lilymagicals

Ignition sequence starts in 5, 4, 3, 2, 1

Erwin dan Zeke bermanuver di atas instrumen kemudi pesawat kemudian mereka meluncur di atas landas pacu, menara memberi izin untuk terbang, mereka mengecek radar untuk terakhir kali, dan pesawat lepas landas dengan mulus pada pukul 6PM, 9 November 2021.

Para penumpang yang berada di dalam pesawat memiliki beragam aktivitas yang dilakukan setelahnya. Ada yang memilih untuk segera pergi tidur, memilih untuk melanjutkan beberapa pekerjaan mereka di laptop, ada yang sekedar ngobrol dengan teman di sampingnya, atau ada yang menghabiskan waktu penerbangan dengan menonton film dengan fasilitas yang sudah disediakan seperti yang sedang Ymir dan Historia lakukan.

Coffee or tea, Sir?” seorang pramugari di kelas bisnis menghampiri tempat duduk Levi, di sebelahnya ada Hange yang sedang fokus ke arah layar laptopnya, “I prefer a cup of tea, lo mau apa Hans? Kopi? Oke—and a coffee for my friend.

Very well, Sir.

Sedangkan di dalam kelas ekonomi, Eren, Armin, dan Mikasa tampak masih enggan untuk menyelesaikan agenda ngobrol mereka. Eren dan Mikasa menyimak dengan antusias ketika Armin bercerita mengenai profesinya sebagai seorang arkeolog, “Astaga keren banget Armin! Aku ga nyangka kalau ada yang kaya begituan buat diteliti di Paradis,” celetuk Mikasa dengan takjub.

“Eh bentar deh, gue kaya kenal sama suaranya,” di waktu yang bersamaan dengan Zeke berbicara dalam speech singkatnya ketika memberi pengumuman mengenai kondisi penerbangan mereka, Eren terkesiap ketika mendengar suara familiar tersebut.

“Kayanya itu abang gue deh, lah gue gatau kalau dia pilotnya,” ucapnya pada Armin dan Mikasa. Hubungan Eren dan Zeke, abang tirinya, memang cukup rumit. Dari awal mengetahui ayahnya akan membentuk sebuah keluarga baru pasca kepergian Dina, Zeke memilih untuk tidak melibatkan dirinya pada agenda baru ayahnya. Sehingga Eren hanya sebatas tahu kalau Abang tirinya merupakan seorang pilot, sebab Zeke sama sekali tidak sharing apapun tentang hidupnya kepada Eren maupun Grisha, ayah mereka, setelah beranjak dewasa.

Gadis pirang itu menoleh ketika merasa seseorang yang duduk di satu row dengannya mencoba untuk mengajaknya berbicara, “Annie Leonhart, bener kan?”

“Iya, and who are you?

You look so much prettier in real life! Aku Sasha Braus, salah satu atlet yang bakal ikut juga di pekan olahraga Marley-Paradis!” jawab gadis dengan surai auburn ramah sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

“Salam kenal Sasha, Muay Thai juga?” tanya Annie.

Nope, I’m in archery! Kamu berangkat sendirian, Annie?”

Annie menggelengkan kepala kemudian menjelaskan kepada Sasha kalau dia berangkat bersama dua rekan sesama atletnya yang duduk tepat di baris belakang seat mereka berdua, Reiner dan Bertholdt, membuat keempatnya kemudian saling bertukar topik untuk berbincang selama penerbangan.

Menerbangkan pesawat adalah cita-cita Jean Kirstein sejak kecil, untuk saat ini, tentunya dia sudah pernah menerbangkan pesawat-pesawat yang ukurannya lebih kecil ketika dia menjalani training di sekolah penerbangannya di Marley. Sisa waktu penerbangan kemudian digunakannya untuk tidur, tidak sabar untuk segera mendarat dan menghambur ke pelukan maminya. Sama halnya seperti yang dilakukan Connie Springer di kursi penumpang yang berbeda, dia memilih untuk menyantap beberapa makanan dan kemudian pergi tidur.

Sudah sekitar lebih dari satu jam setelah pesawat lepas landas, Pieck masih berlalu lalang menjalankan tugasnya dan berhenti beberapa kali di samping kursi penumpang ketika harus berinteraksi dengan mereka. Tak lama kemudian ketika berencana untuk menuju ke toilet, Pieck dan seluruh penumpang di dalam pesawat merasakan adanya guncangan hebat, saking hebatnya, Pieck yakin guncangan tersebut bukan berasal dari turbulensi.

Dengan seragam pilot: celana bahan hitam, kemeja oxford putih, dasi hitam yang diikat rapi, serta jas pilot dengan empat strips di ujung lengan dan lencana yang disematkan di dada membuat penampilan Erwin terlihat sempurna ketika Erwin berjalan menuju boarding gate sambil menarik kopernya. Dia belum sempat bertemu dengan Zeke, namun kemudian partner nya itu muncul dari persimpangan lounge yang berlawanan arah dengan Erwin. Erwin bisa melihat bibir Zeke yang lebih melengkung ke bawah, menandakan suasana hatinya sedang buruk, seburuk apa yang sudah mereka rencanakan untuk dieksekusi.

