lilymagicals

“Mau kemana kamu malam-malam begini?”

Grisha Yeager bertanya ketus ke putra sulungnya ketika Zeke muncul di anak tangga terakhir dan berjalan melewati Ayahnya acuh.

“Mau ngerjain tugas di rumah Pieck,” jawab Zeke singkat.

“‪Kenapa nggak sama Erwin aja? Dia lebih pintar daripada Pieck Finger.”

Mendengar itu, Zeke menjadi geram. Ayah nya ini gemar sekali merendahkan dan underestimate banyak hal, Pieck contohnya. Kedekatan Zeke dan Pieck juga sering dikritik oleh Grisha karena Ayah nya ini mempunyai gagasan kalau seharusnya Zeke bergaul dengan Erwin saja—melihat ke latar belakang keluarga teman pirangnya ini yang Ayahnya adalah seorang Senator, sehingga dianggap bisa lebih menguntungkan Grisha dan Zeke sekaligus.

“Bukan saya yang menentukan anggota kelompok belajarnya, Pa. Permisi dulu.”

“Pulangnya jangan malam-malam!”

Kalimat terakhir Grisha tidak diindahkan oleh Zeke, juga tidak dia dengar sepenuhnya karena Zeke buru-buru keluar dari rumah dan agak membanting pintunya sampai menutup.


Pieck sudah siap menunggu kedatangan Zeke di ruang tamu kediamannya. Dia masih tidak percaya harus kembali berkutat dengan jurnal dan paper-paper kuliah yang selalu enggan Pieck jamah lagi—meskipun dia pada akhirnya tetap mengerjakannya dengan baik. Di masa kuliahnya dulu, Pieck memang golongan mahasiswa berprestasi, namun sayangnya dia kurang menonjol karena tidak memiliki ambisi.

Berbeda dengan Zeke, pria itu punya segudang prestasi. Di versi yang dulu, Zeke digadang-gadang untuk meneruskan dinasti politik yang sudah keluarganya bangun. Untuk versi yang sekarang, Pieck belum tahu seperti apa keadaan Zeke karena ada kemungkinan yang berbeda mengingat beberapa peristiwa baru yang tidak terjadi di tahun 2016 versi pertama satu persatu mulai datang.

Ketika bel rumahnya berdering, Pieck langsung membuka pintu utama dan melihat Zeke berdiri sambil menjinjing ranselnya. Namun, Pieck dikejutkan ketika telapak tangan Zeke ditempelkan ke keningnya sebagai gestur mengecek suhu tubuh, “Normal kok, nggak sakit beneran ternyata.”

Maklum, sudah hampir seminggu terdampar di masa lalu dan Pieck masih saja belum cukup beradaptasi dan menurut Levi, Pieck kian bertingkah aneh atau terlalu lama mencerna banyak hal, membuat Zeke ikut bertanya-tanya tentang kewarasan Pieck.

“Heh, lo nya aja yang gak percaya. Sini, masuk Zeke.” ucap Pieck yang membuka pintunya lebih lebar untuk mempersilakan Zeke masuk.

“Om Finger mana, Pieck?”

“Barusan udah masuk kamar sih, katanya capek habis main golf sama temen-temennya.”

Bicara tentang Ayahnya, di dimensi waktu tempat Pieck terdampar sekarang, dia tidak menemukan banyak perubahan. Hanya ada satu perubahan yang sangat Pieck syukuri karena dulu, Ayah nya cenderung lebih kurang sehat dari Ayah nya yang dia temui sekarang. Buktinya, Mr. Finger mampu melakukan serangkaian aktivitas sampai olahraga dengan bugar.

Pieck dan Zeke langsung mendudukan diri di lantai berlapiskan karpet hangat dan mengeluarkan semua yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas. Pieck masih belum terbiasa menggunakan kembali laptop jadulnya sehingga dia kerap menggerutu di tengah-tengah aktivitas mengetiknya.

“Kenapa sih Pieck?” Zeke bertanya ketika menyadari Pieck terlihat tidak nyaman di sampingnya.

“Eh gak gitu hehe, gue cuma kurang suka aja nih sama matkul ini.”

“Lah? Perasaan minggu lalu lo satu-satunya yang aktif diskusi sama Pak Zackly di kelas matkul PPNB.”

Mendengar itu Pieck menjadi canggung sendiri, dia juga menyadari banyak hal yang tidak dia ingat dan terlewat olehnya, “Hehe iya sih, yaudah ayo lanjutin dulu ni reviewnya. Land reform ini efektif nggak Zeke menurut lo?”

“Menurut gue sih a good progress ya, cuma yang menyebabkan belum berhasilnya ya itu tadi, masyarakat Filipina nya yang masih menganut sistem konvensional.”

Oh tentu saja, Zeke masih se-cemerlang dahulu.

Meskipun di versi lama tahun 2016 mata kuliah ini tidak termasuk dalam daftar matakuliah yang Pieck ambil, dia tidak merasa kesulitan sekarang untuk sekadar mereview sebuah artikel jurnal. Mungkin karena berkat Zeke juga yang selalu bisa Pieck andalkan untuk sesi brainstorming ketika ada konsep yang belum dia pahami dari mata kuliah ini.

Setelah kurang lebih tiga jam berkutat dengan paper dan jurnal mereka, keduanya akhirnya bisa lebih santai. Pieck mengeluarkan beberapa cemilan dan membaginya dengan Zeke. Dilanjutkan dengan perbincangan ringan yang membuat Pieck senang bukan main karena bisa berada di momen-momen seperti ini dengan Zeke lagi, hingga dia tersadar kalau malam sudah mulai larut.

“Zeke? Lo nggak mau pulang?”

Pertanyaan Pieck membuat Zeke melirik ke arlojinya, ternyata sudah hampir pukul sebelas. Namun Zeke merasa berat untuk memilih jawaban mana untuk pertanyaan Pieck, walaupun dia sendiri sebenarnya sudah tidak enak karena bertandang ke rumah temannya hingga larut malam.

Rumah Zeke dan Pieck memang berada di satu komplek perumahan yang sama, tetapi untuk melangkahkan kakinya kembali ke rumah sendiri terasa sangat berat bagi pria itu. Bukan apa-apa, dia merasa lebih baik jika tidak berada di rumah. Toh di sana, tidak ada seorang pun yang membuat Zeke betah berada di rumah.

“Sebentar lagi, gapapa kan?” tanya Zeke, sedangkan Pieck mengangguk saja.

Pieck jadi heran melihat Zeke yang air mukanya berubah, terlihat raut yang tidak pernah Pieck temukan sebelumnya. Kalau perempuan itu tidak salah ingat, Zeke tidak pernah terlihat seperti ini, dimana sorot birunya terlihat kosong. Sepertinya Zeke Yeager yang ini lebih jujur dalam memperlihatkan sebuah ekspresi. Dulu, Pieck hampir tidak bisa membaca pria di sampingnya ini.

Apa yang terjadi selanjutnya hanyalah mereka berdua yang sibuk berdiam diri, meskipun tidak diselimuti kecanggungan, Pieck tetap bertanya-tanya mengapa Zeke memilih untuk mengulur waktu kepulangannya apabila sudah tidak ada yang ingin pria itu lakukan dengannya.

“Zeke? Are you there?

“Eh Pieck, sori-sori. Err… Lo pasti udah ngantuk ya? Gue pulang aja deh kalau gitu.”

“Belum ngantuk sih… Tapi gapapa kalo lo mau disini dulu,” seharusnya Pieck merasa senang ketika mengetahui ada bagian dari diri Zeke yang ingin tetap tinggal, dia bisa saja berpikir kalau Zeke ingin berduaan dengannya untuk waktu yang lebih lama. Tapi Pieck tidak bisa berpikir demikian, justru dia penasaran dengan apa yang membuat Zeke ingin menunda kepulangannya. Sayangnya, rasa penasaran Pieck tidak terjawab saat itu juga ketika Zeke justru memegang bahunya.

“Ke warung wedang ronde depan komplek mau nggak?” tawar Zeke.

Pieck berpikir itu bukan ide yang buruk. Malam ini cukup dingin dan cocok untuk menikmati semangkuk wedang ronde, dengan Zeke pula. Mengingat kelas pertamanya besok akan dimulai siang hari, Pieck langsung menyetujui tawaran Zeke yang artinya jam tidurnya akan lebih terlambat malam ini, “Boleh, yuk!”

Di tengah perjalanan dari rumah Pieck ke kedai ronde yang mereka tuju dengan berjalan kaki, juga ditemani sinar rembulan yang membuat suasana menjadi terasa lebih nyaman meskipun tidak ada dari keduanya yang berbicara. Pieck menemukan dirinya sedikit terlena di antara senyuman yang dia sembunyikan agar tidak diketahui oleh Zeke.

Sampai-sampai gadis mungil itu tidak menyadari sebuah sepeda motor yang melaju sambil oleng ke arahnya—perlu diingat, Pieck Finger adalah gadis ceroboh. Kalau tidak karena Zeke yang sigap menarik dirinya, alih-alih terdampar di pelukan Zeke yang dekapannya sangat erat, Pieck mungkin sudah terjatuh mencium aspal.

“Lo nggak apa-apa, Pieck?” tanya Zeke sedikit panik, matanya menjelajahi Pieck dari atas sampai bawah, mengecek apa gadis mungil ini punya luka.

Pieck menggeleng, “Nggak apa-apa kok gue. Makasih ya hehe.”

“Siniin tangan lo.”

Merasa bingung dengan perkataan serasa perintah Zeke, mau tidak mau Pieck tetap memberikan tangannya yang berujung digenggam oleh Zeke sambil meneruskan perjalanan mereka.

“Lo emang harus dipegangin gini biar gak ceroboh. Watch your step, little girl.

Selain mendapatkan ekstra kehangatan, Pieck juga merasakan ekstra degup jantung yang temponya kian cepat. Malam itu, Zeke tidak melepaskan genggaman tangannya sampai dia berhasil membawa Pieck pulang kembali ke rumahnya.

Musim semi tahun lalu adalah dimana pertama kalinya kedua mata kita saling bertemu, waktu itu yang kuingat dari dirimu hanyalah iris biru sebening bentang lautan dan surai pirang yang hampir sama persis dengan milikku. Sungguh, aku sangat ingin mengetahui namamu.

Ketika kulihat kau mendudukan dirimu di sebuah bangku taman, bunga-bunga yang bermekaran semakin mempercantik indahnya dirimu yang tertawa dengan manis sembari mendengar celotehan temanmu. Sungguh, aku begitu ingin menghentikan langkahku dan ikut duduk di sampingmu—mendengar suara tawamu dengan lebih dekat.

Pada suatu hari ketika aku akhirnya mengetahui namamu, nama yang terus berlarian di dalam pikiranku, nama yang begitu indah ketika kau ucapkan dari sela bibirmu—Annie Leonhart, aku ingin segera bisa tenggelam dalam percakapan panjang denganmu.

Aku selalu percaya kalau semua perempuan adalah kelopak bunga. Ada yang bersemi mekar dengan megah, ada juga yang bersemi namun masih malu-malu memperlihatkan keindahan kuntumnya.

Kalau Annie Leonhart, aku melihatnya seperti bunga yang kelopak di kuntumnya belum sepenuhnya mekar, namun memiliki warna yang tidak dia sadari membuat hatiku susah untuk diatur ritme detaknya.

Ketika aku berhasil menggapai sesuatu tentang dirimu, mana mungkin aku bisa berhenti menginginkan sesuatu yang lebih tentang dirimu untuk kembali kugapai?

Annie, di musim semi tahun ini, aku memberanikan diri dan memohon izin kepadamu untuk berjalan beriringan di sampingmu ketika bel terakhir sekolah telah berdering. Anggukkan kepalamu membuatku tak berhenti tersenyum dan terus bertanya dalam benak.

