lilymagicals

Hari pertunangan telah tiba, acara seperti biasa diselenggarakan di mansion utama keluarga Ackerman mengingat acara ini akan lebih private dari biasanya, acara pertunangan hanya akan didokumentasikan oleh beberapa jurnalis dari berbagai media yang telah dipilih sendiri oleh tim PR Ackerman Group.

Meskipun perayaan hanya dihadiri oleh tamu-tamu undangan yang jumlahnya tidak banyak, dekorasi venue tetap megah dan elegan berkat sentuhan tangan dan kerja keras Mikasa sendiri yang kerap turun langsung ke lapangan dalam mengorganisir segala kebutuhan hari pertunangannya.

Chandelier kristal yang menggantung di tengah langit-langit venue menjadi salah satu highlight kemewahan pesta tersebut karena indahnya sinar yang dipancarkan.

Acara inti akan berlangsung beberapa saat lagi. Mikasa dan Eren sama-sama disibukkan dengan kegiatan memberi salam kepada beberapa tamu penting yang kedua orang tua mereka undang, selain itu mereka berdua juga tampak sibuk mendokumentasikan beberapa foto dengan teman-teman mereka.

Semua yang berada di sana terlihat bersukacita, tak terkecuali Levi Ackerman yang terlihat lebih aktif dan bersemangat dari dirinya yang terbiasa diam dan senyum secukupnya. Pieck Ackerman di sisi lain terlihat cukup sibuk dalam memantau kelompok orkestra yang turut melengkapi acara pada malam itu. Rencananya, Pieck akan mempersembahkan sebuah permainan harpa untuk Mikasa dan Eren di hari pertunangan mereka.

Seperti biasa, teman-teman Eren dan Mikasa berkumpul untuk terlebih berbincang-bincang singkat. Lingkaran pertemanan keduanya selalu terlihat mencolok di banyak kesempatan. Membuat mereka yang bukan termasuk golongan selalu merasa iri.

Hampir semuanya memuji kecantikan Mikasa pada malam itu, sedangkan yang lain melempar candaan pada Eren dan bilang kalau visual lelaki itu terlihat tidak seimbang ketika berada di sebelah Mikasa.

“Cantik bener temen gue, berasa jadi ratu semalem nggak tuh?” Sasha Blouse yang dibelikan gaun hitam panjang yang ditaburi payet emasnya menyenggol lengan kanan Mikasa, pertanyaan Sasha disetujui oleh Annie Leonhart alih-alih Mikasa. Historia Reiss yang menggandeng plus one-nya malam itu ikut mengangguk, “And look at that necklace, gosh. Kalungnya cantik banget tapi bukan apa-apa kalau dibanding sama Mikasa!”

Mikasa justru menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Sasha, Annie, dan Historia yang melempar pujian kepadanya, “Ah bisa aja kalian! Thanks for coming ya guys, please enjoy the party.

“Pasti dong Sa, mana mungkin nggak. Eh, ntar after partynya jam berapa?” tanya Reiner.

Mikasa dan Eren memang sengaja mengagendakan sebuah after party untuk teman-teman mereka yang masuk ke dalam lingkaran pertemanan yang sama setelah acara formal pertunangan mereka berakhir. After Party juga terbuka untuk kakak-kakak Mikasa dan Eren beserta teman mereka, kalau berkenan.

“Yakali nggak ada. Ntar jam sebelas kita after party,” balas Eren kemudian diberi acungkan jempol oleh yang lainnya.

Ketika Sandra, asisten pribadi Mikasa menghampirinya untuk memberi informasi bahwa puncak acara akan segera dimulai, Mikasa dan Eren pamit lalu segera menuju podium utama di mana semua pasang mata akan tertuju pada mereka.

Mr. Ackerman dan Grisha Jaeger sudah menunggu keduanya di atas podium. Levi, Petra, Pieck, dan Jean terlihat duduk di kursi yang melingkari satu meja yang sama, namun kedatangan Zeke yang secara tiba-tiba secara otomatis membuat Pieck merasa canggung, ditambah dengan fakta bahwa kini dirinya duduk diantara Jean dan Zeke.

“Ngapain lo kesini?” merasa tidak suka, Levi bertanya dengan sinis kepada Zeke.

Sedangkan Zeke sendiri santai saja mengabaikan wajah senewen temannya, “Yaelah, masa gaboleh si. Di sini view ke podium itu yang paling jelas, kan gue pengen liat adek gue tuh di sana.”

Menurut Levi, alasan Zeke jelas sangat konyol. Dia jelas tahu kalau Zeke berusaha mencuri kesempatan untuk berada lebih dekat dengan Pieck padahal di samping Pieck sendiri ada Jean, suaminya.

This is a table for family. Lo gabung aja sama Hange or Erwin. Gausah ganggu.”

“Lho, aren’t we soon to be family? Ya nggak Petra?” Zeke mengangkat alisnya, menunggu jawaban Levi.

Petra yang tiba-tiba dilibatkan hanya mampu terkekeh sebab dia menemukan suaminya sangat lucu setiap kali ‘ngambek’ ketika ada Zeke di sekitarnya.

Don’t make a scene or else—

“Iya, iya, dimengerti. Liat deh Pieck, bener kan Abang kamu masih sensian dari dulu, parah banget ya?” kini Zeke mengalihkan perhatiannya untuk Pieck yang sedari tadi enggan ikut terlibat di percakapan Levi dan Zeke. Meskipun Zeke seolah sedang berusaha mengajaknya berbicara, Pieck tetap memilih diam.

Sedetik kemudian, Zeke beralih untuk menyapa Jean, “Eh ada Jean, how are you? Wah… Akhirnya saya ketemu juga nih sama yang kemarin sempat jadi trending topic haha.”

“Zeke!”

“Hahaha iya ampun, Lev. Gue diem deh.”

Jean menangkap gelagat tawa Zeke sebagai sebuah sindiran terhadap skandal perselingkuhannya, Jean secara pribadi tidak begitu mengenal kakak lelaki Eren, tapi dia tahu pasti kalau Zeke tidak begitu menyukai Jean, sama seperti yang ditunjukan Levi kepadanya sebagai suami dari adiknya.

