lilymagicals

Agenda sore dengan bujang-bujang (mantan) HIMAHI minus Sasuke yang masih galau berhasil direalisasikan. Ditandai dengan berkumpulnya mereka di taman pinggir sungai Konoha yang biasa digunakan sebagai tempat rekreasi sambil mengenakan pakaian santai untuk olahraga sore.

Naruto, Chouji, dan Shikamaru yang sudah jogging sebanyak 3 putaran kemudian melanjutkan kegiatan mereka dengan jalan santai sambil ngobrol.

Di situ Naruto menembaki Shikamaru dengan sebuah pertanyaan, “Shik, ngaku anjir lo tuh Manito gue kan???“.

“Ck. Pede banget.” jawab Shikamaru sambil berdecak.

Sebenarnya memang sudah jelas sih, kalau Shikamaru adalah manito si Naruto. Tapi Shikamaru kan nggak mau ya ngaku duluan sebelum waktu yang ditentukan, biar saja Naruto gemas sendiri memaksanya untuk segera mengaku.

Shikamaru melanjutkan, “Lagian ngapain anjir lo nyuruh orang buat ngaku sekarang. Kan disuruh ngakunya pas entar staycation.”

“ARGH Gue cuma mau memastikan kalo tebakan gue bener!” jelas Naruto ngotot.

“Sabar Nar sabaaar.” Chouji menepuk pundak Naruto supaya bocah oren itu berhenti ngotot. Kemudian dia bilang sambil cengengesan, “Baru tiga puteran masa gue udah laper ya guys?”

Menurut Naruto, sepertinya lambung Chouji nggak cuma satu deh. Tapi Naruto sendiri nggak sadar kalau dia sudah bareng dengan Chouji, porsi makannya juga otomatis berlipat ganda dari biasanya.

“Itu tadi Rock Lee bawa jajan deh kayaknya.” ucap Shikamaru.

“Huuu mau!!!”

“IKUT CHO.”

Berlarilah Chouji dan Naruto menuju titik kumpul yang sudah mereka tentukan sebelum beraktivitas masing-masing, meninggalkan Shikamaru yang enggan ikut berlari.

Di titik kumpul, ada Sai yang sedang duduk anteng sambil memfokuskan diri pada sketchbooknya. Sore itu, Sai lebih memilih untuk menggambar secara conventional alih-laih digital.

Waktu Chouji hendak membuka bungkusan jajan yang berasal dari totebag yang tadi Rock Lee bawa, Sai menghentikan sejenak kegiatannya dan beralih ke temannya itu. “Chouji jajan punya lo ada di totebag yang item.”

Chouji sih nurut saja dan mengambil bungkusan yang ada di totebag hitam yang Sai maksud. Seketika dia mengernyitkan alisnya, “Lhooo ini jajan mahal. Low Calories pula tulisannya.”

“WEEEEE DARI SIAPA NIH???” Naruto bertanya heboh.

Chouji bertanya lagi, kali ini dispesifikasikan untuk Sai sebab teringat akan misi yang dia berikan buat manitonya untuk merekomendasikannya cemilan berkalori rendah, “Saaaaai. Ini dari lo?? Lo manito gue yaa??”

“Haha bukan. Itu si Lee kok yang bawa.”

Sedetik setelah Sai bilang begitu, dia baru ingat kalau tadi Rock Lee berpesan kepadanya untuk jangan memberitahukan dari siapa jajan-jajan rendah kalori itu jikalau Chouji bertanya. Sai meringis, memang sulit buat membuang kebiasaannya yang terlalu jujur dan blak-blakan di situasi yang mengharuskannya untuk berbohong sedikit. Di dalam hati, Sai bilang, “Aduh, sori banget Lee.”

Di sisi lain, jawaban Sai tadi membuat Chouji sukses cengar-cengir, karena tampaknya dia telah menemukan siapa manitonya.

Nggak lama kemudian, Shikamaru bergabung di titik kumpul. Disusul dengan Lee dan Shino yang menuntun sepeda mereka, serta ada Kiba yang berjalan beriringan dengan Akamaru.

Rock Lee langsung heboh bikin pengumuman. “GUYS! Kayaknya Shino adalah manito gue deh!!”

“Yaelaaah dibilang juga bukan Lee, jangan maksa.” balas Shino sambil mengelak.

Shikamaru yang sudah duduk di sebelah Sai menimpali karena penasaran, “Emang kenapa lo mikir gitu Lee?”

“ITU LOH. Gue kan ngajak manito sepedahan bareng, terus sore ini liat dah! Cuma Shino kan yang nongol pake sepeda!!” jelas Lee.

Para bujang lainnya yang mendengarkan juga merasa kalau itu alasan yang masuk akal. Tapi akan sangat obvious kalau ternyata betulan Shino yang menjadi manito Rock Lee.

“Hadeh, enak bener lu udah bisa nebak Lee.” Kiba angkat bicara sambil mengimplikasikan kalau dia belum menemukan siapa yang mengirimnya menfess tadi sebelum sampai di Central Park. “Gue ngajak manito jalan-jalan sore bareng Akamaru, lah tapi yang jalan bareng Akamaru sekarang kan banyak, ga satu doang.”

“HAHAHA GIMANE SI.” Naruto dan Chouji langsung tergelak.

Di tengah huru-hara tersebut, Rock Lee yang mendapati Chouji sedang mengunyah camilan bertanya, “EH BRO CHOUJI. ENAK NGGAK SNACK NYA??”

“Enak Lee!” Chouji tersenyum miring sambil mengacungkan jempolnya.

Waktu semakin berlalu ditemani obrolan-obrolan ringan yang dilontarkan oleh para bujang. Pun disertai dengan guyonan dan ejekan klasik yang biasa ditujukan untuk Naruto atau Kiba karena mereka banyak aksi, aksi aneh pula.

Mereka bilang kalau ternyata seru juga ngumpul tanpa teman-teman cewek mereka, kalo kata Shikamaru sih dia jadi lebih bisa ‘seenaknya sendiri’ tanpa ada yang ‘bossing around’. Meskipun tawa dan lengkingan suara dari teman-teman cewek mereka nggak luput mereka rindukan juga, padahal baru sebentar, tapi rasanya tetap seperti ada yang kurang.

Kiba yang sempat diroasting habis-habisan perihal dirinya yang punya gebetan lebih dari satu karena menebar jaring kemana-mana kemudian menajamkan indera penciumannya. Dia merasakan harum semerbak yang memasuki hidungnya waktu seseorang datang untuk ikut bergabung.

“Guys sori baru gabung, udah pada mau bubar yak?”

“BRO IJEN!!”

Naruto langsung menghamburkan dirinya untuk menyambut Neji sebagai oknum yang baru datang tersebut dengan sebuah pelukan dari samping tubuhnya.

“Selow Ji, masih banyak waktu. Gih sana kalo mau jogging.” itu Shikamaru yang bilang.

Kiba melangkah untuk mendekatkan diri ke Neji, lalu tangannya meraih rambut panjang cowok itu yang aromanya sempat mengusik hidungnya. “Buset! Wangi bener ini rambut lo, habis keramas pake shampoo sebotol apa gimana?? Apa habis nyalon??”

“HAHAH ANJIR TAPI IYA WANGI BANGET.”

Neji sih dengan santainya mengedikkan bahu dan cengengesan. Saking wanginya, Shikamaru sampai tanya ke Neji perihal shampo apa yang dia pakai supaya rambutnya wangi dan nggak rontok, apalagi Shikamaru ini lanangan berambut gondrong juga seperti Neji. Mereka cukup lama berdiskusi perihal shampo dan perawatan rambut, tapi nggak semua orang tergabung dalam topik betapa lembut dan wanginya rambut Neji seperti habis perawatan di salon itu sih.

