutnya sendiri dengan satu tangannya dan jadi heboh sambil memukul excited tubuh cowok itu. “OMG SHIKA SHIKA!!”

Shikamaru tersentak sedikit, “Anjir apaan??”

Seingat Ino, Psikolognya, Mei Terumi, pernah bercerita kalau beliau ini belum menikah. Dan entah kenapa… Ino sangat excited waktu mendengar kalau Papinya dan Mei Terumi adalah sepasang mantan kekasih berdasarkan informasi yang Shikamaru dapat dari papanya.

Cewek itu menyeringai licik, “Shika Shika. Gue punya rencana.”

“Apa? Nggak usah aneh-aneh lo!”

“ACK!!!!” Ino memekik kegirangan sampai lupa memberi tahu Shikamaru tentang entah rencana apa yang sedang dia susun.

Sedangkan Shikamaru, cowok itu cuma bisa geleng-geleng kepala. Dia menunggu Ino menjadi lebih tenang dan berhenti cengar-cengir nggak jelas. Baru lah Shikamaru mengunci tubuh Ino untuk tetap diam dan berhadapan dengannya dengan jarak yang super dekat.

Merasa tubuhnya nggak bisa bergerak, Ino bertanya dengan heran. “Eeeeeeh kenapa Shik?”

“Sekarang gue mau tanya.” selain tubuh Ino yang Shikamaru kunci, cowok itu juga mengunci tatapan aquamarin Ino untuk menatap manik hazelnya. “Are you ready to define our relationship now?

Ino tercekat, sedikit terkejut meskipun dia sudah tau pertanyaan itu bakal datang dari Shikamaru kapan saja, cepat atau lambat.

Sebelumnya, Ino sama sekali nggak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan jawaban apa karena keraguannya sendiri yang menghalanginya. Sekarang, Ino juga masih belum tau. Bedanya, dulu kedua mata Ino selalu berlari kesana kemari dan enggan jatuh di mata Shikamaru, apalagi sampai terkunci. Sekarang, Ino berani membalas tatapan manik hazel Shikamaru tak kalah dalam. Bahkan sekarang cewek itu bisa tersenyum.

“Hmm… Gue masih nggak tahu harus mendefinisikan hubungan kita kaya apa…”

Ino menjeda kalimatnya, tapi kemudian dia lanjutkan sebelum manik Shikamaru kehilangan harapan. “Tapi intinya sih, gue nggak akan kemana-mana karena gue sayaaaaang banget sama lo, Shikamaru, lo yang udah ada di sisi gue semenjak gue lahir. Shikamaru yang udah bikin gue berani. Shikamaru yang mageran tapi selalu nempatin gue di daftar prioritas paling atas. Shikamaru anak baik kebanggaan Mamah Yoshino dan Papah Shikaku. Shikamaru yang paling reliable buat temen-temennya. Gue juga udah bisa menerima diri gue sendiri, thanks to you. Aduh, ini cheesy banget tapi pokoknya I am yours deh.”

Shikamaru mengerjap, dia sedang mencerna kalimat panjang lebar yang Ino katakan barusan.

“Shik? Kok diem aja?”

“Kalo lo punya gue, seperti yang lo bilang tadi. Artinya apa?” Shikamaru balik bertanya.

Ino berdecak sambil terkekeh, “Hadeh. Yaudah biar gampang, kita pacaran aja yuk? Aduh, gue jadi nggak sabar mau cerita ke Chouji sama Papi juga!”

Cuma Ino yang dengan entengnya ngajak orang lain pacaran. Padahal dulu, waktu diajak pacaran, dia selalu panik. Tapi karena orang itu adalah Shikamaru, semuanya jadi terasa mudah.

Shikamaru meresmikan label hubungan mereka dengan ciuman hangat di bibir Ino, yang dibalas cewek itu dengan lumatan lembut dan penuh sayang.

Took us long enough…” Shikamaru bergumam setelah menyudahi tautan bibir mereka untuk mencari asupan oksigen, meskipun jarak antara bibir keduanya hampir tidak terlihat.

Ino tersenyum. “But we’re finally getting here, aren’t we?

Yes, love.

People call it love, while Shikamaru be calling her.

Shikamaru tidak akan sembarangan mengizinkan orang lain menginterupsi agenda rebahan di atas bukitnya kalau bukan untuk sesuatu yang sangat mendesak.

Namun karena interupsi ini akan melibatkan rekannya, Ino, sebagai salah satu topik pembicaraan, Shikamaru berusaha keras untuk menahan kantuknya di waktu senja. Maka dia gunakan waktu sebaik mungkin untuk power nap sampai deru mesin Range Rover yang dikemudikan Itachi terdengar semakin mendekat.

Waktu Shikamaru melihat Itachi tidak datang sendirian, melainkan ditemani dua bocah yang sangat dia kenal itu, Shikamaru ingin menjotos lelaki itu sekarang juga.

“UNCLE SHIKA!!!”

“Yo.” Shikamaru membalas sapaan dari Nash dan Gwen dengan lambaian malas. Kemudian matanya memicing ke Itachi. “What the fuck? This is not a playground, why are you bringing children here?