Tapi mengingat dia telah menemukan fakta kalau Abang Eren dan Istrinya diketahui memiliki sesuatu yang disembunyikan, membuat Jean mau tidak mau tetap waspada. Jangan sampai Zeke masuk ke dalam daftar orang yang harus dia habisi di kemudian hari sebab mood Jean sudah tidak bagus sejak pagi tadi karena harus hadir di tengah-tengah acara pertunangan Mikasa—yang secara teknis masih menjadi gadis yang dia impikan sampai sekarang.

Puncak acara dibuka dengan pidato singkat Viktor Ackerman dan Grisha Jaeger, menjelaskan betapa bahagianya mereka atas acara pertunangan yang sedang berlangsung dan mengucapkan rasa terimakasih kepada para tamu undangan yang hadir, kemudian secara singkat menjelaskan visi keduanya setelah Ackerman dan Jaeger Group meresmikan rencana merger mereka.

“Eren and Mikasa, you may come to the center and deliver your speech,” ucap Viktor mempersilahkan.

Eren sudah siap menggenggam mikrofonnya dan mempersembahkan pidato singkat untuk acara pertunangannya. Dipandangnya Mikasa dengan intens, iris zamrudnya jatuh dari mata legam Mikasa ke kalung berliontinkan batu emerald yang warnanya serupa dengan iris matanya, lalu keduanya sama-sama tersenyum. Kemudian Mikasa mempersilahkan Eren untuk memulai pidatonya.

I met Mikasa Ackerman when were eight. Dulu Eren Jaeger kecil sebelum bertemu Mikasa itu cuma bocah ingusan yang suka marah-marah nggak jelas. Papa saya bilang itulah alasan kenapa nggak punya teman selain Armin Arlert. Tapi ketika saya ketemu sama Mikasa, dia langsung setuju untuk menjadi teman saya, saat itu saya jadi punya teman lain. Mikasa ini seorang teman dan partner yang membuat saya bisa melakukan hal-hal baru yang nggak bisa saya lakukan dengan Armin. Dulu kami sering bermain peran, di mana saya akan menjadi menjadi mempelai pria dan Mikasa akan menjadi mempelai wanitanya.

“Dan disinilah kami berdua, berdiri berdampingan untuk saling bertukar cincin, for real, thanks to the growing love we always planted together since we were children. Acara pertunangan ini saya dan Mikasa harapkan menjadi awal dari kisah cinta kami yang masih berlanjut, sampai di depan altar gereja, sampai kita memiliki buah hati, bahkan sampai kita menua bersama dan kemudian mati. So, please send me your blessings, everyone. Because we cannot wait to get our wedding underway after this. Thank you.

Riuh tepuk tangan menggema di seluruh penjuru ruangan, semua orang termasuk Mikasa terkejut dengan pidato singkat Eren yang sangat menyentuh. Bahkan Mikasa sukses meneteskan air matanya sambil tetap tersenyum menatap side profile Eren.

Tangan Mikasa bergetar ketika berada di genggaman Eren sebelum dia menyematkan cincin pertunangan mereka ke jari manis tangan kiri Mikasa.

Babe, your hand is shaking,” ucap Eren sambil berbisik dan terkekeh, disusul dengan Mikasa yang berdecak, “I didn’t know your public speaking is quite good,” jawab Mikasa setengah meledek.

Seusai cincin pertunangan mereka tersemat di jari manis Mikasa, tepukan tangan yang terdengar semakin meriah bahkan setelah Mikasa dan Eren turun dari podium.

Mereka berdua menuju sebuah meja tempat keluarga mereka berkumpul. Zeke menghampiri Eren dan meninju dada adiknya pelan sebagai tanda bahwa dia salut dan turut berbahagia atas pertunangannya.

“Gokil. Yang tadi itu beneran Eren Jaeger adek gue?”

“Beneran lah, keren kan gue?” Eren tersenyum bangga sambil memainkan kedua alisnya.

Levi dan Pieck beranjak untuk memeluk Mikasa, disusul ucapan selamat yang datang dari Petra dan Jean. Kemudian Eren mengajak Mikasa untuk menemui dan bergabung dengan orang tua mereka yang mejanya terpisah.

Sekarang adalah saatnya beralih ke acara selanjutnya, musik orkestra mulai mengiringi, para tamu undangan telah disajikan sampanye di masing-masing meja mereka.

Namun datangnya sekelompok petugas berseragam kepolisian bukan merupakan sesuatu yang Eren dan Mikasa ekspektasikan dan membuat seluruh perhatian tamu undangan beralih.

Mikasa tidak mengerti mengapa mereka bisa masuk menembus ketatnya penjagaan di entrance gate. Kondisi berubah menjadi tidak kondusif seketika, Eren dan Mikasa berdiri yang diikuti oleh beberapa orang disekitarnya beranjak dari tempat duduknya.

Iringan melodi klasik dari kelompok orkestra terpaksa dihentikan karena situasi yang tidak memungkinkan. Permainan Harpa yang rencananya akan dipersembahkan Pieck untuk Mikasa harus dibatalkan bahkan sebelum permainannya akan dimulai, berikut after party yang dorencanakan Eren dan Mikasa.

What’s going on here?” Eren menjadi yang pertama untuk angkat bicara. Pemimpin dari kelompok petugas kepolisian mengeluarkan selembar kertas, kemudian menyerahkannya kepada Eren.

“Eren Jaeger, you are under arrest for an illegal usage and transaction of drugs. Anda boleh tetap diam dan menghubungi pengacara untuk membantu anda selama proses investigasi. Anda harus ikut kami ke kantor polisi!” kemudian salah satu petugas menghampiri Eren dan segera memakaikan borgol ke kedua tangan Eren.

“APA-APAAN INI? Bapak nggak bisa seenaknya nangkap saya ya!”