“Brodi, entar kita makan dimane ini enaknya?” Naruto bertanya dan otomatis topik pembahasan berubah dari rambut Neji ke dinner plan mereka nanti malam.

“Tempat biasa pada bosen ga sih?” Tempat biasa yang Sai maksud adalah warung nasi dengan lauk serba ada dan tempat super nyaman.

“Bebas sih gue yang penting pet friendly, noh ada si Akamaru.” kata Shino menimpali.

“YOWES PIKIR AE LAGI ENTAR! GUE MAU JOGGING LAGI! BETEWE ENTAR SASUKE MAU NYUSUL JUGA. BYE!”

Dengan kembalinya Naruto ke jogging track yang diikuti oleh Neji dan Sai, Shino & Lee yang muter-muter lagi naik sepeda, serta Kiba (yang sepaket dengan Akamaru) dan Chouji yang jalan-jalan santai lagi, menjadikan Shikamaru tertinggal sendirian. Cowok itu memilih untuk merebahkan dirinya di atas rerumputan dan mengambil ponselnya, berniat untuk ngechat Ino.

Tapi notifikasi panggilan tak terjawab dan beberapa chat whatsapp dari Mamah Yoshino menunda niat Shikamaru sebelumnya untuk ngechat Ino. Dan membuat dahi Shikamaru membentuk sebuah kerutan yang dalam.

Sore menjelang petang memang waktu yang paling pas untuk bersantai. Ditemani alunan lagu-lagu romantis yang dinyanyikan oleh street artist dan semilir angin yang berhembus membuat Shikamaru berfikir agaknya tidak buruk juga kalau semisal dia betulan menyampaikan sesuatu yang sudah dia ingin beri tahu Ino sejak dulu.

Dia sudah membulatkan tekadnya dan mengumpulkan nyali yang sebesar-besarnya untuk menyatakan perasaannya kepada Ino. Sudah cukup dengan banyak kesempatan yang dia buang sia-sia. Kali ini, Shikamaru enggan melangkah mundur.

“Ino—“

“Shika—“

“Eh?”

Pandangan yang semula difokuskan ke arah depan kini bertemu satu sama lain, kemudian terdengar gelak tawa keduanya di tengah kerumunan manusia yang bising, sebab tidak menyangka nama mereka akan saling disebutkan secara bersamaan.

Tepat saat Shikamaru selangkah lagi akan menyatakan perasaannya untuk Ino, perempuan itu berhasil membuat kalimat pernyataan cinta jadi tertunda untuk dikeluarkan.

Shikamaru memilih memberi Ino kesempatan terlebih dahulu untuk berbicara. “Ladies first. Kenapa, Ino?”

It’s just… Hehe, gue mau cerita.”

Shikamaru dapat merasakan gelagat Ino di sampingnya yang menunjukan gestur-gestur keraguan disertai semburat merah di kedua pipinya. Kalau bukan karena sifat sahabat perempuannya yang biasanya blak-blakan dan tidak tahu malu, Shikamaru tidak akan merasakan debuman kencang di hatinya karena melihat Ino berperilaku kebalikannya.

Ingatkan Shikamaru untuk tidak merasa kelewat percaya diri dan berpikir kalau semburat merah di wajah Ino adalah ulahnya.

“Cerita lah, I am listening.”

Dengan satu tarikan nafas, Ino bilang cepat-cepat, “Shikamaru, I think I’ve found a love.

Kini kecepatan jantung Shikamaru terasa semakin dipercepat akibat pacu yang Ino berikan lewat kalimatnya. Lelaki itu tidak berekspektasi Ino akan mengangkat pembicaraan tentang cinta. Ketika dirinya yang sudah siap untuk menyatakan cintanya, Ino sudah lebih dahulu menggeret topik serupa di antara mereka.

Shikamaru belum tahu tentang rincian seperti apa yang akan Ino berikan selanjutnya tentang gagasan tersebut, yang jelas, Shikamaru berharap perempuan itu menemukan cinta dalam sosok dirinya—sosok Shikamaru Nara.

“Oh ya? Ketemu dimana?” Shikamaru memberanikan diri untuk bertanya dengan keringat yang mulai berkumpul di pelipis.

Namun senyum merekah yang menyertai jawaban Ino membuat Shikamaru merasa terlempar dari langit kesembilan ke permukaan tanah. Menghantam keras-keras permukaannya sampai rasanya begitu sakit.

“Namanya Sai. We met last December, di salah satu art exhibition in Konoha. Ternyata dia kurator nya.”

Oh…

Wah…

Sial…

Entah siapa Sai yang namanya Ino sebutkan dengan nada penuh kagum ini, tetapi jika Shikamaru bisa berhadapan langsung dengan pria itu dan berteriak sambil menghujani sumpah serapah karena telah membuat Ino-nya jatuh cinta kepadanya, Shikamaru akan melakukannya pada saat itu juga.

Tapi bukan salah Sai jika lelaki itu bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa Shikamaru lakukan.

Fuck it, bahkan Shikamaru belum sempat mencoba untuk membuat Ino jatuh cinta kepadanya. Semua yang selama ini Shikamaru telah lakukan adalah membuat Ino mendengus kesal, marah, emosi, bahkan menangis akibat lontaran sarkas yang lelaki itu lemparkan pada Ino, atau singkatnya karena menganggap Ino sebagai seorang yang merepotkan.

Mengingat itu, Shikamaru tersenyum miris. Menyadari kalau semua yang dia lakukan tidak akan membuat Ino jatuh cinta dengannya.

Well, Shikamaru never thought to make her fall in love with him either, only recently when he couldn’t think of anyone other than Ino whom he should give his love to and make her love him back.

Tapi semuanya sudah terlambat. Shikamaru sudah kehilangan kesempatan untuk menyatakan cinta kepada sahabat perempuannya.

Di sampingnya, Ino mencoba mengembalikan fokus Shikamaru yang sempat hilang entah kemana karena disapu kemelut, “Shikamaru! Do you hear me?? Males ah!”

Terperanjat, Shikamaru menoleh, “Eh sorry. Lo bilang apa??”

“Gue mau lo ketemu Sai!” Ino dengan permintaan bossy-nya seperti biasa membuat Shikamaru ingin merotasikan bola matanya, namun nada perempuan itu terdengar melembut di kalimat selanjutnya, “Hmm, maksud gue… gue mau kalian berdua kenalan gitu, Chouji udah gue kenalin ke Sai. Lo ada waktu kapan?”

Pahitnya amerikano dingin yang Shikamaru sedot habis beberapa saat lalu kembali muncul dan kini mendominasinya. Bagaimana bisa Chouji tidak memberi tahu Shikamaru tentang kabar ini? Setidaknya Shikamaru tidak harus merasakan patah hatinya secara langsung di hadapan Ino.

Teralalu menyedihkan.

Senyum Ino yang diakibatkan oleh antusiasmenya selalu terlihat manis, tapi Shikamaru tidak suka dengan fakta bahwa senyuman itu terbentuk dengan Sai yang ada dipikiran perempuan itu, bukan dirinya.

Hal itu membuat Shikamaru sangat sulit menyanggupi permintaan Ino barusan. Telinganya tiba-tiba diserang dengungan hebat, Shikamaru tak sanggup mendengar bagaimana perempuan di sampingnya kembali menceritakan tentang si pujaan hati yang baru ditemukan.

Ternyata dia salah. Shikamaru tidak menyangka bahwa selama satu tahun, telah terjadi banyak perubahan yang tidak dia antisipasikan. Mungkin hanya dia yang tidak sadar akan kemungkinan-kemungkinan perubahan itu.

