lilymagicals

Agenda evaluasi bulanan himpunan sudah selesai dilaksanakan. Anggota dan staff himpunan lainnya sudah dipersilakan untuk pulang terlebih dahulu. Namun seperti biasa, anggota inti BPH dan kepala departemen masih berada di sekre karena biasanya masih akan ada yang mereka bicarakan.

Kini semua pengurus yang ada di sekre sedang duduk melingkar. Shikamaru mencatat adanya beberapa kejadian yang membuat mobilisasi kerja himpunan agak sedikit melenceng terutama pada satu minggu sebelum monthly eval diadakan.

Biasa, masalah komunikasi. Klasik sebenarnya, tapi sangat krusial. Neji sebagai salah satu oknum yang lumayan bikin himpunan dan departemennya sendiri agak error mulai angkat bicara, “Temen-temen. Maaf gue udah ga profesional selama satu minggu kebelakang. Gue bisa pastiin yang kemarin gak bakal gue ulangi lagi.”

Jujur saja banyak dari mereka yang nggak mengetahui alasan dibalik absen-nya Neji selama satu minggu kebelakang, makanya mereka cuma bisa mengangguk ketika Neji minta maaf. Shikamaru sebagai salah satu yang paham dengan alasan Neji angkat bicara, “Oke Ji. Lo udah ngerti kan sekarang letak kesalahan lo dimana? Coba dong sebutin.”

“Ngerti. Survey minat, bakat, dan orientasi setelah lulus kuliah angkatan 2021-2019 jadi belum terlaksana sampai sekarang, padahal harusnya data sudah siap dan bisa PSDM kasih report nya waktu monev karena kuesioner fix nya ada di gue dan tim PSDM jadi gak bisa sebarin karena yang mereka punya itu belum fix.”

Shikamaru mengangguk, “Jangan lupa minta maaf ke tim PSDM. Dan pastiin next week udah ada reportnya.”

“Siap.”

“Ada yang mau nambahin?”

Nggak ada respon yang Shikamaru terima selain gelengan kepala dari beberapa temannya. Dia melanjutkan, “Oke jadi gue cuma mau bilang gini. Gue paham kalo temen-temen semua pasti bakal ada di titik pengen sendirian dan gak mau diganggu sama orang lain. Tapi tolong banget kalo misal masih punya tanggung jawab yang belum kelar, kelarin dulu. Atau paling gampang notify temen yang lain deh, biar ada yang back-up.”

Semua orang mengangguk lagi pertanda setuju dengan Shikamaru.

“Kalo dirasa punya masalah, feel free buat sharing ke gue, atau ke Naruto. Apalagi kalo masalahnya bisa berpengaruh buat keberlangsungan himpunan.”

“Okeee siap, Pak.”

“Sekian aja dari gue. Gak usah tegang, lemesin lah!”

Beberapa orang mulai menghembuskan nafas mereka karena sempat merasa suasana yang tadi itu cukup canggung. Untung saja setelah Shikamaru bilang begitu, berbagai candaan mulai dilontarkan lagi terutama dari beberapa oknum seperti Naruto dan Kiba.

Namun seseorang yang ada di lingkaran itu duduk dengan gusar dan nggak nyaman. Ada rasa bersalah yang menggerogotinya sebab dia pikir, dia menjadi salah satu penyebab atas permasalahan Neji yang terjadi selama satu minggu kebelakang sehingga cukup merepotkan himpunan.

Hinata mengangkat tangannya, mengisyaratkan kalau dia ingin berbicara sesuatu.

“Iya Hin, ada apa?” tanya Shikamaru.

Seketika suasana menjadi hening lagi, semua atensi tertuju pada Hinata. Cewek itu menurunkan tangannya, namun nggak hanya tangan, kepala Hinata juga ikut diturunkan, takut.

Sampai Ten-ten yang ada di sebelah Hinata mendengar suara isakan dari gadis itu, “Hinata? What’s wrong??”