Terdengar semua tamu undangan yang hadir di dalam venue mulai saling berbisik satu sama lain, tidak menyangka peristiwa seperti ini akan terjadi di tengah-tengah acara pertunangan Eren dan Mikasa, parahnya lagi, Eren ditangkap polisi di acara pertunangannya sendiri.

“Apa yang terjadi?! Eren!” Grisha Jaeger sama terkejutnya dengan Eren, dia hendak menahan putranya agar tidak dibawa pergi oleh petugas kepolisian, namun Zeke terlebih dahulu menahan ayahnya, “Tenang Dad! Jangan bertindak tanpa rencana.”

Mikasa hampir kehilangan keseimbangannya, melihat Eren yang memberontak di tangan petugas kepolisian membuatnya ingin menjerit. Kilatan yang berasal dari kamera jurnalis datang bertubi-tubi.

Levi dan Zeke berusaha membuat keadaan menjadi lebih kondusif dibantu oleh beberapa teman Eren dan bodyguard yang sedang bertugas. Bertholdt Hoover yang memiliki kontrol atas media memerintahkan para jurnalis untuk berhenti mengambil gambar.

Di sisi lain ketika Pieck hendak menghampiri Ayahnya, Mr. Ackerman terlihat geram di tempatnya dan pandangan tidak percayanya tertuju kepada salah satu pasang mata yang juga ikut menatapnya dengan sebuah seringai kemenangan.

Well—setelah Jean Kirstein, sudah dapat dipastikan kini giliran Eren Jaeger yang akan menjadi trending topic untuk beberapa hari kedepan.

Malam menunjukan pukul sebelas ketika Levi dan Petra berada di perpustakaan mansion utama yang hanya dihuni oleh Mikasa dan Mr. Ackerman. Petra terlihat sedang terduduk di salah satu sofa ruang baca sambil menikmati sebuah alunan melodi yang dimainkan Levi di atas tuts-tuts piano megah berwarna putih yang ada di dalamnya. Sebelum bertolak menuju mansion utama dan menemui Mikasa, Petra dengan senang hati mengajukan diri untuk ikut dan menunggu suaminya dengan menghabiskan waktunya di ruang baca, “Permainan piano kamu is as beautiful as usual. That was Gymnopédie by Erik Satie, am I right?

Jemari Levi berhenti menari di atas tuts-tuts piano ketika Petra memujinya, kemudian dia beranjak dari tempat duduk dan menghampiri istrinya, “Yes, that was Gymnopédie, one of my mother’s favorite piece.

“Kalian bertiga bener-bener all rounder ya, masa bisa jago di semua bidang gitu. I mean—look at you, kamu bisa jadi musisi kaya Pieck kalau fokusnya ke sana.”

I guess the talent runs in our blood,” tanggap Levi pada pernyataan istrinya, dia mempersempit jarak dan mengecup puncak kepala Petra, “Gapapa kamu ditinggal di sini? Aku mau ngobrol sama adek-adekku sebentar.”

“Gapapa, aku bisa baca-baca dan nyantai disini. Sana, Pieck sama Mikasa pasti udah nungguin Abangnya.”

I’ll be right back, jangan banyak gerak ya.”

Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Levi untuk sampai di kamar Mikasa meskipun dengan langkahnya yang masih sedikit terpincang dan cara berjalannya yang diseret, ketika dia mengetuk pintu kamar adiknya, Levi disambut oleh Pieck dan menemukan Mikasa sedang bercermin sambil tersenyum lebar yang mengundang sebuah pertanyaan darinya, “Sejak kapan kamu demen ngaca begitu?”

“Wah Kak Levi, I think you forgot that Mikasa used to be so girly when she was ten, apalagi pas dia udah naksir Eren—diminum kak tehnya, I prepared your favorite ones,” jawab Pieck menanggapi alih-alih Mikasa yang masih terfokus pada cermin yang ada di depannya.

“Tante Carla gave me this necklace, cantik banget ya? Batu emerald nya reminds me of Eren’s eyes!

Binaran di kedua mata Mikasa tampak begitu jelas ditangkap Levi dan Pieck ketika dia pada akhirnya mengalihkan perhatiannya dari cermin dan berjalan mendekat ke kedua kakaknya dengan langkah-langkah ringannya, membuat Pieck dan Levi tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lembut melihatnya. Mengingat semenjak kepergian ibu mereka di usia muda, Mikasa dan dua kakaknya sama-sama sempat kehilangan cahaya yang menuntun hidup mereka yang terpancar dari sosok seorang ibu. Meskipun memiliki seorang Ayah, hal itu tetap tidak cukup menghilangkan fakta bahwa mereka bertiga tidak akan pernah bisa lagi untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu, ditambah dengan ketika ketiga bersaudara Ackerman beranjak dewasa yang kemudian dibebani oleh segala tanggung jawab sebagai penerus-penerus kejayaan keluarga.

“Cantik, everything you wear will turn multiple times more beautiful,” puji Levi pada adik bungsunya. Dia masih ingat betul kejadian bertahun-tahun silam ketika Mikasa dan Eren yang pada saat itu masih berusia sepuluh atau dua belas tahun bermain peran dimana mereka berdua bersandiwara menjadi sepasang pengantin. Pada saat itu Levi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat betapa konyol adiknya san Eren, namun kini gambaran pernikahan sudah sangat dekat di hadapan Mikasa.

So, what’s coming after the engagement?” tanya Levi setelah selesai menyesap teh dari cangkirnya.

The wedding, of course. Aku nggamau lihat dari sisi bisnisnya karena menurut aku itu konyol walaupun sialnya—sangat menguntungkan. Kemarin setelah announcement pertunanganku, saham perusahaan Ackerman Group semuanya naik pesat hahaha.”

Pieck mengangguk setuju dengan penjelasan Mikasa, dia sendiri tidak begitu paham mengapa salah satu faktor kesuksesan perusahaan keluarga akan ditentukan berdasarkan kehidupan pribadi orang-orang di belakangnya, bukan sekadar kinerja profesional mereka. Menjadi bagian kelompok kelas atas, jaminan privasi tidak lagi menjadi privilege mereka, “Haha ya ampun miris. Tapi kemarin when Jean’s scandal broke out, saham Ackerman’s Conservatory yang aku pegang memang sedikit turun but our team can handle it fortunately.