Sekarang, Shikamaru harus apa? Agak akan kurang apik jika dia menyuarakan patah hatinya di hadapan Ino yang sedang berbahagia. Maka Shikamaru hanya mampu tersenyum, berharap agar Ino sedikit melihat kalau dia sedang tidak baik-baik saja.

Tapi kalau boleh egois, Shikamaru hanya ingin harapan agar Ino balas mencintainya menjadi nyata.

Atau… haruskah Shikamaru mengakhiri cerita tentang perasaannya yang tak terbalas dan cintanya yang sepihak itu?

In that very moment, Shikamaru begins to learn that some matters are meant to be passed over in silence. So are his abundant amount of his feelings towards the woman he’d always love.

Shikamaru memutuskan untuk tetap menyimpannya sendirian, tanpa menuntut untuk dibalaskan.

Shikamaru berusaha menahan diri untuk tidak menggerutu. Menunggu Ino yang terlambat menjemputnya saja sudah sangat merepotkan, maka ketika Shikamaru tahu perempuan itu berada di titik penjemputan yang salah, Shikamaru rasanya ingin collapse saja.

Namun karena Ino yang ada di sana, Shikamaru urungkan niatnya. Karena tentu saja, Ino adalah salah satu orang yang paling lelaki itu ingin temui sekarang juga. Untuk Ino, Shikamaru rela membelah kerumunan manusia yang cukup padat di bandar udara Konoha siang itu untuk menuju ke exit gate B, di mana Ino sedang menunggunya.

Kedua matanya langsung menangkap sosok berambut pirang yang surai panjangnya diikat tinggi-tinggi dan berdiri beberapa belas langkah dari tempat Shikamaru berada. Sedangkan perempuan itu sendiri masih menunduk sambil memfokuskan pandangannya ke layar ponsel yang ada di genggaman tangan.

Bukan cuma Konoha yang tidak berubah, tapi Ino juga. Di tengah kerumunan manusia, Ino selalu bisa menjadi yang paling bersinar di antara mereka.

Shikamaru mengulas senyum kemudian menghentikan langkahnya sejenak dan berseru, “Ino!”

Lantas perempuan itu mengangkat kepalanya, memberikan Shikamaru sebuah senyum dengan sepasang matanya cerulean yang bersinar terang. Ino tidak segan berlari ke arah Shikamaru kencang-kencang. Paham apa yang akan dilakukan perempuan itu selanjutnya, Shikamaru bersiap untuk menangkap Ino itu yang lari ke pelukannya.

“Shikamaru!” Ino memekik senang ketika Shikamaru berhasil menangkapnya, kemudian mendekap lelaki itu erat.

Sambil terkekeh, Shikamaru mengangkat tubuh Ino dan berputar ketika perempuan itu masih ada di dalam dekapannya. Aroma lavender dari tubuh Ino semakin menyeruak hidung Shikamaru, aroma yang paling dia rindukan selama setahun kebelakang.

Welcome home, Shikamaru!” Ino menghadiahi kecupan di pipi Shikamaru, membuat wajah pria itu memanas.

Kecupan itu juga yang membuat Shikamaru sudah lupa kalau sebelumnya dirinya sempat menaruh sedikit kesal kepada Ino karena kebodohan perempuan itu.

“Ck, thanks Ino.” Shikamaru berdecak melihat gelagat yang sama seperti setahun yang lalu, tampaknya setahun bukanlah waktu yang lama untuk memberikan perubahan-perubahan pada seseorang. “Thanks juga udah buat gue nunggu sambil bengong kelamaan karena lo salah jemput gue.”

“HAHAHA maaf, sumpah! Gue nggak fokus kayanya waktu baca chat lo.”

Clumsy as always ya ceritanya?”

“Huft! Nah sebagai permintaan maaf gue, ayo kita nge-sushi. My treat!

Tanpa disuruh dua kali, Shikamaru mengiyakan dan membiarkan Ino membawanya ke their go to sushi house. Keduanya duduk berhadapan yang dipisahkan oleh sebuah meja, di sana Ino mulai menceritakan banyak hal yang telah Shikamaru lewatkan selama satu tahun.

Shikamaru mendengarkan cerita Ino dengan seksama. Di antara keduanya, peran Shikamaru sedari dulu adalah menjadi pendengar dan ia sama sekali tidak keberatan. Semerepotkan apapun mendengar Ino bercerita dengan mata yang berbinar-binar itu, Shikamaru rela menjadi pendengar yang baik meski tetap sambil menggerutu.

Di setiap cerita yang Shikamaru dengar siang itu, rahang nya dibuat pegal karena terlalu banyak tersenyum. Namun bukan cerita-cerita itu yang membuatnya tersenyum, melainkan si pendongeng.

“Terus tuh, semenjak lo ngerantau kan Chouji punya pacar, jadinya temen main gue cuma Mamah Yoshino, Mama Akimichi, sama Mami gue tau! Lo parah banget ninggalin gue sendirian ke grup ibu-ibu komplek.” Ino menyemburnya dengan rentetan kalimat protes yang terlihat menggemaskan di mata Shikamaru.

“Yang tahun lalu nolak kesempatan buat dimutasi juga ke Suna terus malah resign dari perusahaan siapa coba? Kalo lo ga nolak, kita berdua bakal tetep barengan di Suna.”

Kemudian Ino nyengir mengingat keputusannya tahun lalu dimana Tsunade memerintahkan Shikamaru dan Ino untuk dimutasi ke kantor cabang yang berada di Sunagakure. Ino merasa hatinya terlalu berat untuk meninggalkan tempat kelahirannya, apalagi ketika perempuan itu telah punya keputusan lain yaitu resign tidak lama setelahnya untuk menekuni bisnis flower shopnya, sehingga mau tidak mau Shikamaru berangkat ke Sunagakure sendirian.

Begitu berbagai jenis sushi yang mereka pesan telah dihidangkan, Ino bertepuk tangan antusias. Sedangkan Shikamaru geleng-geleng kepala saja melihat tingkah perempuan itu, melihat betapa gesture itu tak pernah lupa Ino lakukan waktu makanan enak ada di depan matanya.

Meskipun ditemani percakapan yang minim ketika keduanya menyantap sushi mereka, suasana sama sekali tidak canggung. Saling mengenal dengan baik sejak masih kecil menjadi keuntungan bagi Shikamaru dan Ino meskipun keduanya berada tengah sunyi, tidak ada yang perlu berusaha keras untuk mengusir kecanggungan.

“Habis ini mau langsung gue anter pulang? Atau mau kemana dulu?” tanya Ino usai meneguk gelas ocha terakhirnya.

Pulang ke rumah artinya berpisah dengan Ino untuk hari ini. Dan Shikamaru merasa waktu yang dia habiskan hari ini dengan perempuan itu belum lah cukup. “Kemana dulu, yuk? Gue masih pengen muter-muter Konoha.”

“Mamah nggak nyariin emang?”

Shikamaru menggeleng, “Gue udah bilang kalau mau jalan sama lo dulu kok.”

Satu cengiran terbentuk di wajah Ino, “Yeay! Okay! Gue bakal culik lo seharian.”

Dengan menggandeng tangan Shikamaru, Ino membawanya keluar dari sushi house dan sepakat untuk melanjutkan perjalanan mereka ke destinasi lainnya dengan langkah-langkah mereka sendiri.

Hari pertama bekerja di perusahaan baru Ino lewati dengan serangkaian onboarding atau orientasi sebagai karyawan baru agar bisa beradaptasi dan mengenal lebih dalam seluk beluk perusahaan tersebut sebelum ngehandle load kerja yang akan diberikan di kemudian hari.

