lilymagicals

Setelah acara pemilihan ambassador kampus selesai, Pieck dan beberapa teman yang lain memang sengaja untuk singgah di sebuah ruangan kosong untuk ngobrol, dia ikut hanyut dalam gelak tawa teman-teman satu angkatannya di ruang 10 fakultas mereka. Tadi Zeke bilang dia akan segera menyusul, katanya sih mau nagih hadiah. Maka Pieck menunggu kedatangan Zeke di ambang pintu ruangan tersebut.

Nggak lama kemudian netranya menangkap sosok yang sudah ditunggu, Zeke berlari kecil lengkap dengan senyum yang dilengkungkan di bibir. Pieck jadi teringat dia belum sempat memberi selamat kepada laki-laki itu secara langsung.

Zeke melambaikan tangannya ke arah Pieck, namun langkah Zeke tiba-tiba terhenti ketika ada seseorang yang muncul di hadapannya, Pieck mengenal siapa orang itu—Frieda.

Oh, Pieck jadi sadar kalau dia pernah melihat adegan serupa di tahun 2016 versi pertama. Jadilah dia hanya memperhatikan keduanya dari jauh, sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu. Pieck nggak bermaksud untuk menguping, toh jaraknya masih terlalu jauh untuk mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.

Pieck tebak, setelah ini Frieda akan memberikan sesuatu untuk Zeke. Pieck memang nggak melihatnya dengan jelas, tapi dia bisa melihat gesture Frieda yang malu-malu.

Nggak heran sih, adegan itu memang awal dari kedekatan Zeke dan Frieda dulu. Kedekatan mereka berujung ke sebuah kabar bahwa Zeke dan Frieda menjadi sepasang kekasih yang tentunya menjadi sebuah berita bombastis yang tersebar di seluruh wilayah kampus. Namun amat disayangkan, hubungan keduanya nggak berlangsung lama, hanya beberapa bulan. Pieck nggak tahu alasannya.

Betul kan, Pieck melihat Frieda menyerahkan sebuah paper-bag yang dengan logo salah satu brand mahal yang tentu saja berharga fantastis. Pieck jadi teringat, tadi Zeke bilang dia mau meminta hadiah darinya sekarang. Melihat bingkisan yang Frieda berikan ke Zeke barusan membuat dirinya minder seketika, apalagi Pieck belum mempersiapkan apapun untuk diberikan kepada Zeke.

Namun waktu Frieda berbalik meninggalkan Zeke, Pieck baru bisa melihat ekspresi laki-laki itu dengan lebih jelas. Ekspresi air muka yang sama sekali nggak disangka olehnya. Zeke terlihat geram, matanya nyalang dan jengah, pokoknya Zeke kelihatan seperti nggak suka dengan apa yang barusan terjadi. Selain itu, Zeke mulai berjalan menuju ke salah satu tempat sampah terdekat. Dan tanpa keraguan, Zeke membuang paper-bag yang Frieda berikan ke tempat sampah itu.

Pieck dibuat terkejut bukan main, lalu teringat kalau bagian itu nggak pernah ada atau pernah dia saksikan dulu.

Mata nyalang Zeke dan mata Pieck yang masih diselimuti keheranan bertemu, dia ingin segera menghampiri Zeke. Tapi laki-laki itu berbalik dan menghadiahinya sepasang bahu yang mendingin.

Belum pernah dalam seumur hidup Pieck melihat Zeke seperti itu. Ketika Zeke semakin berjalan menjauh dan melupakan niatnya buat minta hadiah, di situ lah Pieck menyadari, kalau dia baru saja melihat sisi lain dari diri Zeke yang belum ia kenali dulu maupun sekarang.

Bisa dibilang kalau Valentine adalah salah satu peak season untuk Boys For Rent, sebab masuknya demand pesanan untuk sewa para talent BFR membludak bukan main. Bahkan banyak dari calon klien yang nggak kebagian slot saking gercepnya klien lain dalam bertransaksi. Namanya juga hari kasih sayang, nggak punya pacar bukan suatu masalah buat mereka yang ingin melakukan kegiatan uwu dan romantis instagramable dengan cowok-cowok ganteng, BFR telah hadir menjadi sebuah solusi.

Maka dari itu, rapat kecil-kecilan kali ini Erwin adakan untuk memastikan baik dari staff dan talents nya nggak keteteran. Rapat dimulai dan Erwin sebagai yang memimpin mempersilakan Falco selaku talent baru untuk memperkenalkan diri secara langsung, meskipun sebelumnya beberapa dari talent dan staff sudah bertemu dengannya.

“Perkenalkan semua, saya Falco. Umur saya 19 tahun, sekarang lagi kuliah semester empat. Mohon bimbingannya.”

Perkenalan diri Falco disusul oleh tepukan tangan dan sapaan hangat dari talent lain dan staff. Melihat Falco yang masih muda dan lugu sebenarnya membuat beberapa yang ada di ruangan merasa menyayangkan kalau dia akan resmi menjadi cowok bayaran setelah ini. Meskipun nggak ada yang perlu dikhawatirkan sih, cowok bayaran di sini tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang berkonotasi negatif.

“Okay Falco, gausah formal-formal. Senyaman lo aja, di sini ngga ada senioritas kok. Gue Zeke, yang bakal jadi perwakilan lo untuk urusan Legal. Singkatnya buat ngurusin kontrak lo dengan klien juga kontrak lo dengan pihak BFR.”

“Hehe okay siap, Bang Zeke.” jawab Falco seraya mengangguk dan melangkah ke salah satu tempat duduk yang tersedia setelah dipersilakan.

Setelah itu Erwin mulai lagi memimpin rapat, “Okay jadi semua talents are available for Valentines batch tahun ini, kan?”

Para talent mengangguk sebagai jawaban, sampai ada satu interupsi yang datang.

Sorry bang interupsi, have I told you that gue bakal ambil cuti buat Valentine batch tahun ini?”

“Oh iya hampir lupa, it’s on my notes kok. Thanks ya, sudah diingetin.”

Yang barusan menginterupsi Erwin adalah Jean. Karena alasan tertentu dia harus mengambil cuti dan off-service di batch valentine tahun ini. Tentu saja hal itu menimbulkan rasa penasaran pada rekan-rekannya apalagi Jean ini adalah salah satu talent yang paling diminati oleh para calon klien.

“Kenapa cuti deh? Dari awal join BFR lo nggak pernah cuti pas Valentine padahal.” Eren menjadi yang pertama menyuarakan rasa penasarannya.

Sedangkan Jean cengar-cengir sendiri di tempat duduknya, sampai Hange menyeletuk, “Dia mau ngelamar ceweknya pas Valentine besok.”

“BUSEEEEET.”

“Gue bahkan lupa anjir kalo Jean punya pacar!”

“BFR PECAH TELOR NIH??”

“PARA TETUA KAPAN PECAH TELOR JUGA?? MASA DILANGKAHIN SAMA JEAN.”

Seisi ruangan seketika berubah kurang kondusif mendengar kabar Jean yang akan melamar pacarnya. Bukan hal aneh sebenarnya kalau beberapa talent memiliki hubungan asmara pribadi meskipun pekerjaan mereka adalah sebagai pacar bayaran. Namun untuk saat ini sih, yang betulan punya pacar memang hanya Jean seorang. Nggak masalah, toh hal itu nggak merugikan.

Bicara soal hubungan asmara, satu peraturan sakral yang nggak boleh dilanggar oleh para talents, yaitu nggak boleh baper sama klien ketika kontrak masih berlaku, dan klien mereka sendiri juga sudah diinformasikan atas adanya peraturan tersebut. Selama ini sih aman-aman saja, nggak ada masalah besar yang timbul sebab para talent dan klien menjalani segalanya dengan sangat profesional.

Lantas, apakah aturan tersebut betulan membuat member BFR anti-baper ke klien mereka? Tentu saja tidak. Banyak juga (kecuali yang sudah berpawang) yang baper atau naksir-naksir gemes ke klien nya, apalagi kalau talent dapat klien yang sesuai kriteria idaman mereka. Tapi yaudah sih, meskipun begitu talent BFR tetap profesional.

Sebetulnya, selain talents yang harus mematuhi peraturan, klien juga harus mematuhi peraturan atau batasan-batasan yang para talents tentukan. Lalu bukan cuma klien yang punya preferensi mau sewa talent yang mana. Talents juga punya preferensi mereka sendiri.

Contoh singkatnya, Porco menghindari talents yang request untuk dipanggil dengan pet names cringe, Bertholdt yang menghindari membicarakan topik-topik astrology; mbti; golongan darah dan lain-lain sebagai acuan bentuk karakter seseorang karena menurutnya nggak rasional, atau Connie yang enggan menerima klien yang kelewat ‘fancy & lavish’.

tok tok tok

Erwin mengetuk meja dengan kepalan tangannya pertanda meminta para talents dan staffs untuk kembali fokus.

Congrats ya Jean. Semoga lancar proposal nya.”

“Makasih Bang Erwin!”

“Yaudah kita lanjut ya. Mau follow up ke Hange sama Levi sebagai yang ngurusin transaksi awal sama klien, kemarin yang kurang-kurang sekarang udah disiapin?”

“Udah, gue sama Hange udah siapin semua buat PR related, registrasi, payment, dll” jelas Levi.

“Oke thanks, Pai.” merasa puas dengan jawaban rekannya, Erwin mengangguk. “Kalau gitu seperti biasa, gue sama Zeke bakal urus semua persiapan legal documents buat klien. Terus—oh iya, kemaren gue denger katanya ada klien yang ngotot mau nge-spill Porco di twitter?”

