“Yang tadi itu maksudnya apa, Mikasa?”
“Levi, be easy on her. Don’t ruin her happiness.” sela Petra sebelum Levi kembali meledakan emosi yang ditujukan kepada adik bungsu perempuannya.
Pieck tampak enggan membuka mulutnya, karena yang paling berhak untuk bebicada di sini adalah Levi. Pieck dan Petra hanya berjaga-jaga sebagai pengamat apabila Levi mulai melampaui batas. Di sisi lain, Mikasa justru tampak tenang dalam duduknya, tangannya bergerak meraih secangkir teh camomile yang harumnya dapat menenangkan pikiran.
“I know what I am doing, Kak. Aku udah dewasa, dan nggak seharusnya Kak Levi marah dengan keputusanku,” ucap Mikasa masih dengan nada yang tenang.
Tangan Levi dihentakkan ke sisi meja, kemudian mengeluarkan suara decakkan khas Levi Ackerman, “Apa kamu dipaksa Ayah untuk segera menikahi Eren?”
Kekhawatiran terbesar Levi adalah melihat adiknya yang terbelenggu, setelah kegagalannya melindungi Pieck dari belenggu kuasa sang Ayah, hal terakhir yang Levi inginkan adalah kegagalan lainnya untuk Mikasa yang terjerat belenggu kuasa Ayah mereka.
“Nope, it’s all on mine and Eren’s decision. Ayah sama Om Grisha cuma casually tanya kapan kita mau announce pertunangan kita—“ Mikasa memotong kalimatnya untuk melahap bite-sized cheesecake yang disajikan Petra.
“Terus Eren bercanda gimana kalau kita announce hari ini juga, waktu Brunch. Long story short, Ayah dan Om Grisha mendukung gagasan kami,” Lanjut Mikasa mantap.
Pieck akhirnya mencoba untuk buka suara, “Menurut kamu, ini nggak terlalu cepat emangnya?”
“Nope, Kak Pieck. This is the right time, kami berdua nggak mau menunda-nunda lagi. We’ve been madly in love for almost two decades.”
“As long as you are ready untuk melangkah ke tahap selanjutnya, as long as the decision came from your own, Kakak yakin semuanya akan baik-baik aja,” ucap Pieck pada akhirnya, turut bahagia untuk adiknya.
“Mikasa, you understand that marriage is not an easy task, right?” Tanya Petra mengambil alih, dirinya mempunyai kasih sayang yang sama besarnya seperti Levi untuk kedua adik iparnya. Namun Petra jauh lebih optimis dan mempercayai keputusan adik ipar bungsunya, bahwa keputusan yang dipilih tidak akan merugikannya.
Levi hanya mengusap batang hidungnya, keadaannya sudah jauh lebih tenang. Percakapan kali ini berjalan sesuai harapan mereka semua, tidak ada urat yang saling menonjol di kepala.
“Aku tahu, pernikahan itu nggak mudah. But I’ve learned a lot of stuffs about marriage, not only from you my brother and sisters, but also other people.”
“Kurasa apa yang dikhawatirkan Levi nggak akan terjadi, kamu jauh lebih capable untuk mengurusnya daripada yang kakakmu kira, Mikasa.”
“Thanks, Kak Petra. It meant a lot for me,”
“Fine—Kakak cuma harap kalau kamu bakal cerita ke kita semua sebelum mengambil keputusan bulat-bulat.” ucap Levi pada akhirnya.
“Sometimes, keputusan yang udah bulat akan jadi kotak lagi kalau aku ngobrol sama kalian, though...”
“Mikasa...”
Pieck mulai cemas, dibanding dengan dirinya, Mikasa jauh lebih berani untuk berargumen dengan Levi. Sedangkan dia hanya berusaha menjadi penengah, berusaha mencegah apabila keduanya mulai naik darah. Terkadang, pendapat Pieck jauh lebih rasional dari Levi, namun dia tetap memilih untuk diam, mempersilahkan kakaknya untuk memimpin.
“Enough, Mikasa. I have nothing to against your decision, I just want to let you know that we’ll always be here to catch your back.”
Mikasa beranjak dari duduknya, menghampiri Levi dan memeluk kakaknya dari samping seraya merapalkan kalimat betapa berterimaksih dirinya memiliki Levi sebagai kakak lelakinya. Kemudian Mikasa pamit dari kediaman Levi dengan alasan banyak agenda yang harus dirinya selesaikan sebelum petang, menyisakan Levi, Pieck, dan Petra di halaman belakang kediaman putra sulung Ackerman. Petra seolah melihat isyarat yang tak terucapkan dari kedua kakak beradik dengan surai legam sore itu, “Aku masuk dulu ya? I need to check on my report.”