“Fokus, Zeke. Gausah tegang.”

“Enteng banget kalo ngomong.”

Erwin tertawa melihat rekannya bersungut-sungut, “You will escape the crash, Zeke. Percaya sama gue.”

And so will you, Erwin Smith.”

Melanjutkan langkah mereka berdua dengan beriringan ke tempat tujuan, Erwin dan Zeke menghembuskan nafas kasar untuk kesekian kalinya. Setelah rencana mereka akan di eksekusi, keduanya tidak tahu apakah mereka akan bisa melanjutkan hidup dengan profesi ini, atau seberapa besar trauma yang akan mereka dapatkan nanti.

🕊

“Armin!”

Pria yang dipanggil namanya kemudian menoleh ke belakang dan melambaikan tangan ketika mendapati kawannya, Eren, berjalan mendekat dengan perempuan bersurai hitam di sampingnya.

“Hi Eren, ini Mikasa ya? Cantik banget, nice to meet you! Gue Armin, yang ga sengaja ketemu Eren di Paradis six years ago,” jelas Armin ramah ketika mengajak Mikasa berkenalan, keduanya kemudian berjabat tangan dan bertukar percakapan layaknya kawan lama.

Di tempat yang sama, Annie Leonhart baru saja memasukan ponselnya selepas menerima panggilan dari ayahnya ketika rekannya, Bertholdt, mengajaknya serta Reiner untuk segera check in ke boarding pass sampai tidak sadar waktu berlaku hingga mereka tiba di baris antrean boarding pass.

“Udah ngga ada yang ketinggalan kan?” ketika sudah berbaris di antrean boarding pass, Reiner bertanya, yang dijawab dengan gelengan kepala dua sobatnya. Suasana kali ini agak janggal, menurut Reiner, entah karena kedua sobatnya yang terlihat murung atau karena hal lain seperti mengantuk atau letih misalnya.

Mau tidak mau, Reiner berusaha mencairkan suasana, “Pada kenapa sih? Kok kaya lemes bener lu berdua. Ayo dong, semangat, masa athlete lemes.”

Namun Annie dan Bertholdt hanya memutar mata mereka dengan malas. Keduanya sama-sama digerayangi perasaan khawatir untuk meninggalkan orang tua mereka barang beberapa hari. Bahkan belum waktunya untuk lepas landas, keduanya sudah ingin segera pulang kembali ke rumah.

Di sisi lain, pemuda berpawakan tinggi besar dengan rambut ash-blondenya terlihat santai seperti biasa. Dia sudah berkali-kali melakukan penerbangan. Namun penerbangan dengan tujuan pulang ke rumah akan selalu menjadi penerbangan yang paling dia nantikan. Tak beda dengan pemuda cepak yang sudah menantikan penerbangannya menuju kampung halaman, dia terlihat membawa cukup banyak barang seperti yang biasanya orang lakukan ketika pulang ke rumah, membawa buah tangan dari tanah perantauan.

“Iya coach, ini mau boarding—tenang ajaa Coach, berani kok. Makasih Coach, see you di Paradis yaaa,” masih dalam satu baris antrean boarding pass, gadis dengan surai auburn yang ada di sana tidak kalah membawa banyak barang, salah satunya busur panab andalannya. Dia kelihatan capek akibat latihan-latihan yang dijalani bersama dengan atlet lainnya yang akan bertanding di pekan olah raga Marley-Paradis yang diadakan dalam rangka memperingati hubungan diplomatik keduanya.

“Lev, astaga gue laper banget gila,”

“Gausah macem-macem, ga keburu kalo mau makan sekarang. Ntar di pesawat aja.”

Memiliki kawan sekaligus partner bisnis yang menurut Levi ‘ada-ada saja’ seperti Hange Zoe menjadi cobaan tersindiri buatnya. Sebab rekannya ini sangat banyak tingkahnya sampai membuat Levi geleng-geleng kepala saking tidak lelahnya. Namun, keduanya memiliki dinamika yang begitu pas baik sebagai kawan maupun partner bisnis. Menurut Levi, kehadiran Hange membuatnya tidak perlu repot-repot melakukan hal yang unnecessary seperti bersosialisasi dengan orang baru.

“Nanti di flight jangan ganggu gue, mau tidur.” ucap Levi ketika keduanya telah selesai melakukan check in boarding pass sedangkan Hange cuek saja, toh dia tidak merasa ingin mengganggu Levi ketika pesawat sudah lepas landas nanti.

“Kak Frieda ya?”

Historia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Ymir, dia baru saja mendapat panggilan telefon dari kakak perempuannya.

“Dia bilang apa?”