Hange dan Zeke terbahak mendengar pertanyaan Erwin barusan, bujang-bujang lainnya langsung mulai menggoda Porco, justru yang sedang menjadi topik pembicaraan sih acuh dan santai saja meskipun di dalam hati merasa ngenes juga.

“Udah gue sama Porco beresin secara kekeluargaan kok hahaha,” jawab Hange masih terkekeh.

“Jangan galak-galak makanya, Pock.” tukas Reiner jenaka.

Porco mendengus tidak terima, “Diem lo.”

Masalah yang sempat Porco alami itu karena ada salah satu klien yang nggak puas dengan service nya. Si klien merasa Porco ini terlalu galak ketika menjadi pacar, apalagi untuk sekelas pacar bayaran. Memang sih, kalau sudah merasa cringe oleh kelakuan cewek-cewek manja dan clingy, mode singa Porco akan bereaksi.

Selain untuk menjaga reputasi bisnis, BFR ini tergolong bisnis yang dijalankan secara tertutup (bukan illegal). Tujuannya adalah untuk melindungi privasi talents dan klien sekaligus. Meskipun pihak BFR mempunyai laman media sosial sehingga mudah untuk dijangkau, secrecy adalah salah satu poin penting dalam menjalankan bisnis.

Mengingat talents BFR itu visual nya nggak kalah tampan dengan oppa-oppa korea, mereka bisa langsung viral kalau keberadaannya secara individu pribadi terendus oleh publik, kemudian privasinya otomatis akan terganggu. Apalagi spill culture sedang trend di media sosial untuk kalangan Gen-Z. Makanya BFR sangat menghindari publikasi yang sekiranya akan merugikan pihak pribadi.

“Bagus deh kalau udah beres haha, lain kali tahan dulu ya Porco mode singa nya.“

“Hmm…”

“Yaudah sebenernya sih itu aja. Mungkin selain itu gue mau ingetin buat talents untuk patuhin semua rules BFR yaa, kalau ada klien yang coba ngelanggar juga jangan lupa diingetin. Kasih batasan.”

“Siaaaap.”

Very well then, any questions? Atau ada yang mau nambahin?”

Ketika semua menggeleng pertanda tidak ada pertanyaan atau sesuatu untuk ditambahkan, rapat malam itu resmi berakhir.

Ada kalanya seorang ayah merasakan jarak yang terbentuk dengan anak perempuannya ketika ia mulai tumbuh menjadi seorang remaja. Sebab anak perempuan terkadang lebih memilih untuk membagikan banyak hal hanya ke sesama perempuan atau yang sebaya dan terpaksa menciptakan jarak dengan sang ayah.

Biasanya juga seorang ayah akan menjadi figur yang paling dikagumi oleh anak perempuannya, maka ketika sang ayah melakukan sesuatu yang menurutnya tidak sempurna, anak perempuan akan sangat mudah kecewa setelah melihatnya.

Itu apa yang dialami oleh Emina dan Zeke hari ini. Tadi siang ketika Zeke sampai di sekolah Emina dan melihat putrinya sedang nongkrong cantik (namun wajahnya jelas terlihat cemas) di jam istirahat bersama teman-temannya, Zeke tanpa berpikir panjang menghampiri Emina untuk menyerahkan produk esensial bagi perempuan ketika datang bulan.

Emina menerima barang itu dengan baik, sehingga Zeke tidak menyangka kalau setelahnya dia bakal kena konfrontasi anak perempuannya sendiri karena menyerahkan barang itu di depan teman-temannya dan membuatnya malu.

Zeke pikir tidak ada yang salah bila teman-temannya tahu, toh menstruasi merupakan siklus alami yang pasti akan dialami oleh semua perempuan, Emina tak terkecuali. Namun setelah cukup berdebat dengan anaknya lewat pesan di ruangan chat keluarga, Zeke akhirnya menyadari kalau hal kecil itu betulan bisa membuat Emina merasa malu setelah Pieck menengahi perdebatan keduanya.

Mungkin karena Zeke yang kurang mengerti, dan Emina yang hormon menstruasinya sedang bereaksi tidak stabil sehingga emosinya mudah meluap. Bukan satu hal baru yang Zeke lihat sebetulnya, dia cukup berpengalaman sebab perubahan emosi seperti itu kerap dia temui pada Pieck setiap bulan. Namun yang belum dia dapatkan adalah pengalaman dengan anak perempuannya, yang tadi itu baru pertama kali Zeke temui.

“Emina, ayo dong berhenti main handphonenya. Masa Ayah dicuekin gini,” ucap Zeke yang kesekian kali mencoba merebut perhatian putrinya dari layar gawai.

Sungguh, dia tidak berekspektasi akan terjebak di situasi yang cukup membuat sepasang ayah dan anak itu merasa canggung satu sama lain.

“Kan tadi Ayah udah minta maaf, Emina…”

Masih diselimuti rasa kesal, Emina menjawab, “Iya Ayah, tapi maaf nggak akan ngubah situasi. Aku betulan malu banget tadi.”

“Oke, coba cerita sama Ayah kenapa kamu segitu malunya? Selain karena Udo ya.”

Zeke kembali membujuk, dia rasa Udo yang merupakan sahabat karib putrinya sekaligus anak dari teman Zeke sendiri tidak akan mempermasalahkan menstruasi Emina. Jadi kenapa dia harus malu?

Isn’t it gross… Darah menstruasi kan kotor, Ayah nggak jijik?” samar-samar suara Emina terdengar setelah menyeruput minumannya dan pertanyaan itu sukses membuat Zeke terkejut.

“Jijik gimana? It’s just a blood. Menstruasi itu siklus biologis, dari kacamata sains, darah yang keluar itu karena sel telur kamu nggak dibuahi oleh—“

“Stop Ayah! Ih, aku udah sering dengar itu di kelas.”

Zeke menghela napas, dan Emina semakin menundukan kepalanya.

“Kalau sudah sering dengar, jadi di mana letak masalahnya?”

“Kok Ayah bisa dengan santai ngomongin soal menstruasi sih?”

Barulah kali ini lewat pertanyaan Emina, Zeke menjadi lebih memahami kekhawatiran putrinya. Rupanya banyak yang masih menganggap kalau menstruasi adalah hal tabu yang tidak boleh dibahas seorang perempuan dengab lawan jenisnya. Itu menjelaskan kenapa putrinya sempat uring-uringan tadi, apalagi ini pengalaman pertama buatnya.

Zeke tersenyum, “Kenapa harus nggak santai? Ayah juga pernah sekolah dan belajar tentang reproduksi, kali. Apalagi kan Ayah punya istri dan anak perempuan. Lagian itu harusnya sudah jadi common knowledge, ya kan?”

Emina masih ragu bahkan setelah mendengar penjelasan Ayahnya. Sebab di lingkungan pertemanannya justru yang Emina temukan adalah mereka yang menghindari topik menstruasi untuk dibahas sehingga dia merasa aneh ketika harus membicarakan topik ini dengan Ayah nya, “Hngg… Tapi teman-teman aku nggak suka bahas soal itu, terutama waktu ada anak laki-laki.”

“Wah… Kalau teman-teman kamu terutama yang cowok mikir menstruasi itu memalukan, kamu kasih tahu dong mereka. Kamu buat pikiran mereka lebih terbuka, Em. Menstruasi itu bukan sesuatu yang memalukan untuk dibahas. Ibu mereka juga menstruasi, karena itu hal yang natural terjadi, dan sama sekali nggak menjijikan atau memalukan.”

“….”

Emina masih bungkam, namun jelas terlihat sedang memfokuskan pendengarannya ke rentetan kalimat sang Ayah.

“Oke mungkin karena itu pengalaman pertama kamu, wajar sih kalau malu. Kamu pasti syok dan bingung, maaf ya tadi Ayah kurang perhatikan situasi?”

“Hngg… oke Ayah. Nanti aku bilang ke teman-temanku supaya mereka nggak malu untuk bahas ini.”

Ringan sudah kini kedua bahu Zeke yang semula terasa berat akan suatu beban yang membuatnya takut kalau dia belum menemukan jalan keluar untuk berdamai dengan anak perempuannya. Ingatkan Zeke untuk berterimakasih pada metode didikan Pieck, berkat itu Emina mampu berpikir dengan kepala terbuka dan dengan cepat menyerap hal baru untuk dipelajari.

“Kalau sudah selesai, pulang yuk? Nanti bunda kepalang kangen sama kita. Itu red velvetnya dihabiskan dulu, kalau mau bungkus kue lainnya buat ngemil di rumah juga ambil aja.”

Melihat Emina yang lahap menyuap sisa potongan kue ke mulutnya membuat Zeke gemas sendiri, sekelebat perasaan tidak menyangka anak perempuannya akan tumbuh secepat ini hadir begitu saja memenuhi benak dan pikiran.

Rasanya dia masih ingat bagaimana surai pirang anaknya masih sepanjang batas telinga, kini Emina terlihat cantik dengan rambut yang dia biarkan tumbuh panjang dan selalu ditata apik. Kemudian perasaan bangga Zeke rasakan melihat pertumbuhan Emina yang sehat dan pesat hingga tinggi badannya kini hampir menyamai tinggi sang Ibu, yang mana terbilang cukup tinggi untuk anak seusianya.

Semua orang yang melihat dua deskripsi fisik itu sudah tahu jelas Emina mewarisinya dari siapa. Kemudian untuk melengkapi ciri khas sebagai buah cinta Zeke Yeager dan Pieck Finger, dari segi kepribadian, anak itu memiliki perangai yang lebih condong mirip pada sang Ibu.