Petra meninggalkan keduanya yang diselimuti keheningan untuk beberapa saat. Dengan Pieck, Levi tidak pernah tidak merasa bersalah. Pieck yang Levi ketahui tidak bahagia di dalam pernikahannya. Pieck, adik kecilnya yang tidak memiliki kesempatan untuk menikahi pria yang dicintai dan mencintainya.
“I am happy for Mikasa...” kalimat Pieck yang mengudara sampai dengan sempurna ditangkap oleh kedua telinga Levi, namun tatapan kosong adik perempuannya tak luput dari pengamatan Levi.
“Have you meet the bigger Jaeger today?” pertanyaan Levi yang menurutnya sangat out of topic membuat Pieck tersentak dan memposisikan tubuhnya menghadap kakak lelakinya.
“Dia kesini?” tanya Pieck heran dengan sebelah alis yang terangkat.
“Sebentar, just to drop the Jaegers and said a brief hello then he left,” balas Levi sambil mengangguk.
“Aku nggak punya alasan untuk ketemu dia,” ucap Pieck sambil menghembuskan nafas beratnya.
Levi paham benar dengan kesedihan yang terpatri di raut muka dan tatapan sendu adiknya. Untuk beberapa saat, Levi menyesal telah mengangkat topik sensitif ini ke permukaan, tapi menurutnya, cepat atau lambat Pieck dan lelaki itu akan bertemu, dan Levi mau adiknya sudah menyiapkan hatinya.
“How are you and Jean? Permintaan ayah soal cucu... Udah kamu bicarain sama dia?”
Pieck hanya menggeleng, “Aku rasa Jean juga punya gagasan yang sama kaya aku—that having a child is not necessary in our marriage.”
“Pieck... Trauma masa lalu nggak—“
“Ini nggak ada hubungannya dengan kejadian masa lalu, Kak.” Pieck menyela kalimatnya cepat-cepat, memberikan isyarat bahwa dirinya tidak mau membahas topik tersebut.
“I am sorry.”
“You are not at fault, Kak. Jangan khawatir, masalah itu akan aku dan Jean selesaikan. We both can handle it.”
Dianggukannya kepala Levi, tanda bahwa dirinya setuju dan mengerti gagasan adiknya serta siap untuk memgangkat topik lain selanjutnya. Pieck hidup untuk bersinar di atas panggung dengan Harpa-nya, lantunan musik klasik telah mengalir dalam darah kentalnya, Pieck selalu mengingatkan dirinya terhadap sosok ibu ketiga anak Ackerman yang sama-sama mencintai musik klasik.
“Then, are you really going to retire? From the stage?”
“As long as I still can hear the melody from afar, tanpa memainkan Harpa, I think I will be fine with it. Aku masih bisa terlibat di orkestra meski nggak secara langsung tampil di panggung, aku bisa kelola
yayasannya. Lagi pula, banyak harpist yang lebih muda dan mereka berhak untuk bersinar,” jelas Pieck cukup panjang, namun Levi tidak segera melanjutkan percakapan.
Teh camomile yang dihidangkan mulai mendingin, seraya dengan semilir angin sore yang langitnya mulai meredup sebab matahari akan segera tenggelam.
“Kak Levi,”
“Hmm?”
“You have had enough time to worry about me and Mikasa, as much as I appreciate your concern on us, but I want you to prioritize your own life first. I want you to do the things you wanted to do, tanpa mikirin kedua adik Kakak. Aku mau kakak mengutamakan kehidupanmu sendiri, mengutamakan Kak Petra dan calon anak dalam kndungan dia. I want you to live your life to the fullest.”
Ditatapnya dalam-dalam adiknya di sebrang meja, senyuman Pieck begitu hangat dan kehangatannya menembus jantung Levi sendiri. Sepanjang hidupnya setelah kepergian Ibunda mereka, Levi menghabiskan masa hidupnya dengan penuh kekhawatiran dan berjanji untuk memenuhi amanah yang ditinggalkan Ibundanya. Sebab Levi yang beranjak dewasa mulai sadar, dia tidak bisa sepenuhnya percaya dengan Ayah mereka.
“Kak, you went through a lot too... Nggak cuma aku dan Mikasa. I will always have your back too, please remember that. You worked so hard, you have done well.”
Sebagai kakak lelaki tertua bagi kedua adiknya, Levi tidak pernah diajarkan untuk menjadi egois. Sang Ibunda yang tidak panjang usianya berusaha memberi putranya pengertian bahwa dia harus menjaga kedua adiknya sepenuh hati, nasihat itu terus dijaga oleh Levi Ackerman jauh dalam lubuk hatinya. Sore itu, kalimat terakhir Pieck sebelum pamit untuk berpulang ke kediamannya menyadarkan Levi bahwa dirinya perlu untuk sedikit lebih mempriorotaskan kehidupannya.