A lot of things, but she decided to support my decision gitu deeh—yaudah yuk,” keduanya siap untuk masuk ke kabin pesawat, sedari tadi Historia tidak melepskan genggamannya di tangan Ymir.

“Aku gak sabar ih mau explore Paradis. Nanti aku mau belanja banyak disana!”

🕊

Zeke disambut dengan dua orang Pramugari ketika menginjakkan kakinya di dalam pesawat. Dilihatnya para awak kabin melenggang di area sela-sela tempat duduk untuk mengecek satu dan lain hal. Namun apa yang ditangkap mata Zeke detik berikutnya membuat kedua lututnya lemas.

Pieck? What are you doing here??

“Zeke! Yaampun aku tuh tadi udah ngabarin kamu kalo aku bakal ada di flight kamu, tapi handphone kamu udah inactive.” jelas Pieck sambil menghampiri Zeke.

No way, kamu ngga boleh disini. Kamu harus turun sekarang juga!” tangan Pieck dicengkeram erat oleh Zeke yang berusaha membawanya untuk keluar.

Mengernyitkan dahinya, Pieck tidak paham perintah masuk akal Zeke, “Maksud kamu apa sih? Konyol banget deh.”

Pieck, please! I need you to leave the plane right now.

And why do you think I have to leave the plane? Yang bener aja Zeke, aku disini itu kerja, bukan main-main.”

Lidah Zeke kelu, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Pieck sebab dia tidak memiliki alasan yang logis untuk membuat Pieck keluar dari pesawat dan dia tidak mungkin mengatakan kalau pesawat ini akan dijatuhkan, “Just please… leave this damn plane, Pieck. I beg you...

Kesal dengan jawaban Zeke, Pieck menyentakkan tangannya yang digenggam erat, “Gak masuk akal. I’ll talk to you later, Zeke. Duty calls await.

Erwin Smith telah menyandang gelar sebagai Captain dalam setiap penerbangan yang dia lalui selama lebih dari satu dekade. Dia merupakan seorang pilot yang berintegritas. Keselamatan penumpang yang dia bawa terbang untuk mencapai tujuan selalu menjadi prioritasnya.

Namun kali ini, Erwin harus mempertaruhkan semua nyawa yang akan dibawanya, tidak untuk sampai ke tujuan, namun untuk mengantarkan mereka menembus ke cakrawala hingga mencapai surga.

Terjatuhnya pesawat akan selalu menjadi kesalahan Pilot, sebab merekalah yang melakukan kesalahan terakhir, dan pilot sulit membela diri atau menjelaskan tindakannya kalau sudah meninggal.

God… Forgive me for what I’ve sinned.

Erwin terududuk di deretan bangku paling belakang sebuah gereja yang selalu dirinya singgahi. Setelah kematian ayahnya, Erwin has nothing to lose, bahkan dia tidak takut untuk kehilangan dirinya sendiri. Namun kepentingan politik yang konyol membuat Erwin selalu bertanya-tanya sebab siapa saja bisa membahayakan bahkan menghilangkan nyawa orang lain demi mencapai tujuannya.

Licik. Kotor. Biadab. Keji.

Dia telah mengotori jiwanya dengan politik agar tetap hidup tanpa ancaman dan dianggap loyal terhadap negara—ralat, terhadap keluarga kerajaan yang sama sekali tidak menguntungkan masyarakat negara.

Penerbangan yang mungkin akan menjadi penerbangan terakhirnya akan terjadi esok hari. Kemudian Erwin tersenyum miris, mengingat tidak ada seorangpun yang akan menunggu kepulangannya. Hidup atau mati, tidak akan ada yang bersuka maupun berduka cita untuknya.

“There’s no way back to return, do what you have to do. God will understand and forgive you.”

🕊

Zeke dan Pieck sedang bergumul di atas ranjang, kehangatan yang menyelimuti mereka ditransfer melalui kontak fisik antar kulit keduanya. Pieck yang menyandarkan kepalanya di dada bidang Zeke dan setengah mengantuk itu seketika bangkit ketika merasakan ritme nafas Zeke berubah menjadi berat. Apa yang ditemukan Pieck begitu mengejutkan, Zeke menangis, “Eh? Kamu kenapa kok nangis??” tanya Pieck dengan heran.

Yang ditanya hanya terkekeh singkat dan mengeratkan pelukannya yang melingkari tubuh mungil telanjang milik gadisnya.

I promise to come home, tunggu aku ya Pieck?”

Well, well, emangnya kamu pernah sekalipun nggak pulang? Was that promise necessary?

Zeke tersenyum miris, “Kali ini beda. Oh ya, kamu ngga ada jadwal flight kan?”

Pieck Finger adalah seorang pramugari di maskapai penerbangan yang sama dengan kekasihnya, Zeke Yeager. Pertemuan pertama mereka terjadi ketika keduanya terbang bersama tiga tahun silam. Zeke dan Pieck sama-sama mancintai setiap penerbangan yang mereka lalui, bersama maupun tidak.