“Makasih ya Ayah buat nasihatnya, maaf Emina marah-marah tadi…”

“Nggak perlu makasih, memang sudah seharusnya Ayah kasih nasihat. Jadi, jangan sungkan buat cerita sama Ayah ya, Emina?”

“Iya Ayah.”

Setelah selesai merasa campur-aduk selama beberapa detik, Zeke membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya, kemudian memberi usapan sayang di puncak kepala putri satu-satunya lalu bersiap-siap pulang ke rumah sebab sudah ada yang menunggu mereka di sana.

Pieck seharusnya tidak perlu pusing memikirkan tentang hal-hal seperti pakaian apa yang harus dia kenakan untuk agenda makan malamnya dengan Jean, atau aroma parfum mana yang kira-kira lebih cocok untuk dipakai pada occasion seperti ini.

Hell, Pieck. You’re not a teenager who went to a dinner date for the first time. Lagi pula acaranya ini sama sekali bukan kencan, Pieck hanya dengan senang hati memberi orang yang sudah repot-repot membantunya sebuah traktiran makan malam. Sebab mungkin saja setelah malam ini, dia sama sekali tidak akan bertemu Jean lagi di lain waktu. Setidaknya, ini adalah bentuk balas budi yang bisa dia lakukan.

Seharusnya begitu, namun apa yang terjadi satu jam sebelum Pieck sampai di restaurant dengan pemandangan riverside yang cantik membuatnya bingung setengah mati. Pieck hampir frustasi mengapa dia merasa perlu tampil mengesankan hanya untuk Jean Kirstein.

Pieck langsung disambut hangat oleh Jean ketika sampai di meja yang sudah Jean booked beberapa jam lalu. Adegan yang mirip dengan pertemuan pertama mereka, namun suasananya nya begitu beda karena Pieck tidak lagi menuduh dan meneriaki Jean sebagai seorang penipu.

“This is for you.”

Pieck menerima sebuket bunga dari Jean dengan senang hati, setelah mengucap terima kasih, Jean beralih dan mendekat ke Pieck kemudian menarik sebuah kursi untuk Pieck duduki.

Gentleman.

Please have a seat, Pieck.

Thank you, Jean.

Sejak pertama kali kedua netranya menangkap sosok mungil Pieck Finger malam ini, Jean sudah terpana. Ditambah dengan fakta bahwa kini mereka duduk berhadapan, membuat Jean semakin bisa melihat setiap inci kecantikan Pieck Finger dari jarak yang lebih dekat.

Semilir angin menjadi sesuatu yang menemani mereka berdua karena meja mereka terletak di area yang memiliki akses langsung ke outdoor and the riverside. Pieck beruntung karena dia memilih sebuah blazer kasual untuk dikenakan malam ini.

Have you ordered anything, ‪Jean?” tanya Pieck ketika dia memindai deretan nama makanan di sebuah buku menu.

I got this Pinot Noir red wide, would you like a sip?

Yes, please.

Keduanya bersulang dan saling bertukar pendapat tentang menu apa yang sebaiknya mereka santap malam ini. Mungkin pilihan yang terbaik adalah steak daging merah, pikir Jean dan Pieck. Klasik memang. Lalu seorang pelayan datang untuk mencatat pesanan mereka dan mempersilakan keduanya untuk menunggu beberapa menit sampai makanan mereka datang.

So, how’s Marley, Jean?

Never been this great to be in Marley. Biasanya saya cuma ke sini buat urusan kantor. Now that I’ve met you here, saya jadi kepingin ke sini sering-sering.”

Jawaban Jean membuat Pieck mendengus, baru sehari bertemu laki-laki ini, dia sudah paham kalau Jean is such a sweet talker.

“Berarti, besok kamu pulang ke Paradis? It’s Monday tomorrow, you need to work.

Yeah, sayang sekali saya harus pulang besok. I’m taking an early flight. Saya bakal masuk kantor setelah jam makan siang,” jawab Jean sambil menopangkan dagunya seraya memusatkan perhatiannya ke arah Pieck.

May you have a safe flight then.

Thanks, lady.

Makan malam mereka berlangsung dengan tenang, namun sama sekali tidak ada kecanggungan yang menyelimuti keduanya. Semua percakapan yang mayoritas Jean angkat selalu mengalir begitu saja, keduanya mampu menghidupkan topik-topik baik yang penting maupun yang tidak penting sekalipun malam itu. Dari menceritakan tentang kehidupan kerja mereka, sampai mengomentari bagaimana servis pelayanan di restoran ini sangat baik.

Actually saya punya temen yang kerja di Reiss Holdings juga, tapi dia ada di kantor Marley,” ucap Pieck yang menandakan topik kesekian dari percakapan mereka setelah makan malam usai.

Kini keduanya sedang bersantai di area luar restaurant sambil menyesap anggur merah dari gelas masing-masing.

“Oh ya? Siapa? Siapa tahu saya kenal.”

“Reiner Braun, kenal nggak?”

Jean sontak tertawa ketika mendengar nama seseorang disebut, “Loh, yang tinggi besar dan rambutnya pirang? Dia sih juga teman kuliah saya, Pieck.”

For real?? No way ternyata dunia sesempit itu!”

Antusiasme membuat Pieck ikut mengeluarkan tawa—tawa yang menurut Jean cantiknya tidak ada dua. Jean memang selalu dikelilingi wanita-wanita cantik, bahkan dia pernah mengencani beberapa dari mereka.

But Pieck Finger has another level of beauty yang tidak bisa Jean deskripsikan dengan mudah. Words can not do justice to her beauty. Under the starry night’s sky, the glimmering look in her face looks very splendid.

Menyadari tatapan intens Jean, tawa perempuan itu terhenti dan membuatnya sedikit merasa canggung. Tatapan Jean Kirstein ini… menurut Pieck sangat membahayakan, Pieck merasa dirinya telanjang setiap kali ditatap seperti itu oleh Jean.

Bukan berarti Jean selalu memberinya tatapan nakal, tetapi tatapan itu memiliki daya tarik tersendiri yang sedang berusaha Pieck tangkis.

Untuk menutupi rasa canggungnya, Pieck kembali menyesap anggur merahnya. Lalu sudut mata Pieck menangkap Jean yang tengah mengeluarkan ponsel dari saku celana.

“Pieck, saya boleh ambil foto kamu?” tanya Jean.

Pertanyaan itu membuat Pieck mengernyit, fotonya? Untuk apa? Dia bukan seorang publik figur yang worth untuk difoto, “My photo? Untuk apa?”

“Buat kenang-kenangan aja, boleh?,” balas Jean santai.

“Hng… boleh deh.”

“Okay, kamu nggak harus pose yang gimana-gimana. Saya lebih suka ambil foto candid. Yang penting saya sudah izin sama kamu, ya?”

“O-okay…?”

Malam mulai larut meskipun masih panjang, Pieck harus segera pulang karena suatu hal yang membuatnya tidak bisa pulang terlalu larut di hari Minggu malam, “Jean, thank you so much ya sekali lagi. Tapi saya harus pulang sekarang.”

Jean merasa dia harus mengantar Pieck ke rumahnya mengingat tadi perempuan itu cukup banyak meminum anggur merahnya, “Wait Pieck—let me drive you home.

No need to, saya bawa mobil sendiri loh, Jean.”

“Kebetulan saya nggak bawa kendaraan, jadi biar saya yang nyetir sampai ke rumah kamu then I’ll take an uber buat ke hotel saya. Lagi pula kamu tadi minum banyak wine, ini juga sudah terlalu malam.”

Alasan yang barusan Jean sebutkan cukup membuat Pieck terdiam dan merutuki dirinya sebab kehilangan kontrol atas konsumsi alkoholnya malam ini. Mau tidak mau, dia harus menerima tawaran lelaki di hadapannya sekarang.

“Maaf jadi ngerepotin kamu lagi,” jawab Pieck pada akhirnya sambil menyerahkan kunci mobil kepada Jean.

Jena hanya menanggapi singkat sambil tersenyum, “Saya nggak merasa direpotin kok.”

Di dalam mobil yang dilajukan dengan kecepatan sedang untuk membelah jalanan kota Liberio, Jean fokus mengemudi setelah Pieck memberi tahu tempat tinggalnya yang ternyata ada di sebuah gedung apartemen mewah di tengah kota, jaraknya cukup dekat dengan hotel tempat Jean menginap selama dua malam.

“Pieck, kalau saya bilang saya jatuh cinta sama kamu, would you be mad?

Entah dorongan apa yang membuat Jean dengan mudah melontarkan kalimatnya barusan. Datangnya tiba-tiba, pun tanpa aba-aba, yang jelas Jean tahu kalau dia tidak punya banyak kesempatan untuk bertemu dengan Pieck karena terhalang oleh jarak dua negara. Sebelum Jean kembali ke Paradis, dia merasa at least Pieck harus tahu bahwa rasa ketertarikannya terhadap perempuan itu ialah nyata.

Sedangkan Pieck membeku di kursi penumpang. Sekeras apapun hatinya ingin setuju atas rasa ketertarikan yang sama pada lelaki di sampingnya, otak Pieck justru bekerja dengan sibuk untuk menghalau perasaan tersebut.

Membuat sang puan semakin denial dan mensugesti dirinya sendiri kalau dia sama sekali tidak tertarik dengan hubungan apapun yang akan melibatkan dirinya dan Jean Kirstein.

“Boleh saya kasih saran buat kamu, Jean?”

“What is it?”

“Jangan jatuh cinta sama saya, kamu hanya akan buang-buang waktu.”

“Batalkan pertunangan Mikasa!”

“Tidak bisa.”

“Jangan coba menipu saya, dari awal anda sudah sepakat Mikasa untuk saya bukan Pieck Finger!”