Hinata mengangkat lagi kepalanya, sepasang manik lavender langsung memandang ke seseorang dengan sepasang mata yang menyerupai miliknya, “Kak Neji…”

Posisi Neji yang berada tepat di seberang Hinata membuat cowok itu semakin mudah untuk menatap sepupunya dengan tajam. Jelas sekali kalau Neji nggak suka dengan apa yang barusan terjadi. Semua orang bisa merasakan ketajaman dari tatapan Neji, membuat mereka entah harus berbuat apa.

“Kak Neji aku minta maaf… Maafin aku Kak…”

Hinata berkata di tengah isak tangisnya sehingga membuat suaranya tercekat.

Entah apa yang membuat air muka Neji jadi super merah. Bukannya bilang sesuatu untuk merespon permintaan maaf Hinata, Neji malah beranjak dari duduknya dengan langkah-langkah besarnya keluar dari sekre, meninggalkan Hinata yang masih menangis dan semua orang yang dibuat kebingungan. Semua pengurus inti yang hadir kecuali Shikamaru nggak tahu apa-apa, tapi mereka bisa menyimpulkan kalau masalah yang ada di antara Neji dan Hinata belum selesai.

“WOY NEJI APA-APAAN ANYING. BALIK SINI LU!”

Naruto yang merasa nggak terima kemudian berteriak dan berniat buat beranjak dari duduknya untuk mengejar Neji, namun Shikamaru buru-buru menahan cowok itu sambil menggeleng. “Naruto, bukan posisi kita buat ikut campur.”

Karena emosi, nafas Naruto menjadi nggak beraturan dan Shikamaru merasa dia harus segera membereskan beberapa kekacauan yang terjadi. Dia melirik ke Ino dan bilang, “Bawa Hinata pulang aja, kasian. Kalo bisa temenin dulu sampe anaknya tenang.”

Ino mengiyakan perintah Shikamaru, “Okay, Shika. Kita duluan yaa.”

“Nanti chat gue pas udah mau balik.”

Ino mengangguk dan tersenyum. Kemudian mengajak Sakura dan Tenten untuk menghampiri Hinata dan mengantarnya pulang. Kebetulan Kiba bersedia menyediakan tumpangan dengan mobilnya untuk mereka tuju ke rumah Hinata. Sehingga nggak perlu repot-repot lagi minta supir Hinata untuk menjemput mereka atau order taksi online.

Di tengah perjalanan menuju rumah Hinata masih hening. Mereka semua sepakat menunggu gadis itu untuk siap berbicara, namun rasanya saat itu nggak akan kunjung datang. Maka Ino dan Sakura yang ada di sisi kanan-kiri Hinata mencoba memberikan gadis itu ketenangan dengan mengusap punggungnya lembut.

Waktu mobil yang Kiba kemudikan sampai di pekarangan kediaman mewah Hayuningrat, Hinata meminta maaf kepada teman-temannya, “Temen-temen, makasih banyak ya udah anter aku pulang. Tapi aku lagi pengen sendirian, nggak papa kan kalau kalian pulang aja?”

“Iya Hinata, nggak apa-apa kok.” Sakura memahami keinginan gadis itu yang ingin menyendiri, pasti berat rasanya harus menangis di hadapan banyak orang. “Kabarin kita ya kalo kamu udah feel better.” tambahnya.

Hinata hanya mengangguk dan tersenyum lemah, “Nanti aku chat yaa.”

Take care, Hin!” kata Kiba dengan nada riangnya, berharap Hinata bisa merasa lebih baik.

Kiba menarik persneling mobil dan perlahan mobil itu meninggalkan area kediaman Hayuningrat beserta Hinata yang melambaikan tangan. Baru setelah TenTen melihat dari kaca spion kalau gadis itu sudah berjalan masuk ke dalam rumahnya, mereka bisa menghela nafas.

Hinata mendapati Neji yang sudah duduk di sofa ruang tamu kediaman Hyuuga, melihat sepupunya lagi setelah satu minggu pergi dari rumah itu rasanya membuat Hinata senang dan takut sekaligus, entah maksud kedatangan Neji kali ini untuk benar-benar pergi atau kembali tinggal.

“Kak Neji, mau minum apa?” Hinata meringis mendengar pertanyaannya sendiri, dia nggak suka memperlakukan Neji seperti ini, seperti seorang tamu, seolah-olah lelaki itu bukan keluarganya.