“Beda gimana? And nope, aku libur buat seminggu kedepan kok.” jawab Pieck yang semakin merapatkan kepalanya ke ceruk leher Zeke.

“Aku kangen Bunda Dina… It feels like I’m getting closer to my mother every time I fly, you know?

Tidak ada jawaban dari Pieck, namun gadis itu tahu betul perasaan yang dibawa Zeke ketika terbang, selalu teringat pada mendiang sang ibunda. Namun kali ini, Zeke merasa ragu sendiri. Perjanjian bodoh demi membuktikan loyalitasnya pada negara akan membuat Pieck begitu sedih apabila Zeke tidak berhasil pulang dengan selamat.

“Pieck, janji sama aku buat tunggu aku pulang ya?

Entah sejak kapan Zeke menggenggam cincin yang kemudian disematkan ke jari manis gadisnya. Sambil merapalkan doa, Zeke berharap dia bisa pulang ke pelukan gadisnya, dia yakin Bundanya bisa menunggu kapanpun di atas sana untuk menyambut Zeke ke dalam pelukannya. Yang terpenting baginya sekarang adalah pulang dengan selamat ke pelukan Pieck, kemudian segera menikahi gadis yang begitu dia cintai.

“Yang benar saja Historia, kamu ingin menikahi seorang wanita? Don’t be such a disgrace to our family, jangan kotori nama baik keluarga Reiss!”

Nama baik apa sih yang ayahnya maksud? Historia Reiss tidak paham dengan semua perkataan ayahnya bahwa dia harus menjaga nama baik keluarga. As if the Reiss are innocent and didn’t do nasty things themselves. Terlibat dalam politik negara saja sudah begitu menggelikan bagi Historia, sebab dia menjadi saksi bagaimana perbuatan keji keluarga bangsawannya ‘yang tehormat’ mempengaruhi dan secara tidak langsung merugikan masyarakat.

Historia bukanlah gadis yang muluk-muluk, dia hanya ingin menikah dan hidup dengan seseorang yang dia contai. Namun rupanya, impian kecil gadis pirang itu adalah sesuatu yang muluk-muluk akibat norma sosial yang dianut keluarga bangsawannya.

Memang apa sih salahnya mencintai seorang perempuan lain? Bagi Historia, yang paling penting adalah bagaimana dia mencintai dan dicintai, tanpa memandang gender sesorang. Ck, gender merupakan konstruksi sosial yang begitu kolot.

Hidup di bawah kekangan keluarga Reiss selama lebih dari dua puluh tahun membuat Historia ingin melepas semua yang dimilikinya sebagai Historia Reiss, terlebih ketika dia dipertemukan dengan gadis freckless yang memberikannya begitu banyak keberanian.

Ymir… I really love your name, Ymir.” kata Historia sambil tersenyum begitu manis. Yang dipuji namanya justru mengerutkan dahinya.

Why though? I like your name better, Historia Reiss, kedengerannya keren and glorious.”

Because your name is just Ymir, tanpa nama belakang keluarga. Orang lain selalu melihat kamu hanya sebagai Ymir, tanpa embel-embel image keluarga dari nama belakang yang disandang, seperti aku contohnya. Semua orang hanya melihat aku sebagai putri bungsu keluarga Reiss, bukan Historia.”

Ketika teringat akan konversasi tempo hari dengan Ymir. Historia jadi sempat untuk berpikir ulang. Untuk apa hidup dengan melihat bagaimana pandangan orang lain tentang dirimu? Mulai sekarang, Historia tidak akan peduli. Selagi ada satu orang orang yang hanya melihat dirinya sebagai Historia, itu sudah cukup. Historia bukan milik siapapun, Historia milik dirinya sendiri.

Historia is not a disgrace to any families. Most importantly, Historia feels loved and enough, because she has the love of her life, Ymir, by her side.

“Penelitian selanjutnya will take place on Paradis Island ya, Armin. Artefak sejarah di sana belum pernah kita jamah padahal strategis sekali.”

Armin Arlert masih memfokuskan dirinya pada berkas-berkas penelitian dihadapannya ketika Professor memberikan informasi tersebut. Armin adalah seorang arkeolog muda yang bekerja di institusi arkeologi Marley. Fokusnya kini agak terdistraksi ketika mendengar dimana penelitian selanjutnya akan dia lakukn, Kepulauan Paradis.

“Kapan kita akan berangkat, Prof?” tanya Armin, mengalihkan atensinya dari berkas-berkas ke arah Sang Professor.

“Sembilan November, tapi kamu berangkat sendiri. Worry not, team kita sudah ada yang tiba di Paradis earlier than you.” jelas Professornya.