Sejauh ini, Ino merasa enjoy saja mendengarkan pemaparan dari setiap sesi orientasi masing-masing departemen milik karyawan baru yang biasanya diwakilkan oleh manager mereka. Meskipun sesi departemen Ino baru dimulai setelah jam makan siang, Ino tetap fokus dan sialnya ikut merasa pusing juga waktu departemen IT yang bahas bahasa pemrograman itu memaparkan sesinya karena background Ino sendiri bukan disitu.

Bersosialisasi dengan orang baru bukanlah suatu hal yang menyulitkan buat Ino. Di hari pertamanya masuk kerja, dia sudah lumayan dekat dengan beberapa karyawan baru lainnya seperti Sai anak UI Designer, Tenten anak Data Scientist, dan Kiba anak Cyberforce. Selain karyawan baru, Ino juga sudah cukup dekat dengan Sakura si anak HRD yang menemani proses rekrutmen nya dari awal screening CV sampai orientasi sekarang. Selain mereka, tentu saja ada Shikamaru sebagai staff Business Development perusahaan tersebut, teman Ino dari orok yang sudah bekerja di perusahaan itu selama 2 tahun.

Ino yakin semuanya akan berjalan dengan lancar, tapi keyakinannya langsung roboh setelah jam makan siang selesai. Dia beserta karyawan baru lainnya sudah kembali ke ruang orientasi untuk menunggu sesi pemaparan selanjutnya. Karena selanjutnya adalah sesi pemaparan departemen Finance milik Ino, cewek itu entah kenapa jadi super nervous.

Pacuan jantungnya semakin dipercepat ketika Sakura memasuki ruangan, nggak sendirian. Di belakang Sakura HRD ada sosok yang sedang menenteng MacBook nya sambil berjalan tanpa melihat ke arah lain selain ke depan. Sosok itu langsung Ino asumsikan sebagai perwakilan dari departemen Finance. Tapi sialnya, Ino merasa dia mengenal sosok laki-laki yang rambutnya panjang dan diikat rendah itu, dia merasa pernah melihat tajamnya sepasang manik legam itu.

Khawatir dirinya sedang berhalusinasi, Ino langsung meraih tumblr nya untuk diminum. Dan pada saat itu juga Sakura bersuara, “Siang temen-temen. Di sini sudah ada Mas Itachi selaku manager finance yang bakal ngisi sesi siang ini yaa.”

“Uhuk!” karena merasa ditampar oleh realita yang bikin Ino kaget bukan main, dia terbatuk ketika berusaha menelan air yang dia minum.

Otomatis hal itu mengundang seluruh atensi di ruangan. Nggak terkecuali atensi dari si Manager Finance yang sekarang sepasang matanya sudah membulat.

Bukan sekali dua kali Itachi berada di spa house yang dia kunjungi hari ini. Sebab dia jadi langganan supir pribadi maminya setiap kali beliau punya appointment untuk melakukan treatment di sana. Makanya waktu di meja resepsionis, mba-mba yang bertugas di sana sampai hafal dengan wajah Itachi dan dia langsung diarahkan ke ruang tunggu VIP sebelum memulai treatment pijat refleksinya.

Itachi santai saja menyeruput teh camomile yang disediakan sambil buka-buka majalah. Itachi lumayan senang karena kebetulan hari ini dia work from home dan nggak begitu banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Eh ternyata kesenangannya itu nggak berlangsung lama, ponselnya bergetar dan menunjukan panggilan masuk dari salah satu rekan departemen kuangan di kantornya, Samui.

“Iya Sam, gimana?”

“Mas, mau kasih reminder aja 30 menit lagi kita ada meeting ya di kantor.” kata tanya Samui dari seberang sana.

Astaga. Itachi harus memejamkan matanya dan menghela nafas berat karena gagal sudah rencananya buat melemaskan otot-otot yang sudah tegang lewat pijitan mas-mas spa. Tapi salahnya juga sih dia sampai hampir lupa. Meskipun meeting yang nanti akan dia hadiri bukan agenda meeting yang urgensinya besar, tetap saja, Itachi harus hadir.

Mau nggak mau dia harus cancel appointment nya di spa-house tersebut hari ini dan menjadwalkannya ulang untuk hari lain.

Bertepatan waktu Itachi masuk lagi ke mobilnya, di saat itu lah matanya menangkap pengunjung spa lain yang berjalan untuk memasuki gedung tersebut. Yang bikin Itachi cukup lama mengamati adalah fakta bahwa pengunjung itu berambut panjang dan pirang. Itachi langsung terpikir dengan seseorang yang bahkan belum pernah dia temui langsung.

Niatan untuk nyamperin pengunjung itu memang ada sih, namun Itachi sudah dikejar waktu. Sehingga dia harus segera menancapkan gasnya menuju ke kantor dan membuang niatannya tersebut jauh-jauh.

Dan see you tomorrow yang Itachi janjikan nggak pernah datang setelah tiga hari berikutnya. Selama tiga hari itu juga, Ino dengan sabar menunggu notifikasi bumble masuk dari lelaki itu. Ino bisa saja sih mengirim pesan duluan, tapi karena gengsi, nggak dia lakukan. Apalagi sekarang, Shikamaru yang sekarang makan malam bersamanya dan Chouji sedang mengolok-olok Ino karena terlalu berharap dengan lelaki yang perempuan itu temui di aplikasi kencan.

“Bacooot. Udah diem kenapa sih! Nggak capek lo ngeledek gue terus???” Ino semakin sewot ketika Shikamaru mengutarakan daftar pro dan kontra (yang kebanyakan narasi kontra) tentang apalikasi kencan.

“Lagian ngapain lo ngarep sama cowok dari sana sih?? Yang pasti-pasti aja lah.” timpal cowok itu.

“Yang pasti-pasti aja tuh maksudnya apa?? Lo gitu??”

Chouji hampir tersedak daging yang sedang dia kunyah karena nggak bisa menahan tawanya. “HAHAHA aduh! Kenapa si kalian berantem mulu.”

Ino melengos kemudiam menunjuk-nunjuk Shikamaru yang ada di sebelahnya. “Ya dia ini loh! Nggak supportive banget jadi temen.”

“Gue bakal supportive kalo itu masuk akal! Baru aja kenal sama chat beberapa jam, lagaknya udah ngarep dikabarin 24/7 seakan-akan lo ini istrinya cowok itu! Heh inget, kalian berdua itu masih strangers!”

Kalimat Shikamaru sukaes menohok hati Ino yang paling dalam. Perempuan ingin sekali menonjok Shikamaru karena kalau temannya itu sudah ngomong, nggak bisa difilter. Tapi kalau dipikir-pikir, omongan Shikamaru ini ada benarnya juga.

Ino jadi kepikiran sendiri, bisa-bisanya dia berharap notifikasi Itachi bakal datang lagi. Padahal mungkin lelaki yang di sana ingat padanya saja enggak.

“Hufft.” perempuan itu mendengus pada akhirnya, menilih untuk mengambi potongan daging dan menyuapkan nya ke dalam mulut sendiri tanpa selera.

Ya sudah lah, dengan begini Ino baru sadar kalau ada baiknya dia memikirkan tentang hari pertama masuk kerjanya di kantor baru beberapa hari lagi, daripada mikirin cowok bumble yang nggak jelas itu.

Pelaksanaan sidang dan musyawarah besar di hari kedua berjalan lebih santai dari hari sebelumnya. Perihal yang dibahas pun tidak dibiarkan dibahas sampai berlarut-larut demi keefektivitasan waktu. Meskipun ketika sesi pemilihan ketua himpunan baru lumayan menguras energi, tapi rasanya hal tersebut harus dilakukan agar mereka tidak salah pilih dan HIMAHI tidak jatuh ke tangan pemimpin yang salah, sebab ketua himpunan harus memiliki integritas yang tinggi.