“Nggak usah repot-repot.” balas Neji singkat, kemudian meminta sepupunya itu untuk duduk, “Sini duduk Hinata.”

Tanpa di suruh dua kali, Hinata bergabung di sofa panjang yang sama dengan Neji. Dengan canggung, Neji bilang, “Kakak minta maaf.”

Mendengar Neji menyebut dirinya sebagai ‘kakak’ ketika berbicara dengan Hinata membuat hati gadis itu semakin remuk akan rasa rindu. Sudah berapa tahun ya sejak terakhir kali Neji bilang begitu?

Karena belum juga mendapat respon, Neji melanjutkan, “Kakak minta maaf karena sudah memperlakukan kamu dengan buruk.”

Hinata masih diam, bingung harus merespon bagaimana.

“Seharusnya kakak nggak begitu. Kakak nggak dewasa, egois, gabisa menerima apa yang sudah terjadi, dan terjerat di masa lalu.”

Neji kecil tumbuh di tengah keluarga besar yang selalu membandingkan keluarga Ayahnya (Hizashi) dan keluarga Ayah Hinata (Hiashi), apalagi keduanya adalah saudara kembar. Bukan salah dia kalau kebetulan Ayahnya nggak bisa seberuntung atau sesukses Ayah Hinata. Tapi kenapa selalu Neji yang terkena imbasnya?

Bagi keluarga besar Hyuuga, Hizashi memiliki kedudukan yang lebih rendah dari Hiashi karena beliau nggak lebih sukses ataupun beruntung. Maka ketika Hiashi jatuh sakit dan perlu donor ginjal untuk menyelamatkan nyawanya, Neji kecil berpikir bahwa Ayahnya dipaksa untuk mendonorkan ginjalnya karena keluarga besar nggak mau kehilangan Hiashi yang nyawanya lebih berharga. Menurut Neji, bagi mereka kehilangan Ayah Neji bukan sesuatu yang perlu disesali.

Neji yang waktu itu masih belum dewasa diselimuti oleh kebencian yang sudah dia bendung sejak kecil, hanya semakin bertambah ketika Ayahnya jatuh sakit sampai meninggal. Hal itu membuat Neji melampiaskan kebenciannya kepada keluarga Hiashi, Hinata si sepupu yang tumbuh bersamanya sejak tak terkecuali.

Baru ketika Neji membaca catatan jurnal pribadi sang Ayah, dia menemukan sesuatu hal yang menjadi titik di mana dia menyadari apa yang dilakukannya adalah salah. Sebuah kenyataan bahwa Hizashi tidak pernah menerima paksaan untuk mendonorkan ginjalnya kepada kakak kembarnya, Hiashi. Semua yang Ayah Neji lakukan adalah murni atas dasar kasih sayang antar sesama saudara. Nggak ada ikatan darah yang lebih kental dari keluarga, dan Neji masih teringat perkataan Ayahnya dulu kalau, “Sebagai keluarga, kita harus melindungi satu sama lain.

Dengan itu, rasa yang membutakannya selama ini telah memudar. Neji tersadar bahwa apa yang dia lakukan selama ini sama sekali nggak dewasa dan itu berarti dia nggak menghargai keputusan Ayahnya untuk menolong dan melindunginya. Hal terakhir yang ingin Neji lakukan adalah mengecewakan ayahnya.

“Maaf Hinata, kamu nggak salah apa-apa. In fact, nggak ada yang salah di sini. You don’t deserve this.” kata Neji sekali lagi, kali ini dia terdengar putus asa.

Hinata meraih tangan Neji yang bergetar untuk digenggam, “Kak Neji, aku ngerti kok… Papa sudah cerita soal jurnal Om Hizashi.”

“Harusnya minta maaf aja nggak cukup, rasanya kaya… kakak ga pantes dapet maaf dari kamu.”

“Kak Neji mau tau sesuatu nggak?”

“…..”