Annie, meskipun aku hanyalah seorang Armin Arlert, namun bolehkah aku berjalan saraya menggandeng tanganmu?

Annie, aku memiliki sebuah harapan—harapan agar setidaknya aku bisa berjalan beriringan denganmu dalam jarak yang lebih jauh dari pemberhentian bus sekolah yang begitu ramai sampai rasanya sesak, sehingga waktu yang kita lewati bersama akan lebih panjang.

Annie, aku begitu benci ketika diriku dan dirimu harus dipisahkan dengan langit sore yang mulai merubah warna senjanya menjadi lebih gelap.

Setiap kali aku melihat bangku taman yang bisa kita duduki berdua, aku ingin kita singgah di sana sebentar saja untuk mengulur waktu perpisahan. Aku ingin terus berhenti di sana, sambil memanggil namamu meskipun aku tidak memiliki sesuatu yang lain untuk dikatakan.

Satu langkah

Dua langkah

Dan langkah lainnya yang mengantar kita ke tempat dimana kita harus berpisah terasa begitu berat untuk kujalani sendirian.

Tapi Annie, sebelum berpisah, aku ingin memberikanmu kehangatan, maka terimalah sebuah pelukan ini dan tunggu... tunggu hingga hari esok, sampai kita akan bertemu kembali.

Annie, aku berpesan kepadamu agar kau sampai di rumah dengan selamat di tengah-tengah lambaian tanganku yang kau balas dengan senyum singkat. Ketika kau mulai berjalan masuk ke dalam bus dan punggung indahmu mulai hilang dari jarak pandanganku, aku berbalik dan sudah mulai merindukanmu pada detik itu juga.

Annie, aku selalu menyertakan namamu di setiap doa di malam hari sebelum tidurku. Beberapa saat lagi lagi kita akan sampai di akhir pekan yang telah ditunggu-tunggu, aku berharap kau akan tidur nyenyak di malam ini.

Sebab, aku akan menjadi seseorang yang datang untuk menjemputmu di akhir pekan yang telah kita nantikan untuk dilewati—juga mengukirnya dengan kenangan-kenangan indah bersama.

“Annie, mari bertemu kembali di halte bus yang sama pukul dua siang di akhir pekan.”

Dengan hati yang berdebar, langkah kakiku membawaku ke tempat tujuan, melalui angin yang berhembus, ditemani birunya langit, untuk menemui dirimu.

Being in a solitude through Levi Ackerman’s vision. This 1.900+ words of narration is coming from Levi’s 1st POV.

In the town of broken hopes The streets are filled with regrets Maybe down in a Lonesome Town Where the broken heart stays I can learn to forget.


Perempuan itu masih disana, tetap setia duduk di dekat jendela berkusen kayu akasia di jam-jam sore hari yang paling strategis untuk mendapatkan sinar golden hour.

Sudah seminggu sejak pertama kalinya gue singgah ke kedai kopi ini, perempuan itu masih saja selalu fokus ke sebuah objek yang gue tebak adalah buku sketsa.

Kadang gue melihat dia menggambar, kadang juga gue lihat dia cuma sedang sekadar menulis—seperti saat ini. Selama itu pula, gue nggak pernah mendapati adanya kehadiran orang lain yang menemani dia.

Seketika gue jadi terheran sendiri, sejak kapan gue menjadi seorang pengamat? Gue sendiri nggak tahu jawabannya, karena yang gue tahu, gue nggak cukup peduli untuk hal-hal yang nggak worth it buat diperhatikan.

Tapi perempuan yang rambut hitamnya sedikit berantakan itu bikin gue ingin menjadi pengamat untuk lebih lama lagi—kalau bisa sih jadi pengamat yang lebih dekat.

Pikiran itu langsung gue tepis jauh-jauh ketika salah satu pelayan datang ke meja gue untuk mengantarkan pesanan yang tadi gue pesan, yaitu satu teko teh camomile yang bisa gue lihat uapnya masih mengepul.

Tempat yang gue singgahi ini memang kedai kopi yang menu utamanya tentu saja berbahan dasar biji kopi, tapi teh racikan mereka rasanya benar-benar pas di lidah gue dan langsung menjadi menu favorite.

Di kota kecil ini, semuanya serba terbatas, nggak banyak fasilitas yang bisa didapat. Kehidupan orang-orang disini jalannya cukup lambat—nggak grusak grusuk seperti di kota besar, cocok buat gue yang sedang mencari ketenangan.

Kedai kopi ini bisa dikatakan sebagai kedai yang paling proper buat disinggahi sambil nyantai. Itu saja nggak banyak pelanggan yang berkunjung. Sudah kurang lebih seminggu, gue bisa menyimpulkan kalau pelanggan tetapnya hanya ada gue sendiri dan perempuan yang tadi gue sebutkan.

Sedikit cerita, kota kecil ini sudah menjadi destinasi ke sekian yang gue tuju sebagai tempat pelarian. Semenjak satu kejadian di masa lalu yang bikin gue nggak karuan dan sempat hampir kehilangan kewarasan.

Perlahan-lahan gue sadar kalau hidup seorang diri adalah salah satu cara penyembuhan yang paling tepat, namun nggak sedikit dari kerabat gue yang khawatir dengan pilihan gue, seperti Mikasa—saudara perempuan gue, contohnya.

Dulu, gue selalu bertiga dengan dua teman lainnya. Namanya Erwin Smith dan Hange Zoë. Sekarang keduanya sudah sepenuhnya pergi dari kehidupan gue. Bukan karena gue sendiri yang minta mereka untuk pergi, tapi yang di atas punya rencana lain dengan merenggut keduanya dari gue, yang menurut-Nya adalah rencana terbaik.

Semenjak itu, gue menjadi takut untuk ditinggal sendirian, apalagi ketika sudah sangat terikat pada individu lain. Untuk mengantisipasi kejadian serupa di masa depan, gue memilih untuk nggak ditemani siapa-siapa, karena gue tahu pasti sebuah konsep yang bunyinya “nothing will last forever” itu benar adanya.

Namun sudah seminggu gue mulai merasakan sesuatu yang berbeda semenjak kedua mata tajam gue pertama kali menangkap sosok perempuan itu. Dari tempat duduk gue, perempuan itu kelihatan sangat mungil, mungkin lebih mungil dari gue—yang dimana secara nggak masuk akal bikin hati gue sedikit bersorak senang.

Selama satu minggu, yang bisa gue tangkap adalah side profile-nya. Hidung perempuan itu bangir, bentuknya persis seperti hidung-hidung khas Orang Yunani. Sinar golden hour yang memandikan wajahnya bikin perempuan itu semakin kelihatan ethereal. Jujur, sosoknya sedikit bikin gue ingat kepada mendiang Ibu, mungkin karena mereka berdua punya surai hitam yang serupa.

Secara nggak terduga, ada sensasi hangat yang mampir ke hati gue setiap kali mengamati perempuan itu diam-diam. Gue merasa ada sosok yang menemani, meskipun nggak ada siapa-siapa selain gue dan perempuan itu—meskipun juga gue dan dia sama sekali nggak berinteraksi secara langsung.

Gue jadi penasaran apakah dia juga merasakan kehadiran gue di kedai kopi ini. Ajaibnya, rasa penasaran gue langsung terjawab ketika perempuan itu menangkap basah gue yang sedang memandangnya.

Alih-alih melempari gue dengan ekspresi jengkel atau nggak nyaman, perempuan itu justru tersenyum lembut. Bisa dipastikan kalau sebelumnya gue nggak pernah mendapati senyum lain yang bisa bikin hati gue yang semula sudah mati jadi berdegup lagi.

Di tengah-tengah senyumnya, gue memanfaatkan kesempatan buat menatap langsung ke matanya dari jarak yang lumayan jauh. Sebuah keteduhan bisa langsung gue tangkap dari sana. Meskipun matanya sayu dan sangat berkebalikan dengan mata gue yang tajam, perempuan itu sama sekali nggak terintimidasi.

Setelah satu minggu, sekarang gue bisa menentukan mana yang menjadi kesukaan gue dari perempuan yang belum gue ketahui namanya itu. Bagian yang paling gue suka adalah mata sayunya ketika ikut tersenyum buat gue.

“Boleh saya duduk disini?”

Entah sejak kapan perempuan itu sudah ada di depan meja yang gue tempati sendiri, untungnya gue disadarkan dengan suaranya yang lembut bukan main ketika dia minta izin untuk duduk di bangku kosong di depan gue. Ralat—selain matanya, mungkin suara semanis madunya akan menjadi kesukaan gue selanjutnya.

Sure. Nggak ada yang nempatin, jadi silahkan.” akhirnya gue bisa menjawab juga, sedikit merasa bersalah karena membiarkan perempuan mungil ini menunggu sambil berdiri untuk beberapa saat.

Bahkan caranya bergerak dan mendudukan dirinya sangat anggun dan imut bukan main di waktu yang bersamaan. Gue merasa sedang dihipnotis oleh setiap pergerakan yang perempuan itu lakukan.

Hmm, ayo sadar, Levi Ackerman.

“Terima kasih. Are you new here?

“Ya, baru dua minggu,” sedikit gugup karena gue nggak tahu harus berbuat apa ketika melihat perempuan itu masih tersenyum sambil mengangguk ke arah gue, akhirnya gue mengangkat cangkir teh dan menyesap isinya untuk menutupi kegugupan yang gue rasakan.

Nggak lama, satu pelayan datang lagi—kali ini dia meletakkan secangkir kopi hitam pesanan perempuan di depan gue saat ini. Aroma kopinya sangat menyengat, gue nggak bisa bayangkan seberapa pahit rasa kopinya.

“Cara kamu mengangkat cangkir teh tadi unik juga ya,” katanya sambil tertawa singkat.

Gue nggak mau terbang karena mengetahui perempuan itu notice apa yang gue lakukan, tapi gue nggak bisa bohong kalau itu bikin hati gue sedikit melayang. Setelah kehilangan kedua teman, ini baru pertama kali gue melakukan hal yang bukan-Levi Ackerman-banget, yaitu tersenyum.

“Oh, kamu lihat ya? Saya memang selalu pegang cangkirnya begitu.”

“Tentu lihat. Saya juga tahu selama satu minggu, kamu selalu pesan teh disini.”

“Saya kira bahkan kamu nggak tahu kalau ada orang lain yang ada di kedai ini,” berani sumpah, barusan itu gue nggak bermaksud untuk berbicara sarkas, tapi gue takut kalau perempuan ini bakal salah tangkap— ditambah dengan intonasi suara gue yang datar dan kadang bisa bikin orang lain salah paham.

Sepertinya, gue sudah terlalu kehilangan diri sendiri, sehingga sampai suara gue pun selalu terdengar nggak punya jiwa atau soulless.

Gue nggak bermaksud begitu, karena nyatanya gue selalu lihat perempuan itu sangat fokus ke apa yang sedang dia kerjakan. Jadi, tahu dia memperhatikan sampai ke apa yang gue pesan selama satu minggu tentu bikin gue nggak nyangka sama sekali.

Perempuan itu tertawa, kali ini sambil sedikit menggelengkan kepalanya, “Saya nggak se-ignorant itu kok. Maaf ya, baru sempat menyapa kamu sekarang.”

Oh, maafnya sangat nggak diperlukan. Gue nggak paham kenapa dia meminta maaf untuk hal sekecil itu. Padahal gue sendiri berpikir kalau dengan diamnya dan nggak mencoba untuk merecoki orang lain—termasuk gue, itu berarti perempuan mungil ini menghargai yang namanya jarak, yang mana akan sangat menguntungkan gue sebagai seorang penyendiri.

Tapi ada satu hal yang bisa gue rasakan ketika dia menghampiri gue tadi, ajaibnya sama sekali nggak mengusik ketenangan gue. Setelah sekian purnama, gue berpikir kalau ini adalah saatnya untuk membuka pintu yang sempat gue tutup rapat-rapat untuk orang lain.