“Mereka bakal lebih aman kalau di sini.” jawab Itachi singkat sambil mengangkat bahunya acuh.

“Nggak seharusnya mereka ada di sini, apa yang mau kita bicarain itu rahasia.” Shikamaru mendesis dan melihat satu persatu anak Itachi yang sedang menjadi topik pembicaraan.

“Tahu, tapi apa bisa lo tanggung jawab kalau mereka ditembak mati di rumah sama orang-orang yang kejar saya dan Ino??”

“Gue bakal mati di tangan Ino sebelum bisa tanggung jawab.”

“Ya sudah. So, bisa tolong jelaskan tentang operasi rahasia itu?”

Sebelum masuk ke topik utama prmbicaraan, Shikamaru mengulurkan tangannya ke arah Itachi. “Rokok?”

Thanks, saya nggak ngerokok. Tolong jangan arahin asapnya biar nggak kena ke Nash dan Gwen.”

Pada akhirnya Itachi dan Shikamaru membiarkan Nash dan Gwen mendengarkan percakapan rahasia mereka. Itachi percaya kalau kedua anaknya tidak akan menyalahgunakan informasi, kalau Shikamaru sendiri karena dia malas berdebat dan malas untuk mengeluarkan lebih banyak tenaga untuk membujuk Nash dan Gwen supaya tutup telinga.

“Namanya Operasi Sancaka…” Shikamaru memiliki kepercayaan yang cukup terhadap Itachi. Selain karena sejauh Akatsuki ada berada di bawah kendali NIS dan Itachi yang paling mudah untuk kooperatif, Shikamaru juga tahu kalau Itachi bukanlah orang jahat.

“Operasi Sancaka membentuk satu tim rahasia yang sudah dibagi-bagi tugasnya, kebetulan gue ditugasin di stage paling awal. Habis itu yaudah, tugas gue selesai dan bikin laporan.” lanjutnya.

Sebagai seorang agen khusus dari NIS, Shikamaru pernah ditugaskan dalam misi penyamaran sebagai pemandu lalu lintas dadakan yang diberi upah oleh pengemudi yang melewati area tersebut—atau kasarnya tukang parkir selama tiga bulan di area yang diduga digunakan sebagai jalur mobilisasi praktik penyelundupan anak dan pekerja migran ilegal.

Dugaan tersebut diverifikasi oleh observasi Shikamaru. Di suatu malam saat misi penyamaran, Shikamaru pernah ngopi bersama beberapa supir truk yang sedang beristirahat. Supir-supir itu menyebutkan beberapa kalimat yang menunjukan kalau mereka akan diberikan proyek besar di akhir tahun untuk mengantar anak-anak dan pekerja migran yang sebagian besar perempuan ke pelabuhan khusus.

“Sebentar lagi sudah masuk akhir tahun, aparat lagi sibuk-sibuknya buat eksekusi dan gagalin mobilisasi praktik illegal itu.”

Itachi mengangguk, kemudian bertanya. “Boleh saya tahu siapa saja anggota tim dari Operasi Sancaka?”

“Gue nggak tahu.”

“Pardon?”

You heard me.” Shikamaru menghisap panjang batang rokoknya yang ketiga di tengah-tengah obrolan tersebut, “Gue nggak tahu. NIS punya sistem untuk membentuk satu tim khusus tanpa anggota tim itu sendiri tahu siapa rekan-rekan mereka untuk beberapa operasi rahasia, ini salah satunya. Mereka bergerak cuma dengan ngandelin data.”

Itachi bergumam, “Berarti Ino… Bisa jadi dia terlibat di Operasi Sancaka ini?”

“Bisa jadi. Tapi setahu gue, Ino nggak pernah jadi kandidat untuk jadi anggota tim Operasi Sancaka. Nggak tahu ya, bisa jadi gue salah.”

Kalau apa yang Shikamaru jelaskan barusan benar, maka bisa jadi Ino adalah salah satu anggota tim Operasi Sancaka itu. Kalau memang itu benar, maka pihak-pihak yang kemungkinan sedang mengincar Ino adalah dalang dibalik praktik ilegal tersebut.

“Shit!”

“Mami keren banget!”

Nash dan Gwen memekik antusias setelah mendengar cerita yang tidak sepatutnya mereka dengar. Sedangkan Itachi dan Shikamaru tidak bersuara, kepala mereka sama-sama sedang memikirkan banyak hal.

“Siapa dalang dibalik praktik ilegal ini?” Itachi kembali bertanya yang dibalas dengan gendikan bahu Shikamaru.

“Gue nggak tahu ada siapa aja. But the names are listed in a file.

Names? Dalangnya lebih dari satu?”

“Of course.”

“Apa tujuan mereka?”

“Duit.”

Keheningan lantas menyelimuti mereka berdua, lebih tepatnya berempat. Itachi baru saja mendapatkan informasi-informasi penting namun itu saja belum cukup untuk mengetahui di mana Ino berada. Dan dia belum bisa memutuskan untuk bergerak karena probabilitas-probabilitas itu masih sangat banyak, sehingga Itachi belum tahu dia harus pergi kemana untuk menemukan istrinya.