“Di dunia ini nggak ada yang lebih aku pengen dari kita biar bisa kaya dulu lagi. Akur kaya saudara sebagaimana mestinya, main dan belajar bareng. Ngelakuin banyak hal bareng. Aku kangen sama kita yang dulu, Kak. Nggak cuma aku, Papa dan Hanabi juga.”

Hinata adalah perempuan yang memiliki hati besar. Ketulusan adalah energi terbesarnya dan Neji nggak mau itu semua pudar. Maka yang mulai sekarang akan Neji lakukan adalah melindunginya, bukan sebagai bentuk penyesalan, namun sebagaimana seorang kakak melindungi adiknya.

Neji mengangguk, ekspresi wajahnya sudah menunjukan kalau beban yang dia pikul dari masa lalunya sudah sepenuhnya runtuh. Lelaki itu kemudian tersenyum dan tanpa disangka-sangka, Hiashi datang bersama Hanabi (adik Hinata) menuruni anak tangga untuk menghampiri Neji.

“Neji. Maafin Om.”

Neji ditarik Hiashi ke dalam pelukannya. Hiashi, Pria paruh baya yang selalu membuat Neji teringat dengan mendiang Ayahnya karena saking miripnya memberikan pelukan hangat untuk Neji, membuat tangisan lelaki itu pecah atas kerinduannya terhadap sang Ayah.

“Maafin Om karena sudah bikin kamu merasa seperti itu ya, Nak.”

“Iya Om, Neji minta maaf juga.”

Setelah itu, Hinata dan Hiashi membujuk Neji untuk kembali ke rumah dan tetap tinggal bersama mereka. Namun Neji menolaknya dengan alasan dia ingin hidup lebih mandiri dengan tinggal seorang diri. Neji juga menambahkan kalau mereka nggak perlu khawatir, sebab dia bakal sering berkunjung. Hanabi berjanji nggak akan ada orang yang bisa membongkar kamar Neji di rumah itu, maka ketika Neji ingin datang, dia bisa datang kapanpun dan ada tempat buatnya untuk stay.

Begitulah, masa lalu beserta rasa pilu yang menghantuinya sekarang resmi ditutup untuk membuka jilid lembaran baru.

11:11 PM — PNMHI day 3

Seusai Ino makan malam dan minum obat, dia merasa cukup mengantuk dan memilih untuk segera membaringkan tubuhnya lagi di atas kasur. Sedangkan Shikamaru sempat masuk ke kamar mandi untuk numpang cuci muka, dan sekarang dia sudah keluar lagi mendapati Ino yang siap-siap baringan, “Udah mau tidur?” tanyanya.

Shikamaru bisa melihat Ino mengangguk, lalu dia berjalan mendekat ke tempat tidur.

“Iya, lo nggak mau balik ke kamar lo dan tidur?”

Shikamaru enggan beranjak pergi ke kamarnya sendiri, lagipula dia baru saja diberi kabar oleh Sasuke kalau teman-teman delegasinya sedang keluar untuk jalan-jalan malam. Jadi dari pada sendirian di kamarnya, Shikamaru lebih baik berada di sini bersama Ino, “Can I stay? Gue mau mastiin panas lo turun malam ini.”

Ino mengangguk dan menggeser tubuhnya ke sisi lain tempat tidur, kemudian menepuk bagian yang kosong, mengundang Shikamaru untuk berbaring di sampingnya, “Sini.”

Keduanya sudah terbiasa dengan berbagi tempat tidur, hanya untuk sekedar tidur dan beristirahat. Meskipun cukup sempit, mereka sama sekali nggak melayangkan protes. Justru dengan minimnya jarak di antara Shikamaru dan Ino sekarang, mereka bisa merasakan kehangatan yang membuat nyaman di tengah suhu ruangan yang rendah.

Ino dan Shikamaru berbaring dengan saling menghadap. Cewek itu bisa melihat ikatan rambut Shikamaru yang mulai mengendur sehingga beberapa anak rambutnya jatuh ke dahi cowok itu, membuat tangan Ino terulur untuk memainkan helai-helai lembutnya.

“Naruto bilang lo lari ngebut dari resto ke sini. Lucu banget, untung nggak diketawain sama delegasi lain hehe.” kata Ino sambil terkekeh.