Kalau Armin ingat, pertama kali dia berkunjung ke Paradis adalah enam tahun silam. Saat itu dia belum menjadi seorang arkeolog, namun dirinya sadar betapa strategisnya pulau tersebut sebagai tempat penelitian arkeologi. Dari segi komponen artefak, arsitektur, dan lanskap budaya… semuanya sempurna. Armin menjadi begitu excited untuk mengunjungi pulau tersebut minggu depan.

Noted that Prof, saya siap-siapin materi dan keperluan lain nya untuk penelitian minggu depan,” meskipun waktu yang diberikan agak singkat, Armin menyetujui perintah Professornya dengan mantap.

Good then! Semua pengeluaran biaya akan diakomodasi sama institusi kok, you don’t need to worry about spending a single cost.

“Hahaha, thank you Prof!

Erwin masih menunggu kedatangan Zeke sambil menyesap kopinya di ruangan meeting tempat mereka bertiga seharusnya berkumpul. Tidak biasanya Magath akan minta berbicara dengannya dan Zeke. Sampai sekarang, dia masih belum bisa menemukan ide apapun tentang apa yang akan mereka bertiga bicarakan membuat Erwin termenung sejenak.

Erwin terkesiap dari lamunannya ketika pintu ruangan terbuka, memunculkan Zeke dan Magath yang masuk bersama. Raut Zeke, teman sejawatnya selalu tengil seperti biasa. Namun kerutan di dahi Theo Magath tidak bisa lepas dari observasinya.

I need your help,” tukas Theo Magath begitu Zeke duduk di samping kiri Erwin.

Erwin mulai menajamkan konsentrasi dan pendengarannya, dia berani bertaruh kalau hal ini akan menjadi sesuatu yang penting, “Tumben pak, what kind of help?

As you both can see, Marley is in chaos right now. Masyarakat masih terus berdemonstrasi dan mengancam keluarga kerajaan…”

Ada jeda sejenak di tengah-tengah kalimat Magath, kemudian mencoba melihat reaksi dari kedua captain pilot yang ada di depannya. Sedangkan Erwin dan Zeke hanya manggut-manggut saja.

And then?

And then, The King wants us to show our loyalty to this country.

Loyalitas untuk negara? Bisa dikatakan mayoritas orang-orang penting di negara tersebut memihak keluarga kerajaan untuk memimpin negara mereka dengan mutlak. Namun apa yang bisa Erwin dan Zeke bantu untuk mereka?

Erwin angkat bicara dan melemparkan pertanyaan, “Memangnya apa yang bisa kami bantu? Tugas kami hanya menerbangkan pesawat dan mengantar penumpang ke tempat tujuan mereka.”

That’s the point, Erwin.

To the point aja Pak,” kali ini Zeke yang angkat bicara, dirinya sudah tidak sabar.

“Kerajaan butuh pengalihan isu and The King needs you two to scheme a plane crash. Jatuhkan pesawat yang akan kalian terbangkan minggu depan,” jelas Magath pada akhirnya.

Gila, benar-benar gila. Baik Erwin dan Zeke seketika tercengang di tempat duduknya. Yang barusan dikatakan Magath adalah permintaan tolong paling bodoh yang pernah kedua captain itu dengar.

“Nggak masuk akal! The King wants us to commit a mass murder?? And we’ll gonna end up killing ourselves, are you insane Sir. Magath?? Saya nggak mau melakukan hal bodoh ini,” emosi Zeke kini meluap setelah melayangkan protesnya. Namun, Erwin masih diam saja.

And if you refused, kalian berdua akan dimasukan ke daftar penghianat negara.” gertak Magath.

Suasana di ruangan tersebut seketika diselimuti keheningan yang membuat ketiganya tidak nyaman. Sampai Erein membuka suara, “Is there any possibility for us to survive the plane crash?

“Tentu ada, kalian hanya diminta menjatuhkan pesawat. Kalian berdua bisa escape kapan saja dari ledakan yang mungkin terjadi, maka dari itu kita harus merencanakan ini baik-baik secara detil.”

Jawaban Magath masih begitu tidak masuk akal untuk Zeke, saking tidak masuk akalnya, Zeke tidak mau terlibat secara suka rela dalam rencana tersebut. Beda dengan Erwin, dia terlihat sedang berfikir, menimbang-nimbang risiko yang akan terjadi dalam perencanaan kecelakaan pesawat tersebut. Ketika sudah menemukan jawaban yang dia dapat, Erwin segera membuka mulutnya kembali.

Sir Magath, I’ll give it a chance to the plan.

“LO GILA ERWIN???”

“Kapan kita bisa susun rencana ini? Penerbangan kami minggu depan.”

“ERWIN SMITH!”

Mendengar Erwin berbicara seperti itu, Zeke marah dan terkejut bukan main sampai dia memilih melesat keluar dari ruangan meeting tersebut. Pasalnya, dari sisi manapun Zeke tidak menemukan keuntungan apapun untuk Erwin maupun dirinya apabila mereka harus menjalankan rencana ini. Kecuali Erwin memang berniat untuk segera menjemput ajal, pikir Zeke.