“Aku boleh tanya nggak?” suara Gwen memecah keheningan.

Ask away, Adek.” jawab Itachi.

“Jadi kalian semua ini sebenarnya… agen rahasia ya? Keren banget!” Saking terkesimanya Gwen dengan fakta tersebut, Itachi sempat lupa kalau beberapa waktu lalu, anak itu stress berat.

“Kalo mami kalian sama uncle Shika mah iya, tapi kalo Papi kalian itu kri—“

“Okay makasih buat infonya, Shikamaru.”

Itachi buru-buru memotong kalimat Shikamaru dan beranjak dari duduknya. Tengsin juga kalau Nash dan Gwen tahu bahwa Papi mereka pernah jadi kriminal. Itachi menepuk-nepuk pantatnya supaya rerumputan bukit yang nempel di baguan belakang celananya hilang, “Let’s go, Kids.”

Nash dan Gwen segera mengikuti Papi mereka, keduanya juga tidak lupa pamit ke Uncle Shikamaru. “See you later, Uncle Shika.”

“Yo. Take care ya kalian. Gausah terlalu overthinking. Mami kalian kuat, pasti dia baik-baik aja.”

Nash dan Gwen kemudian menghadiahi Uncle Shikamaru dengan acungan jempol.

“Oh ya Shikamaru. Boleh saya minta tolong?” sebelum Itachi benar-benar pergi, dia harus memastikan satu hal terlebih dahulu.

Shikamaru menggerutu saja karena agenda rebahannya jadi semakin tertunda. “Apa?”

“Boleh tolong cari tau siapa yang set up berita tentang kematian saya dan bikin Ino jadi tersangkanya? Siapa tahu mereka adalah kaki tangan si dalang praktik ilegal ini.” jelas Itachi.

“Oke,” Shikamaru mengangguk dan melanjutkan, “Boleh gue kasih lo saran? You better move quietly, bisa jadi mereka ngira kalau lo udah mati beneran. Kalau mereka tahu lo masih hidup, gue yakin mereka bakal kejar lo lagi. Not even your brother should know.

“Saya ngerti.”

Untuk saat ini, yang hanya Itachi tahu adalah dirinya yang tidak memiliki banyak waktu untuk dibuang sia-sia. Itachi berdoa dan berharap apapun yang sedang Ino lakukan bukanlah hal yang berpotensi untuk melukai atau bahkan mengambil nyawa perempuan itu.

Itachi melakukan satu gerakan terakhir sebelum benar-benar siap dengan mengikat surai legam panjangnya menjadi satu ikatan rendah.

“Papi harus keluar sebentar, kalian di rumah aja.” Dia bergegas untuk segera keluar dari rumahnya setelah memastikan beberapa barang—seperti senjata api, yang akan Itachi bawa untuk bertemu Shikamaru sudah ada di dalam genggaman.

Namun tiba-tiba langkahnya dicegat karena ada sebuah telapak tangan mungil yang mencengkram pergelangan tangan Itachi.

“Aku ikut.”

Gwen adalah si pemilik tangan mungil tersebut, bahkan Itachi tidak tahu darimana asal kekuatan putrinya datang, sebab cengkeraman itu sangatlah kuat.

Dengan perlahan Itachi menarik tangan Gwen yang masih mencengram pergelangan tangannya. “Don’t be silly, little girl. This is dangerous.”

I want to save my mother too and you call it silly?? Yang bener aja Papi!” Gwen mendengus sambil meniup poninya. Anak itu sudah meledak-ledak, tapi Papinya bisa lihat kalau dia sedang menahan supaya air matanya tidak jatuh dari pelupuk.

Itachi paham kenapa putrinya berkata demikian, Itachi juga tahu kalau sekarang Nash memiliki pemikiran yang sama seperti adiknya. Tapi situasi yang ada saat ini bukan main-main, juga bukan menjadi porsi bagi kedua anaknya untuk ikut campur.

We’re not playing detective here, Gwen. Papi nggak mungkin seret Adek sama Kakak ke urusan ini, keselamatan kalian juga bakal jadi taruhan.” Itachi menjelaskannya pelan dengan harapan putrinya akan memahaminya.

“Kalau memang aku harus bertaruh keselamatanku sendiri supaya Mami pulang, aku nggak apa-apa, Pi…”

Selanjutnya, tangis Gwen pecah. Suara tangis dan air mata yang mengalir itu membuat Itachi merasakan sesak di dada. Itachi membawa putrinya ke dalam dekapan, “Adek nggak perlu pertaruhkan keselamatan Adek. Papi pasti akan bawa Mami pulang, percaya ya sama Papi?”

Gwen tidak memberi jawaban, tapi tangisnya masih belum reda di dalam dekapan hangat Papi nya.

“Papi…” di antara tangis Gwen, Nash mulai bersuara. Itachi sempat lupa kalau putranya juga ada di sana.

“Iya, Kak?”