“Gue kebayang-bayang muka papi lo.”

Ini mengernyit heran, “Kenapa sama papi?”

Shikamaru menghela nafas, kemudian menjelaskan, “Kan gue sudah janji bakal jagain lo. Nggak boleh sampe sakit, apalagi waktu jauh dari rumah. Inget pas kita camping pramuka waktu SMP dan lo sakit? Gue nggak mau itu kejadian itu keulang lagi.“

Ino tersenyum melihat ketulusan yang terpancar dari kedua manik mata Shikamaru yang sudah mulai layu karena mengantuk. Pasti hoax kalau dirinya pingsan dari Sasuke tadi itu berat untuk Shikamaru dengar, wajahnya yang pucat dan keringat yang mengucur di pelipis masih sangat jelas di kepala Ino. “Don’t worry, habis ini pasti gue sehat terus.”

“Besok nggak usah ikut city tour. Istirahat aja.”

Sudah jelas respon yang Ino berikan adalah gelengan kepala yang kuat. “Enak aja! Yakali gue skip bagian terserunya.”

Shikamaru tahu nggak semestinya dia mendebat keinginan Ino apalagi mengetahui kalau cewek itu keras kepala bukan main. Meskipun masih khawatir, Ino kembali mencoba untuk meyakinkan Shikamaru, “Lihat aja besok gue bangun dengan semangat empat lima!!”

Shikamaru tertawa kecil dan mengangguk lalu memejamkan matanya sambil mengambil tangan Ino yang bertengger dikepalanya untuk digenggam, berharap mendapat ketenangan dari jemari mereka yang bertaut. Setelah itu, dia mengarahkan tanggan Ino ke bibirnya untuk memberikan kecupan-‪kecupan lembut yang tanpa Shikamaru sadari, membuat rona merah muncul di wajah Ino.

Entah apa maksud dari kecupan-‪kecupan itu, intinya Ino merasakan sebuah desiran yang membuat hangat hatinya.

Sebagai satu-satunya yang masih belum terpejam, Ino melihat adanya kerutan di dahi Shikamaru, dia ingin kerutan itu hilang. Ino ingin Shikamaru berhenti berpikir dalam tidurnya, maka dia berikan juga Shikamaru satu kecupan di dahi.

Namun ketika bibirnya telah berpisah dengan dahi Shikamaru, dua pasang mata bertemu. Akuamarin bertemu cokelat pekat yang menatapnya dalam, sampai rasanya bisa menembus.

Kali ini Ino berdebar kencang, beruntung pencahayaan kamar hotel remang-remang sehingga rona merah di pipinya bisa dia sembunyikan dari Shikamaru.

Sejak kapan berada di dekat Shikamaru—cowok pemalas yang dikenalnya sejak lahir dan cowok yang selalu bilang kalau dia ini merepotkan—bisa jadi semendebarkan ini?

You kissed me.” Shikamaru bergumam dengan nadanya yang kelewat rendah, membuat bulu kuduk Ino semakin meremang.

Ye—yeah. On the forehead—lo kerung.”

Setelahnya, untuk menghindari kecanggungan, Ino berbalik memunggungi Shikamaru. Namun cowok itu semakin mempersempit jarak dan melingkarkan lengannya di pinggang Ino, juga menyembunyikan wajahnya di ceruk leher cewek itu.

Sleep, Ino. Get better soon. Gue nggak baik-baik aja kalau lo sakit.”

Stupid Shikamaru. Ino nggak yakin setelah ini apakah dia bakal bisa tidur atau sebaliknya. Mudah-mudahan sih bisa, lagipula ini bukan kali pertamanya mereka tertidur dengan posisi sedekat ini.

Titik kumpul mereka berada di lounge lantai 10 sebelum mereka berangkat bersama menuju ball room tempat gala dinner dan closing ceremony PNMHI dilaksanakan. Saat itu baru Naruto, Shikamaru, Neji, dan Mugino yang sudah siap.