Setelah melewati kurang lebih enam jam yang penuh diskusi dan perdebatan setelah tiga kandidat ketua himpunan baru memaparkan visi dan misinya, akhirnya pemilihan ketua himpunan periode berikutnya dilakukan dengan cara voting.

Konohamaru terpilih sebagai pemimpin yang telah disepakati mayoritas oleh forum, dan yang telah diberi mandat untuk menjalankan visi dan memenuhi misi HIMAHI dengan harapan bisa membawa organisasi untuk berkembang menjadi lebih baik lagi.. Berikut dengan keputusan forum sidang dan musyawarah dimana ketukan palu sebanyak tiga kali menandakan bahwa Laporan Pertanggungjawaban telah resmi diterima oleh forum.

Periode kepengurusan himpunan yang dipimpin oleh Shikamaru kini resmi berakhir.

Sepasang bahu milik semua pengurus inti yang selama ini dipasang untuk memikul tanggung jawab kini bisa diturunkan. Akhirnya, mereka diberikan kesempatan untuk bernafas tanpa ada rasa dikejar-kejar deadline ataupun hal lainnya yang memberatkan.

Sebelum acara tersebut dibubarkan, Shikamaru diminta untuk memberikan sepatah dua patah kata sebagai penutup dan closure. Mantan ketua himpunan itu berdiri di podium sambil memegang mikrofon, menjadi pusat atensi.

Shikamaru memilih untuk melihat lagi ke belakang, di mana rekan-rekan mantan BPH dan kepala departemennya berada. Rasa bangga, bahagia, dan terharu membuncah dan mendominasi rongga dada Shikamaru ketika dia memandangi mereka satu persatu secara bergantian. Ada berbagai macam ekspresi yang dia temukan, namun ada satu emosi yang sama yang terpatri di wajah mereka masing-masing.

Sebuah rasa lega.

“Aduh, setelah saya lihat satu persatu rekan-rekan saya, saya jadi lupa mau ngomong apaan.” Shikamaru terkekeh setelah kembali menghadap para audiens. Kalimatnya barusan juga direspon dengan gelak tawa yang bersumber dari para audiens dan beberapa orang yang ada di belakangnya.

“Yaudah, singkat aja kali yaa,” dia menarik nafas, lalu mengembuskannya sebelum melanjutkan kalimatnya, “Satu tahun itu adalah waktu yang panjang. Dan selama waktu yang panjang itu, saya berkesempatan dan dipercayai oleh kalian semua untuk memimpin HIMAHI. Dulu sebelum saya resmi dilantik sebagai pemimpin, saya nggak yakin bakal bisa melangkah sejauh ini dan berdiri di tempat dimana saya sekarang berpijak. Semua itu nggak lepas dari kontribusi rekan-rekan di belakang beserta staff di depan saya yang super hebat. Kita bisa sampai sejauh ini ya karena kita melangkah bersama—saling menjaga, saling membantu, saling memberi tempat yang nyaman untuk berkolaborasi…”

Shikamaru menjeda sejenak kalimatnya, membiarkan dirinya buat menerima riuhnya tepuk tangan dari para audiens dan beberapa celetukan kata yang isinya pujian untuknya dari rekan-rekan yang ada di belakang.

“Jangan nangis Shiiik!”

Entah Naruto tahu darimana dampai mantan wakahimnya menyeletuk begitu, dan di sebelah Naruto bahkan sudah ada Sai dengan kamera nya sedang standby merekam speech terakhir Shikamaru. Nyatanya, mata Shikamaru kini betulan memanas dan sedang dia tahan supaya nggak mengeluarkan air mata.

“Ck.” dia berdecak dan terkekeh sebentar.

“Pokoknya, semua pencapaian kita semua nggak terlepas dari kerjasama tim yang hebat. Terima kasih banyak telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran kalian untuk HIMAHI tercinta. Semoga kalian bisa berproses dan belajar dari apa yang kalian lihat selama di sini, yang jelas APBN ya, aliat ambil positif buang negatifnya.”

“Terakhir, kami mohon maaf apabila banyak yang kurang entah itu dari cara saya, Naruto, dan para kepala departemen memimpin, approach kalian, dan hal-hal lainnya. Sekali lagi, terima kasih banyak!”

Shikamaru menutup speech singkatnya dan berbalik untuk bergabung dengan barisan rekan-rekan mantan pengurus intinya.

Setelah itu, rangkaian agenda sidang dan musyawarah resmi berakhir. Para audiens tamu undangan berangsur-angsur keluar dari ruangan dan meninggalkan ketigabelas mahasiswa itu di dalam ruangan tersebut.

Mereka membentuk sebuah lingkaran besar dan saling menatap satu sama lain.

“Widih, ciye banget udah demisioner!” Naruto berseru dengan jumawa.

“Jadi… ini semua udah berakhir ya?” masih diselimuti rasa ketidakpercayaan, Ino melempar pertanyaan retoris tersebut.

“Perjalanan kita di HIMAHI emang udah selesai, tapi bukan berarti kita bakal stop berkembang.” kata Neji bijak.

Ketigabelas mahasiswa tingkat akhir tersebut mengangguk pertanda setuju. Setelahnya, entah siapa yang memulai, lingkaran yang terbentuk semakin mempersempit celah jarak mereka dan menghambur untuk melakukan pelukan yang disusul oleh tangis mereka yang pecah.

Tangisan yang diwarnai dengan rasa syukur untuk menutup bagian terakhir dari perjalanan mereka selama berproses bersama di sebuah organisasi kemahasiswaan.

Untuk kalian yang sudah mau berjuang sampai sejauh ini, terima kasih atas kerja kerasnya! Semoga keringat, air mata, dan tawa yang dikeluarkan selama satu tahun akan membuahkan hasil yang baik.

Agenda pemaparan laporan pertanggungjawaban dimulai kembali. Departemen SOR membuka sesi presentasi dan berhasil menyelesaikannya dengan lancar. Namun yang menjadi masalah adalah kurangnya antusias dan atensi dari para audiens musyawarah besar terhadap sesi pemaparan yang dilaksanakan setelah waktu istirahat ini.

Maklum saja, karena hari sudah malam dan pastinya energi mereka sudah banyak terkuras. Meskipun begitu, departemen SOR tetap menerima banjiran pertanyaan dan feedback terutama dari Deidara selaku kepala departemen SOR periode sebelumnya. Untung saja, Lee bisa menjawab semua pertanyaan tersebut sehingga sesi nggak berjalan dengan alot seperti sebelumnya. Begitu pula ketika departemen PDD memaparkan laporannya, Sai menerima banyak pujian dari Sasori selaku kepala departemen PDD periode sebelumnya atas inovasi-inovasinya selama setahun kebelakang ini.

Kini giliran Shikamaru dan Naruto yang akan memaparkan presentasi lapran pertanggungjawaban mereka sebagai ketua dan wakil ketua himpunan. Di jajaran tempat duduk para audiens, mereka sudah kelihatan kuyu dan mengantuk. Shikamaru nggak tahu harus bagaimana untuk membuat mereka merasa segar lagi, yang ada di pikirannya sekarang hanya menyelesaikan sesinya sesegera mungkin sehingga mereka bisa pulang tanpa kemaleman.

Namun, di tengah sesi pemaparan Shikamaru dan Naruto, terdengar sebuah suara yang menginterupsinya.

“Interupsi, presidium.”

Suara itu datang dari seorang senior berkacamata dan berambut silver—yang duduk di barisan paling belakang.