“Kalau menurut Papi dengan ninggalin aku sama Gwen di rumah ini adalah bukan bentuk dari mempertaruhkan keselamatan kami berdua, Papi salah besar…”

Nash sedikit menjeda kalimatnya sebelum dia melanjutkan, “Papi sama Mami itu dicari sama orang yang ingin kalian berdua mati. Tapi ingat Pi, bukan berarti orang-orang itu nggak bakal cari Aku sama Gwen. Mau aku dan Adek ikut Papi atau tetep di rumah, itu sama-sama bahaya. But at least when Papi is around, Papi will protect us. Iya kan, Pi?”

Oke. Itachi tidak bisa berbohong kalau dia terkejut menyaksikan betapa manipulatifnya Nashville Uchiha. Ditambah dengan air muka super memelas yang terpatri di wajah Nash, Itachi tahu tabiat itu diwariskan putra sulungnya dari siapa. Tidak lain tidak bukan adalah tabiat manipulatif Nash ini menurun dari Papinya.

Meskipun bisa membuat si lawan bicara dengan mudah untuk menuruti perkataan Nash, Itachi jelas sadar bahwa gagasan putranya adalah gagasan yang punya angka probabilitas sangat tinggi untuk terjadi.

Alasan lain yang menghalau Itachi untuk mengizinkan Nash dan Gwen untuk ikut dengannya adalah karena dia tidak mau kedua anaknya tahu seberapa ‘gelap’ dunia di mana Papi dan Mami nya hidup selama ini.

Namun, Itachi menyerah dan mau tidak mau membawa kedua anaknya untuk ikut menemui Shikamaru. Daripada dia harus membiarkan Nash dan Gwen diserang tanpa ada orang yang bisa melindungi mereka. Setidaknya, kedua anaknya akan lebih aman jika bersamanya.

Selain itu, bertemu Shikamaru bukanlah sesuatu yang berbahaya. Shikamaru adalah orang yang familiar dan dekat dengan kedua anaknya.

“Okay. Kalian boleh ikut, tapi untuk kali ini aja.”

“Yeay!”

Nash dan Gwen kompak memekik, kemudian memberikan kecupan di masing-masing sisi pipi Itachi.

Lelaki itu memejamkan matanya rapat-rapat. Ternyata benar, hilangnya Ino adalah bukan sekedar. Istrinya sempat diserang oleh orang tidak dikenal.

Tapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kenapa media membuat narasi kalau Itachi dibunuh oleh istrinya sendiri? Media seharusnya tidak tahu tentang seperti apa hubungan pernikahan keduanya sampai bisa membuat narasi seperti itu. Lagi pula Itachi tahu betul kalau yang menyerangnya beberapa hari lalu jelas bukan Ino.

Akibat terlalu lama berpikir, Itachi sudah melupakan tentang amplop besar itu, sehingga Gwen memungutnya dan hendak membuang sampah tersebut. Pergerakannya terhenti ketika secarik kertas jatuh dari amplop tersebut.

“Papi! I found something else.

Itachi langsung menghampiri putrinya, diikuti oleh Nash yang mengekor di belakang.

Here.

Thank you baby girl.

Di secarik kertas itu, tertera sebait puisi. Itachi masih mencerna apa yang dia lihat, namun Nash sudah membaca bait puisi itu keras-keras.

“Mobbed in the dusk till dawn, Only the sun will rise No mankind shall wander, To where I shall weep Eden the promised heaven Laid sorrow, Above all Gone below, O’god hears my devil cries.”

Kemudian putra Itachi meringis geli, “Eww. Puisi nya jelek banget. Ini dari selingkuhan mami?”

“Kak, buset! Itu bukan puisi cinta!” Gwen langsung menghadiahi kakaknya pukulan di lengan.

Sedangkan Itachi heran, dari mana putranya punya ide kalau Ino punya selingkuhan? Hal itu membuat Itachi melirik Nash dan berdecak. “Astaga, Kak. Ini loh tulisannya mami kamu sendiri. Masa nggak ngeh?”

Mulut Nash membentuk huruf O yang bersuara, “Hoooo, masa sih?”

Itachi mengangguk. “Pasti ada sesuatu yang penting dari puisi ini.”

Di samping kanan dan kiri Itachi sekarang ada Nash dan Gwen yang mengapitnya. Ketiganya sama-sama membaca ulang baris-per baris puisi tersebut.

Which Eden of the promised heaven does mami refer to?? Ini kita perlu Bible buat referensi nggak?”

“Gue malah lebih kepo sama bagian only the sun will rise. Kalo kaitannya sama sunrise, berarti mami lagi ada di daerah timur nggak sih?

Itachi tersenyum melihat Gwen dan Nash yang saling berdiskusi untuk memecahkan riddle yang ada di puisi itu, dia berterima kasih kepada Ino karena telah melahirkan anak-anaknya yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang mumpuni.

Meskipun kemampuan berpikir mereka bertiga sangat tajam, Gwen tetap berkali-kali mendengus karena tidak bisa menemukan hal penting apa yang bisa ditarik dari puisi itu. Nash juga sama, hampir frustasi sendiri. Kalau Itachi… jangan ditanya, dia tetap kelihatan tenang meskipun sakit kepala.

“Kids…” Itachi angkat bicara setelah menemukan ilham, dahinya yang semula dikerutkan kini sudah jauh lebih santai. “This is not just a poem, this is a cipher.