Geez, about that—sumpah deh kak. Eren and I caught him holding other woman’s hand in 4k,” dengan kesal, Mikasa menanggapi topik tentang Jean yang barusan diangkat oleh kakak perempuannya.

I don’t understand why father chose that kind of bastard to marry you. Dari awal Kakak udah ga suka sama dia, and see… Sampai sekarang bahkan he and I don’t engage like a family despite him being your husband,” Levi tidak selalu menyuarakan ketidaksukaannya terhadap Jean meskipun hal itu dapat terlihat jelas dari bagaimana Levi memperlakukan Jean dengan seadanya dan cenderung acuh, namun kali ini dia memilih untuk berterus terang di depan kedua adiknya.

Sedangkan Pieck hanya tersenyum dengan maklum, dia tidak berniat untuk memberikan pembelaan atas perbuatan suaminya di depan keluarganya sendiri, “It’s okay, we already clear things out kok.”

How?

“Y-ya gitu… With our own way,” seketika Pieck gugup ketika Levi bertanya bagaimana caranya dia berekonsiliasi dengan Jean, membuat Pieck teringat pada kejadian beberapa hari yang lalu ketika Pieck menemukan dirinya terbangun di pelukan suaminya dan merasakan kontak langsung antar kulit mereka tanpa perantara sehelai benang.

Menghela nafas berat, kemudian Levi kembali berbicara, “Kakak nggak punya hak untuk mengintervensi urusan rumah tangga kamu dan Mikasa nantinya, tapi tolong, jangan jadi bodoh ketika kalian berdua nggak diperlakukan secara adil. Paham?”

Melihat kedua adiknya mengangguk sebagai bentuk bahwa mereka sudah paham, Levi beranjak dari duduknya kemudian menghampiri Pieck dan Mikasa lalu memeluk mereka satu persatu sebelum memilih untuk segera pamit, “Yaudah, take care ya both of you? Kakak pamit dulu, Petra nungguin di ruang baca.”

“Loh! Kok ngga diajak kesini aja Kak Petra-nya ih??”

She said she wanted to give us some privacy. Thank you Pieck buat tehnya.”

“Sama-sama, kak. Thank you juga udah mampir dan ngobrol sama kita. Tell Kak Petra that we said hello ya!”

“Tidur sana, kakak tahu ya habis ini kalian pasti mau lanjutin sesi gosipnya,” ucap Levi penuh tekanan, namun sebelum dia benar-benar sampai di daun pintu kamar adiknya, pertanyaan Mikasa membuat Levi menghentikan langkahnya, “Kak Levi, what’s wrong with your legs? Kenapa jalannya gitu??”

Pieck yang semula tidak menyadari cara berjalan kakaknya kini ikut mengernyitkan dahinya apalagi ketika mendengar jawaban Levi yang terkesan dingin dan berusaha cepat-cepat keluar dari kamar Mikasa, berusaha menghindar untuk membahas topik tersebut lebih dalam, “Nothing’s wrong. We’ll talk about that later. Good night, sisters.

Lalu punggung Levi sepenuhnya ditelan oleh daun pintu kamar Mikasa yang menutup.

“Kak Pieck… dia—Kak Levi, kakinya nggak kenapa-napa kan?” tanya Mikasa sambil menghadap ke arah Pieck sehingga kakak perempuannya dapat menangkap gurat kekhawatiran darinya yang tidak jauh berbeda dengan miliknya sendiri, “I don’t know. Let’s hope everything is fine. Tidur yuk? Udah malem loh, Sa.

Pada akhirnya, Mikasa mengangguk dan menggiring Pieck menuju ke ranjangnya untuk tidur.

Hatinya masih bergejolak dengan hebat ketika Zeke tidak sengaja membuka galeri ponselnya yang sebagian besar diisi oleh potret-potret Pieck yang sengaja dia ambil diam-diam. Even after weeks, his heart still feels numb and he doesn’t like it. Dia sudah mencoba untuk berhubungan dengan beberapa cewek lain sebab sebelumnya Zeke yakin dia tidak akan sulit move on dari hubungan monogaminya dengan Pieck yang telah dijalani selama lima tahun.

Tapi agenda-agenda brengsek yang biasa dilakukannya—bergonta ganti teman kencan, sebelum bertemu Pieck lima tahun silam tidak membuatnya merasa lebih baik. Zeke justru semakin menginginkan Pieck, ingin mencium bibir wanita itu kemudian melihat wajahnya yang memerah, ingin menenggelamkan wajahnya di helai rambut hitamnya yang begitu lembut, ingin melihat penampakan bahu mungil dibalik kemeja miliknya ketika pagi hari seusai percintaan mereka semalam, ingin mendapat cacian dari wanitanya karena selera humor Zeke yang begitu membosankan. Zeke ingin merasakan Pieck, tempatnya untuk pulang.

Zeke rindu gadisnya hingga rasanya begitu sakit. Kejadian beberapa hari lalu di stasiun menjadi pukulan terbesar buat Zeke apalagi ketika dia merasa telah membiarkan dirinya lalai untuk menjaga Pieck dari segala macam bahaya. Meskipun sebuah komitmen tidak pernah terlintas di kepalanya, melindungi Pieck adalah sebuah kewajiban tersendiri untuk Zeke laksanakan.

Seperti orang bodoh, Zeke tidak tahu lagi harus kemana untuk meredamkan gejolak hatinya. Namun ketika ponselnya berdering dan menampillan notifikasi panggilan masuk dari Bundanya, Zeke jadi teringat, mungkin ini saatnya mendekatkan diri dan mendengar pendapat apa yang akan diberikan bundanya terkait dilemma yang sedang Zeke hadapi.

Zeke feels the world and all the universes are against him ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Sebagai seorang anak, Zeke secara bertahap mulai memahami bahwa keluarganya tidak terlihat seperti yang ada di iklan maupun serial televisi di mana ibu dan ayah makan sarapan bersama, dan berjalan di pantai sambil berpegangan tangan.