“Nggak perlu minta maaf, toh saya juga nggak nyapa atau approach kamu duluan sebelumnya,” lagi-lagi, gue menjawab pertanyaan perempuan itu sambil menyesap teh hangat langsung dari cangkirnya karena masih gugup.

“Jadi, kenapa teh? Padahal menu utama di kedai ini ya... Kopi,” tanya dia lembut dan terdengar lebih santai.

Gue sangat menghargai perempuan ini dalam upayanya untuk membangun sebuah percakapan tanpa melewati batas. Biasanya, orang-orang secara nggak sadar akan bersikap nggak tahu diri dan menanyai hal-hal yang kelewat pribadi. Gue sendiri prefer dengan pertanyaan-pertanyaan trivial seperti yang barusan perempuan ini tanyakan.

“Saya nggak biasa minum kopi,” jawab gue santai.

“Kenapa? Asam lambung?” lanjutnya sebelum meraih cangkir kopi dan menyesapnya.

Ditanya begitu membuat gue sedikit merasa defensif. Seakan-akan gue nggak mau terlihat punya kesan sebagai pria lemah yang nggak kuat minum kopi karena asam lambung, apalagi setelah melihat kalau sepertinya perempuan ini punya cinta tersendiri buat kopinya.

Setelah itu, gue menjelaskan kalau bukannya gue nggak kuat minum kopi. Tapi entahlah, mungkin karena dari kecil, kopi termasuk sesuatu yang nggak mudah keluarga gue dapatkan karena harganya mahal—jadinya gue lebih sering minum teh.

Gue juga menjelaskan filosofi kopi menurut kacamata Levi Ackerman ke perempuan di hadapan gue saat ini, “Menurut saya, kopi itu lambang kesendirian. Saya bisa makin galau kalau harus menelan pahitnya sampai ke tenggorokan, sendirian pula.”

Mendengar jawaban gue, perempuan itu terlihat sedikit takjub, kemudian dia bertanya lagi, “Terus, kalau gitu filosofi teh dari kacamata kamu itu seperti apa?”

“Yang jelas, tea has more versatility, menjadikan teh sebagai minuman yang lebih serbaguna. Karena bisa dinikmati di kesempatan apa saja dan sama siapa saja—meskipun dinikmati sendirian, teh tetap bisa kasih saya sensasi hangatnya yang bikin saya merasa lebih relax,” jawab gue mantap.

“Wah, kapan-kapan saya bakal cobain switch dari kopi ke teh kalau gitu. Betul juga kata kamu, rasa pahitnya kopi bisa bikin kita semakin galau,” tukasnya sambil manggut-manggut, seperti menunjukan kalau dia baru saja menyetujui salah satu filosofi gadungan gue tentang kopi dan teh.

Meskipun nggak tahu apa perempuan ini bisa relate sama isi filosofi yang gue karang sendiri, tapi sepertinya dia terlampau terbiasa menelan pahitnya rasa kopi—sendirian atau nggaknya, belum gue ketahui.

Ketika mata gue menangkap pergerakan perempuan itu yang mulai beres-beres dan kemudian beranjak dari duduknya, gue merasa sedikit kecewa karena tahu dia akan segera pergi, padahal kopi hitamnya masih tersisa setengah cangkir. Seenggaknya, gue sempat berharap dia bakal tetap menemani gue duduk sampai kopinya habis.

“Maaf saya harus pamit duluan, senang bisa ngobrol sama kemu. Semoga kamu betah di tempat baru ini,” katanya sebagai salam pamit. Tapi sebelum gue diizinkan untuk membalas pamitnya, perempuan itu buru-buru menenteng totebagnya dan berjalan menuju pintu keluar.

Detik berikutnya, gue merutuki betapa bodohnya diri sendiri karena melewatkan sesi perkenalan. Perempuan mungil dengan sepasang mata sayu dan rambut hitam panjang yang dibiarkan tergerai berantakan itu, dari seminggu lalu sampai sekarang—belum juga gue ketahui namanya.

Dasar Levi ‘bodoh’ Ackerman.

Ibarat sepercik kebahagiaan itu punya kontrak, maka sepercik kebahagian milik gue yang tadi ditemani satu perempuan asing ini masa kontraknya lebih singkat dari lamanya uap panas yang masih mengepul keluar dari cangkir teh gue. Belum sempat gue abadikan kebahagiaannya, sudah keburu expired duluan kontraknya.

Mungkin gue nggak percaya sama yang namanya ‘Game of Fate’, tapi setelah bertemu dan ngobrol sama perempuan itu bikin gue sedikit menaruh harap pada permainan takdir. Mungkin besok, gue bisa ketemu perempuan itu di tempat yang sama lalu tanya siapa namanya.

Tetapi sialnya, harapan yang gue tanam hari itu sampai seminggu kemudian nggak juga kelihatan hilalnya bakal terwujud. Setiap sore di tempat yang sama, gue selalu mengharapkan supaya bisa bertemu perempuan itu meskipun hanya sekali lagi.

Bukan pahitnya rasa kopi yang harus gue telan, kali ini, gue dipaksa untuk sekali lagi menelan sebuah kekecewaan atas ekspektasi yang gue ciptakan sendiri.

Berkat itu gue jadi berharap; sesuatu yang nggak bisa menetap, ada baiknya untuk sama sekali nggak usah bersinggah. Karena nggak semua orang bisa kuat untuk digantung di antara posisi menunggu dan merindu.

Meskpikun begitu, gue merasa sedikit lebih beruntung karena belum sempat membiarkan perempuan itu masuk lebih dalam ke hati yang pintunya nggak sempat gue buka dengan mudah buat siapapun—tapi buat dia, rasanya terlalu mudah sampai bikin gue heran sendiri. Sehingga gue nggak perlu merasakan rasa sakit lainnya di kemudian hari.

Well, permainan takdir yang konyol. Gue jadi semakin yakin kalau takdir yang paling pas untuk gue adalah ditinggal seorang diri. Nyatanya, takdir gue sebagai seorang Levi Ackerman nggak jauh-jauh dari yang namanya kesendirian.

fin.

Precautions 🔞

Narasi akan berisikan penggambaran hubungan toxic, abusive, guilt tripping, kata-kata kasar dan aktivitas seksual baik secara implisit maupun eksplisit. Jika dirasa nggak sesuai dengan preferensi kamu, jangan dibaca!

I don't come close to an angel You ain't never been no kind of saint But when we both came together Hell to heaven, you were my escape


“Sakit nggak?”

“Udah nggak kerasa.”

“Berarti tadi sakit, maaf. Besok-besok nggak kasar lagi.”

“Hmm.”

Pieck tidak tahu harus mempercayai perkataan pria itu atau sebaliknya, nyatanya dia sudah mendengar kalimat serupa janji kosong itu berkali-kali, namun hal yang sama masih selalu terjadi—Zeke tidak kunjung menepati perkataannya. Selalu ada celah di dalam dirinya yang membuat pria berperilaku kasar terhadapnya.

Saat ini Zeke Yeager terduduk di ujung ranjang menghadap ke jendela apartemen yang menembuskan sinar rembulan, membuat tubuh setengah telanjangnya ikut dimandikan oleh sinar tersebut.

Sedangkan Pieck Finger sendiri mulai mengangkat tubuhnya yang masih terasa ngilu—terutama di bagian bawah dan lehernya, dia mulanya terbaring kemudian menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang.

Pieck mengangkat selimut sampai ke dada sebagai upaya mencari kehangatan. Karena tubuh Zeke yang biasa memberinya kehangatan sedang terpisah oleh beberapa jarak dari gapainya.

Seharusnya di ruangan ber-AC, rokok tidak boleh dinyalakan, namun Zeke tidak mengindahkan peraturan tersebut. Batang rokok yang sudah dihisapnya habis sampai ke puntungnya dia singkirkan dari sela jemari, lalu tangannya beralih untuk meraih bungkus rokok untuk mengambil batang lainnya.

Melihat pergerakan itu, Pieck menginterupsi “Satu batang aja cukup, Zeke.”

Interupsi Pieck membuat niat lelaki itu terpaksa dihentikan. Zeke menghela nafas berat. Dari tempat Pieck berada, dia disuguhkan oleh pemandangan punggung telanjang Zeke yang bidang.

Pieck tidak suka melihat pria itu dari belakang. Entah kenapa, menurut Pieck, punggung Zeke terlihat sangat rapuh dan menunjukkan kesendiriannya. Berbanding terbalik dengan bentuk fisiknya yang begitu kokoh.

Beberapa jam lalu, leher Pieck terasa sangat nyeri akibat cengkraman salah satu tangan Zeke yang melingkari leher dan satunya lagi berada di rahangnya.

Kali ini disebabkan oleh Zeke yang menangkap basah Pieck berinteraksi dengan laki-laki lain, seorang adik tingkat yang berkali-kali menjadi sasaran pelampiasan kecemburuan Zeke pada gadisnya.

Pieck ingat sekali tadi dia sempat menjelaskan kalau interaksinya tidak berarti apa-apa, “Aku asisten praktikum dia, Zeke. Aku cuma jawab pertanyaan tentang praktikum yang Colt tanyain,” namun Zeke enggan mendengar penjelasannya, alih-alih, Pieck dihadiahi oleh cengkeraman tangan Zeke yang semakin menguat di lehernya.

Zeke… Stop! I can’t breathe…

Ketika dirasa Pieck hampir sepenuhnya sulit bernafas, cengkeraman tangan Zeke mulai mengendur. Pieck menangkap tubuh Zeke yang lelaki itu jatuhkan ke arah gadis yang ukuran badannya jauh lebih mungil. Di dalam dekapan Pieck, Zeke mulai terisak, “I saw that bitch with another man earlier today.

Meskipun begitu lirih, gumaman Zeke bisa ditangkap jelas oleh kedua telinga Pieck. Bukan rahasia lagi untuknya kalau Zeke memanggil ibunya dengan sebutan yang menurut Pieck sangat tidak pantas. Namun setelah mengetahui apa yang terjadi pada Zeke dan keluarganya, Pieck tidak bisa dan tidak memiliki hak untuk menyalahkan Zeke.

Setelah mengetahui alasan kenapa Zeke semakin kalut hari ini membuat Pieck otomatis merasa bersalah. Pieck merasa secara tidak langsung dialah penyebab Zeke menjadi sangat berantakan.

Kalau bisa, dia ingin memutar waktu dan menghindari dirinya untuk berbicara dengan lelaki lain—meskipun itu tidak ada artinya sama sekali. Dengan begitu, Zeke tidak akan sekacau malam ini.

“Maaf. You don’t deserve to see that,” sambil mengusap lembut tangannya ke kepala Zeke, Pieck hampir ikut terisak. Sudah berkali-kali Pieck melihat Zeke dengan kondisi serupa, sangat hancur.

Berkali-kali pula Pieck menjadi seseorang yang Zeke gunakan untuk melampiaskan kekesalannya. Kadang membuat Pieck kewalahan sendiri dan berujung menemukan beberapa memar di tubuhnya. Namun, Pieck berkali-kali mensugesti dirinya untuk tetap bertahan dengan kuat.

Sebab, kalau dia yang lemah, siapa yang akan menguatkan Zeke?

Malam itu, mereka berdua berakhir di ranjang kamar apartemen Zeke. Permainan laki-laki itu di atas ranjang agak sedikit lebih kasar sampai membuat Pieck lelah bukan main. Lelahnya menyerang baik batin dan fisik dirinya.

Dia sempat menangis, namun tangisannya berhasil disembunyikan berkat racauan dan desahan nama Zeke yang Pieck keluarkan seiring dengan Zeke yang memasuki dirinya dengan tempo yang cepat, tanpa lelah, tanpa henti.

“Pieck.”

