Levi berjalan menyusuri koridor kampus untuk menghampiri Pieck yang sedang duduk sendirian di bangku panjang depan kantor prodi jurusan mereka. Sebelum mendudukan dirinya, Levi menyodorkan sebuah susu kotak dingin untuk Pieck yang diterima temannya dengan sebuah seringaian.
“Wih apaan nih? Lo nyoba nyogok gue pake susu kotak ya?” tanya Pieck iseng.
Kemudian Levi melengos sambil segera mendudukan diri di samping temannya, ikut menusukkan sedotan ke susu kotaknya sendiri, “Dih, kalau nggak mau sini balikin.”
“Yeee, bercanda Lev, gausah kaku-kaku amat lah! Btw makasih loh, kebetulan gue haus.”
“Hmm.”
Lalu mereka sibuk berdiam diri masing-masing, menghayati seruput demi seruput manisnya susu kotak yang dingin lewat sedotan masuk ke tenggorokan. Kebetulan sekali Pieck sudah terlampau lemas setelah selesai kelas, asupan gula dari susu kotak yang Levi berikan tadi agak sedikit membantunya untuk memproduksi energi yang akan dia gunakan untuk mengendarai motor pulang nanti.
Beberapa menit yang hening telah terlewat ketika keduanya mulai tersadar akan kehadiran seorang gadis rupawan yang sejak statusnya masih sebagai mahasiswa baru sudah menjadi primadona kampus itu melangkah melewati Pieck dan Levi.
Perempuan dengan rambut hitam panjang yang ditata sedemikian apik itu juga menyapa mereka berdua sambil tersenyum, menanyakan kenapa kedua sahabat ini belum pulang yang dijawab oleh keduanya dengan, “Biasalaah.”
Lalu sepasang mata Pieck dan Levi secara otomatis mengikuti kemana arah perempuan itu melangkah—sambil masih menyedot susu kotak mereka.
Oh, ternyata perempuan itu hendak memasuki kantor prodi.
Pieck mengalihkan pandangannya dan menghadap ke Levi, “Buset, cantik banget ya?”
Pertanyaan dadakan Pieck membuat Levi mengerjap kaget bak tertangkap basah kalau dia ikut memandangi perempuan yang barusan lewat.
“Gue yang cantik?” Levi balik bertanya, tujuannya untuk sekadar melempar candaan meskipun dia sudah tahu siapa yang dimaksud cantik oleh temannya.
“Frieda lah, anjir! Yakali elo.”
Ya, perempuan yang barusan lewat jua melempar Pieck dan Levi senyuman itu menyemat asma Frieda Reiss, teman satu angkatan mereka.
Sejauh analisis Pieck, tidak ada perbedaan mencolok yang dia temukan. Frieda yang ditemuinya saat ini kurang lebih masih sama dengan Frieda yang dia temui di tahun 2016 versi pertama.
Perempuan itu tinggi, surai hitamnya terlihat sehalus sutra, tutur katanya lembut, keseluruhan penampilannya sangat anggun—nggak heran kalau Frieda menjadi seorang primadona kampus. Apalagi Frieda ini adalah putri dari seorang Senator negara bagian sebelah, membuat dia menjadi seseorang yang dihormati.
Penampilan Pieck sangat jauh dari kata jelek atau tidak cantik, tetapi kalau dibandingkan dengan Frieda, dia jelas kalah jauh. Meskipun dia dan Frieda sama-sama bersurai hitam, semua orang juga bisa melihat perbedaan kontrasnya. Pieck yang cenderung berantakan dan Frieda yang berpenampilan bak putri kerajaan yang punya hairstylist pribadi.
Sebagai seorang perempuan, Pieck juga tidak jauh berbeda dengan para lelaki yang akan kesemsem kalau diberi senyum Frieda seperti barusan.
Mengingat kalau Frieda ini punya kontribusi peran di dalam masa lalu Pieck meski jumlahnya nggak seberapa banyak, dia jadi semakin penasaran apakah dia akan menemukan sesuatu yang berbeda atau justru semuanya akan sama.
Pieck jadi teringat sendiri tentang kontribusi peran apa yang akan Frieda berikan di hidup Pieck. Intinya, mereka berdua akan terjebak di situasi yang mengharuskan untuk berinteraksi lebih banyak karena mereka memang tidak terbilang akrab sebelumnya. Mengingat-ingat memoar tersebut justru membuat Pieck tersenyum miris.
“Pulang sana lo, udah sore. Nggak ada agenda lain kan?”
Lamunanya buyar oeleh senggolan Levi. Karena sibuk melamun, Pieck menjadi lupa kalau tadi dia berniat pulang duluan dan meninggalkan Levi untuk menunggu Hange selesai dengan urusan toiletnya.
“Gapapa gue tinggal? Ini Hange lama banget dah dia berak apa gimana?”
Levi hanya mengangkat bahu, “Gapapa, udah sana. Btw, jangan bilang Hange kalo gue minta biar gue aja yang anterin dia balik.”
“Emang kenapa sih? Sembunyi-sembunyi amat elah.”
“Ngelunjak entar bocahnya.”