Sasuke—beserta Sakura, kembali ke kamarnya untuk mengganti setelan jas. Padahal nggak ada yang salah dengan outfit Sasuke, toh dress-code gala dinner malam itu adalah black and white. Tetapi Sasuke enggan terlihat mencolok diantara teman-temannya yang lain dengan memakai jas berwarna putih. Makanya dia ngotot untuk ganti, untung saja Sasuke bawa dua stel jas dengan warna yang berbeda untuk agenda malam ini.

Shikamaru nggak berhenti melihat ke arah pintu lounge dengan harapan agar Ino segera muncul, membuat Naruto yang ada di sampingnya berkata sambil nyinyir, “Yaelah, Shik. Lo ngeliatin pintu mulu, kaga bakal pindah pintunya santai aja.”

“Ck. Gue gak ngelihatin pintu.” kata Shikamaru mengelak.

Ino datang beriringan dengan Shiho sambil membawa sebuah paper bag. Kedua perempuan pirang itu dibalut dengan gaun malam berwarna hitam yang membuat mereka kelihatan semakin anggun.

Arah pandang Shikamaru langsung jatuh ke satu-satunya perempuan yang sukses bikin dia nggak berkedip ketika perempuan itu berjalan menghampirinya. Naruto yang melihat komuk Shikamaru langsung menjentikan jarinya di depan wajah si kahim, “Kedip, pak!”

Jentikan jari Naruto seakan membuat Shikamaru merasa ditarik kembali ke dunia nyata, pada akhirnya berkedip juga.

“Hai.”

“Hai?” Ino menaikkan salah satu aslinya karena heran dengan Shikamaru yang tiba-tiba menyapanya dengan salah tingkah, “Ngapain lo hai-hai in gue??”

“Ck. Ya nggak papa, pengen aja.” Shikamaru mengangkat bahunya, “Kado yang buat Matsuri udah dibungkus?”

“Udah nih, tadi Shiho yang bungkusin.” jawab Ino sambil melihat ke beberapa arah, mencari ruang kosong di atas sofa supaya dia bisa duduk. Sialnya, ruang kosong yang tersisa hanya ada di sebelah Shikamaru.

Karena masih merasa sedikit canggung akibat apa yang terjadi du malam sebelumnya, Ino memilih untuk tetap berdiri sampai kena protes Naruto yang rewel sendiri karena risih melihatnya, “Nces! Duduk napa, risih banget gue lihatnya. Noh sebelah Shikamaru kosong.”

Ino menggerutu dan ingin menjitak Naruto. Tatapan Shikamaru yang mengisyaratkan Ino untuk duduk sama sekali nggak membantu.

“Iya-iya gue duduk!”

“Jangan lupa entar hadiahnya dikasihin ke Matsuri.” perintah Shikamaru.

“Iyaa!”

Setelah itu, mereka masih harus dibuat menunggu sebelum dipersilahkan masuk ke dalam ball room. Waktu yang mereka dapatkan dimanfaatkan untuk mengambil banyak foto, kesempatan ya kan, mumpung mereka semua sedang dress up pakai gaun dan jas untuk gala dinner, membuat kecantikan dan ketampanan mereka semakin terlihat.

Sesi berfoto rusuh seperti biasa, apalagi kalau Naruto suaranya yang melengking dan tawanya yang super membuat suasana semakin gaduh, untungnya mereka bisa mengkondisikan suasana agar tetap kondusif.

Nggak lama kemudian, Matsuri datang dengan Sasuke dan Sakura yang mengekorinya dari belakang. Sasuke sudah mengganti setelan jas nya yang semua berwarna putih jadi warna hitam, nggak ada perbedaan yang kontras sih, mau pakai baju warna apapun cowok itu bakal selalu ganteng.

“Yaampun! Ini pada cantik dan ganteng banget delegasi-delegasiku.” seru Matsuri melempar pujian dengan matanya yang berbinar.

“Matsuri udah ngaca belom? Malem ini juga cantik banget deh!” kata Mugino yang balik memuji LO nya itu dan tentu saja, cowok itu berbicara fakta karena nyatanya Matsuri memang super cantik.