Lamunan gadis itu seketika buyar ketika namanya dipanggil oleh satu-satunya orang yang berada di ruangan tersebut selain dirinya, Pieck menolehkan kepalanya ke arah Zeke yang masih memunggunginya, “Kenapa Zeke?”

Why didn’t you stop me?” tanya Zeke parau.

Stopping you from what?” alih-alih mendapatkan jawaban, Zeke dihadiahi sebuah pertanyaan lain dari Pieck.

Stopping me from hurting you. Kenapa kamu ga berhentiin aku waktu aku nyakitin kamu?”

Pieck sendiri bingung dengan apa yang harus dia jawab untuk pertanyaan Zeke. Sudah banyak opini yang dia dengar kalau hubungannya dengan Zeke adalah hubungan yang jauh dari kata sehat, teman-temannya terus mendesak Pieck agar berhenti. Namun gadis itu memilih untuk menjadi tuli.

Otak dan hatinya tidak bekerja secara sinkron ketika dia dihadapkan dengan kasus yang sama, ketika Zeke mulai tanpa sadar melukainya. Pieck merasa dia hanya melakukan apa yang nalurinya perintahkan. Meskipun seharusnya tidak ada yang bisa dibenarkan dari pola hubungan mereka.

Untuk saat ini, dia jelas tidak bisa meninggalkan Zeke. Hidup tanpa ada Zeke di sekitarnya juga bukan gagasan yang akan Pieck terima begitu saja.

Dia beranjak dari duduknya dan mulai mempersempit jarak dengan Zeke, memeluk punggung telanjang lebar laki-laki bersurai pirang itu dari belakang, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Zeke.

Indera penciumannya menangkap aroma tembakau yang tercampur dengan aroma citrus khas tubuh Zeke saat ini. Setelah berhasil menemukan jawaban, Pieck mencoba untuk menyampaikannya kepada Zeke dengan lembut;

“Nggak apa-apa Zeke, selama kamu nggak nyakitin diri kamu sendiri… Aku nggak apa-apa.”

fin

Terbangun di suatu entah, satu-satunya yang otak Pieck tangkap ketika kedua netranya terbuka adalah sebuah ruangan yang amat luas. Kinerja otak Pieck hanya dapat mencerna bahwa ruangan itu juga amat sangat terang namun tidak cukup untuk menyilaukan sampai membuat sakit kedua netranya. Sejauh ini Pieck tidak melihat ada siapapun yang ada selain dirinya di ruangan tersebut.

Suasananya begitu tenang, Pieck sempat berpikir apakah tempat ini terletak selangkah sebelum pintu surga? Tapi kalau dipikir kembali, tidak akan semudah itu dia berada di tempat tersebut karena semasa hidupnya, Pieck banyak melakukan dosa-dosa manusia.

Melihat dirinya mengenakan gaun putih yang panjangnya menjuntai ke bawah membuat Pieck berfantasi untuk menjadi seorang peri cantik… atau malaikat—entahlah, yang jelas tidak ada kejelasan di mana dia berada sekarang. Kembali lagi, otaknya berusaha mencari jawaban, terakhir kali Pieck ingat dia sedang berada di dalam perjalanan menuju suatu tempat, tapi tentu saja, bukan tempat ini yang dia tuju.

Makam Zeke.

Ya, makam Zeke. Pieck sudah berjanji akan mengunjungi makam pria tersebut, namun kenapa justru dia ada di tempat ini sekarang?

Apakah ini… Ini tempat di mana aku akan bertemu dengan Zeke? Benar-benar bertemu di dimensi yang sama? pikir Pieck.

Kedua netranya menjelajahi seluruh ruangan, tapi keduanya belum juga menangkap apapun.

Kak Zeke? Kau dimana? Aku sudah ada di sini, mari bertemu.

Alih-alih Zeke, yang menghampiri ke arah Pieck sekarang adalah sebuah kabut yang semakin menghalangi pandangan Pieck ke depan. Salah satu tangannya mencoba untuk diangkat dan meraih kabut tersebut, membiarkan tangannya tetap di udara selama beberapa detik. Kemudian jantungnya terasa berhenti berdetak untuk beberapa saat ketika Pieck merasakan ada jari-jari lain yang ditautkan ke sela-sela jari tangan miliknya sendiri.

“Kak Zeke?!”

Sosok itu muncul—tinggi besar, bahkan puncak kepala Pieck tidak sampai melampaui letak bahu lebarnya. Pria di seberang Pieck ini juga memakai pakaian dengan warna serupa dengannya. Ezekiel Jaeger terasa begitu nyata dilihatnya setelah bertahun-tahun tidak diberi kesempatan untuk melihatnya sedekat ini.

“Halo, Pieck. Kamu masih sekecil dulu ya?” sapa Zeke sambil terkekeh.

Dulu, Pieck selalu mengerucutkan bibirnya sebagai bentuk protes setiap kali lelaki di hadapannya ini menggoda tinggi badannya yang tidak semampai. Namun sudah bertahun-tahun lamanya pula Pieck merindukan godaan itu ditambah dengan air muka jenaka Zeke yang biasa dia temukan ketika masih berada di usia tujuh belas.

“Kak Zeke? Ini beneran Kak Zeke?”

“Iya, ini beneran aku. Your one and only Kak Zeke.

Belum percaya dengan apa yang dia lihat, tangan Pieck diulurkan menuju pipi Zeke dan menyentuhnya. Ternyata benar, lelaki ini nyata.

Telapak tangannya bahkan dengan pasti bisa meraba garis rahang tegas lelaki di depannya, tidak salah lagi, dia memang Ezekiel Jaeger-nya. Pieck tidak pernah melihat Zeke se-ethereal-itu seperti saat ini ketika mereka masih bersama di masa lalu, “Kak Zeke, apa karena kamu tinggal di surga jadi bikin kamu kelihatan seperti malaikat?”

Yang diberi pujian hanya terkekeh kecil, melihat perempuan mungil di hadapannya masih dengan ekspresi bingung dan takjubnya, Zeke mencondongkan kepalanya kebawah dan meraih salah satu pipi bulat Pieck untuk dikecup, “Come here. Kamu nggak mau peluk aku, Pieck?”

Tanpa disuruh dua kali, Pieck langsung menghamburkan tubuh mungilnya dan mengalungkan kedua lengannya di sekitar leher jenjang Zeke, tidak lupa untuk menenggelamkan kepalanya di ceruk leher lelaki itu, “I miss you, Kak Zeke. I miss you till my heart hurts.

“Aku selalu disini, Pieck. Aku selalu ada di dekat kamu.”

Setelah hampir lima menit diam di pelukan Zeke, Pieck menjadi yang pertama untuk melepaskan tautan tersebut, dirinya masih harus mencari jawaban dari sebuah pertanyaan yang sejak tadi belum terjawab, “Kak, kenapa aku bisa di sini? Kak Zeke mau bawa aku ikut kakak?”

“Aku memang mau bawa kamu keliling,” Zeke menjawab pertanyaan Pieck dengan senyuman yang dibalas oleh senyuman lain milik Pieck.

“Akhirnya aku bisa ketemu kamu lagi, Kak! Kali ini kamu nggak akan ninggalin aku lagi kan?”

“Buat yang itu, aku nggak bisa memutuskannya sendiri.”

“Maksudnya?”

“Sini ikut aku,” ajak Zeke yang mulai melangkah dengan tangannya yang semula kosong beralih menggenggam tangan mungil Pieck untuk mengisi kekosongan yang ada di sana. Hangat. Sama hangatnya seperti bertahun-tahun silam.

Pieck dan Zeke mulai berjalan ke sisi lain ruangan terang tersebut, genggaman tangan keduanya semakin erat ketika Pieck sadar bahwa Zeke mengajaknya keliling dan berwisata ke masa lalu. Menurut Pieck, apa yang dia lihat sekarang begitu ajaib. Salah satu adegan yang ada di depannya saat ini—entah muncul dari mana, menjadi potongan adegan yang menurut Pieck paling dia ingat di semasa hidupnya hingga sekarang.

“Kamu masih ingat sama yang itu?” tanya Zeke dengan jari telunjuknya yang mengarah ke adegan tersebut seakan menyuruh Pieck untuk memfokuskan dirinya.

Sambil mengangguk, Pieck secara otomatis menarik bibirnya untuk mengulas sebuah senyum, “Aku nggak akan pernah lupa, itu hari Minggu pagi dimana aku ketemu Kak Zeke buat pertama kalinya.”

Di antara tujuh hari dalam seminggu, yang paling menjadi kesukaan Pieck adalah hari Minggu. Bukan berarti Pieck terlalu bersemangat untuk berangkat ke Sekolah Minggu-nya—melainkan untuk bertemu dengan Ezekiel Jaeger yang ternyata lebih akrab dipanggil dengan nama Zeke di sebuah Gereja setiap hari Minggu.

Pieck paham betul bahwa Tuhan Maha Baik—saking baiknya, Pieck menemukan cinta pertamanya dalam bentuk manifestasi sosok lelaki muda yang duduk di belakang piano besar dengan jari-jarinya yang bergerak lincah di atas tuts-tuts hitam putihnya, mengiringi lagu-lagu kebaktian di Minggu pagi.

Pieck tidak tahu apakah di dunia ini ada yang terasa lebih mudah dibandingkan dengan semudah dia jatuh cinta kepada Ezekiel Jaeger pada pandangan pertama.

Pertemuan pertama mereka menjadi sebuah penanda pertemuan-pertemuan berikutnya di setiap hari Minggu. Mereka saling bertukar nama hingga cerita. Usia keduanya hanya terpaut dua tahun, untuk pertama kalinya Pieck merasa menyesal telah mengenyam pendidikan di sekolah menengah atas khusus perempuan setelah bertemu Zeke di gereja, karena itu membuat keduanya hanya bisa bertemu di Sekolah Minggu yang singkat, tidak memberikan cukup waktu bagi mereka untuk melepas rindu.

Satu adegan telah selesai Pieck saksikan ulang, kini dirinya tanpa sadar telah sampai ke sisi lain dari ruangan putih nan terang tersebut yang lagi-lagi menyuguhkan Pieck dengan satu adegan lain, namun kali ini latarnya terlihat berbeda.

“Sekarang kita mampir ke kampus kita dulu, yuk Pieck.”

Hening beberapa detik, Pieck belum menjawab ajakan Zeke sehingga membuat lelaki itu mengerutkan dahinya, “Kenapa? Kok diem?”

“Aku nggak suka sama adegan yang disitu karena—“

“Karena saat itu aku pergi ninggalin kamu dan nggak kembali?” dengan enteng pertanyaan tersebut keluar dari bibir Zeke yang justru membuat Pieck merasa hatinya teriris. Kepala perempuan itu dianggukkan sebagai jawaban.

“Lihat dulu coba, jangan takut ya?”

Apa yang Pieck lihat di adegan selanjutnya adalah Zeke yang tersenyum lebar dan diapit oleh kedua orang tuanya. Ada Pieck di sisi lain yang memegang sebuah kamera untuk mengambil potret. Di dalam sana, tubuh Zeke dibalut dengan jubah kelulusannya setelah menempuh pendidikan di salah satu universitas paling prestisius di negara mereka.

Pieck dibuat melongo oleh potongan adegan tersebut. Seingat Pieck, Zeke bahkan tidak sempat untuk menyelesaikan pendidikannya karena… Karena hidup Zeke yang lelaki itu akhiri sendiri tidak diijinkan untuk mengantarnya sampai ke momen tersebut. Namun, Zeke-nya yang ada di sana terlihat sehat, terlihat begitu bahagia dengan toga yang membuatnya tampak lebih gagah dari yang Pieck ingat.

Setelah dua potong adegan selesai dilihatnya, Pieck kini sadar bahwa Zeke bukan membawanya berkeliling dalam wisata masa lalu. Sebaliknya, Zeke sedang memanifestasikan realitas alternatif di mana Zeke tetap berada di sampingnya, di mana nafas Zeke tidak pernah diputusnya sendiri, di mana jantung Zeke tidak pernah dia hentikan berdetak untuk semesta.