“Jaga mulutmu, dia Pieck Ackerman.”

“Keparat, anda terlibat dengan kematian orang tua kandung Pieck.”

“Jangan mengalihkan pembicaraan, dari awal kamu tidak bisa mengintervensi perjanjian Ackerman dan Jaeger. Mikasa hanya untuk Eren Jaeger.”

“Anda sendiri yang memisahkan Zeke dan Pieck, kalau anda nggak memisahkan mereka, dengan begitu kerjasama sialan kalian masih bisa berjalan tanpa melibatkan Mikasa!”

“I couldn’t afford to break my daughter’s heart.”

“Tsk, anak perempuan yang mana? Bukannya tadi anda bilang kalau Pieck juga seorang Ackerman? Anda telah menghancurkan anak perempuanmu yang lain secara tidak langsung.”

“Kebahagiaan anak perempuanku yang di dalam dirinya mengalir darah Ackerman akan tetap menjadi prioritas.”

“Keparat.”

“Manusia tidak akan pernah bisa bersikap adil, Jean”


Petra yakin kedua telinganya menangkap jelas apa yang diributkan oleh kedua lelaki di ruang kerja Ayah mertuanya yang terletak di mansion utama. Merasa dirinya telah terlalu banyak mendengar, Petra melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat dimana dia sedang berpijak dan sempat mematung untuk beberapa saat setelah mendengar inti dari pembicaraan Jean dan sang Ayah mertua.

“Kak Petra?”

Suara Jean berhasil menghentikan langkahnya.

“Eh hai Jean!” Petra sedikit terlonjak ketika Jean memanggil namanya, rasanya dia ingin segera menghilang saat itu juga.

“Tumben ada di sini, mau kemana?” tanya Jean yang nadanya sedikit mengintimidasi Petra.

“Oh, mau ke ruang baca nyusul Levi. Duluan ya, Jean!”

Petra melanjutkan langkahnya dengan tergesa-gesa, setengah berbohong karena Petra tahu Levi baru saja bertolak dari ruang baca ke kamar Mikasa untuk menghabiskan waktu bersama kedua adiknya.

Entah bagaimana keputusan yang harus diambil, sebab dirinya paham betul bahwa akan berbahaya menjadi seseorang yang terlalu banyak tahu tentang apa yang seharusnya tidak diketahuinya dan mendengar apa yang seharusnya tidak didengar.

Ho-oh, kasihku Kau bilang kau akan kembali padaku Masih terasa Kau lembut, anggun, dan mempesonaku Tapi kini kau telah berlalu Meninggalkan kisah yang biru

Selama (hampir) tiga tahun penuh, Jean punya rutinitas mendengarkan lagu lawas dengan judul Sepercik Harap yang dilantunkan oleh Fatur. Melodinya memang nggak seberapa sedih, tapi liriknya sukses memberikan bekas tersendiri di hatinya. Apalagi ketika dulu dia masih naif dan percaya kalau sepercik harapannya akan terwujud menjadi sebuah manifestasi nyata.

Biasanya Jean mendengarkan lagu itu seorang diri, namun kini ketika dia menyalakan stereo mobilnya di tengah-tengah perjalanan mengantar Pieck ke Stasiun Gambir untuk kembali ke Surabaya, Sepercik Harap-nya Fatur terputar dengan volume sedang menyelimuti keheningan diantara keduanya.

Sensasinya menjadi sedikit berbeda ketika lagu itu didengarkan berdua, apalagi bersama Sang Kekasih (sekarang mungkin mantan) yang dulu meninggalkan Jean bagai kisah yang biru.

Pieck yang diam-diam memfokuskan dirinya pada bait-bait dan untaian liriknya dibuat tertegun, sontak gugup dan memilih untuk menggigit bibir bawahnya agar Jean nggak menyadarinya.

Kalau bertemunya kembali dengan Pieck terjadi tiga tahun lalu, Jean akan senang bukan main. Namun terlambat sudah, Jean sempat berbesar hati kalau lebih baik mereka nggak usah bertemu sama sekali. Apalah daya, justru dia mendapatkan sesuatu yang sudah nggak lagi dia minta. Makanya Jean sempat bingung bukan main harus seperti apa dalam merespon.

Sepercik Harap selesai diputar dari stereo mobil Jean ketika mereka sudah sampai tepat di area parkir. Pieck membuat dirinya fokus kembali dan siap untuk keluar dari mobil Jean kemudian menghilang dari hadapan cowok itu.

Ketika Jean mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, dia menyadari masih tersisa 50 menit sebelum jam keberangkatan kereta Pieck untuk pulang ke Surabaya.

“Pieck.”

“Ya?”

Jean menarik napas panjang dan dia keluarkan perlahan. Saat itu juga, dia merasa sudah cukup dengan ‘hukuman’ nya untuk Pieck. Banyak dari kata-kata yang keluar dari mulutnya sukses membuat hati perempuan di sampingnya ini sakit, Jean tahu betul soal itu. Dia memang paling jago kalau sudah dalam hal menyakiti hati seseorang lewat ucapannya.

“Aku belum sempat tanya ini, gimana kabar Ayah kamu? Udah sehat?” tanya Jean.

Pieck sontak kaget, tidak pernah mengira Jean akan mengetahui informasi tentang Ayah nya yang sempat sakit, “Kamu tahu dari mana?”

“Bang Rivai.”

Sebelum mengetahui ada beban lain yang menjadi alasan kepergian Pieck tiga tahun lalu-pun, Jean sudah berniat kalau dia akan memberi maaf dengan tulus kepada gadis itu. Sebab dia sempat teringat pesan dari Sang Ibu—kalau nggak akan bijak bagi Jean untuk membalas perilaku buruk seseorang dengan sesuatu yang sama buruknya. Meskipun dia pernah disakiti, menyimpan dendam bukanlah suatu solusi.

Bukan berarti Jean betulan menyimpan dendam, dia hanya… entahlah, sedikit banyak terlalu kesal dan masih keras hati. Namun, Jean rasa kalimat yang ditujukannya untuk Pieck di malam tahun baru tempo hari lebih cocok kalau dia juga mengimplementasikannya;

‘Ada baiknya kamu belajar menerima dan berdamai dengan diri sendiri.’

“Ayah sudah baik, thanks for asking,” jawaban Pieck membuat Jean lega bukan main, artinya perempuan ini nggak perlu lagi menyimpan banyak kekhawatiran.

“Aku nggak tahu kenapa dulu kamu memilih buat nyimpan cerita ini sendirian, Pieck. Kamu bikin aku salah paham, aku kira dulu kamu betulan udah gamau ketemu aku. Tapi ternyata itu cuma karena kamu nggak mampu,”

“Maaf, Jenggala.”

“Maaf juga, pasti berat ya buat kamu?”

Ketika Jean berusaha untuk membuat gadis itu melihat ke arahnya, air mata Pieck turun, mungkin dia teringat atas rasa ketukan akan kehilangan satu-satunya orang tua yang tersisa di usia belia.

“Berat. Aku sempat nggak tahu harus gimana. Yang ada dipikiranku waktu itu cuma Ayah, dan aku harus berhenti mikir yang lain-lain, termasuk kamu. Maaf,” Pieck menjelaskan dengan sendu, lalu Jean mengangguk dan meraih tubuh gadis mungil itu ke dalam pelukannya seraya memberikan usapan lembut di kepala.

Jean selalu mengetahui kalau Pieck adalah seorang anak yang berbakti. Nggak heran kalau Pieck akan mempertaruhkan apapun demi kembalinya Sang Ayah dengan keadaan yang sehat. Dan Jean salut akan determinasinya.

Pieck melepaskan diri dari rengkuhan Jean, mengusap matanya dan mengucap terimakasih. Sedangkan Jean mengulurkan tangannya untuk membenahkan anak rambut si gadis yang sedikit acak, kemudian berkata, “Pieck, maaf ya. Harusnya kamu di sini buat seneng-seneng, tapi aku malah perlakuin kamu dengan nggak baik.”

No, Jenggala. I think I deserve it.

Jean berdecak dan tertawa singkat, “Udah ah, yang dulu gausah dipikirin lagi. I was being a bitch when you’re here too, maaf.”

“Jadi kita udah damai nih? No hard feelings?

Mengangguk, Jean lantas menjawab sambil memberi senyum, “Yes, no hard feelings.

Thank you, Jenggala.”

“Sama-sama Pieck. Good to see you again, anyway.

Kali ini Jean menawarkan diri untuk ikut masuk ke dalam stasiun sekaligus membantu Pieck membawa barang-barang yang akan ikut bersamanya pulang ke Surabaya.

Anyway, kamu mempercepat kepulangan kamu gara-gara aku ya? Aku bikin awakmu ndak betah ndek rumah Bapak ya?”

Tanya Jean membuat Pieck meringis, karena Jean betulan ‘agak’ membuatnya nggak kerasan berada di rumah Bapak, “Hehe, sebenernya tenan ngerasa agak rikuh pas tau respon kamu begitu. Tapi bukan itu alasan sepenuhnya kok, mendiang Mami sebentar lagi ulang tahun. Ayah butuh aku di masa-masa kaya gini.”

“Oalah… Gitu tah. Yowes sepurane aku sudah mbikin awakmu feeling not comfortable ndek rumahe Bapak.”

Pieck hanya bisa memaklumi, lalu menggelengkan kepalanya, memberi tahu Jean kalau itu bukan masalah.

Kini sudah waktunya Pieck berada di peron dan menunggu kedatangan kereta yang nggak lama lagi akan tiba.

Keduanya akan dihadapkan dengan perpisahan (lagi).