“Hah??” Nash dan Gwen kompak bersuara.

“Coba perhatikan setiap huruf kapital di setiap kalimat. Kalau dikumpulin, huruf-huruf itu akan membentuk kata-kata.” jelas Itachi.

Tiga pasang netra memindai ulang puisi tersebut, sekarang difokuskan ke huruf kapital dari masing-masing awal kalimat.

“Huruf kapitalnya ya? Berarti M-O-N-T-E-L-A-G-O. Monte Lago!”

Gwen berseru, Nash tepuk tangan. Keduanya menjadi semakin excited karena berhasil memecahkan teka-teki dari puisi yang Ino tulis.

Di sisi lain, Itachi semakin dibuat gelisah atas keadaaan dan keselamatan istrinya. Pasalnya, Monte Lago adalah tempat di mana markas besar organisasinya, Akatsuki, berada.

Setelah diizinkan masuk membersihkan diri oleh kedua anaknya, Itachi melahap ramen instan buatan Gwen dengan kecepatan tinggi, mengabaikan kedua putra dan putrinya yang sekarang berada di depannya sambil melihat papi mereka seperti sedang menginterogasi.

Kalau diam bisa bersuara, Itachi yakin saat ini dia bisa mendengar banjiran pertanyaan dari Nash dan Gwen.

Sayangnya, Itachi tidak membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu sempat dikeluarkan baik oleh Nash maupun Gwen. Meskipun dia merasa bersalah karena peristiwa yang terjadi barusan membuat kedua anaknya pusing berat, Itachi berpikir bahwa masih ada hal penting yang harus dia lakukan. Dan Itachi harus bergerak cepat.

“Ada sesuatu yang menurut kalian berdua aneh dari Mami nggak?” tanya Itachi.

“Hngg… Nggak sih, tapi tiga hari yang lalu, she smelled like a gunpowder when she came home.” Nash menjelaskannya dengan singkat.

“Selain itu?”

Gelengan kepala Gwen adalah jawaban untuk Itachi. Lelaki itu maklum saja kalau kedua anaknya tidak menemukan banyakhal yang tidak biasa dari Ino, perempuan itu sangat mahir dalam menyembunyikan sesuatu. Selain itu, Itachi juga sudah memeriksa semua rekaman CCTV rumah mereka, dan semuanya sangat rapi.

“Mami kalian ada ninggalin sesuatu nggak sebelum pergi?”

Nash dan Gwen saling berpandangan. Kemudian Gwen berkarakter lebih ngotot masih mencoba keberuntungannya untuk meminta penjelasan dari Itachi. “Why don’t you tell us what really happened with you and Mami? Why are you playing dead, Papi?

You two better save the questions for later. Sekarang kasih tahu Papi, Mami kalian ada ninggalin sesuatu nggak sebelum pergi?” Itachi mengulang pertanyaannya. Biasanya, Itachi selalu sabar dan bersikap lembut ketika berbicara dengan anak-anaknya, kali ini Itachi terdengar tegas dan menuntut. Sebab situasi pada saat ini tidak memungkinkan buatnya untuk bertindak lembut dan basa-basi.

Nash menyedot susu kotaknya. “Mami didn’t leave us anything. Is she okay, Papi?

Itachi mengangguk, pertanda mengerti dengan perkataan Nash. Tapi kemudian dia menggeleng, sebab Itachi tidak tahu apakah Ino benar-benar baik-baik saja atau malah sebaliknya. “Buat pertanyaan yang itu, Papi nggak tahu pasti. Tapi Mami itu kuat, dia nggak akan kenapa-napa.”

Tentu saja jawaban tentang Papi nya yang tidak tahu apakah Maminya baik-baik saja itu membuat nafas Gwen tercekat. Meskipun anak itu terbilang tsundere terhadap Mami nya, tapi kehilangan Mami Ino adalah hal terakhir yang dia inginkan sekarang.

“Terus… Papi sama Mami jadi cerai?” tanya Gwen.

Itachi mengangkat sebelah alisnya. “Cerai? Maksudnya?”

“Loh, Mami bilang kalau kalian berdua udah setuju buat cerai.”

Kebohongan adalah sesuatu yang Itachi tangkap. Keduanya, Itachi dan Ino, tidak pernah sekalipun membicarakan tentang perceraian. Kalau Gwen bertanya apakah Mami betulan punya keinginan buat bunuh Papi, mungkin Itachi bisa mengiyakan.

“Oh! Sebentar!” Nash memekik keras. “Aku baru inget, kayanya Mami ninggalin berkas-berkas surat perceraian di master bedroom deh.”

Bagus. Itachi berpikir mungkin dia bisa mendapatkan petunjuk untuk mencari kemana Ino pergi dari sana.

Ketika amplop besar itu sudah ada di tangannya, Itachi langsung mengambil seluruh isi di dalamnya. Beberapa kertas dokumen perceraian dan sebuah alat perekam suara digital adalah yang dia temukan.