Setelah perceraian kedua orang tuanya, Zeke masih sangat berharap orang tuanya akan kembali bersama dan tinggal di rumah yang sama. Tetapi semakin tambah usianya, semakin baik dia memahami dan menerima bahwa rekonsiliasi adalah kemungkinan yang sangat kecil. Namun bodohnya Zeke, dia terus berharap.

Keadaannya semakin parah setelah Zeke mengetahui suatu fakta bahwa dia merupakan seorang anak lelaki yang tidak direncanakan kehadirannya.

You are lying to me, Dad.

“Maksud kamu apa Zeke?” Grisha melihat Zeke yang masih remaja tanggung dengan cemas saat air mata mengalir turun ke pipi putranya. Marah, Zeke mengusap air matanya dengan kasar. “Papa sama Bunda, selalu bilang kalau kalian sayang sama aku. Tapi ternyata engga, aku yang lebih tau rasanya!”

“Kenapa kamu mikir begitu?”

“Kalian berdua nggak mengharapkan aku ada!” dia berteriak, “Bunda hamil karena ngga sengaja, ya kan, Pa? Dan itu satu-satunya alasan Papa sama Bunda nikah! Kenapa ngga abrosi aku aja dulu Pa??”

Grisha dan Dina tidak pernah secara khusus membahas seberapa banyak mereka akan memberi tahu Zeke jika dia kelak menanyakan pertanyaan ini. Saat itu tidak ada Dina untuk menenangkan Zeke, menutupi fakta bukan lagi menjadi pilihan yang tepat. Terlepas dari apapun, Grisha menganggap Zeke pantas mengetahui kebenaran yang sesungguhnya terjadi.

“Well, itu bener sayang. Bunda kamu sudah hamil bahkan sebelum kami nikah. Waktu itu Bunda kamu baru mau lulus kuliah lalu mulai berkarier dan Papa lagi internship di rumah sakit. Kehamilan Dina memang by accident, sayang, itu jadi rintangan terbesar buat Bunda kamu. Tapi tolong camkan baik-baik, abortion was never an option. Papa sama Bunda memutuskan untuk menikah dan merawat kamu.”

“Tapi Papa ga cinta sama Bunda… She, she wasn’t someone special to you…

No,” Grisha mengakuinya dengan lirih, “Tapi papa sama bunda menghormati dan sayang satu sama lain, sebagai sahabat, not lovers. Dan Papa bisa yakinin kamu Zeke, kalau kami berdua sayang kamu. Waktu Papa gendong kamu buat pertama kalinya, Papa senengnya bukan main, Bunda juga, sampai sekarang Zeke.”

Semenjak itu, ide tentang pernikahan sangat ditentang oleh Zeke. Pernikahan bukan sama sekali sesuatu yang mudah, apalagi ketika Zeke sudah dibebani rasa takut dan tidak adanya keyakinan dalam dirinya untuk diikat oleh sebuah tali pernikahan. Dia tidak bisa mengorbankan anak-anaknya di masa depan apabila pernikahannya gagal di tengah jalan, sebab Zeke tahu rasanya sesakit apa.

Selama lima tahun, makan malam bersama keluarga Jaeger telah menjadi agenda rutin dimana Pieck akan terlibat di lingkaran keluarga tersebut sebagai kekasih dari putra sulung keluarga Jaeger, Zeke. Namun family dinner kali ini terasa berbeda karena sudah seharusnya Pieck berhenti melibatkan dirinya di agenda tersebut mengingat Zeke dan dia sudah bukan merupakan sepasang kekasih. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa Pieck merupakan salah satu perempuan kesayangan keluarga Jaeger, kehadirannya di tengah-tengah mereka akan selalu disambut dengan suka cita.

Rasanya aneh sekali, seharusnya Pieck dan Zeke adalah dua orang asing sekarang. Setelah keduanya mengucapkan perpisahan di minggu lalu, malam ini membuat mereka berdua diselimuti kecanggungan yang begitu tidak nyaman. Pieck tertawa miris dalam hati, they used to be so close, dan dia berusaha mengatasi kecanggungan tersebut dengan terus menghindar dan memilih menyibukqn diri untuk ngobrol bersama Dina dan Carla. Sedangkan Zeke sendiri terlihat sibuk ngobrol dengan ayah dan adiknya di sisi lain.

Zeke, when are you gonna marry our Pieck?” ketika semua orang berada di taman belakang untung sekedar bersantai setelah agenda utama makan malam selesai, lagi-lagi pertanyaan serupa yang selalu ditanyakan pada Zeke terdengar ketika Dina membuka suara. Semua pasang mata kini memusatkan perhatiannya ke Zeke dan Pieck yang berdiri berdampingan.

Pieck tahu, Zeke tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan tersebut. Di kesempatan-kesempatan sebelumnya, Zeke memilih untuk langsung mengalihkan topik pembicaraan, sekarang Pieck tidak yakin respon apa yang akan Zeke berikan malam ini.

Zeke, katakan kalau kita sudah berpisah.

Well bunda, don’t give a burden on Pieck. Kalau waktunya udah tepat pasti kita menikah juga kok.”

Respon Zeke membuat Pieck bergerak dengan gelisah, seharusnya Zeke bilang saja kepada Dina kalau malam ini adalah malam terakhir Pieck untuk ikut bergabung di agenda family dinner mereka.

“Zeke, you’re thirty. Mau sampe kapan jadi bujangan tua? Pieck, kamu ngga mau maksa Zeke buat cepet-cepet nikahin kamu apa? Bunda ngga sabar pengen gendong cucu.”

Mom, we’re not talking about that matter here please. Biar aku sama Pieck yang urus.”