Intuisinya dikonfirmasi oleh kemunculan adegan selanjutnya yang menggambarkan dirinya dan Zeke sedang berdiri berdampingan di altar gereja tempat mereka bertemu untuk pertama kalinya. Zeke yang tampan dengan tuxedo putihnya begitu serasi untuk berada di samping Pieck yang dibalut oleh gaun pengantin berwarna putih yang indah.

“I will marry Pieck Finger for the better, for the worse, for richer, for poorer, in sickness and in health, til death do us apart.”

That could be our wedding day, Pieck,” guman Zeke di sampingnya, memberi Pieck sebuah penjelasan singkat.

Jadi seperti itu gambaran hari pernikahan Pieck dengan lelaki yang dicintainya? Seperti itukah gambaran Zeke yang mengucap janji suci di hadapan Tuhan untuk meminang dirinya? Angan-angan hanya akan menjadi sebuah angan, tapi setidaknya Zeke memiliki kesempatan untuk mewujudkannya pada saat ini, di dimensi yang letaknya serba ‘diantara’ bagi Pieck.

That’s so funny… Death tore us apart even before we planned our wedding day.

Zeke hanya bisa tersenyum kecut kali ini, memang semesta begitu lucu. Semesta sering berjalan dengan tidak sesuai seperti apa kemauan yang mereka pinta. Semesta mengajarkan tidak semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana. Semesta begitu kejam dan tidak adil sampai Zeke tidak mampu bertahan untuk menanggungnya sendirian, maka pilihannya yang menurut Zeke paling tepat untuk mengakhiri bebannya pada saat itu adalah dengan mengakhiri hidupnya sendiri.

Semenjak kematian Zeke, Pieck menjadi semakin percaya bahwa pil kehidupan yang paling pahit untuk ditelan adalah kehilangan seseorang yang dicintainya harus dikalahkan oleh maut.

“Aku masih punya satu buat kamu lihat,” ucap Zeke memecah keheningan. Pieck beranjak dan mengikuti langkah Zeke menuju ke potongan adegan selanjutnya.

Pieck melihat Zeke dan dirinya yang ‘lain’ lagi-lagi berada di potongan adegan yang sedang ditampilkan. Zeke terlihat sedang berdiri dengan cemas, sedangkan Pieck berbaring di atas sebuah ranjang persalinan, dia juga terlihat sedang berjuang, sedang berteriak sebagai sebuah reaksi atas rasa sakitnya, semua kejadian itu terjadi di ruangan bersalin. Pieck yang berada di dalam adegan tersebut sedang melahirkan seorang bayi! Ketika suara tangisan bayi mulai terdengar dengan keras, teriakan yang semula Pieck keluarkan secara perlahan otomatis dia hentikan.

Congratulations Mr. and Mrs. Jaeger! The baby is a healthy boy.

Ketika tangisannya sudah mulai reda, mata Zeke dan Pieck beradu dengan sepasang mata bayi dengan helai rambut keemasan yang baru terbuka. Bayi mungil itu mengerjap beberapa kali, seperti sedang mengamati seperti apa wajah kedua orang tuanya. Mereka menemukan warna iris mata yang sangat identik dengan iris mata Zeke.

Bercak darah masih menyelimuti beberapa permukaan kulit bayi mereka, namun Zeke dan Pieck berani sumpah, mereka baru pernah melihat seseorang yang paling cantik pada momen tersebut. Kemudian air mata Pieck dan Zeke larut, diselimuti kebahagiaan yang amat besar, besarnya tidak akan bisa Pieck dan Zeke yang ada di semesta lain itu untuk mereka deskripsikan.

“Kak Zeke…” semua potongan adegan yang baru saja Pieck saksikan membuat hatinya terasa berdenyut dan nyeri bukan main. Air matanya mengalir deras sama seperti air mata dirinya ‘yang lain’ ketika berada di ruangan persalinan tersebut. Bedanya, Pieck dengan air matanya yang ada pada saat ini disebabkan oleh berakhirnya potongan-potongan adegan yang semula sangat jelas dia lihat.

Perasaan yang bergelut di dalam hati Pieck membuatnya jatuh terduduk, dengan raung tangisan yang lebih keras, telapak tangannya yang mengepal Pieck gunakan untuk memukul dadanya berkali-kali, berharap bisa menghilangkan rasa sakit yang menggerayangi hatinya. Pieck masih merasa belum cukup, dia sangat menginginkan semua kejadian tersebut untuk menjadi nyata, bersama Zeke, hanya Zeke. Dia ingin melihat potongan adegan selanjutnya bahkan hidup didalamnya.

Namun Zeke bukan Tuhan. Hanya sejauh ini yang dapat Zeke berikan untuk Pieck, the alternate reality where they become a happy family—sebagai upayanya untuk menebus semua waktu yang terbuang ketika Zeke membiarkan gadisnya menderita karena merindukannya sendirian di semesta lain, semesta dimana Pieck seharusnya berada—bukan di sini, bukan juga di semesta alternatif yang baru saja Zeke ciptakan sendiri.

“Kamu lihat tadi yang di sana kan, Pieck?”

“Ya, aku lihat semua…” jawab Pieck dengan parau.

“Kamu ingat kan? Semua itu adalah mimpi-mimpi kamu,” kedua tangan Zeke kini mencengkram kedua bahu Pieck, menghalau pergerakan perempuan itu untuk menghindari tatapannya karena kedua iris kelabunya enggan menetap di iris biru Zeke.

“Bukan cuma aku yang punya mimpi itu, tapi Kak Zeke juga.”

I know baby… Tapi sayang—aku terlalu pengecut untuk punya sebuah mimpi.”

“…..”

“Pieck, kejar mimpi kamu… You have so much more to come, so much lives to live on, kamu harus selesaikan apa yang harus kamu selesaikan, lalu kembali hidupkan diri kamu sendiri.”

Mimpi Pieck yang dimaksud oleh Zeke seolah memiliki gagasan yang berbeda dengan apa yang Pieck gagas sendiri selama bertahun-tahun. Mimpinya adalah untuk bersama-sama dengan Zeke, namun sepertinya Pieck sendiri merasa Zeke menjadi semakin abu-abu. Kejar mimpimu, meskipun tanpa aku untuk mewujudkannya, begitu yang bisa Pieck tangkap.

Kemudian, entah apa yang dimaksud Zeke ketika dia menyuruh Pieck untuk menyelesaikan sesuatu yang perlu diselesaikan. Menyelesaikan hidupnya untuk bergabung dengan Zeke? Atau menyelesaikan semua kesedihan yang disebabkan oleh rasa kehilangannya atas kematian Zeke lima tahun silam?

Semuanya hanya diletakkan pada dua pilihan.

How do I supposed to chase my dream?” Pieck memutuskan untuk melempar sebuah pertanyaan.

“Kamu harus pulang. Ada seseorang yang bisa membantu mewujudkannya dan sedang menunggu kamu.”

Pulang? Jawaban Zeke dirasa enggan untuk dilakukan perempuan itu. Berada di dalam dimensi ini bersama Zeke sudah lebih dari cukup untuk Pieck. Siapa yang menunggunya? Apakah Zeke termasuk ‘seseorang’ yang menunggunya untuk pulang?

“Aku harus pulang ke mana?”

“Kamu yang harus pilih sendiri. Rumah yang kamu tuju untuk berpulang ada di mana, Pieck?”

Dia ingin pulang ke sebuah rumah dimana ada Zeke di dalamnya. Tapi di sisi lain, Pieck merasa itu bukan jawaban yang tepat dan bukan jawaban yang Zeke inginkan untuk pertanyaannya sendiri. Karena itu, Pieck dibuat semakin meragu.

this narration is specially inspired by eren and zeke’s path exploration, also i kinda want to make my jikupiku version of eremika’s alternative reality in the manga but make it modern life au. so here that is 🥺

“Hai… Pieck Finger, ketemu lagi sama saya. Udah lima hari saya ketemu kamu di ICU terus hehe.”

Jean menatap tubuh pasien wanita tersebut yang tengah berbaring tanpa kesadaran. Keberlangsungan hidup Pieck Finger saat ini sangat bergantung pada alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya.

Operasi pembedahan kepala yang dijalaninya cukup berat akibat parahnya kecelakaan yang mengantarnya hingga fase tak sadarkan diri selama lima hari. Kepalanya terkena benturan keras hingga merusak beberapa sistem saraf otaknya, bahkan dr. Hange Zoë selaku dokter utama yang memimpin operasi Pieck Finger hanya berharap bahwa pasien wanita tersebut tidak akan mengalami kematian otak.

“Hey, kamu nggak mau bangun? Sebentar lagi Natal. Saya jadi ikut sedih kalau Ayah kamu rayain Natal sendirian tahun ini.”

Jean menghela nafas, entah sudah yang keberapa kali dalam sehari. Saraf netra Pieck Finger masih belum menerima respon cahaya yang Jean gerakkan dari arah kanan ke kiri melalui penlight medisnya.

Sejak pertama kali tubuhnya diturunkan dari mobil ambulans, Jean selaku dokter intern dan tim medis lainnya yang sedang stand by membawa Pieck Finger menuju Emergency Room untuk memberikan pertolongan pertama. Hingga sampai saat ini, Jean tidak pernah absen dari sisi pasien tersebut.

Tanpa alasan yang jelas, Jean merasa dia harus secara intensif berada di sisi Pieck Finger. Jean merasakan empati yang sangat besar terhadap pasien wanita yang satu ini bahkan ketika dia tidak mengenal Pieck Finger secara pribadi.

Jean merupakan seorang dokter intern yang teladan, sudah belasa—bahkan mungkin puluhan pasien yang ikut dia rawat, banyak yang sembuh dan kembali sehat, tetapi banyak juga dari mereka yang tidak berhasil melawan maut. Bukan berarti rasa kemanusiaan dan empati Jean tidak ada ketika berurusan dengan pasien-pasien sebelumnya.

Namun, belum ada dari mereka yang berhasil mengikat Jean secara emosional yang jumlahnya begitu kuat dan besar hingga saat ini, kecuali Pieck Finger. Ditambah ketika dia menemui wali Pieck Finger, yang tidak lain adalah Ayah dari pasien wanita tersebut.

Ayah Pieck Finger memberitahunya kalau satu-satunya keluarga Pieck Finger yang tersisa hanyalah dirinya. Hal itu menjelaskan kenapa hanya ada Mr. Finger yang rutin mengunjungi Pieck Finger setiap harinya. Baru tadi siang Jean mengetahui kalau Pieck Finger memiliki kerabat, atau setidaknya orang lain yang wanita itu kenal setelah Jean mendapatkan pesan dari Eren.

“Pieck Finger, ayo bangun. Saya yakin banyak yang nungguin kamu bangun, ada Ayah kamu, ada Eren, semua tim medis yang rawat kamu juga sangat berharap kamu siuman—apalagi saya. Kalau sudah siuman, nanti saya kenalin ke mereka yang sudah rawat kamu di rumah sakit.”

Jika tidak teringat ada ruangan operasi yang harus disiapkan, Jean tidak akan beranjak dari kursi yang terletak di samping ranjang rumah sakit Pieck Finger dan meninggalkan pasien wanita itu sendirian di ruang rawat intensifnya, “Saya duluan ya, ada duty calls. Semoga kamu membaik, nanti malam saya kesini lagi.”

Porco sampai terlebih dahulu di gedung kost Pieck ketimbang Jean mengingat gedung kostnya masih satu komplek dengan cewek itu, kemudian Porco dengan santai berjalan menyusuri gedung dan masuk ke elevator untuk menuju lantai dimana lounge yang dijadikan satu dengan ruang makan berada. Kost Pieck ini terbilang cukup mewah untuk sekadar tempat tinggal seorang mahasiswa, terbukti dengan berbagai fasilitas yang diberikan, membuat Porco sering mampir untuk makan bareng dengan Pieck di kostannya karena tidak ada larangan untuk membawa outsider ke dalam gedung.