“Bagus Erwin, sekarang tugas kamu adalah meyakinkan Zeke untuk bergabung dalam rencana ini.” kata Magath dengan sedikit lega sambil menepuk pundak Erwin.

“Baik, Pak Magath. I’ll convince Zeke to join the plan.

Setelah itu, Erwin bangkit dari duduknya. Berpamitan kepada Magath untuk keluar dari ruangan tersebut. Ketika dirinya sudah sampai diambang pintu, langkahnya dibuat berhenti setelah mendengar kembali suara Theo Magath.

Erwin… You and Zeke Yeager have to survive. Saya tunggu kepulangan kalian di sini setelah rencana kita berjalan dengan lancar.”

Tanpa memeberikan respon apapun, Erwin melangkahkan kakinya keluar dan seketika sosoknya menghilang dibalik pintu ruangan tersebut.

Sudah hampir dua pekan ribuan masyarakat berdemonstrasi memenuhi pelataran istana, mereka menuntut pemerintah monarki untuk turun tahta atau mengganti konstitusi negara menjadi konstitusi yang lebih demokratis, tanpa adanya dominasi kekuatan dan opresi militer yang telah merusak kestabilan keamanan masyarakat, berikut pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang mereka dapatkan.

Kingdom of Marley dipimpin oleh seorang raja yang enam tahun lalu ini naik tahta, Willy Tybur. Sebelum naik tahta, Sang Raja juga merupakan bagian dari panglima tingkat tinggi militer negara. Bisa dikatakan saat ini Marley dikuasai oleh pemerintahan diktator.

Your Majesty, anda harus segera mengatur rencana untuk menghentikan masyarakat. Merespon mereka tidak akan menguntungkan keluarga kerajaan. Alih-alih mereka akan melakukan kudeta,” seorang penasehat kerajaan kemudian angkat suara ketika Raja Willy Tybur masih terduduk diam di singgasananya.

“Kau punya rencana?” tanya Willy terhadap penasehat kerajaan tersebut.

“Harus ada isu lain yang bisa mengalihkan perhatian publik dari demonstrasi ini, Yang Mulia.”

“Isu lain ya…”

Terlihat kerutan dalam di dahi Sang Raja, Willy Tybur sedang berfikir tentang isu apa saja yang bisa dinaikkan untuk mengalihkan perhatian publik. Protes masal kali ini skalanya jauh lebih besar dari protes-protes sebelumnya yang pernah terjadi, agak merepotkan, langkah Willy Tybur harus benar-benar hati-hati kali ini.

“Panggil Theo Magath ke istana sekarang juga.”

🕊

Pertemuan singkat dengan Raja Willy Tybur membuat Theo Magath mempertanyakan keputusan hidupnya. Loyalitasnya terhadap negara akan dipertanyakan apabila dia tidak menuruti perintah raja. Meskipun Theo Magath tidak berpartisipasi langsung dalam konstitusi pemerintahan, perannya sebagai Executive Chairman of Eldian Air akan sangat penting bagi kerajaan.

“Jatuhkan salah satu pesawat komersil perusahaanmu.”

“Mohon maaf Yang Mulia, saya harap saya salah mendengar.”

“Kerajaan akan mendukung Eldian Air sebagai satu-satunya maskapai penerbangan yang mendominasi negara ini. Juga, loyalitasmu terhadap kerajaan akan diuji saat ini juga.”

Willy Tybur tidak hanya memberikan perintah, namun ultimatum. Magath tahu betul kerajaan sedang membutuhkan isu lain untuk dinaikkan pada saat ini. Ketika ultimatum Sang Raja sampai ke telinga Theo Magath, dirinya langsung teringat kepada dua kapten andalan Eldian Air. Erwin Smith dan Zeke Yeager bisa mengeksekusi rencana ini, dan mereka berdua harus kembali pulang dengan keadaan hidup, pikirnya.

Jean Kirstein, born within the warm spring breeze in beautiful season where all the flowers are blooming. For Pieck Finger, Jean was someone who lived his own life with divine purposes and had his own authority over it. She was never seen him being shaken by anything that will affect his decision in life. For Jean Kirstein, Pieck Finger was the one to keep him walking in a slow pace without going any full throttle. When both of them thought everything would be perfect if they were together, it was rather vague than it was being a crystal clear like they both wished for.

Growing up together, they shared each other’s affections through cello and piano by understanding the language of music. Jean and Pieck weren’t able to be torn apart, at least for more than one decade of being on each other’s side.

“You might find it cheesy and cliche...”

“What is it, Jeanbo?”

“If I were to be your personal poet artist, you will always be my muse.”

The Jean that Pieck knew used to pour all of his madness into threads of beautiful words aside from the melodies he made through cello’s strings and bow. Jean loved to write everything about Pieck, also about him when she is around near his reach. The youth they spent together was filled with a pure epitome of blissful first love.

“Pieck, how do I live without you?”