Merasa tidak enak sendiri karena membuat Dina terlalu banyak menaruh harap, Pieck ingin menangis ditempat. Pieck amat menyayangi Dina, sebab Dina adalah sosok ibu yang sudah lama tidak Pieck miliki. Setengah jam berikutnya, Zeke mengajak Pieck untuk pamit. Meskipun kedua orang tua Zeke—Dina dan Grisha, sudah bercerai, keduanya masih menjalin hubungan baik bahkan Dina dan istri Grisha sekarang yaitu Carla, sudah seperti kakak-beradik, jadi Dina memutuskan utnuk menginap di rumah Grisha dan Carla alih-alih pulang ke rumahnya sendiri.

Suasana perjalanan ke apartment Pieck begitu hening, bahkan keduanya tidak berusaha untuk sekadar menyalakan stereo dan memutar beberapa lagu selama perjalanan, “I am sorry Zeke.

Zeke menolehkan kepalanya ke samping kiri sejenak, meskipun cahaya di dalam mobil tidak memberikan akses dengan jelas untuk melihat wajah cantik Pieck, Zeke tahu ekspresi murung wanita itu ada disana, “Tiba-tiba banget? Sorry for what?

For that question, pertanyaan yang Bunda Dina tanyain ke kamu tadi pasti bikin kamu ga nyaman.”

It’s not your fault though, why are you sorry? Yang tadi juga bukan pertama kali Bunda nanyain begitu.”

I think we have to tell your family that we are over, don’t you think so?

Zeke hanya mengendikkan kedua bahunya sebagai jawaban. Tidak ada lagi percakapan hingga mobil Zeke berhenti di pelataran lobi gedung apartemen Pieck. Kemudian Pieck pamit dan berterimakasih sambil berpesan agar Zeke menyampaikan salamnya pada keluarga Jaeger—salam yang mungkin akan menjadi salam terakhir.

Tidak ada pula kecupan di pipi apalagi di bibir, seperti yang biasanya mereka lakukan selama lima tahun.

They used to hold each other so tightly, so warmly, what’s left now is the the coldness inside as soon as she turned her back around and disappeared from his car.

What should we do now, Zeke? Should I talk to you as if nothing really happened? You’re a stranger now, a stranger that no matter what will always be a stranger who feels like home.” ㅡ Pieck Finger

Jean terlihat tampan seperti biasa ketika Pieck melihatnya sudah terduduk di sudut kafe dengan segelas matcha latte di depannya sedangkan sang wira sendiri fokus pada ponselnya. Pieck sedikit tiba terlambat karena padatnya lalu lintas rumah sakit ke tempat janjian mereka, “Jean haai, maaf telat tadi macet banget.”

Mengalihkan pandangannya, Jean menemukan Pieck yang sudah ada dihadapannya, cewek mungil ini terlihat letih akibat aktivitas padat yang telah dilewatinya hari ini, mata sayunya semakin menunjukan kelelahannya membuat Jean tersenyum prihatin, “Gapapa, gimana presentasinya tadi? Mau pesen apa?”

“Yang kaya biasa aja—lancar kok fortunately, cuma ya nguras otak banget,” jawab Pieck kemudian diberi anggukan kepala dari Jean.

Baik Pieck dan Jean sudah membulatkan keputusan mereka sejak malam sebelumnya untuk menyelesaikan apapun yang harus diselesaikan, entah itu masalah atau hubungan mereka. Keduanya sudah tidak lagi menemukan kehangatan ketika berada di pelukan masing-masing, genggaman tangan mereka yang semula erat kini sudah mengendur, binar gemerlap sudah tidak lagi terlihat di kedua mata mereka ketika menatap satu sama lain.

Bagi Pieck, bertemu dengan Jean di masa-masa seperti ini terasa seperti ada membebani dirinya. Sedangkan Jean sendiri juga merasakan hal yang serupa, sama-sama enggan bertemu, dia merasa sudah kehilangan Pieck-nya yang semula pernah menjadi seseorang yang lebih berharga dari dirinya sendiri. Rupanya sebuah perpisahan sudah mereka ekspektasikan tanpa mereka sendiri sadari entah sejak kapan.

They have lost them, the feelings that were becoming the essential part of a relationship.

“Jadi… gimana?” Jean membuka suara ketika Pieck memasukan suapan terakhir wafflenya.

“Kayanya kita ngerasain sesuatu yang sama ya Je? Tapi kali ini menjurus ke sesuatu yang beda, kita udah ngga kaya dulu lagi.”

Setuju dengan kalimat Pieck, Jean mengangguk singkat, “Kita… We have lost our sparks, gitu ya maksudnya?”

“Mhm.”

“Maaf ya Pieck.”

Oh no, jangan minta maaf. Aku tahu ini bukan cuma kamu, kalau boleh jujur aku juga udah mulai menciptakan jarak di antara kita. Kaya… Aku ngerasa lebih baik ketika aku sendirian, not literally sendirianBut, like you’ve said aku udah nyaman ketika kamu ngga ada di sekitar aku.”

“Yeah Pieck, I understand that feeling. We’ve expected this to come—the break up I mean.”

Di sisi lain Jean merasa bisa saja membohongi dirinya dan mengatakan bahwa tidak ada satupun perasaan miliknya yang berubah untuk Pieck. Well, to the hell with it, he can fool himself, but he doesn’t want to fool her.

And a break up has never been easy, anyway.

Pieck menyadari hal tersebut sampai dia harus dengan susah payah hanya untuk menyunggingkan seulas senyum sebelum dia mengatakan sederet kalimat yang sudah lama terpendam di dalam benak, “Jean, let’s break up.”

Semuanya akan berakhir, apa yang dihadapi keduanya hanya soal perihal waktu yang tepat dimana mereka harus mengakhirinya. Keduanya tahu apa yang terbaik untuk mereka saat ini.

“Yeah, let’s break up Pieck.”

A meaningless sigh has now left both of them and they hope they will become a little more free in their own.

Potongan-potongan memori yang mereka buat bersama akan selamanya tersimpan, keduanya tidak berniat untuk menghapus kenangan-kenangan indah yang telah dilalui bersama begitu saja. Jean dan Pieck, keduanya tidak pernah menyesal telah begitu mencintai satu sama lain. Tidak ada siapapun yang menyalahkan siapa, yang tersisa di antara mereka adalah rasa syukur.