Harapannya sebelum benar-benar terpisah, Jean harus memastikan kalau Pieck tahu tentangnya yang masih menyimpan perasaan yang sama untuk perempuan itu.

“Pieck!”

“Ya?”

Jean menahan tangan Pieck sejenak, “Boleh minta tolong?”

“Tolong apa, Jenggala?”

“Boleh pas udah sampai rumah, kamu kabarin aku?”

Pieck merasa dirinya seperti sedang tersengat, dia teringat sebuah permintaan yang sama dari Jean tiga tahun lalu. Permintaan yang nggak bisa Pieck kabulkan.

Di sisi lain, Jean sedang harap-harap cemas setelah mengulang adegan serupa, dengan harapan yang serupa pula. Namun kali ini Jean nggak akan berharap banyak, maka dari itu dia cepat-cepat berkata;

“Eh, kalau gamau juga ndak apa-apa.”

Anggukkan kepala Pieck yang Jean tangkap membuat kedua bahunya merosot, sebab dia nggak bisa menangkap apa arti dari sebuah anggukan yang diberikan Pieck kepadanya. Intinya, sekarang Jean nggak akan berharap banyak akan dihubungi oleh Pieck setelah perempuan itu sampai di rumah.

“Makasih ya Jenggala udah nganter aku sampe sini, hati-hati ndek jalan pulangnya,” ucap Pieck sambil melambaikan tangan.

“Pieck!” sela Jean, lagi-lagi mengunci salah satu pergelangan tangan Pieck di telapak tangan.

“Hmm?”

Menggaruk tengkuknya yang nggak gatal sebagai tanda kalau Jean sedikit gugup.

Selamat Tahun Baru, Pieck. Kita sudah berhasil menerima dan berdamai dengan diri sendiri, semoga juga bisa melupakan masa lalu dan mengukir momen-momen baru di halaman kosong yang baru juga.”

Kalimat Jean berhasil membuat Pieck mengukir senyum, hatinya pun terasa jauh lebih enteng dari sebelumnya. Rasanya kali ini Pieck bisa pulang dengan damai.

Selamat Tahun Baru, Jean.

Gemerlap cahaya pancaran letupan kembang api memenuhi bentangan langit malam, teriakan dan kelakar para manusia di pekarangan taman belakang rumah Bapak menggelegar sebagai tanda selebrasi pergantian tahun.

Tetapi Jean punya sesuatu lain dari yang orang lain sampaikan pada umumnya;

Selamat Tahun Lama.

Awalnya Pieck nggak menangkap sinyal apa yang coba Jean sampaikan. Yang tadi itu terdengar seperti kalimat aneh untuk diucapkan di tengah euphoria perayaan tahun baru. Niatnya, Pieck cuma akan menganggap kalau kalimat yang tadi Jean lontarkan hanya sebuah guyonan belaka. Tetapi ketika dia melihat mata Jean yang tampak nanar menatapnya, niat yang semula Pieck keluarkan untuk lebih mempermudah situasi terhempas begitu saja.

“Kita—nggak seharusnya kamu melangkah ke tahun baru kalau belum bisa menyelesaikan masa lalu.”

Tentu saja kalau berbicara tentang masa lalu itu nggak akan mudah. Pieck masih belum paham kenapa Jean barusan bilang begitu. Mungkin karena dia pernah meninggalkan luka yang berbekas untuk lelaki itu. Luka memang perih, tapi Pieck yakin Jean terlampau kuat untuk sakadar merasakan perih dari luka yang dia torehkan, karena lukanya akan lekas pudar.

Ditambah, Pieck kira saat ini Jean terlihat seperti seseorang yang ketika melihat lukanya sudah memudar dan hanya tertinggal bekasnya, dia bisa merasa bangga karena berhasil melewati masa-masa perihnya.

Namun sepertinya Pieck salah.

Jean nggak sekuat itu untuk melupakan luka yang dulu dia torehkan.

“Maaf Jenggala, aku nggak bisa.”

Sore itu hujan, dan sehari sebelum jadwal terakhir ujian nasional dilaksanakan keesokan harinya. Pieck dan Jean duduk di bangku panjang yang terpisahkan sebuah meja di salah satu ruang tunggu bimbel. Membuat mereka saling berhadapan dan terpaksa mendengar suara derasnya air hujan yang masuk sampai ke dalam ruangan.

“Aku nggak bisa sama Jenggala lagi di sini.”

“Pieck mau kemana?”

“Aku mau ikut Ayah ke luar kota, kuliah di sana.”

Kedua mata Pieck berlari kesana kemari sebagai bentuk perlindungan diri, enggan jatuh di mata Jean yang sedang intens menatapnya.

“Oh, nggak apa-apa. Toh kita tetap bisa komunikasi lewat handphone. Iya kan, Pieck?”

Berat rasanya untuk mengiyakan pertanyaan Jenggala yang satu itu, karena Pieck sudah merasa—atau lebih tepatnya nggak mau mencoba untuk bisa. Tapi Pieck juga nggak semudah itu bisa mematahkan hati seorang anak laki-laki yang di kedua matanya muncul sepercik harap.

Satu-satunya hal yang bisa Pieck lakukan di momen itu adalah menjadi pengecut. Karena dia lebih baik nggak melihat kekecewaan Jenggala di depan mata sebab dia nggak bisa mengiyakan permintaannya dari pada harus melihatnya langsung. Maka dari itu, Pieck mengangguk—dengan sebuah anggukkan kepala yang berisi dusta.

Karena sejak awal Pieck meninggalkan Jenggala di ruangan bimbel, dia nggak pernah sama sekali berniat untuk menyambung komunikasi dengan Jean pada saat itu juga—dari jarak dekat maupun jauh. Entah seberapa keras usaha Jenggala yang mencoba untuk menggapainya dari ribuan jarak, nggak ada satupun usahanya yang Pieck balas dengan sesuatu yang mampu memberi ketenangan hati.

Akhirnya, Jenggala dibuat bertanya-tanya selama tiga tahun. Nggak tahu harus mencari jawaban kemana atau ke siapa, sebab satu-satunya perempuan yang jawabannya ingin dia dapatkan memilih untuk bungkam.


Pendewasaan memang lucu, awalnya ingin membuang masa lalu yang nggak lagi memberi percikan kebahagiaan, namun sialnya gagal. Pieck harus sekali lagi terjerat masa lalu yang melibatkan mereka berdua. Karena menurut Jean, masa lalu mereka belum selesai.

“Tapi aku kan sudah minta maaf, Jenggala. Bahkan langsung setelah gue ketemu kamu lagi in three years.

“Kamu minta maaf bukan untuk aku, Pieck. Tapi untuk diri kamu sendiri, supaya kamu terbebas dari rasa bersalah.”

Pieck terdiam, nggak bisa berdalih kalau perkataan Jean barusan itu salah.

“Kamu lagi-lagi mencoba buat lari suapaya kamu tetap berada di posisi yang aman. Pengecut.”

“Jenggala—“

“Pieck, aku bukan malaikat. Aku marah bukan main ketika kamu muncul di depanku dan minta maaf setelah apa yang kamu lakukan ke aku selama tiga tahun. Makanya, aku nggak secara gamblang bilang kalau aku sudah maafin kamu, karena sejujurnya—aku memang belum bisa maafin kamu.”

Kalimatnya membuat Pieck tersentak karena dihantam fakta yang mati-matian ingin dia tolak kebenarannya.

“Pieck, kalau aku maafin kamu, maka semuanya selesai. Rasa bersalah kamu pun akan selesai, kemudian kamu akan bebas lagi.”

Jean memberi jeda sejenak di antara kalimatnya.

“Tapi Pieck, aku nggak mau hidup bagai pengecut seperti kamu. In the end, aku harus memberi maaf ke seseorang yang memintanya, bukan? Kalau aku nggak maafin kamu, itu akan menjadi masalah buatku. Bukan masalah kamu lagi, karena pada akhirnya aku akan merasa bersalah setelah kamu berhasil menumpahkan rasa bersalah itu ke aku.”

Ketika merasa dipersilahkan untuk menyela, Pieck mencoba meluruskan; “Nggak, kamu salah Jenggala. Aku beneran minta maaf karena peduli sama kamu.”

“Kalau gitu dari awal seharusnya kamu nggak perlu minta maaf.”

“….”

“Kalau kamu peduli sama aku, Pieck… Aku mau kamu hidup dengan rasa bersalah itu, jangan lari. Bisa?”

Sekuat tenaga Pieck berusaha membendung air mata ketika mendengar semua kalimat Jean yang begitu penuh penghakiman. Lalu Pieck menyadari sesuatu, yang semula dianggapnya kalau dia hanya menorehkan luka kecil buat Jean, ternyata lelaki itu punya interpretasi lain. Luka yang Pieck torehkan buat Jean ini menurut lelaki itu sangat besar.

“Jenggala… Sudah tiga tahun, nggak bisa ya kamu lupakan itu semua aja? Lihat siapa yang nggak bisa melupakan masa lalu di sini—kamu, Jenggala… bukan aku.”

Dia mengusap wajah dengan salah satu telapak tangannya kasar.

“Gampang banget ya kamu ngomong gitu, Pieck?”

“….”

“Kalau kamu beneran cinta sama seseorang, nggak akan mudah kamu bicara gitu. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya dulu kamu beneran cinta sama aku nggak sih?”

“Wah, kenapa kamu ngomongnya jadi muter kemana-mana sih? Seharusnya aku nggak minta maaf aja sekalian!”

Lalu Jean menghela nafas, “Pieck… Just admit that you’re selfish and live with it. Kamu nggak seharusnya denial sama fakta itu, karena semua orang pun punya sisi egoisnya masing-masing.”