On that one of Trost’s evening under the starry night sky, nineteen years old Jean mumbled the words into himself, but loud enough for both of Pieck’s ears to catch the sound of his words.

None of them would realize if those empty words that came from his deepest thought would came into a new form of reality.

All she knew that he left her, Jean left Pieck, to find the answer of his own question.

Not because the love has left both’s side, it was rather because of Jean’s greed and courage to let go of the little girl whom he spent his half life together with, for the sake of their far-reaching future which made him sure, they were better to be off apart.

“How are you gonna live without me, Jean?”

Since the day he turned his back and walking further away from her, she already missed that broad shoulder which used to be her favorite place to lean on. And since then, Pieck was destined to find the answer for her own question alone. Would Jean be able to live without her? Or was it her who couldn’t live without him?

Eventually, after several springs has passed, the Jean who left her started to resemble their last song that will be faded away as the last notes found its ending.

Jean tiba di rumah ketika jam hampir menunjukan waktu tengah malam. Huru-hara yang terjadi sejak pagi tadi sungguh membuatnya kelelahan, Jean sudah membayangkan untuk segera mandi dan tidur namun matanya menangkap sosok Pieck yang terduduk di ruang makan sendirian, hanya ditemani oleh sebotol anggur merah. Rasa bersalah langsung menyelimuti Jean, dirinya sudah cukup terlalu banyak menyakiti hati wanita bersurai legam yang menjadi istrinya itu selama setahun lebih.

Mengurungkan niatnya untuk menuju ke kamar, Jean memilih untuk berjalan mendekat ke arah Pieck yang kondisinya begitu kacau, matanya sembab dan sudah dapat dipastikan kadar kesadaran istrinya begitu rendah akibat pengaruh alkohol.

“Pieck,” ucap Jean lembut sambil mendudukan dirinya di kursi yang ada tepat di sebelah istrinya. Sedangkan Pieck enggan untuk menghadap ke arah suaminya.

“Pieck,” ulang Jean dengan tangannya yang diulurkan untuk mengelus surai hitam Pieck dijemarinya.

You come home, Jean.

Hmm, I’m coming home,

Mendengar jawaban dari Jean, Pieck justru terkekeh dengan miris.

Jean, I know you also feel what I feel somehow—that our marriage wouldn’t work... And neither of us are trying to make it work.

Jean hanya mematung mendengar renteta kalimat yang keluar dari bibir ranum istrinya, yang dimana diamnya adalah bentuk bahwa dia juga setuju dengan kalimat tersebut.

“Maaf, Pieck.”

You know what—aku juga salah disini. I’m as effortless as you. Kamu pasti juga muak kan sama semua ini?”

Atmosfer yang menyelimuti keduanya membuat Pieck gusar, pada akhirnya Pieck mencoba untuk menatap Jean, namun yang ditatap justru matanya berlari kesana dan kemari, enggan jatuh dan membalas tatapan iris kelabu milik istrinya.

“Jean, lihat dan jawab aku!” tangan kanan Pieck terulur untuk menarik paksa dasi yang masih melingkari leher Jean, membuat jarak keduanya semakin dipersempit, Jean bisa merasakan hidung mereka saling bersentuhan. Ketika Jean mencoba membalas tatapan Pieck, yang dirinya temukan untuk pertama kalinya adalah sebuah amarah dan keputusasaan dalam iris kelabu Pieck.

“Jean, kita bukan orang baik. We hide behind each other’s mask.” ucapnya mulai meracau.

“Pieck, you’re drunk but you’re right.

Detik berikutnya digunakan Jean untuk mengalihkan tatapannya dari iris kelabu Pieck, tangan kanannya diselipkan ke belakang kedua lutut Pieck, dan tangan kirinya ada di belakang punggung mungil istrinya, menggendong Pieck ala bridal style. Kaki Jean melangkah ke anak tangga untuk menuju ke kamar mereka berdua dengan Pieck yang masih meronta di dekapannya.

Enough with your drinking session, kita lanjut bicara besok pagi.”

Ketika Pieck berhasil turun dari gendongan Jean setelah mereka memasuki kamar, alih-alih berjalan ke ranjang, Pieck merapatkan tubuh mereka dan mengalungkan kedua lengannya di sekitar leher Jean. Jean tidak merespon dan hanya menundukkan kepalanya kemudian menemukan gairah lain yang tertanam di mata Pieck.

Memberikan satu kecupan di bibir suaminya, Pieck kembali meracau setelah memberikan sedikit jarak untuk bibir mereka, “I wonder how many times you have kissed other girls,” Jean dapat merasakan manisnya aroma wine yang tersisa di bibir Pieck, tangannya yang semula ada di samping tubuhnya kini bertengger di pinggang istrinya.

“Pieck, I don’t kiss other girls.

“Hm, really?”

Yeah, I was only going out with them.

Kiss me then.