Perpisahan yang terjadi di tengah rintik hujan yang mulai turun pada malam itu kini menjadi sesuatu yang menandai akhir dari kisah romansa Jean Kirstein dan Pieck Finger.

Pieck and Jean, they don’t and will never hold any regrets to have each other as lovers. They enjoyed and treasured the time they’ve spent together. And those feelings were real, they loved each other.

Setiap penerbangan sangat menghormati gravitasi. Bumi dan tanah selalu ada di sana, berusaha menarikmu ke bawah. Itulah yang harus selalu diingat. Namun apabila penerbangan kalah dalam melawan hukum gravitasi, yang tersisa pada saat itu hanya sebuah harapan dimana kadang semesta memilih untuk tidak mendengar harapan-harapan itu.

Untuk mereka yang ditinggalkan, semoga mereka memiliki hati yang cukup besar untuk melawan rasa sakit atas kehilangan tersebut. Menangislah bersama riuk angin dan rintik hujan yang menemani, bumi ada bersama kalian.

Untuk mereka yang telah menembus cakrawala dan sampai di surga, istirahat lah dengan tenang. Perjalanan itu begitu berat dan melelahkan, bukan? Jiwamu akan selalu dikenang oleh semesta.

Fly high, beautiful souls. 🕊

Suasana bandara internasional Marley dan Paradis sama-sama dipenuhi banyak orang dengan sesak, baik dari petugas bandara, media, dan keluarga-keluarga penumpang yang namanya tercantum dalam daftar penumpang Pesawat ED854. Keadaan sama sekali tidak kondusif, para petugas berusaha memberi berbagai informasi yang telah mereka peroleh sejauh ini.

“Pesawat ED854 telah hilang dari radar sejak 30 menit yang lalu, mohon bersabar ya ibu… Semoga kita mendapat kabar baik,” salah satu petugas di bandara berusaha menenangkan para keluarga, meskipun sebenarnya dia sendiri pesimis akan mendapatkan kabar baik.

“Ya Tuhan! Anak saya ada di pesawat itu! Ya Tuhan.”

Suasana bandara menjadi semakin tidak kondusif ketika banyak pihak keluarga yang mulai marah dalam meminta kepastian, juga para media yang mendesak pihak bandara dan Eldian Air untuk segera memberikan statement.

“SIAPA PILOTNYA? BANGSAT! KENAPA KALIAN IJINKAN PILOT SIALAN ITU UNTUK MENERBANGKAN PESAWAT??”

“KEMBALIKAN ANAK SAYA!”

“ERWIN SMITH DAN ZEKE YEAGER HARUS PERGI KE NERAKA!”

Grisha mematung ditempat ketika mendengar suara yang meneriakkan nama putra sulungnya. Zeke adalah pilot yang menerbangkan pesawat? Informasi itu tidak diketahui olehnya. Ya Tuhan… Grisha bahkan sejenak lupa kalau putra sulungnya adalah seorang pilot dan sangat mungkin juga bagi Zeke untuk berada di dalam pesawat itu. Fakta yang ada justru lebih menyakitkan, kedua putranya, Zeke dan Eren, berada di dalam pesawat itu.

“Anak saya pasti pulang kan???”

“Bapak Ibu, yang sabar ya. Kami masih berharap akan ada keajaiban untuk Sasha.”

Sesak memenuhi hati mereka—para keluarga, teman, kekasih, kerabat kerja, dan lainnya yang berjuang sekuat tenaga untuk tetap terjaga meski malam sudah larut, menanti keajaiban. Keajaiban yang seumur hidup mereka begitu harapkan untuk datang pada Sembilan November.

🕊

Theo Magath sampai di ruangan pribadi Raja Willy Tybur, dia disambut dengan wajah sumringah dari Sang Raja, “Kerja bagus Magath! Perhatian semua orang kini sudah beralih ke kasus jatuhnya pesawatmu.”

You are no human, Your Majesty. Saya tidak tahu berapa lama masyarakat akan mengalihkan perhatian mereka, kalau sekali saja bangkai busuk anda tercium, maka tidak ada ampun dari masyarakat untuk anda. Anda harus membayar dosa kekejian anda, Yang Mulia,” kalimat Magath disampaikan dengan penuh penekanan, setelah itu dia tidak segan untuk berbalik dan keluar dari ruangan tersebut tanpa memikirkan konsekuensi bahwa tindakannya tidak sopan di depan Raja.

Persetan.

Theo Magath hanya ingin mendengar kabar secepatnya dari Erwin dan Zeke, memastikan kalau mereka berhasil keluar dari ledakan pesawat itu hidup-hidup.

🕊

Selama lebih dari 24 jam, bandara masih belum kondusif. Pihak keluarga dan media bermalam disana demi mendaptkan informasi dan kabar lainnya. Mereka semua masih dipenuhi harapan baik, namun tidak sedikit dari mereka yang sudah tidak berani menaruh harap.

Hari-hari pun telah berlalu, kemudian memasuki pekan-pekan yang baru. Masih belum ada informasi yang jelas, seandainya adapun, informasi yang dibawa tidak berujung baik. Tangisan-tangisan pihak keluarga masih memenuhi semua penjuru bandara internasional Marley dan Paradis.

Sesuai dengan yang telah Willy Tybur harapkan, pengalihan isu yang diagendakannya bisa dikatakan berjalan dengan mulus. Langkah selanjutnya adalah menjaga bangkai dengan jarak sejauh mungkin agar tidak tercium oleh pihak manapun.

Sementara negara-negara lain mengirim suplai bantuan evakuasi para korban kecelakaan pesawat, kegiatan-kegiatan besar penting seperti pekan olahraga Marley-Paradis ditunda oleh kedua negara, aktivitas demonstrasi di Marley telah dihentikan semenjak kabar hilangnya Pesawat ED854 dari radar terdengar sebagai bentuk respek terhadap para penumpang dan kelurganya, sebagian besar publik dan masyarakat internasional mengirimkan ribuan doa terbaik untuk keselamatan penumpang Pesawat ED854.