Mendengarnya membuat Pieck merasa semakin kecil. Ukuran tubuh Jean yang besarnya hampir dua kali lipat besar tubuh Pieck sama sekali nggak membantu. Pieck merasa sesak dan terhimpit padahal sedang berada di pelataran taman yang cukup luas.

Air mata Pieck tumpah, pada akhirnya. Merasa lemah karena nggak punya kekuatan untuk membela diri sendiri. Merasa marah karena orang lain melihatnya sebagai pengecut.

Mungkin ini balasan buat Pieck karena telah menjadi seseorang yang jahat untuk Jean. Maka orang yang paling tepat menghukumnya adalah Jean sendiri.

Selamat tahun lama, Pieck. Sebelum melangkah ke tahun baru, ada baiknya kamu belajar menerima dan berdamai dengan diri sendiri.”

Jean sengaja bersandar di kap mobilnya ketika menunggu si sepupu Bang Rivai yang harus dia jemput di Stasiun Gambir—niatnya sih supaya lebih mudah ditemukan sekaligus memindai orang-orang yang lewat, apakah ada perempuan yang ciri-cirinya sesuai dengan deskripsi Bang Rivai tadi.

Seharusnya dia berkeras untuk menghampiri perempuan itu di starbucks alih-alih membiarkan sepupu Bang Rivai yang menghampirinya. Lelaki macam apa lo ini, Jean. Payah. Maklum, tiba-tiba dia juga merasa mager masuk ke dalam stasiun yang kelihatan sesak.

Nggak lama kemudian, ada sosok perempuan datang menghampiri sambil menarik koper yang kedua mata Jean tangkap. Meskipun masih cukup jauh jaraknya, Jean dapat melihatnya sesuai dengan deskripsi Bang Rivai.

Rambutnya hitam dan bergelombang yang kini perempuan itu biarkan jatuh melewati bahunya, juga tingginya diperkirakan tidak melebihi Rivai.

Di dalam lubuk hati yang paling dalam, Jean berharap kalau perempuan itu bukanlah sepupu yang Rivai maksud.

“Bukan… Nggak mungkin dia, atau mungkin gue salah lihat. Kebetulan aja cuma mirip.”

Pikiran Jean dipersilahkan untuk mengabsen beberapa memori masa lalu yang setiap adegannya muncul begitu saja karena dia memperoleh sebuah trigger ketika pandangannya menangkap seorang perempuan yang sedang berjalan menghampirinya itu.

Jean takut… Kalau perempuan itu betulan perempuan yang sama seperti yang ada di masa lalunya.

Cemas.

Jean nggak berharap kalau perempuan yang ada di masa lalu ternyata adalah sepupu Rivai.

Ketika jarak mereka hanya terpaut sekitar lima langkah, keduanya membeku. Sama-sama terkejut hingga rasanya dunia berhenti untuk beberapa saat. Keduanya masih mencoba mencerna apa yang sedang mereka hadapi.

“Kamu… pemilik mobil HRV abu-abu, plat nomor B 0407 JK?” perempuan itu menjadi yang pertama bersuara.

Sedangkan Jean merasakan pening di kepala ketika mendengar suara perempuan itu masuk ke telinganya.

“Jenggala? Benar kan kamu Jenggala Kamajaya?”

Benar, dan kamu… Pieck Ferdiawan.

Tapi lidah Jean kelu, nggak punya kekuatan untuk membalas pertanyaan retoris perempuan tadi.

“….”

“Jenggala? You okay?

“Eh, iya bener. Kamu… Sepupunya Bang Rivai?”

Perempuan itu mengangguk. Meruntuhkan semua harapan Jean dan mengkonfirmasi kecemasan yang sejak tadi menggerayangi, kini dia harus menelan tiga realita yang sempat dia inginkan supaya nggak terjadi.

Pertama, Pieck Ferdiawan muncul lagi di depannya. Kedua dan ketiga, Pieck Ferdiawan adalah sepupu Rivai sekaligus cinta pertama Jenggala Kamajaya yang muncul kembali setelah tiga tahun menghilang.

Jean merasa ini berlebihan. Dia belum sempat mempersiapkan dirinya andai saja dihadapkan dengan situasi ini.

Sejujurnya, Jean bahkan nggak pernah berimajinasi untuk berada di situasi yang menjebaknya saat ini. Makanya dia nggak sempat atau bahkan nggak berniat untuk mempersiapkan diri.

Kembalinya Pieck nggak akan mudah untuk Jenggala hadapi. Cinta pertama memang selalu sulit, tapi jangan berani-beraninya menyepelekan cinta pertama seorang laki-laki.

Sorry, silakan masuk. Biar nggak kemaleman, langsung ke rumah Bapak aja.”

Pieck dipersilahkan untuk memasuki mobil Jean dan duduk di samping kursi kemudi. Ketika mobilnya mulai membelah jalanan ibukota, hanya terdapat sunyi. Nggak ada dari keduanya yang berusaha memecah sunyi. Kalau Jean sendiri, dia dipaksa untuk bungkam. Namun hatinya sedang bergejolak dan isi kepalanya riuh. Entah memikirkan tentang kembalinya sang cinta pertama yang harus disambut dengan sukacita atau duka… atau bagaimana.

Setelah beberapa menit yang panjang digunakan untuk meragu, Pieck mencoba untuk memecah sunyi dengan sebuah pertanyaan klasik, “Kamu apa kabar… Jenggala?”

“Sebelum ketemu kamu lagi, baik. Tapi kalau sekarang… nggak tahu,” saat ini Jean hanya mampu bermonolog, kejujurannya hanya mampu keluar sebatas di dalam hati, nggak mampu dia ucapkan secara gamblang.

“Baik.”

It’s been a while, Jenggala…

Jenggala… Jenggala…. Jenggala…

Telinganya berusaha menolak suara lembut dari perempuan yang memanggil nama depannya. Sial, semua orang nggak lagi memanggilnya Jenggala… tapi perempuan ini masih.

Bukannya Jean benci atau apa terhadap nama depannya. Tetapi dipanggil Jenggala seperti itu—apalagi oleh prempuan ini, Pieck Firdiawan, akan sukses membuatnya bermuram durja mengingat masa lalu.

“Jenggala… Aku mau minta ma—“

Stop…

“Jen—“

“Jangan lanjutin apapun yang mau kamu omongin, Pieck.”

Sepanjang perjalanan yang diselimuti kesunyian pada akhirnya sampai di tempat tujuan. Ketika mesin mobil sepenuhnya berhenti dan mati, Pieck langsung keluar dari sana dan berniat mengambil kopernya di bagasi mobil. Namun Jean bergerak lebih cepat, lelaki itu menurunkan semua barang bawaan Pieck sedangkan perempuan itu setia menunggu sampai Jean selesai dengan kegiatannya.

Lalu pintu gerbang Griya Paradis dibuka oleh seorang pemuda berpotongan rambut cepak dengan senyum sumringahnya, menyambut Jean dan perempuan di sampingnya.

“Wadaaaw, jadi ini sepupunya Bang Rivai?? Kenalin mbak, gue Connie hehe,” sapanya ramah sambil memberikan tangan untuk dijabat.

“Halo, kenalin juga gue Pieck.”

Setelah keduanya berjabat tangan, Jean berkata, “Con, bawain ini barang-barang ke tempatnya Bapak.”

“Oke sini gue yang bawa. Lu berdua kalau udah selesai langsung nyusul aja, yang lain udah pada ngumpul di sana.”

Jean mengangguk untuk menjawab Connie.

Sepeninggal pemuda itu, hanya tersisa Jean dan Pieck lagi. Masih dikelilingi kecanggungan yang mencekik. Rahang Jean mengeras, ingin sekali mengucap sepatah kalimat namun masih tertahan. Sedangkan Pieck bergerak dengan gelisah di sampingnya, entah harus berbuat apa.

“Pieck—“

“Jenggala—“

Sahut keduanya bersamaan, namun Pieck buru-buru melanjutkan, “Aku mau langsung ke tempat Om Kenny, duluan Jenggala.”

Perempuan itu melangkah perlahan, semakin menjauh dari jangkauan Jean. Menyisakan pemandangan punggung kecilnya dari belakang.

“Pieck!”

Dia menoleh ke belakang, melihat Jean yang mulai menyusul langkahnya, mempersempit jarak hingga keduanya berhadapan.

“Boleh minta tolong?” tanya Jean.

“Iya, apa?”

“Boleh kalau kamu bersikap seolah-olah kita nggak pernah kenal sebelumnya?”

Hati Pieck mencelos. Nggak menyangka sebuah permintaan pertolongan Jean akan berbentuk seperti ini.

“Bisa kan, Pieck?”

“Y—ya.”

“Oke.”

Kemudian Jean melangkah meninggalkannya yang masih mencerna kejadian barusan dengan susah payah.

Levi berjalan menyusuri koridor kampus untuk menghampiri Pieck yang sedang duduk sendirian di bangku panjang depan kantor prodi jurusan mereka. Sebelum mendudukan dirinya, Levi menyodorkan sebuah susu kotak dingin untuk Pieck yang diterima temannya dengan sebuah seringaian.

“Wih apaan nih? Lo nyoba nyogok gue pake susu kotak ya?” tanya Pieck iseng.

Kemudian Levi melengos sambil segera mendudukan diri di samping temannya, ikut menusukkan sedotan ke susu kotaknya sendiri, “Dih, kalau nggak mau sini balikin.”

“Yeee, bercanda Lev, gausah kaku-kaku amat lah! Btw makasih loh, kebetulan gue haus.”

“Hmm.”