Jujur saja, Shikamaru lumayan geram. Dia nggak suka kalau ada yang memotong perkataannya apalagi dalam sesi presentasi formal seperti ini. Apalagi Shikamaru merasa nggak ada yang salah dengan cara dia memaparkan presentasi sampai harus diinterupsi seperti itu.

C akhirnya melirik ke arah Shikamaru dan mendapati ketua himpunannya yang mengangguk sebelum menerima interupsi dari senior nya itu. “Interupsi diterima. Silakan, Kak Kabuto.”

Kabuto ini senior mereka yang pernah menjabat sebagai kepala departemen akademia di periode kepengurusan Yahiko atau periode sebelumnya. Tapi selain HIMAHI, Kabuto ini juga termasuk salah satu jajaran staff BEM Universitas Konoha. Pokoknya dia ini si paling organisasi deh.

“Sori nih sebelumnya, kalian yakin mau nerusin presentasi dengan kondisi yang udah nggak kondusif gini?” Kabuto angkat bicara sambil membenarkan letak kacamatanya, “Kalian sadar gak kalo audiens udah nggak fokus? Nguap bolak-balik, sama sekali nggak menghargai yang berbicara di depan. Apalagi maba tuh! Bisa-bisa nya malah tidur!”

Teguran itu membuat mereka secara langsung melihat ke maba yang tertidur itu karena ditunjuk-tunjuk oleh Kabuto. Salah seorang maba lainnya harus sampai mengguncang tubuh temannya supaya terbangun.

Shikamaru hendak menjawab teguran tersebut namun lagi-lagi, Kabuto nggak memberikan kesempatan, malah cowok itu semakin mencecar. “Kok bisa sih, ada maba yang sampe ketiduran?? Sama sekali nggak ngehargain kahim nya, ini kahim loh yang lagi presentasi. Atau emang kahim nya nggak pantes buat dihargain??”

Mata Shikamaru langsung berkilat nyalang seketika. Apa yang barusan Kabuto bilang barusan sudah bukan lagi termasuk ke kritik yang membangun, namun sekedar kalimat yang merendahkan. Kalau sudah begini, ketahanan emosi Shikamaru artinya sedang diuji.

“Sori bang, kami terima kritik dari Anda. Tapi apa perlu anda sampai ngeluarin kalimat yang merendahkan saya seperti itu?”

Kalimat dingin Shikamaru langsung membuat rekan-rekannya jadi tegang. Terutama Naruto yang bingung harus meresponnya seperti apa dan Ino sudah menggigit bibir bawahnya, cewek cuma bisa berharap supaya Shikamaru bisa meredam emosinya.

“Lagian, lo emang kelihatan seperti kahim yang nggak patut untuk dihargai. Coba lihat tuh, rekan kadep lo lengkap gak di depan?? Rekan lo aja ga ngehargain lo, apalagi yang cuma maba!”

Mendengar itu Naruto langsung menghitung cepat jumlah rekan-rekannya karena Shikamaru masih menatap tajam ke arah Kabuto. Setelehnya, Naruto berbisik kepada Shikamaru, “Shik, Kiba nggak ada.”

Shikamaru memejamkan matanya. Dia tahu kalau Kiba memang kayak anjing, tapi Shikamaru nggak tahu kalau Kiba bisa jadi seanjing ini, di waktu yang nggak tepat pula.

Sebelum argumen semakin memanas, Yahiko sudah bangkit dari tempat duduknya, berusaha untuk menengahi sengketa yang terjadi. “Udah, ini cuma perihal klasik, gausah dibahas sampe berlarut-larut, apalagi sampe berantem dan ngehambat jalannya mubes. Kabuto, makasih buat kritiknya, gue rasa lo gaperlu sampe merendahkan orang lain. Dan kalian, adek-adek gue, tolong catet kritik untuk permasalahan yang baru aja terjadi, jangan sampe diulangi lagi. Terakhir, anak operasional, cari kadep lo sekarang dan suruh Kiba menghadap ke gue secepatnya!”

Dengan begitu, helaan nafas terdengar dari beberapa orang, mereka bersyukur karena Yahiko bisa meredam konflik yang sempat terjadi. Sedangkan Kabuto sendiri memilih untuk keluar dari forum. Dan sebelum Shikamaru dan Naruto melanjutkan sesi pemaparan mereka, sang ketua himpunan angkat bertanya kepada audiens. “Jadi ini mau dilanjut malem ini aja atau besok?”

Pertanyaan itu merupakan sebuah opsi yang harus para audiens pilih. Mayoritas audiens yang hadir memilih agar Shikamaru dan Naruto lanjut memparkan laporan mereka. Katanya sih tanggung, toh Shikamaru dan Naruto adalah yang terakhir buat malam ini. Sehingga agenda musyawarah besar besok bisa difokuskan hanya untuk sesi pemilihan dan pengambilan suara untuk ketua himpunan periode berikutnya.

“Baik, kalau begitu saya mohon perhatiannya. Terima kasih.” Kata Shikamaru sebelum melanjutkan presentasinya.

Untunh saja sesi pemaparan berjalan dengan lancar. Beberapa feedback dan pertanyaan klasik seperti apa hambatan terbesar selama keduanya bekerja sama memimpin himpunan bisa dijawab oleh Shikamaru dan Naruto dengan baik, kata keduanya sih hambatan yang paling signifikan adalah masalah loyalitas, SDM para anggota, serta branding organisasi. Selain memaparkan hambatannya, Shikamaru dan Naruto juga menambahkan beberapa possible solutions yang bisa dicatat sebagai bekal untuk kepengurusan periode selanjutnya.

Pada akhirnya, agenda musyawarah besar hari pertama resmi selesai dilaksanakan ketika pimpinan sidang mengetuk palunya tepat pada pukul sepuluh lewat limabelas malam.

Naruto pada akhirnya berhasil memarkirkan mobilnya sehingga briefing bisa dimulai. Neji diperintahkan oleh Shikamaru untuk memimpin doa agar jalannya musyawarah besar hari ini lancar.

Setelah itu mereka semua menuju ke ruangan yang akan digunakan untuk prosesi sidang dan musyawarah besar. Di sana sudah ada audiens dari kelompok mahasiswa HI beserta alumni yang diundang. Beberapa waktu yang tersisa mereka gunakan untuk saling menyapa dan ngobrol singkat, kemudian para jajaran Badan Pengurus Harian dan Kepala Departemen menempati bangku masing-masing yang terletak di depan, menghadap ke arah para staff himpunan lainnya dan audiens.

Shikamaru menerawang ke depan, di dalam benaknya masih ada perasaan nggak menyangka kalau akhir periode kepengurusannya sudah ada di depan mata. Bahkan Shikamaru masih ingat bagaimana setahun lalu dia masih cemas akibat tekanan menjadi kandidat ketua himpunan. Sekarang, Shikamaru masih cemas, namun kecemasan itu punya alasan yang berbeda dengan kecemasannya setahun lalu.

Shikamaru cemas karena dia takut nggak bisa memberikan kontribusi dan nilai-nilai yang baik untuk organisasi, untuk rekan seperjuangannya di organisasi, juga untuk rekan mahasiswa. Shikamaru cemas karena dia takut nggak bisa melindungi rekan-rekan nya pada saat mereka mendapat kritikan, bahkan pertanyaan-pertanyaan yang konteksnya hanya ingin menjatuhkan mental mereka.

Naruto seperti bisa melihat kemelut yang dirasakan oleh ketuanya, sehingga dia beranjak dari tempat duduknya dan berdiri di belakang Shikamaru sambil memberikan pijatan asal di kedua bahu pak ketua. “Asem banget muka lo, Pak! Gue takut anjir liatnya, biasanya kan lo santuy banget.”