Pesawat berada di ketinggian 34.000 kaki di atas permukaan air laut ketika mesin di sayap kanan badan pesawat meledak, sesuai dengan perkiraan Erwin dan Zeke. Ketika peringatan kebakaran untuk mesin di sayap kanan berbunyi dan lampu merahnya menyala, Erwin segera bereaksi dan melakukan persis seperti diajarkan padanya dan sudah biasa dilakukannya selama bertahun-tahun selama menerbangkan pesawat 737. Dia menarik tuas peringatan kebakaran, yang secara otomatis langsung membuat mesin mati.

Petugas mekanik pesawat terlihat panik ketika mencoba untuk mencari tahu situasi bagian tubuh pesawat yang meledak. Di dalam kokpit, Erwin dan Zeke berusaha setenang mungkin mengendalikan manuver kemudi pesawat agar tetap seimbang, tangan mereka sama-sama sibuk untuk memberikan radar ke menara ATC.

“Mayday! mayday! mayday!”

Namun, tidak ada balasan apapun dari menara. Radar mereka terputus begitu saja, “ZEKE! Tetap coba hubungi menara, CEPAT. I’ll try to tell the cabin crew to keep the passengers calm.

Meskipun hal-hal kekacauan seperti ini sudah mereka berdua antisipasi, naluri Zeke dan Erwin sebagai seorang pilot tetap mempimpin mereka untuk menjaga pesawat agar tetap stabil meskipun dapat mereka rasakan kalau pesawat sudah mulai berposisi menukik curam ke bawah, “KEEP THE PLANE STEADY!

“Mayday! Mayday! Mayday!”

Masih tidak ada respon, menara ATC tidak menerima sinyal.

Aliran listrik di dalam kabin pesawat sudah mulai padam, jeritan-jeritan panik dan tangisan yang terdengar membuat hati Erwin dan Zeke teriris, perasaan berat yang timbul belum sempat mereka berdua antisipasi. Para awak kabin berusaha menginstruksikan penumpang untuk segera mengenakan kembali sabuk pengaman mereka disertai dengan tabung oksigen, “Everyone! Don’t be panic, fasten your seatbelt and put the oxygen to yourself!

Pesawat berguncang semakin hebat, membuat para penumpang di dalamnya kehilangan keseimbangan dan tubuh mereka terlempar di dalam kursi penumpangnya ke arah kanan dan kiri secara bergantian. Banyak dari mereka yang sudah mengalami cidera, serangan panik, bahkan sudah kehilangan kesadaran.

“Ymir… if we don’t survive this, I have no regret. I love you, I owe you a lot.”

“Mami… maaf kayanya Jean ngga bisa natalan di rumah tahun ini dan seterusnya.”

“What a beautiful day amidst the disaster...”

“Aku mau pulang, Ayah, aku mau pulang.”

“Levi, it’s been a great time to work together with you, thanks ya hehe.”

“Mikasa, pegang tangan aku erat-erat ya…”

“Pa, even though I will be the first one to leave, please continue your life even it’s hard.”

“Ma, maaf belum bisa bikin mama bangga…”

“Let’s meet in another lifetime, my dear little Pieck…”

“Farewell to the skies.”

Sebelum terperangkap di dalam sebuah kecelakaan pesawat, semua penumpang merupakan orang-orang yang telah ditunggu kehadirannya di tempat tujuan mereka masing-masing. Tangisan-tangisan para penumpang terasa begitu memyakitkan bagi Pieck dan semuanya yang bisa mendegarkan. Ada yang merapalkan kalimat-kalimat terakhir mereka dengan lirih, ada juga yang berteriak keras-keras, namun tidak ada dari mereka yang memiliki harapan untuk selamat dari guncangan pesawat ketika mereka dapat merasakan pesawat sudah mulai terjun bebas ke bawah.

Dear passengers, for once in a lifetime, we will finally be able to land heaven after passing the horizon. May the force to be upon you, God bless.

Beberapa detik berikutnya yang begitu menyiksa, pesawat Boeing 737 ED854 telah jatuh dan tenggelam di wilayah perairan.

Erwin sudah berada di dalam kokpit pesawat dan duduk di kursi kemudi sebelah kanan, dia tampak rileks seperti biasa seolah-olah dia tidak perlu menerbangkan pesawat hingga satu sampai dua jam kemudian untuk dijatuhkan. Mata dan tangannya mulai bergerak untuk memindai instrumen peralatan kemudi yang sudah dia hafal di luar kepala. Apabila sesuai rencana, mesin dari sayap kanan pesawat akan meledak dan timingnya harus pas.

Ketika sedang fokus, Erwin dikejutkan dengan kemunculan Zeke di dalam kokpit dan rekannya tersebut terlihat panik, “What’s wrong dude?”

“Erwin, Pieck is here.

“Hah?”

Setahu Erwin, seharusnya tidak seorangpun yang mereka kenal akan ada dalam penerbangan mereka saat ini. Zeke juga sudah mengkonfirmasi kalau kekasihnya tidak akan bertugas di pesawat ini.

“Erwin, I can’t do this. Kita ubah rencana ya? Gue ga sanggup jalanin rencana ini.” ucap Zeke mendesak Erwin untuk setuju dengannya.

“Zeke, the plane will crash eventually.

Erwin paham konflik yang sedang terjadi dalam diri Zeke, agenda kabur dari ledakan pesawat mereka tidak akan melibatkan Pieck yang artinya Zeke harus meninggalkan ke kasihnya di dalam pesawat sementara dia dan Erwin akan terjun bebas menggunakan peralatan yang telah tersedia.

“Win, kita bisa emergency landing, inget??” Zeke benar, emergency landing merupakan sebuah opsi. Namun itu berarti rencana tidak akan berjalan seperti yang telah mereka rancang, sedangkan Erwin selalu hanya akan berfokis pada satu penyelesaian sebuah misi tanpa melihat opsi atau faktor lain meskipun akan membahayakan nyawanya, “Kita liat nanti. Cepetan Zeke, sit down and put your equipment ready. We’ll board soon.”