Lalu mereka sibuk berdiam diri masing-masing, menghayati seruput demi seruput manisnya susu kotak yang dingin lewat sedotan masuk ke tenggorokan. Kebetulan sekali Pieck sudah terlampau lemas setelah selesai kelas, asupan gula dari susu kotak yang Levi berikan tadi agak sedikit membantunya untuk memproduksi energi yang akan dia gunakan untuk mengendarai motor pulang nanti.

Beberapa menit yang hening telah terlewat ketika keduanya mulai tersadar akan kehadiran seorang gadis rupawan yang sejak statusnya masih sebagai mahasiswa baru sudah menjadi primadona kampus itu melangkah melewati Pieck dan Levi.

Perempuan dengan rambut hitam panjang yang ditata sedemikian apik itu juga menyapa mereka berdua sambil tersenyum, menanyakan kenapa kedua sahabat ini belum pulang yang dijawab oleh keduanya dengan, “Biasalaah.”

Lalu sepasang mata Pieck dan Levi secara otomatis mengikuti kemana arah perempuan itu melangkah—sambil masih menyedot susu kotak mereka.

Oh, ternyata perempuan itu hendak memasuki kantor prodi.

Pieck mengalihkan pandangannya dan menghadap ke Levi, “Buset, cantik banget ya?”

Pertanyaan dadakan Pieck membuat Levi mengerjap kaget bak tertangkap basah kalau dia ikut memandangi perempuan yang barusan lewat.

“Gue yang cantik?” Levi balik bertanya, tujuannya untuk sekadar melempar candaan meskipun dia sudah tahu siapa yang dimaksud cantik oleh temannya.

“Frieda lah, anjir! Yakali elo.”

Ya, perempuan yang barusan lewat jua melempar Pieck dan Levi senyuman itu menyemat asma Frieda Reiss, teman satu angkatan mereka.

Sejauh analisis Pieck, tidak ada perbedaan mencolok yang dia temukan. Frieda yang ditemuinya saat ini kurang lebih masih sama dengan Frieda yang dia temui di tahun 2016 versi pertama.

Perempuan itu tinggi, surai hitamnya terlihat sehalus sutra, tutur katanya lembut, keseluruhan penampilannya sangat anggun—nggak heran kalau Frieda menjadi seorang primadona kampus. Apalagi Frieda ini adalah putri dari seorang Senator negara bagian sebelah, membuat dia menjadi seseorang yang dihormati.

Penampilan Pieck sangat jauh dari kata jelek atau tidak cantik, tetapi kalau dibandingkan dengan Frieda, dia jelas kalah jauh. Meskipun dia dan Frieda sama-sama bersurai hitam, semua orang juga bisa melihat perbedaan kontrasnya. Pieck yang cenderung berantakan dan Frieda yang berpenampilan bak putri kerajaan yang punya hairstylist pribadi.

Sebagai seorang perempuan, Pieck juga tidak jauh berbeda dengan para lelaki yang akan kesemsem kalau diberi senyum Frieda seperti barusan.

Mengingat kalau Frieda ini punya kontribusi peran di dalam masa lalu Pieck meski jumlahnya nggak seberapa banyak, dia jadi semakin penasaran apakah dia akan menemukan sesuatu yang berbeda atau justru semuanya akan sama.

Pieck jadi teringat sendiri tentang kontribusi peran apa yang akan Frieda berikan di hidup Pieck. Intinya, mereka berdua akan terjebak di situasi yang mengharuskan untuk berinteraksi lebih banyak karena mereka memang tidak terbilang akrab sebelumnya. Mengingat-ingat memoar tersebut justru membuat Pieck tersenyum miris.

“Pulang sana lo, udah sore. Nggak ada agenda lain kan?”

Lamunanya buyar oeleh senggolan Levi. Karena sibuk melamun, Pieck menjadi lupa kalau tadi dia berniat pulang duluan dan meninggalkan Levi untuk menunggu Hange selesai dengan urusan toiletnya.

“Gapapa gue tinggal? Ini Hange lama banget dah dia berak apa gimana?”

Levi hanya mengangkat bahu, “Gapapa, udah sana. Btw, jangan bilang Hange kalo gue minta biar gue aja yang anterin dia balik.”

“Emang kenapa sih? Sembunyi-sembunyi amat elah.”

“Ngelunjak entar bocahnya.”

Pieck berdecak mengetahui Levi yang tetap tsundere di dimensi waktu manapun, “Iya iya, itu temen gue jangan sampe lecet loh, awas!” ucapnya pamit dan menghadiahi Levi lambaian tangan.

Ketika Pieck sampai di area parkir, dia menemukan Zeke yang sedang nangkring di motornya ditemani Erwin. Dua teman pirangnya terlihat sedang memiliki sesi ngobrol serius, namun yang membuat Pieck heran adalah kenapa mereka memilih untuk nangkring di motornya jika ada tempat yang lebih proper.

“Oit, ngapain lo nangkring di motor gue?” Pieck bertanya ketika sudah berada tidak jauh dari Zeke dan Erwin.

“Lama banget lo di Prodi, sini-sini. Nih si Zeke mau nebeng,” jawab Erwin sambil menyikut lengan Zeke.

“Habis ngobrol sama Levi gue, Win. Motor lo kemana emang, Zeke?” kata Pieck sekaligus kepada Erwin dan bertanya kepada Zeke.

“Tadi gue berangkat nebeng Eren, motor gue lagi ada masalah sama accu nya. Mana kunci lo?”

Pieck menyerahkan kunci motornya yang diterima Zeke untuk langsung menyalakan mesinnya. Kemudian Erwin pamit meninggalkan mereka berdua, meminta maaf kepada Zeke karena tidak bisa mengantarnya pulang sebab dia harus pergi menemui Ayahnya. Jadinya, Pieck lah yang bertugas memberikan tumpangan gratis untuk Zeke sore ini.

Di perjalanan, hanya ada keheningan dan suara dari kendaraan-kendaraan lain yang menemani. Zeke dan Pieck enggan ngobrol di atas motor karena percuma, tidak akan terdengar. Mereka tidak mau cosplay menjadi abang ojol dan penumpangnya yang ketika ditanya sesuatu, jawabnya pasti ‘iya’ meskipun nggak nyambung sama sekali.

Zeke menghentikan laju motornya di depan rumah Pieck alih-alih rumahnya sendiri yang justru mengundang tanya darinya, “Kok berhenti di rumah gue sih?”

“Gapapa gue jalan aja, sekalian olahraga. Udah deket juga lagian.”

“Yaelah nanggung banget.”

“Hehe, eh Pieck. Kita mending berangkat pulang kampus bareng aja gak si? Lagian kita satu komplek, kelas juga sama semua.”

Aduh. Kalau begini kan tawaran Zeke tadi tanpa sadar bisa membuat Pieck ge-er sendiri.

“Mau nggak?” tanya Zeke ulang.

Pieck bisa menangkap kalau Zeke terlihat menaruh harap atas jawabannya.

Setelah beberapa saat terlewat oleh Pieck sambil membertimbangkan, dia menjawab, “Nggak usah deh.”

Ternyata penolakannya barusan berbuah perubahan level antusiasme Zeke yang mulanya berada di level 9 menjadi turun ke level 2, membuat Pieck buru-buru meralat perkataannya;

Wait, bukannya gue gak mau Zeke. Tapi gimana ya, gue kan mahasiswa kupu-kupu nih. Sedangkan lo punya banyak kegiatan di kampus, pasti bakal nggak nyatu aja dan susah gituu. Ngerti nggak?”

Zeke menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menyadari kalau penjelasan temannya barusan ada benarnya juga, “Hmm… Bener juga sih.”

“Hehe. Iya, Zeke.”

“Tapi kalo lo butuh nebeng, don’t hesitate to tell me ya?

Pieck mengangguk sebagai sebuah jawaban, masih sedikit heran mengapa Zeke tiba-tiba keukeuh menawarkan tumpangan padahal Pieck selalu punya berkendara sendiri. Mungkin sebagai balas budi karena tadi Pieck secara sukarela memberinya tumpangan pulang—entahlah.

Thanks buat tumpangannya tadi, Pieck. Gue balik ya, dah!”

Sore itu langit berwarna jingga ketika punggung Zeke terlihat dari belakang dan perlahan menjauh. Pieck masih setia berdiri di teras rumahnya sampai punggung lelaki itu hilang dari pandangannya.

Sampai saat ini, Pieck belum yakin dengan perasaannya sendiri. Di satu sisi, dia sangat ingin merengkuh punggung lebar Zeke dari belakang untuk sekali saja karena dia tidak memiliki kesempatan itu di tahun 2016 yang dulu, tetapi di sisi lain ada rasa takut yang menghambatnya.

Kata Eren si tour guide, kematian Zeke pun tidak bisa dihindari. Membuat Pieck semakin dikejar rasa takut untuk menghadapi kematian Zeke mendatang dan rasa penyesalan atas apa yang tidak bisa dia sampaikan ke Zeke dulu.

Dia pernah membaca sebuah kutipan yang berhasil menghantamnya, kutipan itu berbunyi; “Regret to do, rather than regret not to do”.

Siapapun, tolong ingatkan Pieck untuk tidak membuang banyak waktu dan membulatkan tekadnya kalau tidak mau dihantam sekali lagi oleh kutipan di atas.

“Mau kemana kamu malam-malam begini?”

Grisha Yeager bertanya ketus ke putra sulungnya ketika Zeke muncul di anak tangga terakhir dan berjalan melewati Ayahnya acuh.

“Mau ngerjain tugas di rumah Pieck,” jawab Zeke singkat.

“‪Kenapa nggak sama Erwin aja? Dia lebih pintar daripada Pieck Finger.”