Shikamaru menghampiri Matsuri dan memberikan sebuah bingkisan paper-bag yang semula di pegang oleh Ino untuknya. Tadinya Shikamaru enggan jadi perwakilan yang memberikan hadiah, namun Naruto ngotot kalau Shikamaru yang harus memberikannya karena dia adalah ketua himpunan. Nggak nyambung, tapi ya sudahlah.

“Matsuri, ini nggak seberapa tapi kita punya kenang-kenangan buat lo. Diterima ya, makasih banyak udah bantuin kita semua. Maaf juga kalo selama ini kita ngerepotin lo. Hehe.”

Tanpa diduga-duga, Matsuri mewek ketika menerima bingkisan dari Shikamaru, “Aaaaa sebentar-sebentar.” katanya sambil mendongakan kepala ke atas supaya air matanya nggak jatuh dan merusak riasannya malam itu.

“Gemes banget Matsuri! Terharu ya?” tanya Sakura.

“Huhu terharu banget, Kak!” jawabnya, kemudian Matsuri lanjut bilang, “Aku bersyukur banget ketemu temen-temen delegasi dari Konoha. Meskipun pertemuan kita singkat banget, aku bisa ngerasa kalo kita cepet banget akrab nya. Temen-temen delegasi juga sama sekali ga memberatkan aku sebagai LO, terus…”

Matsuri menjeda kalimatnya sebentar, menyadari kalau semua teman-teman delegasi asuhannya kini sedang menatapnya dengan senyuman lembut, seakan-akan sedang melihat ke sosok adik mereka sendiri mengingat Matsuri adalah yang paling muda diantara mereka selain Mugino.

“Terus, aku udah ngerasa nyaman banget sama kalian selama jadi LO. Aku salut bisa ketemu, diskusi, dan tuker cerita sama orang-orang hebat kaya kalian! Pokoknya ini pengalaman yang nggak mungkin aku lupain. Jangan lupain aku yaaa kak!”

“Awwwww. Mana bisa lupaaa.”

“So sweet bangettttt. Matsuri LO terbaik, period.”

Kemudian Matsuri bergabung bersama Sakura, Ino, dan Shiho dalam group hug yang dilanjutkan dengan sesi ngobrol lainnya sampai Matsuri menerima aba-aba dari walkie talkie nya kalau delegasi sudah bisa masuk ke dalam ball room karena gala dinner dan closing ceremony akan dimulai.

Delegasi Universitas Konoha menempati sebuah meja bundar dan mereka diduk mengelilinginya, siap untuk mengikuti serangkaian acara pada malam itu mulai dari pembukaan dari beberapa pihak, awarding session di mana Shikamaru, Ino, Sakura, dan Shiho akan naik ke atas panggung sebagai delegasi yang mendapatkan penghargaan dari councilnya masing-masing, kemudian dilanjutkan dengan gala dinner, dan after party.

Setelah melewati beberapa agenda. Akhirnya After party PNMHI yang ditunggu-tunggu telah tiba. Mereka ditemani oleh musik jedag-jedug dari DJ yang melantun kencang. Mereka disuguhi berbagai minuman alkohol dan non-alkohol supaya makin terasa euforianya.

Tangan Ino ditahan oleh Shikamaru ketika cewek itu hendak meneguk lagi sampanye keempatnya, Shikamaru mengambil alih gelas itu dari tangan Ino dan meminumnya sendiri sebagai gantinya

“Ihhh gue haus tau!” kata Ino merengem

Shikamaru menggeleng, “Udahan, lo udah tipsy! Kalo haus minta minta aer putih.”

Sakura tak alihnya melewatkan adegan itu, “Ih lucu deeeh Shikamaru protective banget.” sahutnya yang berada di samping Ino, sedangkan Sasuke yang ada di depannya ikutan mengangguk, kemudian menimpali, “Ya namanya juga sayang.”

DJ memainkan remix lagu mulai dari yang EDM, hip-hop, sampai dangdut juga ada. Dan tentu saja membuat seluruh delegasi dari semua universitas ikut joget-joget nggak jelas dan bernyanyi ketika lagunya One Direction yang berjudul Night Changes diputar, seketika suasana berubah menjadi sendu apalagi waktu para delegasi menyalakan flashlight dari ponselnya masing-masing dan diayunkan ke kanan dan kiri.