Itachi membaca dokumen perceraian itu dengan seksama. Pernikahan Ino dan Itachi merupakan suatu hal yang tidak seharusnya terjadi. Ketika sudah terlanjur terjadi, maka pernikahan itu keduanya manfaatkan secara diam-diam. Tapi yang membuat pusing adalah fakta bahwa keduanya sempat tidak tahu kalau Ino dan Itachi saling memanfaatkan dan mempermainkan satu sama lain.

Tahu apa yang bikin semuanya jadi lebih repot lagi? Adalah fakta kalau permainan Itachi dan Ino berlanjut sangat jauh sampai mereka berdua punya dua anak usia remaja. Tapi itu bukan berarti Itachi dan Ino tidak menyayangi kedua anak mereka, mereka menyayangi Nash dan Gwen lebih dari apapun.

Itachi adalah seorang laki-laki dengan seribu rahasia. Masih banyak fakta tentang lelaki itu yang belum diketahui oleh istrinya.

Sedangkan Ino adalah salah satu anggota agen khusus Badan Intelijen Negara atau National Intelligence Service (NIS) yang ditugaskan untuk melakukan misi spionase terhadap Uchiha Itachi yang berafiliasi dengan organisasi bandar segala praktik illegal. Ino memanfaatkan pernikahannya dengan Itachi untuk memperoleh semua hal untuk menggulingkan organisasi tersebut.

Sayangnya, Ino tidak mengetahui fakta bahwa Itachi telah mengetahui kalau perempuan itu adalah bagian dari organisasi intelijen sampai pernikahan mereka yang ke sepuluh. Selama itu, Itachi memutuskan untuk mengikuti alur permainan Ino untuk mendapatkan informasi-informasi rahasia negara yang dimiliki oleh NIS.

Merasa tidak menemukan apa yang dia cari dari dokumen perceraian itu, Itachi beralih ke alat perekam suara digital dan menekan tombol play. Kemudian terdengar sebuah dialog pendek, di mana salah satu orang yang terekam suaranya berbicara dengan bahasa yang tidak Itachi mengerti—juga suara tembakan peluru yang ikut terdengar.

“Damn. I didn’t even know that papi owned a gun.”

“Not a gun, but GUNS.” kata Nash mengoreksi adiknya.

Gwen sempat terkejut, ternyata sudah sejauh itu kakaknya tahu. “How do you know?”

“Jaman sekarang mana ada orang berduit tapi nggak punya senjata. For the rich, firearm has become their business commodity.

“Bleh. Those filthy rich people and their dirty business.”

Setelah mengunci seluruh akses masuk ke dalam rumah, kedua bersaudara itu sekarang menempati master bedroom milik papi dan mami. Mereka terpaksa mematuhi pesan Uncle Sasuke untuk tidak melangkah sejengkalpun dari rumah meskipun banyak sekali pertanyaan yang berlalu lalang di dalam kepala mereka.

Menurut Gwen, semua hal yang terjadi for the past hours terlihat nggak masuk akal buatnya. Selama ini dia berpikir kalau keluarganya adalah keluarga biasa yang kebetulan kaya raya. Tapi waktu dia menemukan fakta baru kalau Papi nya memiliki banyak senjata api yang tersimpan di kamarnya membuat Gwen berpikir kalau jangan-jangan mereka ini adalah keluarga mafia seperti yang biasa dia lihat di film-film.

Belum lagi tentang perkara dugaan Mami yang bertanggungjawab atas kematian Papi. Meskipun Gwen tahu kalau belakangan ini Mami dan Papi kelihatan sudah tidak saling mencintai lagu, tapi rasanya sangat berlebihan kalau Mami harus sampai membunuh Papi.

Daripada memikirkan hal itu, Gwen memilih buat rebahan di tempat tidur. Tempat tidur yang kadang mereka berempat gunakan untuk tidur bersama kalau Gwen dan Nash sedang manja-manjanya ke orang tua mereka meskipun sudah remaja gede.

“Kak, gue mau tidur aja lah. Pusing betul.”

“Tidur lah. I’ll wake you up for dinner.

“Lo nggak mau tidur juga?”

Nash menggeleng. “Nggak, gue mau mastiin kalo rumah ini aman.”

Kay.

Sebagai kakak laki-laki, Nash selalu membawa kemana-mana pesan dari Papinya kalau dia harus menjaga adik perempuannya. Nash berpikir kalau dia tidur juga, siapa yang akan menjaga Gwen? Setidaknya harus ada satu yang terjaga.

Namun setelah satu jam menahan untuk tidak tertidur, Nash akhirnya ketiduran juga. Tiga jam kemudian, mereka berdua terperanjat karena suara bel mengejutkan mereka sampai berhasil membangunkan keduanya.

Ding dong

“Dek…”

“Kak, ada yang pencet bel.”

Keduanya saling berpandangan, Nash bisa melihat wajah adiknya menjadi agak pucat akibat jantungnya berdetak dengan cepat.

“Nggak usah dibuka. Inget apa kata Uncle Sasuke.”

Ding dong

Ding dong

Ding dong

“Tapi suara bel nya nggak berhenti-berhenti, Kak!”

Gwen sudah mau beranjak dari tempat tidur namun Nash buru-buru menahannya dengan mencengkram pergelangan tangan Adiknya. “What are you doing! Are you crazy???

