Rapat Internal
Agenda evaluasi bulanan himpunan sudah selesai dilaksanakan. Anggota dan staff himpunan lainnya sudah dipersilakan untuk pulang terlebih dahulu. Namun seperti biasa, anggota inti BPH dan kepala departemen masih berada di sekre karena biasanya masih akan ada yang mereka bicarakan.
Kini semua pengurus yang ada di sekre sedang duduk melingkar. Shikamaru mencatat adanya beberapa kejadian yang membuat mobilisasi kerja himpunan agak sedikit melenceng terutama pada satu minggu sebelum monthly eval diadakan.
Biasa, masalah komunikasi. Klasik sebenarnya, tapi sangat krusial. Neji sebagai salah satu oknum yang lumayan bikin himpunan dan departemennya sendiri agak error mulai angkat bicara, “Temen-temen. Maaf gue udah ga profesional selama satu minggu kebelakang. Gue bisa pastiin yang kemarin gak bakal gue ulangi lagi.”
Jujur saja banyak dari mereka yang nggak mengetahui alasan dibalik absen-nya Neji selama satu minggu kebelakang, makanya mereka cuma bisa mengangguk ketika Neji minta maaf. Shikamaru sebagai salah satu yang paham dengan alasan Neji angkat bicara, “Oke Ji. Lo udah ngerti kan sekarang letak kesalahan lo dimana? Coba dong sebutin.”
“Ngerti. Survey minat, bakat, dan orientasi setelah lulus kuliah angkatan 2021-2019 jadi belum terlaksana sampai sekarang, padahal harusnya data sudah siap dan bisa PSDM kasih report nya waktu monev karena kuesioner fix nya ada di gue dan tim PSDM jadi gak bisa sebarin karena yang mereka punya itu belum fix.”
Shikamaru mengangguk, “Jangan lupa minta maaf ke tim PSDM. Dan pastiin next week udah ada reportnya.”
“Siap.”
“Ada yang mau nambahin?”
Nggak ada respon yang Shikamaru terima selain gelengan kepala dari beberapa temannya. Dia melanjutkan, “Oke jadi gue cuma mau bilang gini. Gue paham kalo temen-temen semua pasti bakal ada di titik pengen sendirian dan gak mau diganggu sama orang lain. Tapi tolong banget kalo misal masih punya tanggung jawab yang belum kelar, kelarin dulu. Atau paling gampang notify temen yang lain deh, biar ada yang back-up.”
Semua orang mengangguk lagi pertanda setuju dengan Shikamaru.
“Kalo dirasa punya masalah, feel free buat sharing ke gue, atau ke Naruto. Apalagi kalo masalahnya bisa berpengaruh buat keberlangsungan himpunan.”
“Okeee siap, Pak.”
“Sekian aja dari gue. Gak usah tegang, lemesin lah!”
Beberapa orang mulai menghembuskan nafas mereka karena sempat merasa suasana yang tadi itu cukup canggung. Untung saja setelah Shikamaru bilang begitu, berbagai candaan mulai dilontarkan lagi terutama dari beberapa oknum seperti Naruto dan Kiba.
Namun seseorang yang ada di lingkaran itu duduk dengan gusar dan nggak nyaman. Ada rasa bersalah yang menggerogotinya sebab dia pikir, dia menjadi salah satu penyebab atas permasalahan Neji yang terjadi selama satu minggu kebelakang sehingga cukup merepotkan himpunan.
Hinata mengangkat tangannya, mengisyaratkan kalau dia ingin berbicara sesuatu.
“Iya Hin, ada apa?” tanya Shikamaru.
Seketika suasana menjadi hening lagi, semua atensi tertuju pada Hinata. Cewek itu menurunkan tangannya, namun nggak hanya tangan, kepala Hinata juga ikut diturunkan, takut.
Sampai Ten-ten yang ada di sebelah Hinata mendengar suara isakan dari gadis itu, “Hinata? What’s wrong??”