Ketika Porco sampai di ruang makan, dia melihat Pieck sedang menata piring-piring yang berisi berbagai masakan yang aromanya langsung membuat perut Porco berteriak ingin segera diisi, “Mantap chef Pieck, tau aja gue butuh perbaikan gizi,” ucap Porco jenaka sambil mendudukan dirinya di salah satu kursi meja makan sedangkan Pieck hanya berdecak sebagai balasan.

Tak lama kemudian, Jean datang menghampiri mereka dengan tangan yang menenteng satu bungkus kantung plastik, “Hai guys, nih gue bawain martabak.”

Kehadiran Jean membuat Porco bertanya-tanya sudah seberapa sering Pieck membawa Jean ke kostannya. Namun dia sendiri enggan untuk memastikan jawabannya, Porco tidak terlalu peduli, toh teman mereka yang lain seperti Reiner dan Bertholdt juga sering berkunjung.

“Makasih Jean! Tau aja aku lagi pengen yang manis-manis,” setelah itu, Pieck mempersilahkan Jean untuk duduk tepat di sebelah Porco. Suasana tidak canggung sama sekali, namun cukup membuat Porco sedikit mules dan ingin cepat-cepat pergi dari sana apalagi ketika melihat interaksi Jean dan Pieck yang saling menggoda layaknya sepasang kekasih.

Kalau bukan karena masakan Pieck dan Porco yang ingin bertemu dengannya, Porco tidak akan repot-repot duduk di samping Jean sambil mengunyah makanan yang terasa lebih berat dari biasanya.

Pieck menjadi lebih banyak tersenyum semenjak meresmikan hubungannya dengan Jean. Senyum Pieck masih sama cantiknya, namun sialnya, ada sesuatu yang membuat hati Porco menjadi terasa tertimpa beban berat, fakta bahwa Pieck tersenyum karena orang lain, bukan dirinya.

“Gokil sih, ini masakan Pieck enak semua. Lo beruntung banget Pock sering dimasakin sama dia!” ucap Jean ramah.

Porco hanya menyeringai, merasa sedikit lebih unggul karena telah menjadi orang yang rutin dimasakin oleh Pieck sejak dulu, “Belom tau aja lo, masakan dia juga sering failed, jadinya gue yang kudu ngabisin,” balas Porco dengan maksud sedikit pamer dan menunjukan kepada Jean kalau dia telah menghabiskan lebih banyak momen bersama Pieck dibandingkan jumlah estimasi momen yang Jean lewati bersama cewek mungil itu karena mereka berdua baru dekat kurang lebih selama tiga bulan sebelum menjadi sepasang kekasih.

“Lo ngapain buka aib gue di depan Jean anjir Pock!” Pieck menggerutu di depan Porco dan Jean yang dimana menurut mereka berdua, Pieck sangat menggemaskan ketika menggerutu dan mengerucutkan bibirnya seperti itu.

“Gimana sih yang, besok-besok kalo masakannya failed jangan kasih ke aku ya?” Jean mengulurkan tangannya dan mencubit hidung Pieck, gemas. Pemandangan yang barusan Porco saksikan sukses membuat dia memutar bola matanya malas, cemburu.

“Tenang Jean, ada Porco nih sebagai tempat pembuangan.”

“Anjir parah banget lu, mentang-mentang udah punya pacar!” nadanya dibuat seolah-olah marah karena merasa dihianati oleh sahabat perempuannya.

“Cari pacar makanye Pock,” celetuk Jean asal.

“Males.”

Wajar saja jika Porco malas, alasannya tidak lain tidak bukan adalah karena sosok kekasih yang dia inginkan sudah menjadi milik Jean.

Ketiganya melanjutkan kegiatan santap tanpa banyak berbicara sampai tidak ada makanan yang tersisa dari piring mereka masing-masing. Di tengah-tengah makan malam mereka tadi, Pieck memberi perintah pada Porco dan Jean kalau mereka berdua akan ditugaskan untuk mencuci piring dan peralatan makan lainnya, membuat kedua lelaki itu kompak mengeluh.

Niat gue mepet-mepet ke Pieck tapi kenapa jadi Jean yang nempel mulu sama gue? Hadeh,” gerutu Porco dalam hati ketika dia dan Jean berdiri bersebelahan sambil kedua tangannya sibuk mengasah perabotan kotor di bak pencucian piring.

“Jean ini martabaknya aku buka yaa!”

“Buka aja yang!”

Kegiatan makan malam tidak akan lengkap tanpa kehadiran sebuah pencuci mulut. Untuk hal yang satu ini, Porco akan berterimakasih kepada Jean karena dia sendiri doyan banget makanan manis, salah satunya martabak. Namun melihat Pieck yang seketika menghentikan aktivitasnya yang semula hendak mengambil sepotong martabak manis dengan antusias membuat satu alis Porco terangkat.

Oh, Jean membawa martabak cokelat-kacang.

“Kenapa lo beli martabak yang ada kacangnya, njir?” tanya Porco sedikit defensif.

“Ya karena enak?” Jean sendiri terlihat bingung melihat perubahan ekspresi Pieck yang tadinya semangat untuk menyantap martabaknya dan air muka Porco yang menjadi sedikit lebih gelap,

“Kenapa emang?”

“Anu—“

“Pieck nggak bisa makan kacang. Dia punya alergi,” belum sempat Pieck menjawab pertanyaan Jean, Porco sudah terlebih dahulu memotongnya dan memberikan Jean jawaban, alih-alih Pieck.

Jean langsung melongo dan merutuki kebodohannya sendiri, ekspresi wajahnya kini diselimuti oleh rasa bersalah, “Astaga… Pieck, maaf sayang, aku gatau kamu ada alergi kacang…”

Sayang-sayang mulu anjing tapi ngurus beginian aja ga becus. Umpat Porco dalam hati.

“Kenapa lo ga tanya dia dulu? Kalo Pieck sampe makan itu martabak dan dia kenapa-kenapa gimana??” nada bicara Porco meninggi seketika dan terlihat sedikit emosi mengetahui kecerobohan Jean, membuat Pieck dan Jean sama-sama terkesiap melihat sikap Porco.

“Sorry Pock, gue gak kepikiran sumpah.”

“Gimana sih lo?? Oh jangan-jangan pas alergi dia kambuh bulan lalu itu karena dia makan yang ada kacangnya sama lo ya??” cecar Porco.

“Porco stop!

Pieck yang menjadi topik pembicaraan menjadi cemas mengingat baik Porco dan Jean sama-sama orang yang hot headed. Kalau pembicaraan yang sudah membuat urat-urat di kepala Porco keluar, Pieck takut Jean akan tersulut emosi ketika menanggapi, parahnya, mereka berdua bisa baku hantam dan Pieck tidak mau hal itu terjadi sehingga dia buru-buru menengahi.

“Lo nggak usah berlebihan gini anjir? Gue tau mana yang bisa dan gabisa gue makan, gue ga sebodoh itu! Jean juga gatau karena emang gue gak pernah—eh, lupa cerita. Dan alergi gue bulan lalu bukan karena gue makan kacang sama Jean, gue sendirian pas itu. So stop, gausah mancing ribut!” jelas Pieck panjang lebar, ada rasa tidak suka yang begitu kentara di dalam nada bicara Pieck karena dia merasa Porco telah menyudutkan dan menyalahkan Jean atas perihal sepele.

Porco meremat rambutnya geram, entah kenapa dia menjadi lebih sensitif, dia menganggap Jean tidak becus untuk hal-hal sepele seperti ini namun efeknya akan sangat besar untuk Pieck apabila Jean lalai.

Sorry sorry, gue freak out. Sorry Je.”

“Santai.”

Merasa enggan untuk tetap tinggal bersama Pieck dan Jean, ditambah dengan fakta bahwa Porco merasa Pieck secara tidak langsung mengomelinya karena tidak terima dia telah menyudutkan pacar cewek itu membuat Porco semakin kesal, pada akhirnya Porco memilih untuk pamit yang langsung dipersilahkan oleh Pieck dan Jean, “Gue balik duluan, dicariin Bang Marcel. Thanks Pieck dinnernya, sorry buat yang tadi Je. Duluan ye.”

Dalam perjalanan pulang, kini Porco semakin menyadari perubahan sikap Pieck yang semakin menunjukan secara kalau posisinya di mata cewek itu sudah tergeser sepenuhnya oleh kehadiran Jean sebagai orang nomor satu yang akan cewek itu bela.

“Buseeeet buset wangi lo nyegrak banget,” Porco mendengus di kursi kemudinya ketika Pieck membuka pintu kursi penumpang yang ada di samping kirinya, seketika harum tubuh Pieck langsung menyeruak dan ditangkap oleh indra penciumannya, membuat Porco menyadari bahwa aroma yang menguar dari tubuh Pieck tercium berbeda. Cewek itu mengganti parfumnya.

“Lebay lo! Soft gini wanginya, Jean brought me this perfume.” protes Pieck.

Hmm, pantesan wanginya ga cocok di hidung gue. Batin Porco.

Tangan kiri Porco lalu meraih gagang persneling dan kakinya menginjak pedal gas mobilnya, lalu tangan kanannya bermanuver di kemudi, “Ini langsung mall? Lo mau mampir kemana dulu gak?”

Pertanyaan Porco tidak langsung dijawab oleh Pieck sehingga membuatnya sedikit menolehkan kepalanya ke sisi kiri, menemukan cewek di sebelah kirinya sedang berkutat dengan ponselnya, “Hape teroooosss.”

“Hehe sorry sorry, langsung aja Pock gue ga mampir kemana-mana.”

“Oke.”

Destinasi yang mereka berdua tuju sore itu adalah salah satu mall yang terletak di pusat ibukota dimana Porco akan mereparasi gitar yang senarnya terputus akibat ulah sok jago main gitar-nya Pieck di sebuah music station yang ada di dalam mall tersebut. Mall itu juga menjadi destinasi yang paling sering Porco dan Pieck kunjungi untuk menghabiskan waktu, biasanya mereka sekadar menonton di cinema, jajan di foodcourt karena keduanya adalah food fighter, atau mengunjungi gramedia untuk memuaskan rutinitas Pieck yang hampir dua kali seminggu hunting buku-buku baru untuk dibaca.

Namun intensitas aktivitas mereka di mall tersebut semakin hari semakin surut semenjak kehadiran orang lain di tengah-tengah mereka. Membuat Porco mau tidak mau mulai merasakan jarak yang muncul diantaranya dan Pieck. Kemarin saja Porco dan Pieck tidak bisa menyaksikan bersama salah satu premier film yang baru saja dirilis, alasannya karena tidak lain tidak bukan adalah Pieck yang memilih untuk beralih ke partner nonton lain, dari Porco ke Jean, yang notabene adalah gebetan Pieck saat ini.

Dari tahun pertama mereka berkuliah di program studi yang sama, Porco dan Pieck telah menjalin hubungan pertemanan yang lengket seperti perangko hingga mereka berada di jenjang tahun ketiga masa perkuliahan mereka. Kelengketan pertemanan mereka justru banyak mengundang tanya, pasalnya gagasan-gagasan klise seperti pertemanan antara cewek dan cowok, salah satunya nggak mungkin nggak baper, sedang menjadi trend di kalangan muda-mudi seperti mereka. Namun, Porco (mulanya) dan Pieck cuek saja.

Sikap cuek Porco berubah ketika dia mulai merasakan kalau dia menginginkan lebih dari sebuah tali persahabatan, namun Porco paham kalau dirinya terlalu cupu untuk mengungkapkan perasaan. Salah satu hal yang membuat Porco dianggap ngenes oleh teman-temannya yang lain adalah fakta bahwa Pieck sudah pernah menjalin hubungan kekasih dengan dua orang pria semasa kuliahnya, tetapi Porco masih betah menjomblo saja sejak tahun pertama kuliah.