“Gue cuma penasaran. Pintunya nggak usah dibuka, tapi at least kita bisa lihat dari intercom siapa yang pencet bel rumah.”

“Gwen!”

Selain mewarisi surai pirang Mami Ino, Gwen juga mewarisi wataknya yang sangat keras kepala dan nggak takut dengan apapun. Dulu waktu masih kecil, Gwen selalu mengajak kakaknya untuk jalan-jalan di dalam rumah ketika sudah malam, katanya sih mau berburu hantu. Sebagai kakak yang baik, Nash menuruti semua permintaan adiknya, atau Gwen akan menangis. Termasuk permintaan adiknya yang sekarang.

Mereka berdua akhirnya berjalan menuju ke foyer di mana tempat intercom yang menghubungkan kamera di bagian luar pintu berada.

Gwen bertugas untuk melihat layar intercom, sedangkan Nash ada di sebelahnya sambil menggenggam golf stick buat jaga-jaga.

Waktu layar intercom menunjukan siapa yang ada di sana, nafas kedua bersaudara itu tercekat dan dua pasang mata mereka membulat sempurna, bahkan Gwen sempat melongo sebentar.

No way…” Nash bergumam.

Di layar intercom itu muncul wajah Itachi Uchiha—papi mereka, dengan penampilan yang sangat tidak proper. Mereka bisa melihat bekas darah yang sudah kering di sebagian besar tubuh Papi.

Holy shit. Papi!” Gwen berseru dan berniat untuk segera membuka pintu utama, melupakan fakta bahwa tadi pagi papi nya dilaporkan telah meninggal oleh berita. Namun Nash dengan sigap mencegah apa yang akan adiknya lakukan.

Di seberang sana, suara Itachi yang parau tertangkap oleh intercom. “Gwenevieve? Is that you?? Can you please open the door?”

“Anda siapa?!” Nash balik bertanya, masih sambil menahan adiknya agar tidak secara impulsive membuka pintu utama.

“Ini Papi, Kak.”

But you are dead.”

That’s what the news said. Tapi kalau Papi berdiri di depan pintu rumah, artinya Papi masih hidup. Lagian kamu nggak bakal ngeliat hantu sore-sore begini, Kak.”

Uncle Sasuke told us not to open the door for anyone.”

Look, we have not much time, tolong dibuka pintunya dan biarkan Papi masuk, ya?”

“…”

Tidak ada jawaban.

Nashville? Gwenevieve? You guys there?

“I-iya.”

Good. And listen to Papi, Papi harus masuk ke rumah dan mandi. Lalu siap-siap pergi untuk selamatin Mami kalian.”

Kedua bersaudara itu kompak mengerutkan kedua alisnya, mereka semakin tidak paham ke mana arah situasi ini akan berjalan.

Kepulangan sang Papi memang sudah mereka berdua nantikan, namun bukan kepulangan dimana Papinya membawa kabar tidak masuk akal seperti ini yang mereka tunggu-tunggu.

“Maksudnya mau selamatin mami itu apa?” Gwen memberanikan diri untuk bertanya.

Helaan nafas terdengar dari sebrang intercom, “Kids… Someone wants your mother dead.

Sudah beberapa jam Sasuke menemani Sakura untuk memproses visa keberangkatan cewek itu ke New York tahun depan. Meski keduanya belum secara resmi ‘berbicara’ dan berbaikan, Sasuke nggak bisa berhenti mengulas senyum karena dia sangat bangga pada Sakura yang telah berhasil melangkah sejauh ini.

Satu hal yang sangat Sasuke sayangkan adalah bagaimana Sakura lebih memilih untuk melangkah sendirian, tanpa sandaran ketika cewek itu merasa membutuhkannya.

Tatapannya melembut ketika Sakura datang menghampirinya setelah keluar dari salah satu ruangan. “Gimana Sakura? Lancar?”

Gosh. I am still shaking… aku masih deg-degan banget nih.” jawab cewek itu.

Sasuke bisa melihat kedua tangan Sakura yang bergetar, maka dia jemput tangan yang jauh lebih mungil dari miliknya untuk memberi ketenangan sambil meremasnya pelan. “Halah, kamu ini loh, bisa memikat orang-orang Kedutaan Besar. Wawancara bikin visa doang mah bukan apa-apa buat kamu, Ra.”

Kalimat Sasuke berhasil membuat Sakura merasa lebih tenang, tapi ada satu pertanyaan yang masih ingin dia keluarkan. “Sasuke, kamu nggak marah?”

Sasuke mengangkat sebelah alisnya, kemudian dia melihat arah jarum jam yang sudah menunjukan pukul 2 siang di arlojinya. “Ngobrolnya nanti aja, ini udah selesai kan? Kita lunch dulu.”

Sakura setuju dengan gagasan Sasuke. Cewek itu membiarkan dirinya dibawa ke salah satu restoran untuk makan siang dengan harapan dia punya kesempatan untuk menjelaskan semuanya ke Sasuke.