Shikamaru masih terdiam, sebenarnya dia heran juga kenapa bisa secemas ini.

“Nih, gue salurkan energi positif gue biar muka lo nggak asem lagi!” celoteh Naruto lagi.

Kali ini Shikamaru berdecak, kemudian geleng-geleng kepala. Dia berharap bisa berpikir sepositif Naruto. Meskipun Shikamaru yakin, bocah oren itu juga diselimuti kecemasan yang sama dengannya.

“Semangat deh Nar!”

“GAUSAH NABOK JUGA KALI.” protes Naruto karena entah ada angin darimana, Shikamaru tiba-tiba menaboknya, pelan sih, tapi bisa cukup bikin Naruto oleng.

Shikamaru berniat untuk menghilangkan kecemasannya dengan menghampiri satu persatu rekan pengurus intinya. Shikamaru juga berharap kalau dia bisa menekan bahkan menghilangkan kecemasan yang dialami mereka dengan jabatan tangan dan rangkulan di bahu.

Selanjutnya, Shikamaru menghampiri pimpinan sidang yang mana adalah Sebastian atau biasa akrab dipanggil dengan C (Shi) selaku presidium. “Lima belas menit lagi kita mulai ya, yang hadir udah lebih dari kuorum.”

C mengacungkan jempol dan mengangguk, “Siap, Pak. Semoga lancar ya!”

Sidanh dan Musyawarah Besar akhir periode kepengurusan tahun 2022 resmi dimulai. Agenda tersebut diawali dengan pembacaan tata tertib, dilanjut dengan sambutan dari ketua departemen Hubungan Internasional (Prof. Tsuna), pembina himpunan (Pak Iruka), dan ketua himpunan yaitu Shikamaru sendiri.

Acara berlanjut ke sesi pembahasan dan evaluasi ADRT, dengan menganalisis hambatan-hambatan yang terjadi di periode tersebut sehingga hambatan itu bisa diminimalisir agar tidak terjadi di periode selanjutnya. Sesi tersebut memakan waktu cukup lama sebelum menuju ke evaluasi masing-masing departemen HIMAHI.

Presentasi yang dipimpin oleh kepala departemennya masing-masing berjalan dengan lancar di setiap sesinya. Mulai dari menjelaskan jobdesc departemen tersebut, pemaparan timeline program kerja berikut analisis faktor pendorong kesuksesan dan hambatan program kerja tersebut.

Namun seperti biasa, setiap departemen dibanjiri pertanyaan-pertanyaan dari tamu undangan yang hadir. Seperti halnya ketika Itachi mengajukan diri untuk memberikan pertanyaan kepada departemen hubungan masyarakat yang dipimpin oleh adiknya sendiri—Sasuke.

Setelah pimpinan sidang mempersilahkan Itachi, cowok itu mulai bertanya lewat mikrofon. “Izin bertanya ya. Ini berkaitan dengan flow keuangan himpunan yang sudah dipaparkan sama Mba Sakura dan Mba Tenten sebelumnya. Mayoritas pemasukan himpunan itu dari fundraising atau usaha dana internal. Apa itu artinya jaringan kerja sama antara himpunan dan media partner serta sponsor di tahun ini kurang diperkuat?”

Perlu dicatat, jadi selain membina hubungan masyarakat dan pihak lainnya, departemen yang dipimpin oleh Sasuke ini juga berfungsi untuk membina kerjasama dengan partner dan sponsor, mirip-mirip lah sama marketing.

Sasuke mengangguk, paham dengan pertanyaan Itachi hanya dengan satu kali mendengarkannya. Kemudian dia menjawab dengan yakin. “Kalau dibandingkan dengan tahun lalu, memang jaringan kerja sama dengan media partner berkurang.”

“Kenapa gitu?” Itachi lanjut bertanya.

“Karena melihat dari keadaan dan kebutuhan dana himpunan juga, kami merasa dengan jumlah partner yang dibina tahun ini sudah mencukupi. Apalagi tahun ini kami lebih punya banyak proker untuk pemberdayaan internal, jadi dana yang kita punya sudah bisa nge-cover tanpa adanya sponsor atau partner yang lebih banyak.” jelas Sasuke.

“Wah… Gini ya Sasuke…” Itachi menjeda sejenak, kemudian melanjutkan. “Gunanya partner itu memang untuk membantu kalian. Tapi kalau jaringan kerjasama yang sudah ada aja nggak dibina atau diperkuat lagi, memangnya kamu yakin bakal bisa keep mereka buat tetep mau kerjasama bareng himpunan di kesempatan lainnya?”

Sasuke tetap diam dengan tenang, tatapannya masih tertuju ke arah Itachi namun kepalanya sudah mulai diputar untuk memberikan seniornya jawaban, staff humas yang kini berlindung di belakang punggungnya sudah keringat dingin.

Di sisi lain, Shikamaru merasa pening karena apa yang Itachi bilang tadi benar. Dan Shikamaru merasa ini adalah kelalaiannya juga karena nggak memperhatikan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bakal dialami oleh masing-masing departemen.

Karena nggak mendapatkan jawaban, Itachi menambahkan, “Cari sponsor dan partner itu nggak mudah loh. Harapan saya ketika sudah dapat, akan bisa dibina sehingga jaringan kerjasama kedua pihak bisa sustainable. Kasian nanti adek-adek kalian kalau harus ngulang dari nol.”

Sasuke diberikan waktu untuk berunding dengan staff nya, berusaha memilah jawaban yang tepat dan diplomatis sehingga kesannya nggak zonk-zonk amat.

“Terimakasih Koh buat feedbacknya. Kami menyadari kalau memang kurang di bagian penguatan jaringan kerjasama, kami terlalu mengandalkan kondisi keuangan himpunan yang stabil sampai kurang memperkuat jaringan kerja sama. Setelah ini akan kami evaluasi lagi, terima kasih.”

Pada akhirnya Sasuke dan staffnya sepakat untuk memberikan poin-poin tersebut untuk menjawab pertanyaan Itachi, meskipun Itachi sendiri merasa jawaban tersebut kurang memuaskan, namun akhirnya dia mengangguk saja supaya nggak buang-buang waktu dan mempersilakan yang lain untuk bertanya.

“Sori, izin tanya dong.” Konan adalah seseorang mengambil kesempatan itu setelah Itachi.

“Iya Kak, silakan.”

Setelah meraih mikrofon yang disalurkan Itachi, Konan mulai berbicara. “Maaf ya ini agak merembet ke bendahara juga. Kalo saya liat nih ya, alasan kalian cuma bergantung sama fundraising internal tanpa memperkuat jaringan kerja sama dengan partner external tuh—kesannya karena pengurus tahun ini itu berduit semua apa gimana sih??”

Konan pernah menjabat sebagai Bendahara I selama periode kepungurusan Yahiko, dan pertanyaan dari cewek itu cukup membuat pengurus HIMAHI terdiam. Maka cewek itu melanjutkan pertanyaannya, “Kenapa diem? Ini kalian manfaatin pengurus yang punya banyak duit? Nggak ada pungli kan di kepengurusan kalian??”

Sakura beranjak dari duduknya, cewek meminta Sasuke untuk menyerahkan mikrofon yang masih dipegangnya karena dia hendak menjawab pertanyaan Konan.

“Terimakasih Kak Konan buat pertanyaannya. Saya izin menjawab ya. Sebelumnya kan saya dan rekan saya, Tenten, sudah memaparkan transparasi jalannya flow keuangan himpunan. Mungkin karena tadi bagian fundraising kurang di-highlight, jadi saya jelaskan ya sekarang.”