Menurut asumsi Reiner, Porco itu seakan-akan menunggu hati Pieck tidak ada yang memiliki, tapi ketika hati Pieck tidak dimiliki siapapun dan sudah kosong, Porco masih dengan mental tempenya yang tidak berani menyampaikan perasaan, “Gak semudah itu goblok,” hanya satu kalimat singkat tersebut yang Porco lontarkan sebagai jawaban atas asumsi Reiner. Lagi pula menurut Porco, tidak ada gunanya dia menjelaskan panjang lebar karena Porco tahu, Reiner tidak akan paham rasanya seperti apa.

“Karcis parkirnya lo pegang Pieck, awas kalo sampe ilang.”

“Iya bawel!!”

Kini mereka berdua berjalan beriringan dari basement menuju elevator untuk naik ke lantai dimana music station yang Porco tuju berada. Di tengah-tengah perjalanannya, Porco dan Pieck ngobrol ringan sambil sekali-kali Pieck memukul keras lengan Porco lalu tertawa kencang karena celotehan-celotehan jenaka temannya. Kedua netra Porco sempat menangkap satu layar billboard dengan display poster The Conjuring 3, film yang batal mereka tonton berdua.

“Eh, gimana tuh Conjuring 3?” tanya Porco santai. Lalu dia dapat merasakan antusias Pieck naik seketika dia mendengar suara cewek itu yang melengking ketika hendak menjawab pertanyaan Porco.

“Seru banget, anjir! Lo tau kan gue paling ga kuat sama jumpscare, terus gue sama Jean—“

Stop stop stop! Gue tahu habis ini lo mau spoiler.”

Porco terpaksa menggunakan kebiasaan Pieck yang doyan memberikan spoiler sebagai alasan untuk memotong kalimat yang belum cewek itu selesaikan. Padahal alasan sebenarnya adalah Porco sama sekali tidak minat mendengar cerita apapun tentang Pieck dan Jean yang akan cewek itu ceritakan panjang lebar. Untungnya, Pieck tidak menangkap gelagat dan alasan Porco yang tiba-tiba memotong kalimatnya.

Pieck justru nyengir lebar, menyadari kalau ucapan Porco tidak sepenuhnya salah. Dia memang doyan iseng memberi spoiler untuk membuat Porco jengkel, “Hehe tau aja looo!”

Ketika mereka sampai di music station, Porco langsung menuju ke section gitar dan printilan-printilannya, menjelaskan kepada mas-mas penjaga kalau dia ingin mengganti senar gitarnya.

“Eh sini biar gue yang bayar,” tawar Pieck ketika mereka beralih ke section lain sambil menunggu gitar Porco selesai direparasi. Rupanya cewek itu masih merasa bersalah telah membuat senar gitar Porco terputus.

“Dih, ga usah kali. Gue cuma bercanda elah, Pieck. Lo nemenin gue kesini aja udah bersyukur gue.”

“Beneran?”

“Iya lah masa boongan.” jawab Porco final yang diberi anggukkan oleh Pieck.

Porco memang kerap menghabiskan banyak waktunya dengan memetik dan menggenjreng senar-senar gitar akustik favoritnya yang merupakan pemberian Marcel, abangnya. Sesi menggenjreng gitar Porco tidak akan lengkap jika tidak ada Pieck yang ikut mengiringi dengan suara emasnya. Mereka berdua telah memiliki gelar sebagai duo favorite di dalam lingkaran pertemanan mereka apalagi ketika sudah nongkrong bareng, nyanyian Pieck dan petikan gitar Porco tidak pernah absen.

Saat ini, Pieck sedang melihat Porco yang begitu fokus memindai beberapa buah gitar akustik yang terpajang di display. Kemudian Pieck bertanya, “Lo paling suka sama gitar yang mana di display itu?”

“Kalau gue kasih tahu yang mana, lo bakal beliin gak?” alih-alih menjawab, Porco balik bertanya sambil menyeringai.

“Bakal! Bakal gue beliin, apa sih yang nggak buat lo!” merasa tertantang, Pieck menjawab pertanyaan Porco dengan lantang.

Di dalam hati, Porco bermonolog, “Yang nggak buat gue itu hati lo, Pieck.”

Detik berikutnya, Porco mencoba memecah tawa agar suasana tidak menjadi canggung sambil berkata, “Anjaaay, udah kaya sugar mommy aja lo.” kemudian cowok itu lagi-lagi dihadiahi satu pukulan di lengan kirinya oleh Pieck.

Sebenarnya tanpa Porco menjawab pun, Pieck sudah tahu kalau mata Porco hanya tertuju pada satu gitar yang terpajang di display tersebut.

Ponsel Pieck bergetar ketika mereka meninggalkan music station, ada panggilan masuk yang kemudian diangkat oleh cewek itu. Bibirnya mengulas senyum lebar yang baru-baru ini Porco sadari kalau senyum itu cantik setengah mati. Kadar kecantikan senyum Pieck akan semakin bertambah ketika cewek itu tersenyum untuknya, menurut Porco.

“Eh Pock! Kata Jean dia mau nyusul kesini, lo pulang sendirian gapapa?”

Pertanyaan Pieck barusan menghamburkan lamunan Porco tentang senyum Pieck, dia seketika ingin mengumpat saja namun sialnya harus ditahan dan hanya bisa diungkapkan di dalam benak.

Hadeh. Ganggu aja si kuda.

Untuk menghindari kesalahpahaman, Porco sama sekali tidak membenci atau memiliki beef dengan Jean, faktanya mereka berdua berteman dengan baik bahkan sering nongkrong bareng di banyak kesempatan. Porco hanya kesal, dan Jean menjadi lelaki pertama sebagai gebetan Pieck yang membuatnya kesal. Selamat Jean. Semuanya disebabkan karena Porco sendiri sudah menyadari kalau dia jatuh cinta dengan Pieck.

“Gapapa, kapan doi kesininya?”

“Tadi bilangnya dia udah deket sih.”

“Yaudah gue tungguin.”

Sebelum Porco berpisah dengan Pieck, dia curi-curi kesempatan agar bisa membeli segelas boba dengan uang Pieck alias Porco minta traktir. Yah, nggak apa-apa. Setidaknya Porco tidak pulang dengan tangan kosong, ada segelas boba pemberian Pieck yang mengisi salah satu tangannya. Setidaknya pula, rasa manis yang bobanya berikan akan menghapus rasa pahit yang harus Porco telan ketika melihat Pieck dengan antusias bergandengan tangan dengan Jean dan melangkah menjauh darinya.

Merasa kesabaran dan ketabahannya diuji sekali lagi, Porco baru sadar kalau karcis parkir mobilnya masih tersimpan di kantong cardigan Pieck ketika dia sudah sampai di basement. Itu artinya, Porco harus kembali ke dalam mall lagi dan menghampiri Pieck yang sedang berdua dengan Jean.

“Anjing, ada aja yang bikin gue kesel hari ini! Sabar Porco Galliard, sabar.”

Suasana kantin fakultas cukup ramai dipenuhi oleh mahasiswa karena sekarang sedang jam makan siang. Untungnya, Pieck berhasil menemukan satu meja kosong dan empat kursi yang langsung dipatenkan hak miliknya menjadi miliknya dan teman-temannya selama agenda makan siang mereka hari ini.

Berada di kantin fakultas lamanya pada saat ini membuat Pieck sedikit bernostalgia akan masa-masa kuliahnya beberapa tahun lalu. Terkadang, Pieck amat merindukan momen-momen itu, namun untuk benar-benar kembali ke momen masa lalu tersebut tidak pernah terpikirkan olehnya secara serius.

Di sini lah dia, kantin fakultas.

Pieck dapat melihat Hange yang menghampirinya dengan langkah-langkahnya yang cepat, kedua tangan temannya memegang penuh makanan dan minuman.

Levi dan Erwin mengekor di belakang Hange dengan santai dan mengenakan pakaian kasual, namun terdengar suara peringatan Levi agar Hange berhati-hati, “Woy, four eyes! Jalannya pelan-pelan, jangan malu-maluin kita kalo lo sampe kesandung lagi!”

Pieck terkekeh melihat pemandangan itu, pemandangan yang sangat familiar, sebab hingga tahun 2021, mereka berempat masih dengan rutin melakukan ritual makan siang bareng karena keempatnya bekerja di perusahaan korporasi multinasional yang sama.

Hange yang kelewat antusias, Levi yang cemas mengingatkan Hange untuk berhati-hati dengan langkahnya, dan Erwin bersama Pieck yang hanya mampu berdecak dan geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua teman mereka.

Sampai detik ini, Pieck belum menemukan batang hidung Zeke, membuatnya seketika skeptis dan semakin percaya kalau yang tadi itu hanya sebuah prank belaka, “Hmm, beneran dibohongin sih ini. Mana mungkin gue ada di tahun 2016, ini cuma akal-akalan mereka buat ngajak gue makan di kantin kampus, hadeh,” gerutunya dalam hati.

Ketika ketiga temannya sampai di meja makan dan menata bangku plastik untuk mereka duduki, Hange langsung meletakan segelas Thai Tea nya untuk Pieck minum, “Nih, ganti loh duit gue!”

“Apaan anjir, orang tadi si Erwin yang bayar?” Levi langsung menyambar Hange dengan kalimatnya, membuat cewek itu meringis gara-gara gagal berbohong dan mendapat keuntungan sepuluh ribu dari Pieck padahal yang membayar thai teanya tadi betulan Erwin, “Ah lo diem kek bol!”

Pieck tertawa saja, juga merasa sedikit terkesima karena setelah melewati perjalan waktu ke masa lalu—yang masih dianggap skeptis olehnya, tidak ada yang berubah dari Levi dan Hange, masih sama-sama pasangan tom & jerry.

Namun Pieck teringat akan versi 2021 dari Levi dan Hange, dia geleng-geleng kepala sambil tersenyum miris akan takdir yang mengikat mereka berdua sebagai pasangan rumah tangga, melangkahi Pieck dan Erwin yang masih betah sendirian.

“Berhenti panggil gue cebol.”

“Lo juga manggil gue mata empat ya!”

“Emang beneran mata lo ada empat.”

“Terus lo mau denial kalo lo cebol??”

Erwin yang mulai paham situasi segera menghentikan lemparan-lemparan ejekan yang Hange dan Levi lakukan satu sama lain, “Lo berdua diem kek, panas-panas gini ribut mulu.”

Sedangkan Pieck santai saja melihatnya sambil menyeruput thai tea dari sedotan, “Eh Pai, Hans. Awas lo berdua entar lama-lama jadi suka. Kan istilahnya benci jadi cinta tuh hehe.”

Levi melengos mendengar Pieck menggodanya dan Hange, “Amit-amit,” sementara Pieck membuka mulutnya untuk tertawa. Levi boleh saja denial, tapi Pieck tahu kalau di masa depan Levi akan menjadi yang pertama jatuh cinta kepada Hange.

“Eh, itu tadi yang kata lo—boba sama croffle ya? Beli dimana tuh?”

Pieck jadi gelagapan ketika Hange melempar pertanyaannya, seharusnya boba dan croffle ini memang belum populer di tahun 2016.

Karena enggan menjelaskan akhirnya Pieck menjawab seadanya, “Nggak, maksud gue waffle tadi. Typo,” yang ditanggapi Hange dengan manggut-manggut saja sambil mengunyah dimsumnya.

Berbicara soal dimsum, Pieck melihat ada sekotak dimsum yang dia asumsikan berisi siumai di hadapan Erwin, namun kotak itu masih tertutup sehingga mengundang pertanyaan, “Itu dimsum satu kotak punya siapa?”

“Punya Zeke,” jawab Erwin enteng membuat Pieck melongo.