Pieck berdecak mengetahui Levi yang tetap tsundere di dimensi waktu manapun, “Iya iya, itu temen gue jangan sampe lecet loh, awas!” ucapnya pamit dan menghadiahi Levi lambaian tangan.
Ketika Pieck sampai di area parkir, dia menemukan Zeke yang sedang nangkring di motornya ditemani Erwin. Dua teman pirangnya terlihat sedang memiliki sesi ngobrol serius, namun yang membuat Pieck heran adalah kenapa mereka memilih untuk nangkring di motornya jika ada tempat yang lebih proper.
“Oit, ngapain lo nangkring di motor gue?” Pieck bertanya ketika sudah berada tidak jauh dari Zeke dan Erwin.
“Lama banget lo di Prodi, sini-sini. Nih si Zeke mau nebeng,” jawab Erwin sambil menyikut lengan Zeke.
“Habis ngobrol sama Levi gue, Win. Motor lo kemana emang, Zeke?” kata Pieck sekaligus kepada Erwin dan bertanya kepada Zeke.
“Tadi gue berangkat nebeng Eren, motor gue lagi ada masalah sama accu nya. Mana kunci lo?”
Pieck menyerahkan kunci motornya yang diterima Zeke untuk langsung menyalakan mesinnya. Kemudian Erwin pamit meninggalkan mereka berdua, meminta maaf kepada Zeke karena tidak bisa mengantarnya pulang sebab dia harus pergi menemui Ayahnya. Jadinya, Pieck lah yang bertugas memberikan tumpangan gratis untuk Zeke sore ini.
Di perjalanan, hanya ada keheningan dan suara dari kendaraan-kendaraan lain yang menemani. Zeke dan Pieck enggan ngobrol di atas motor karena percuma, tidak akan terdengar. Mereka tidak mau cosplay menjadi abang ojol dan penumpangnya yang ketika ditanya sesuatu, jawabnya pasti ‘iya’ meskipun nggak nyambung sama sekali.
Zeke menghentikan laju motornya di depan rumah Pieck alih-alih rumahnya sendiri yang justru mengundang tanya darinya, “Kok berhenti di rumah gue sih?”
“Gapapa gue jalan aja, sekalian olahraga. Udah deket juga lagian.”
“Yaelah nanggung banget.”
“Hehe, eh Pieck. Kita mending berangkat pulang kampus bareng aja gak si? Lagian kita satu komplek, kelas juga sama semua.”
Aduh. Kalau begini kan tawaran Zeke tadi tanpa sadar bisa membuat Pieck ge-er sendiri.
“Mau nggak?” tanya Zeke ulang.
Pieck bisa menangkap kalau Zeke terlihat menaruh harap atas jawabannya.
Setelah beberapa saat terlewat oleh Pieck sambil membertimbangkan, dia menjawab, “Nggak usah deh.”
Ternyata penolakannya barusan berbuah perubahan level antusiasme Zeke yang mulanya berada di level 9 menjadi turun ke level 2, membuat Pieck buru-buru meralat perkataannya;
“Wait, bukannya gue gak mau Zeke. Tapi gimana ya, gue kan mahasiswa kupu-kupu nih. Sedangkan lo punya banyak kegiatan di kampus, pasti bakal nggak nyatu aja dan susah gituu. Ngerti nggak?”
Zeke menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menyadari kalau penjelasan temannya barusan ada benarnya juga, “Hmm… Bener juga sih.”
“Hehe. Iya, Zeke.”
“Tapi kalo lo butuh nebeng, don’t hesitate to tell me ya?”
Pieck mengangguk sebagai sebuah jawaban, masih sedikit heran mengapa Zeke tiba-tiba keukeuh menawarkan tumpangan padahal Pieck selalu punya berkendara sendiri. Mungkin sebagai balas budi karena tadi Pieck secara sukarela memberinya tumpangan pulang—entahlah.
“Thanks buat tumpangannya tadi, Pieck. Gue balik ya, dah!”
Sore itu langit berwarna jingga ketika punggung Zeke terlihat dari belakang dan perlahan menjauh. Pieck masih setia berdiri di teras rumahnya sampai punggung lelaki itu hilang dari pandangannya.
Sampai saat ini, Pieck belum yakin dengan perasaannya sendiri. Di satu sisi, dia sangat ingin merengkuh punggung lebar Zeke dari belakang untuk sekali saja karena dia tidak memiliki kesempatan itu di tahun 2016 yang dulu, tetapi di sisi lain ada rasa takut yang menghambatnya.
Kata Eren si tour guide, kematian Zeke pun tidak bisa dihindari. Membuat Pieck semakin dikejar rasa takut untuk menghadapi kematian Zeke mendatang dan rasa penyesalan atas apa yang tidak bisa dia sampaikan ke Zeke dulu.
Dia pernah membaca sebuah kutipan yang berhasil menghantamnya, kutipan itu berbunyi; “Regret to do, rather than regret not to do”.
Siapapun, tolong ingatkan Pieck untuk tidak membuang banyak waktu dan membulatkan tekadnya kalau tidak mau dihantam sekali lagi oleh kutipan di atas.