Hinata mengangkat lagi kepalanya, sepasang manik lavender langsung memandang ke seseorang dengan sepasang mata yang menyerupai miliknya, “Kak Neji…”
Posisi Neji yang berada tepat di seberang Hinata membuat cowok itu semakin mudah untuk menatap sepupunya dengan tajam. Jelas sekali kalau Neji nggak suka dengan apa yang barusan terjadi. Semua orang bisa merasakan ketajaman dari tatapan Neji, membuat mereka entah harus berbuat apa.
“Kak Neji aku minta maaf… Maafin aku Kak…”
Hinata berkata di tengah isak tangisnya sehingga membuat suaranya tercekat.
Entah apa yang membuat air muka Neji jadi super merah. Bukannya bilang sesuatu untuk merespon permintaan maaf Hinata, Neji malah beranjak dari duduknya dengan langkah-langkah besarnya keluar dari sekre, meninggalkan Hinata yang masih menangis dan semua orang yang dibuat kebingungan. Semua pengurus inti yang hadir kecuali Shikamaru nggak tahu apa-apa, tapi mereka bisa menyimpulkan kalau masalah yang ada di antara Neji dan Hinata belum selesai.
“WOY NEJI APA-APAAN ANYING. BALIK SINI LU!”
Naruto yang merasa nggak terima kemudian berteriak dan berniat buat beranjak dari duduknya untuk mengejar Neji, namun Shikamaru buru-buru menahan cowok itu sambil menggeleng. “Naruto, bukan posisi kita buat ikut campur.”
Karena emosi, nafas Naruto menjadi nggak beraturan dan Shikamaru merasa dia harus segera membereskan beberapa kekacauan yang terjadi. Dia melirik ke Ino dan bilang, “Bawa Hinata pulang aja, kasian. Kalo bisa temenin dulu sampe anaknya tenang.”
Ino mengiyakan perintah Shikamaru, “Okay, Shika. Kita duluan yaa.”
“Nanti chat gue pas udah mau balik.”
Ino mengangguk dan tersenyum. Kemudian mengajak Sakura dan Tenten untuk menghampiri Hinata dan mengantarnya pulang. Kebetulan Kiba bersedia menyediakan tumpangan dengan mobilnya untuk mereka tuju ke rumah Hinata. Sehingga nggak perlu repot-repot lagi minta supir Hinata untuk menjemput mereka atau order taksi online.
Di tengah perjalanan menuju rumah Hinata masih hening. Mereka semua sepakat menunggu gadis itu untuk siap berbicara, namun rasanya saat itu nggak akan kunjung datang. Maka Ino dan Sakura yang ada di sisi kanan-kiri Hinata mencoba memberikan gadis itu ketenangan dengan mengusap punggungnya lembut.
Waktu mobil yang Kiba kemudikan sampai di pekarangan kediaman mewah Hayuningrat, Hinata meminta maaf kepada teman-temannya, “Temen-temen, makasih banyak ya udah anter aku pulang. Tapi aku lagi pengen sendirian, nggak papa kan kalau kalian pulang aja?”
“Iya Hinata, nggak apa-apa kok.” Sakura memahami keinginan gadis itu yang ingin menyendiri, pasti berat rasanya harus menangis di hadapan banyak orang. “Kabarin kita ya kalo kamu udah feel better.” tambahnya.
Hinata hanya mengangguk dan tersenyum lemah, “Nanti aku chat yaa.”
“Take care, Hin!” kata Kiba dengan nada riangnya, berharap Hinata bisa merasa lebih baik.
Kiba menarik persneling mobil dan perlahan mobil itu meninggalkan area kediaman Hayuningrat beserta Hinata yang melambaikan tangan. Baru setelah TenTen melihat dari kaca spion kalau gadis itu sudah berjalan masuk ke dalam rumahnya, mereka bisa menghela nafas.