Nada sensual yang keluar dari bibir istrinya membuat Jean mengerang, aroma lavender yang menguar dari tubuh istrinya tidak membantunya untuk berpikir, cahaya remang kamar mereka berdua menjadikan dirinya semakin disetir oleh gairahnya. Bagaimanapun juga, Jean adalah lelaki normal. Meskipun keduanya tidak terikat secara emosional, namun daya tarik fisiknya sama sekali tidak bisa ditampik. Jean mulai mencondongkan kepalanya hingga jarak mereka semakin terkikis kemudian bibirnya disambut dengan manis oleh bibir istrinya. Jean dan Pieck saling berpaut, ciuman mereka jauh dari kata lembut, keduanya berusaha untuk menerobos masuk lebih dalam ke rongga mulutnya masing-masing dengan Jean yang memberikan gigitan-gigitan kecil di bibir ranum Pieck, satu tangannya naik ke tengkuk Pieck untuk semakin memperdalam ciuman mereka.

Pieck menjadi yang pertama memutuskan tautan bibir mereka, mencoba untuk menghirup lebih banyak oksigen, sedangkan mata Jean masih hinggap di bibir istrinya, mencoba untuk kembali menyatukan miliknya dan milik Pieck yang sungguh terasa manis. Di sisi lain Pieck semakin mengeratkan kedua lengannya di leher Jean, ketika bibir mereka kembali bersatu, Jean menggiring tubuh mungil istrinya ke ranjang, ranjang Pieck.

Makes us love each other, Jean.” suara rintihan Pieck disela-sela kecupan bibir Jean yang menjelajahi rahang hingga leher Pieck ditangkap sempurna oleh di kedua telingga Jean, membuatnya semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh mungil Pieck yang sekarang berada di bawah kungkungannya.

Kalimat terakhir Pieck lontarkan tersebut mengantar mereka ke lebih banyak ciuman-ciuman bergairah lainnya, juga mengantarkan mereka ke klimaks yang hanya Jean, Pieck, dan Tuhan akan tahu rasanya seperti apa.

Pieck dan Jean tiba di mansion utama dan segera menuju ke ruang kerja Mr. Ackerman. Keduanya berjalan beriringan namun tidak ada dari mereka yang bertegur sapa. Begitu sampai di ruang kerja, Mr. Ackerman yang sedang berdiri memunggungi Pieck dan Jean segera menoleh ke arah mereka, terlihat raut mukanya yang masam. Tangannya meraih iPad yang tergeletak di meja kerjanya kemudian berjalan mendekat ke arah putri dan menantunya dan menyerahkan benda dengan kasar ke Jean. Jean bahkan belum tahu apa yang akan dibicarakan oleh ketiganya, namun melihat kemarahan yang terpancar dari ayah mertuanya, Jean tahu ada yang salah, lebih tepatnya, dia berbuat salah.

Explain this, Jean Kirstein.

Matanya segera menatap layar iPad dan dengan fokus membaca beberapa rentetan kalimat yang tertera disana yang membuat kedua matanya langsung melebar dan terkejut. Pieck yang berdiri di sampingnya menghela nafas dengan kasar dan masih tetap diam.

This is not like what you have seen, Father,” ucap Jean masih mencoba untuk tenang.

“What the fuck are you two doing?? Kalian main-main dengan pernikahan kalian?? Memalukan! What your husband did is such a disgrace for the Ackerman clan, Pieck!” suasana ruang kerja itu begitu sesak dan mencekam untuk Pieck ketika Mr. Ackerman meninggikan intonasi suaranya dan terlihat begitu marah, dia berharap bisa cepat-cepat melangkah keluar dari sana.

Forgive us, Dad. Aku akan urus semuanya, jangan khawatir.”

I don’t want this shitty rumor to be escalated, urus semuanya, Pieck. Ayah percaya sama kamu. And tell your damned husband to behave. At least kalau rumah tangga kalian nggak berjalan dengan sebagaimana mestinya, kalian harus bisa sembunyikan itu dari publik! Jangan bikin jelek nama baik keluarga!”

Belum sempat bagi Pieck maupun Jean untuk kembali membalas kalimat pedas Mr. Ackerman, keduanya sudah diperintahkan untuk keluar dari ruangan.

“Pieck, I—“

“Stop, Jean. Biar aku yang urus all of this mess, aku cuma butuh kamu untuk diam dan nggak berulah lagi, do not cross the line, okay?”

Okay, I apologize.

Pieck buru-buru meninggalkan mansion beserta suaminya yang masih ada di dalam sana. Pikirannya begitu berkecamuk sebab dia belum mempersiapkan diri bila ancaman berupa naiknya rumor yang melibatkan pernikahannya akan naik pada suatu hari. Sekarang yang menjadi tugasnya adalah bernegosiasi dengan jurnalis yang bertanggung jawab atas rumor itu, Ilse Langnar, salah satu teman Pieck di masa lalu yang masih menaruh benci kepadanya hingga saat ini.