Di seberang sana, Konan mengangguk dan menunggu jawaban. Setelah dipersilakan, Sakura mulai menjawab. “Pertama, saya mau tekankan kalau di HIMAHI, nggak ada pungli. Kedua, kami memang memanfaatkan pengurus organisasi, tapi dalam konteks memanfaatkan SDM nya, bukan secara finansial. Ketiga, fundraising atau usdan kami itu nggak sekedar dalam bentuk jualan risol atau bakso bakar. Kami punya beberapa program fundraising yang income nya sangat menjanjikan. Dari thrift-sale, live music di cafe & busking, serta penjualan komisi digital art dan karya tulis. Untuk penjualan komisi, kebetulan HIMAHI punya banyak talented artist, contohnya Sai dan Neji, serta lainnya yang nggak bisa saya sebutkan satu persatu.

Sakura menjeda kalimatnya sejenak untuk menarik nafas dan mengeluarkannya kemudian. “Dan kami melakukan sistem bagi hasil dari penjualan komisi tersebut, 65% untuk artist, dan 35% untuk kas himpunan. Begitu Kak Konan, apakah sudah menjawab?”

Paparan Sakura memperoleh banyak anggukan kepala dari mereka yang mendengarnya dengan seksama. Ino yang duduk nggak jauh dari tempat Sakura berdiri ingin langsung lari dan memeluknya karena menurut dia, Sakura tadi sangat baddass! Nggak berbeda jauh dengan Ino, Sasuke juga memandang ke arah pacarnya itu dengan tatapan memuja. Dia bangga dengan Sakura yang bisa menjawab pertanyaan Konan dengan lantang, berbeda dengan Sasuke sendiri yang sempat lumayan planga-plongo sebentar.

“Okay, kalau begini kan jadi jelas. Sebuah inovasi yang bagus, saya harap bisa dijadikan contoh ya buat periode kepengurusan berikutnya. Thank you Sakura.” balas Konan pada akhirnya sambil mengacungkan jempol.

Tepat sebelum memasuki waktu Maghrib, pimpinan sidang mengetuk palunya sebagai tanda bahwa waktu istirahat telah tiba. Kemudian Shikamaru menginformasikan bahwa mereka akan melanjutkan agenda musyawarah besar pada pukul tujuh malam.

Masih tersisa beberapa departemen yang belum sempat memaparkan laporan pertanggungjawaban mereka. Rock Lee yang biasanya bakal punya semangat yang membara 24/7 saja sudah menguap beberapa kali.

Hari ini, tentu akan berjalan dengan sangat panjang.

Mata yang semula terpejam kini perlahan terbuka, mendapati seorang cewek yang berdiri di sebelah ranjang UGD sambil menempelkan ponsel di telinga, sepertinya cewek itu sedang tersambung dengan telefon dari sebrang sana.

Shikamaru nggak punya cukup tenaga buat mendengar apa yang cewek itu—Ino katakan, yang bisa dia lakukan saat ini adalah meringis mendapati eksistensi cewek itu. Dia sempat punya rencana untuk mencegah Ino datang ke rumah sakit, eh belum sempat menyuarakan rencananya ke Chouji (yang dia yakin sebagai orang yang ngabarin cewek itu kalau dia masuk rumah sakit), Shikamaru sudah tertidur duluan selepas tangannya diinjeksikan jarum infus.

Cewek itu menoleh seusai menutup sambungan telfonnya, dan langsung menemukan Shikamaru yang matanya sudah terbuka sambil tersenyum.

“LO TUH YA!” Ino menghadiahi pukulan ringan di bahu cowok yang masih berbaring itu, sehingga membuatnya mengaduh namun masih belum angkat bicara.

Shikamaru membiarkan Ino melanjutkan omelannya.

“Lo tuh mikir nggak sih?? Sebelum orang lain, kesehatan lo sendiri itu yang paling penting! Dari kemaren gue lihat lo mondar-mandir mulu kaya setrikaan. Ngapain sih?? Gue tau lo emang orang penting, tapi orang penting ini juga butuh istirahat! Kenapa lo malah jadi keliatan nggak tenang gini menjelang akhir periode?? Bukannya ini yang lo tunggu-tunggu? Demisioner??”

Ino seolah lupa caranya untuk bernafas ketika mengomel, sebab setelah mengeluarkan semua kalimat itu, nafasnya terengal-engal.

Shikamaru yang melihat itu sampai dibuat geleng-geleng kepala. “Udah sih, yang kemaren mah kemaren. Yang penting sekarang nih—gue dapet asupan vitamin sama istirahat.” katanya supaya Ino bisa merasa lebih tenang.

“Harus sampe sakit dulu biar lo mau istirahat??”

“Yaaa gimana ya, gue juga ga expect bakal tumbang begini.”

“Jangan nyepelein yang namanya istirahat, Shikamaru!”

“Iya iya.”

“Jangan iya iya doang! Kalo nggak ada realisasinya juga buat apa! Lo liat nih, cairan infus lo mahal, obat mahal, biaya dokter mahal! Terus—“

Aduh. Shikamaru bakal melakukan apapun untuk membuat bibir itu berhenti ngomel, biasanya yang paling ampuh buat bikin Ino stop marah-marah ya kalau bibir cewek itu dibungkam oleh bibir Shikamaru sendiri. Tapi apa daya, dia sedang diinfus, nggak bisa bergerak dengab leluasa. Untung saja entah dapat tenaga dari mana, Shikamaru memotong kalimat omelan Ino sambil sedikit merajuk, “Heh! Pas lo sakit, lo nya gue sayang-sayang. Giliran gue yang sakit, malah ngomel-ngomel!”

Ino menaikan sebelah alisnya, heran karena nggak biasanya Shikamaru protes begini. “Love language seriap orang tuh beda-beda ya, asal lo tau aja!”

Helaan nafas panjang dikeluarkan oleh cewek itu, sebelum dia bisa ngomel lebih lanjut, Chouji datang membawa beberapa kantung berisikan makanan.

“Inceeeess. Untung ini UGD lagi sepi ya, suara lo ngomel-ngomel kedengeran tuh dari pintu masuk.” Chouji langsung menuju ke salah satu bangku yang tersedia buat duduk, kemudian tangannya dia letakan di dahi Shikamaru, “Masih pusing ga? Panas lo udah turun sih.”

“Nggak, sekarang gue cuma ngantuk.”

Nggak lama kemudian, seorang dokter datang untuk memeriksa keadaan Shikamaru. “Cuma kecapean sama dehidrasi. Setelah infusnya habis juga boleh pulang, apa mau opname saja?”

Tentu saja Shikamaru menolaknya, Ino sempat protes dan berpikir kalau lebih baik Shikamaru dirawat inap supaya kondisinya bisa lebih di pantau.

Tapi Shikamaru punya alasan sendiri, katanya sih: “Di bed rumah sakit gue nggak bakal bisa tidur. Kayanya dari kemaren gue insom karena udah lama nggak tidur di kamar lo.”

Ino merotasikan bola matanya, namun pada akhirnya cewek itu nurut saja dengan kemauan Shikamaru. Cewek itu kemudian mengurus semua keperluan administrasi. Sebelum mereka benar-benar pulang ke apartemen Ino, Shikamaru melihat cewek itu sedang berbincanh dengan seseorang wanita memakai jubah putih yang dia lihat dipakai oleh dokter-dokter di rumah sakit ini.

Mereka berdua kelihatan akrab, tapi justru hal itu membuat Shikamaru bertanya-tanya. Sebab setahu dia, Ino nggak punya kenalan dokter perempuan. Shikamaru jadi teringat suatu hal, saking sibuknya, dia sampai belum sempat menanyakan sesuatu perihal wangi karbol rumah sakit yang melekat di tubuh Ino tempo hari.