Mendengar itu, Zeke menjadi geram. Ayah nya ini gemar sekali merendahkan dan underestimate banyak hal, Pieck contohnya. Kedekatan Zeke dan Pieck juga sering dikritik oleh Grisha karena Ayah nya ini mempunyai gagasan kalau seharusnya Zeke bergaul dengan Erwin saja—melihat ke latar belakang keluarga teman pirangnya ini yang Ayahnya adalah seorang Senator, sehingga dianggap bisa lebih menguntungkan Grisha dan Zeke sekaligus.

“Bukan saya yang menentukan anggota kelompok belajarnya, Pa. Permisi dulu.”

“Pulangnya jangan malam-malam!”

Kalimat terakhir Grisha tidak diindahkan oleh Zeke, juga tidak dia dengar sepenuhnya karena Zeke buru-buru keluar dari rumah dan agak membanting pintunya sampai menutup.


Pieck sudah siap menunggu kedatangan Zeke di ruang tamu kediamannya. Dia masih tidak percaya harus kembali berkutat dengan jurnal dan paper-paper kuliah yang selalu enggan Pieck jamah lagi—meskipun dia pada akhirnya tetap mengerjakannya dengan baik. Di masa kuliahnya dulu, Pieck memang golongan mahasiswa berprestasi, namun sayangnya dia kurang menonjol karena tidak memiliki ambisi.

Berbeda dengan Zeke, pria itu punya segudang prestasi. Di versi yang dulu, Zeke digadang-gadang untuk meneruskan dinasti politik yang sudah keluarganya bangun. Untuk versi yang sekarang, Pieck belum tahu seperti apa keadaan Zeke karena ada kemungkinan yang berbeda mengingat beberapa peristiwa baru yang tidak terjadi di tahun 2016 versi pertama satu persatu mulai datang.

Ketika bel rumahnya berdering, Pieck langsung membuka pintu utama dan melihat Zeke berdiri sambil menjinjing ranselnya. Namun, Pieck dikejutkan ketika telapak tangan Zeke ditempelkan ke keningnya sebagai gestur mengecek suhu tubuh, “Normal kok, nggak sakit beneran ternyata.”

Maklum, sudah hampir seminggu terdampar di masa lalu dan Pieck masih saja belum cukup beradaptasi dan menurut Levi, Pieck kian bertingkah aneh atau terlalu lama mencerna banyak hal, membuat Zeke ikut bertanya-tanya tentang kewarasan Pieck.

“Heh, lo nya aja yang gak percaya. Sini, masuk Zeke.” ucap Pieck yang membuka pintunya lebih lebar untuk mempersilakan Zeke masuk.

“Om Finger mana, Pieck?”

“Barusan udah masuk kamar sih, katanya capek habis main golf sama temen-temennya.”

Bicara tentang Ayahnya, di dimensi waktu tempat Pieck terdampar sekarang, dia tidak menemukan banyak perubahan. Hanya ada satu perubahan yang sangat Pieck syukuri karena dulu, Ayah nya cenderung lebih kurang sehat dari Ayah nya yang dia temui sekarang. Buktinya, Mr. Finger mampu melakukan serangkaian aktivitas sampai olahraga dengan bugar.

Pieck dan Zeke langsung mendudukan diri di lantai berlapiskan karpet hangat dan mengeluarkan semua yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas. Pieck masih belum terbiasa menggunakan kembali laptop jadulnya sehingga dia kerap menggerutu di tengah-tengah aktivitas mengetiknya.

“Kenapa sih Pieck?” Zeke bertanya ketika menyadari Pieck terlihat tidak nyaman di sampingnya.

“Eh—nggak, gue cuma kurang suka aja nih sama matkul ini.”

“Lah? Perasaan minggu lalu lo satu-satunya yang aktif diskusi sama Pak Zackly di kelas matkul PPNB.”

Mendengar itu Pieck menjadi canggung sendiri, dia juga menyadari banyak hal yang tidak dia ingat dan terlewat olehnya, “Hehe iya sih, yaudah ayo lanjutin dulu ni reviewnya. Land reform ini efektif nggak Zeke menurut lo?”

“Menurut gue sih a good progress ya, cuma yang menyebabkan belum berhasilnya ya itu tadi, masyarakat Filipina nya yang masih menganut sistem konvensional.”

Oh tentu saja, Zeke masih se-cemerlang dahulu.

Meskipun di versi lama tahun 2016 mata kuliah ini tidak termasuk dalam daftar matakuliah yang Pieck ambil, dia tidak merasa kesulitan sekarang untuk sekadar mereview sebuah artikel jurnal. Mungkin karena berkat Zeke juga yang selalu bisa Pieck andalkan untuk sesi brainstorming ketika ada konsep yang belum dia pahami dari mata kuliah ini.

Setelah kurang lebih tiga jam berkutat dengan paper dan jurnal mereka, keduanya akhirnya bisa lebih santai. Pieck mengeluarkan beberapa cemilan dan membaginya dengan Zeke. Dilanjutkan dengan perbincangan ringan yang membuat Pieck senang bukan main karena bisa berada di momen-momen seperti ini dengan Zeke lagi, hingga dia tersadar kalau malam sudah mulai larut.

“Zeke? Lo nggak mau pulang?”

Pertanyaan Pieck membuat Zeke melirik ke arlojinya, ternyata sudah hampir pukul sebelas. Namun Zeke merasa berat untuk memilih jawaban yang harus dia berikan kepada Pieck, walaupun dia sendiri sebenarnya sudah tidak enak karena bertandang ke rumah temannya hingga larut malam.

Rumah Zeke dan Pieck memang berada di satu komplek perumahan yang sama, tetapi untuk melangkahkan kakinya kembali ke rumah sendiri terasa sangat berat bagi pria itu. Bukan apa-apa, dia merasa lebih baik jika tidak berada di rumah. Toh di sana, tidak ada seorang pun yang membuat Zeke betah berada di rumah.

“Sebentar lagi, gapapa kan?” tanya Zeke, sedangkan Pieck mengangguk saja.

Pieck jadi heran melihat Zeke yang air mukanya berubah, terlihat raut yang tidak pernah Pieck temukan sebelumnya. Kalau perempuan itu tidak salah ingat, Zeke tidak pernah terlihat seperti ini, dimana sorot birunya terlihat kosong.

Sepertinya Zeke Yeager yang ini lebih jujur dalam memperlihatkan sebuah ekspresi. Dulu, Pieck hampir tidak bisa membaca pria di sampingnya ini.

Apa yang terjadi selanjutnya hanyalah mereka berdua yang sibuk berdiam diri, meskipun tidak diselimuti kecanggungan, Pieck tetap bertanya-tanya mengapa Zeke memilih untuk mengulur waktu kepulangannya apabila sudah tidak ada yang ingin pria itu lakukan dengannya.

“Zeke? Are you there?

“Eh Pieck, sori-sori. Err… Lo pasti udah ngantuk ya? Gue pulang aja deh kalau gitu.”

“Belum ngantuk sih… Tapi gapapa kalo lo mau disini dulu,” seharusnya Pieck merasa senang ketika mengetahui ada bagian dari diri Zeke yang ingin tetap tinggal, dia bisa saja berpikir kalau Zeke ingin berduaan dengannya untuk waktu yang lebih lama.

Tapi Pieck tidak bisa berpikir demikian, justru dia penasaran dengan apa yang membuat Zeke ingin menunda kepulangannya. Sayangnya, rasa penasaran Pieck tidak terjawab saat itu juga ketika Zeke justru memegang bahunya.

“Ke warung wedang ronde depan komplek mau nggak?” tawar Zeke.

Pieck berpikir itu bukan ide yang buruk. Malam ini cukup dingin dan cocok untuk menikmati semangkuk wedang ronde, dengan Zeke pula. Mengingat kelas pertamanya besok akan dimulai siang hari, Pieck langsung menyetujui tawaran Zeke yang artinya jam tidurnya akan lebih terlambat malam ini, “Boleh, yuk!”

Di tengah perjalanan dari rumah Pieck ke kedai ronde yang mereka tuju dengan berjalan kaki, juga ditemani sinar rembulan yang membuat suasana menjadi terasa lebih nyaman meskipun tidak ada dari keduanya yang berbicara. Pieck menemukan dirinya sedikit terlena di antara senyuman yang dia sembunyikan agar tidak diketahui oleh Zeke.

Sampai-sampai gadis mungil itu tidak menyadari sebuah sepeda motor yang melaju sambil oleng ke arahnya—perlu diingat, Pieck Finger adalah gadis ceroboh. Kalau tidak karena Zeke yang sigap menarik dirinya, alih-alih terdampar di pelukan Zeke yang dekapannya sangat erat, Pieck mungkin sudah terjatuh mencium aspal.

“Lo nggak apa-apa, Pieck?” tanya Zeke sedikit panik, matanya menjelajahi Pieck dari atas sampai bawah, mengecek apa gadis mungil ini punya luka.

Pieck menggeleng, “Nggak apa-apa kok gue. Makasih ya hehe.”

“Siniin tangan lo.”

Merasa bingung dengan perkataan serasa perintah Zeke, mau tidak mau Pieck tetap memberikan tangannya yang berujung digenggam oleh Zeke sambil meneruskan perjalanan mereka.

“Lo emang harus dipegangin gini biar gak ceroboh. Watch your step, little girl.

Selain mendapatkan ekstra kehangatan, Pieck juga merasakan ekstra degup jantung yang temponya kian cepat. Malam itu, Zeke tidak melepaskan genggaman tangannya sampai dia berhasil membawa Pieck pulang kembali ke rumahnya.