Setelah menutup buku menu, keduanya diminta untuk menunggu sampai sajian makanan mereka datang. Sakura mengambil kesempatan waktu yang kosong itu untuk kembali menanyakan pertanyaan yang sama. “Sasuke, are you mad?

“Marah karena kamu bakal pergi ke New York untuk internship? Marah, but on top of that, I’m so proud of you…

Jujur saja fakta kalau mereka bakal LDR-an nggak begitu dia pusingkan, meskipun Sasuke yakin LDR pasti berat.

Kemudian sepasang zamrud bertemu dengan legamnya manik segelap malam. Sasuke berkata dengan pelan dan lembut, “But Sakura, what makes me mad is the fact that you are being too hard on yourself.

Sakura nggak cuma sekali dua kali mendengar itu dari Sasuke. Tapi kali ini, kalimat itu membuatnya sukses membendung air mata di pelupuk.

“Sakura sayang… Pasti berat ya berjuang sendirian?”

Dengan pertanyaan Sasuke barusan, butiran air mata sukses jatuh ke pipi Sakura dan Sasuke buru-buru menghapus jejak air mata itu.

Sebenarnya agak sedikit memalukan ya untuk menangis di tempat umum yang ramai seperti ini. Tapi masa bodoh lah, Sakura sudah terseok-seok sendirian dalam berproses meraih mimpinya, menangis sebentar nggak akan jadi masalah.

Waktu tangan Sasuke masih bertengger di pipinya, Sakura membungkus tangan itu dengan tangannya sendiri dan memberinya sebuah kecupan terimakasih.

“Sas, kamu percaya sama yang namanya pamali?” tanya Sakura.

“Kenapa sama pamali?”

“Di keluarga aku, kalau misal mereka lagi merencanakan sesuatu yang besar, mereka ga mau kasih tau siapapun. Katanya takut pamali nanti malah rencananya gagal.”

Sasuke berdecak, sedangkan Sakura nyengir.

“Jadi itu yang bikin kamu ga cerita ke aku, Ra?”

“Nggak juga…”

Sasuke masih terdiam, membiarkan Sakura menyelesaikan apa yang akan dia sampaikan.

“Sasuke, I dare not to have a big dream.

Dari bagaimana cara Sakura mengatakan kalimat itu dengan secercah keputusasaan, Sasuke bisa merasakan dadanya ikut merasakan sesak.

Why not, Sakura?”

“Mimpi yang besar itu terlalu muluk-muluk buat orang seperti aku.”

“Siapa yang bilang? Orang seperti kamu itu maksudnya apa? Kamu ini loh hebat, pinter, kerja keras nya nomor satu.”

Sasuke menjawabnya dengan perasaan nggak terima dengan siapapun orang yang membuat Sakura berpikir seperti itu.

“Di keluarga besar, aku bukan siapa-siapa, Sas. Kata papaku, aku nggak perlu punya mimpi tinggi-tinggi, katanya nanti aku terkesan nggak prihatin, nggak berkaca sama kondisi keluarga aku yang gak punya apa-apa. Kemarin waktu keluarga besar dapet kabar aku keterima internship ini, bukan selamat yang aku dapet, tapi cibiran dari mereka yang bilang kalau aku ini terlalu muluk-muluk, terlalu sombong, ya gitu-gitu deh.”

Kenyataan yang baru saja di dengar Sasuke itu membuat cowok itu semakin mengeratkan genggaman tangannya. Sasuke marah karena Sakuranya harus mengalami hal tersebut.

Ternyata benar, yang biasa disebut keluarga belum tentu akan memberikan kenyamanan selayaknya gagasan keluarga yang biasa orang-orang dengar.

“Sakura, mulai sekarang tolong jangan dengerin apa kata mereka. Ga ada untungnya lah dengerin omongan dari keluarga kamu itu. You do you, semua pencapaian kamu itu kamu yang raih sendiri. Do what you think is the best for you. You don’t need them. Kalau kamu butuh support, jangan cari mereka. But find me.”

Selama ini, Sasuke yang Sakura kenal adalah pribadi yang sangat irit berbicara. Tapi cewek itu selalu bisa melihat betapa cowok itu mencintainya lewat kalimat-kalimat panjang untuk memberinya semangat, kenyamanan, dan rasa aman.

“Sakura, silakan raih setinggi apapun mimpi kamu. Tapi aku harap kamu bersedia buat ajak aku, ajak aku untuk menopang mimpi kamu, Ra. We’ll chase it together, okay? Begitu juga sebaliknya, aku mau kamu ada di saat aku raih mimpiku juga.”

Tangis Sakura pecah. Tangis Sakura itu adalah tangis yang dia usahakan untuk meredam suaranya, selain karena malu, di tengah tangis itu Sakura mengucap banyak syukur di dalam hatinya. Bersyukur karena dia punya Sasuke yang sangat supportive dengan caranya sendiri.

“Sasuke, aku pengen peluk kamu tapi tuh… Mbak yang bawa makanan kita udah dateng heheh.” kata Sakura sambil menunjuk waitress yang datang dari arah belakang Sasuke.

“Haha. Nanti pelukan di mobil.”

“Makasih banyak ya Sasuke…”

Anything for you, Sakura. Anything.