“Zeke beneran ada? Dia bakalan ke sini?”

“Ada tuh lagi di kantor prodi, kesini kok ntar.”

Wow. Melihat gelagat Erwin membuatnya berpikir kalau mereka adalah mahasiswa betulan, atau lebih tepatnya Pieck dan ketiga temannya kembali menjadi mahasiswa. Karena sejak tadi bahkan dia bisa mendengar Hange menggerutu dan misuh-misuh karena kuis dadakan di kelas sebelumnya.

“Tuh doi nongol.” tukas Erwin sambil menunjuk ke arah belakang Pieck dengan dagunya.

Pieck tidak mengerti apa yang membuat jantungnya begitu berdebar sekarang. Entah dia deg-degan karena antusias akan bertemu Zeke setelah sekian lama, atau mungkin karena dia belum siap untuk bertemu Zeke lagi lewat perjalanan waktunya.

“Mana makanan gue, Win?”

Sosok itu muncul dan berdiri di samping Pieck yang terduduk, begitu menjulang sampai dia harus mendongak untuk melihat wajahnya. Beberapa detik telah berlalu, Pieck mempelajari setiap jengkal wajah Zeke.

Cowok itu memakai kacamatanya seperti biasa—yang dulu sangat dia ingat sering mengembun sampai menyembunyikan iris biru semi kelabunya yang teduh, garis rahang Zeke masih sama tajamnya sesuai memori Pieck, dan rambut keemasan yang terlihat sangat halus—surai pirang yang selalu sulit Pieck gapai untuk diacak-acak seperti yang Zeke lakukan terhadap surai hitam panjangnya.

Ack!

Sentilan di dahinya yang Zeke hadiahi membuyarkan lamunan Pieck, matanya mengerjap seusai mengaduh dan telapak tangannya mengusap lembut dahinya yang malang.

“Lo pasti nggak nyisain bangku buat gue ya? Parah banget Pieck, duduk dimana nih gue?” sembur Zeke dengan nada yang sengaja dibuat kesal.

Pieck memiliki alasan kenapa dia tidak menyisakan satu bangku untuk Zeke duduki, karena dia sudah terlampau terbiasa hanya duduk-duduk bersama ketiga temannya yang lain di tahun 2021, tentunya bersama Hange, Levi, dan Erwin, tanpa Zeke.

Hal itu menjelaskan kenapa dia hanya menata empat tempat duduk, untuknya dan ketiga temannya. Rupanya kebiasaan Pieck di masa depan tanpa sadar dia bawa ketika mengunjungi masa lalu.

Namun tidak lama, Zeke berhasil menemukan bangku plastik kosong dan segera membawanya untuk bergabung dengan teman-temannya di meja makan bundar, setelahnya Zeke langsung menyantap dimsumnya. Pieck memanfaatkan waktunya untuk lagi-lagi mengamati Zeke. Wow, Zeke betulan ada… dan nyata.

“Ngeliatin mulu! Naksir lo sama Zeke?” celetuk Hange.

Pieck menjadi tengsin sendiri karena kepergok memandangi Zeke, namun cowok yang dipandangi juga hanya ikut nyengir sebagai tanggapan.

Levi yang sudah selesai makan langsung membersihkan sampah-sampahnya dan menuangkan banyak handsanitizer ke atas telapak tangannya lalu mengusapnya berkali-kali, hmm clean freak seperti biasa. Kemudian cowok mungil itu berinisiatif menyuruh teman-temannya untuk cepat menyelesaikan makan siang dan mengajak mereka langsung bertolak ke kelas.

Di tengah perjalanan mereka dari kantin fakultas menuju kelas, Pieck termenung lagi. Kelas ya? Tidak disangka, di usianya yang sudah lebih dari seperempat abad, Pieck harus mengikuti kelas perkuliahannya di tahun ketiga untuk sekali lagi.

Entah jawaban apa yang Pieck cari, tapi sejauh ini hatinya merasa sangat lega karena bisa bertemu Zeke yang nyata kembali—bukan sekadar prank dari teman-temannya.

Sebab di masa depan, dia tidak memiliki kesempatan itu. Mungkin, dia akan terbangun dan menyadari kalau apa yang dia lihat kini hanya sebuah mimpi.

Mungkin juga, jikalau benar adanya time travel yang mengantarnya ke kesempatan ini, Pieck harus menyampaikan apa yang tidak sempat dia sampaikan kepada Zeke di masa lalu. Jika iya, Pieck akan menganggap kesempatan ini sebagai kesempatan keduanya.

Yaudah lah, let the water flows aja dulu. Batin Pieck.

Seumur hidup, Pieck Finger tidak pernah berpikir bahwa dirinya akan mengalami suatu peristiwa yang membuatnya kebingungan setengah mati. Pada dasarnya, Pieck sangat enggan untuk memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal seperti memikirkan konspirasi-konspirasi yang menjadi topik perbincangan banyak orang bahkan para pakar teoritis, meskipun otak cewek itu terlampau encer, Pieck tetap malas dan memilih untuk hanya memikirkan apa yang perlu dipikirkannya.

Namun di pagi hari menjelang siang ini, dia harus dihadapkan dengan situasi yang membuatnya untuk berpikir keras saking bingungnya. Seingat Pieck, dia sempat berada di sebuah jalan raya untuk menyebrang ke halte bus di malam hari setelah dia pulang dari kantornya. Bukan Pieck Finger namanya kalau tidak melakukan hal-hal bodoh, dia selalu berjalan tanpa melihat arah dan tidak memperdulikan sekitar, ditambah dengan fakta bahwa tubuhnya yang sangat mungil membuatnya mudah terlempar atau setidaknya terjatuh meskipun hanya disenggol sedikit.

Pada akhirnya Pieck tersungkur ke aspal jalan raya itu, alih-alih segera bangkit dan melanjutkan agenda menyebrangnya, dia justru sibuk mengaduh kesakitan sambil mulutnya berkomat-kamit mengeluarkan sumpah serapah untuk orang yang telah menyenggolnya hingga membuatnya tersungkur. Sampai-sampai Pieck tidak sadar ada mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi yang menghampirinya, lampu sorot dari mobilnya begitu menyilaukan hingga membuat matanya sakit. Detik kemudian yang terjadi adalah Pieck merasa badannya dihantam oleh mobil tersebut dan kesadarannya yang mulai menghilang. Semuanya menjadi gelap sebelum dia terbangun kembali.

Yang membuat Pieck bingung setengah mati adalah ektika dia mendapati dirinya terbangun dari kasurnya, dia menyadari sedang berada di kamarnya yang familiar.

“Kejadian yang tadi itu cuma mimpi kali ya?”

Dia bahkan sempat berpikir akan mati muda secara dramatis seperti adegan drama-drama korea yang rutin dia tonton. Namun pada akhirnya, Pieck bisa menghela napas lega.

Tangannya berusaha meraih ponselnya yang berada di nakas samping tempat tidur, tiba-tiba dia merasakan ukuran ponselnya berubah menjadi jauh lebih kecil di dalam genggamannya. Pieck membelalak panik, “Lah kok ini? Iphone 12 Pro gue mana?? Anjir jangan sampe ilang mana itu masih nyicil!”

Pieck masih mencoba untuk mencari Iphone 12 Pro nya dengan cara menyibak-nyibak selimut di atas kasurnya dan memindai seluruh permukaan yang ada di kamarnya, namun nihil. Yang masih ada di genggamannya sekarang adalah Iphone 6, ponsel jadul yang masih dia ingat pernah menjadi miliknya beberapa tahun silam.

Merasa frustasi, Pieck menekan tombol power ponsel jadulnya tersebut untuk mengecek waktu, “Oh, masih jam sepuluh. Masih ada sejam buat meeting.”

Kemudian Pieck dikejutkan dengan bunyi notifikasi pesan yang datang berentetan, membuat ponsel itu berbunyi dan bergetar. Dia mengernyitkan dahinya, tidak menyangka kalau ponsel jadulnya masih bisa berfungsi. Ternyata notifikasi yang masuk datang dari group chat sohib-sohibnya, jarinya bergerak di layar sentuh untuk membuka chatroomnya.

Kerutan di dahinya semakin dalam ketika membaca pesan-pesan yang ada di dalamnya, terutama pesan dari Hange.

“Ini si Hange mabok??”

Semakin Pieck mencoba untuk mengetikkan jarinya dan mengirim pesan ke grup chat, semakin bingung dirinya ketika membaca pesan balasan dari teman-temannya. Pasalnya, tidak hanya Hange yang menurutnya aneh, tapi Erwin dan Levi juga, dua teman prianya terlihat sama-sama membicarakan topik yang Hange angkat di awal chat mereka.

“Ini apa maksudnya sih? Mereka kali yang halu. Kenapa jadi ngomongin urusan kuliah si??” gerutu Pieck frustrasi, karena dia tahu betul kalau mereka semua sudah lulus bahkan sudah bekerja di salah satu perusahaan terbesar di negara mereka.

Ketika Pieck mencoba ‘menyadarkan’ Hange, Levi dan Erwin, justru dia yang mendapatkan ‘makian’ dari teman-temannya. Sampai di mana satu bubble chat muncul dan tertera nama Zeke sebagai si pengirim pesan, Pieck membulatkan matanya dan semakin bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Tidak masuk akal, sampai detik ini Pieck masih optimis kalau teman-temannya sedang melakukan prank kepadanya bahkan setelah Pieck berbalas beberapa pesan dengan Zeke di kolom pesan pribadi.

Namun Pieck teringat oleh bubble chat Levi yang menyuruhnya untuk mengecek kalender. Mulanya Pieck malas, namun pikirnya kemudian mungkin dari sana dia akan menemukan sesuatu untuk menjawab ketidak masuk akalan ini, jadi dia memutuskan untuk membuka aplikasi kalender di ponsel jadulnya.

Matanya dibuat semakin terbelalak, badannya menjadi lemas ketika kalender menunjukan tanggal, bulan, dan tahun yang berbeda dengan apa yang seharusnya Pieck ketahui. Masih belum ingin percaya, Pieck mencari kalender lain yang selalu menggantung di permukaan dinding kamarnya hanya untuk dikecewakan setelah menemukan apa yang dia lihat.

26 Agustus 2016

Pieck jatuh terduduk lemas di atas kasurnya. Matanya jelalatan ke seluruh penjuru ruangan kamarnya, dia baru sadar, dekorasi kamar yang sekarang dia tempati adalah dekorasi kamar Pieck pada tahun 2016, bukan dekorasi kamarnya pada tahun 2021. Iris kelabunya jatuh ke sebuah objek yaitu laptop yang terletak di atas meja belajar—seharusnya meja kerjanya, lagi-lagi berwujud laptopnya yang dia miliki di tahun 2016, alih-alih laptopnya di tahun 2021.

“Nggak mungkin…” setelah apa yang dilihatnya membuat Pieck melongo, dia memikirkan sesuatu, gagasan itu cukup tidak masuk akal untuknya sampai Pieck menggelengkan kepalanya sebagai bentuk denial, “Nggak mungkin lah? Masa iya gue lagi time travel? Yang bener aja Pieck Finger, lo bukan main character di drakor fantasi,” monolognya sambil iseng menampar pipinya.

Gagasan yang dipikirkannya tersebut justru membuat Pieck tertawa miris, semakin tertekan ketika dia mencoba untuk mengelak. Untuk membuktikan bahwa semua yang dilihatnya barusan itu salah, Pieck akan mencoba untuk mencari jawaban dengan menemui teman-temannya. Persetan dengan meeting perusahaan yang harus dihadirinya satu jam kedepan, apa yang telah dilihatnya membuat Pieck ragu akan eksistensi nyata dari meeting tersebut.

Dimana? Satu-satunya tempat yang terbesit di dalam otaknya saat ini adalah tempat dimana teman-teman Pieck menyuruhnya datang, yaitu kampusnya.