Lantunan lagu yang memenuhi seisi ruangan membuat para delegasi diberi kesempatan untuk bernostalgia. Mereka masih ingat dengan jelas suasana ketika mereka pertama kali sampai di Sunagakure, dari obrolan canggung dengan LO di pertemuan pertama, kemudian bertukarnya cerita para delegasi antar-universitas, sampai dengan drama-drama yang membuat suasana semakin ribet namun bikin kangen sekaligus

Nggak terasa, besok mereka harus kembali ke realita masing-masing. Meninggalkan Sunagakure dengan momen-momen yang mereka ukir bersama dan harapan untuk bertemu lagi di kesempatan berikutnya pada PNMHI tahun depan, di tempat yang baru.

Sidang Forum pada hari ketiga PNMHI berjalan lebih alot. Pasalnya semakin banyak perdebatan-perdebatan di setiap pembahasan yang terjadi. Maklum, semakin banyak kepala, semakin banyak juga suara dan opini yang dikeluarkan.

Pembahasan ADRT FKMHI sudah selesai kemarin, hari ini salah satu agenda yang dibahas adalah pemilihan tuan rumah PNMHI selanjutnya. Coffee Break sudah berlalu sejak lama namun sama seperti hari sebelumnya, resolusi juga belum kelihatan hilalnya. Belum lagi kalau ada suara dari satu delegasi dan lainnya saling bertabrakan.

Bisa dipastikan kalau Naruto sudah sama sekali nggak fokus dengan pembahasan sesi pada saat itu. Pembahasan yang sudah kerucut, bakal dikotak-kotakin lagi karena muncul suara baru.

Hadeh.

Padahal Naruto sudah mendapat kabar kalau tiga council lain sudah selesai. Bahkan Naruto sudah tahu kalau Sakura & Shiho berhasil bawa pulang titel Best Paper di DiSil, kemudian Shikamaru & Ino dapat Most Outstanding Delegates dan Best Position Paper di SDC, sedangkan Neji & Mugino telah selesai dengan serangkaian JSF yang menghasilkan sebuah draft komunike untuk di submit ke kementerian luar negeri.

“Ini dari tadi yang dibahas itu-itu aja anjir, ye gak Sas?” Naruto bertanya dengan jengah setelah menguap. Pandangannya diarahkan ke depan namun sama sekali nggak fokus.

“…”

Nggak ada jawaban dari Sasuke. Naruto kira partner sidang nya saat itu sedang memperhatikan argumen-argumen yang dilontarkan delegasi lain. Nyatanya waktu Naruto melirik ke samping, dia melihat Sasuke sedang memejamkan matanya seolah-olah sedang tertidur, namun posisi duduknya tetap tegak.

“Yaelaaaah, tidur lu pak??” tanya Naruto lagi, kali ini sambil menyenggol Sasuke yang cukup bikin cowok itu oleng ke sebelah.

“Bodo amat. Gue udah cukup vokal dari kemaren. Buat sesi yang ini, bener kata Shikamaru, mending tidur.”

Waduh, ketika Sasuke saja ogah turun tangan, Naruto rasa harusnya dia mengikuti apa yang dilakukan Sasuke saja. Tapi kok rasanya kalau forum yang sekarang lebih mirip seperti panggung debat kusir nggak segera ditengahi, Naruto nggak bakal menjamin sesi sidang nggak akan berakhir dengan pertumpahan darah.

Maka, nggak lama kemudian Naruto mengangkat tanganya, “Mohon maaf interupsi.”

Membuat beberapa mata langsung tertuju ke arah Naruto, perdebatan sengit yang sempat berlangsung juga seketika berhenti sejenak, pimpinan sidang yang sama-sama kelihatan pusing itu juga akhirnya mempersilahkan Naruto untuk masuk ke dalam forum. Lucunya, para delegasi melihat Naruto sebagai sebuah keajaiban, sebab cuma dia delegasi yang berani menengahi perdebatan.

“Mohon maaf nih, temen-temen delegasi—Eh, maap. Perkenalkan dulu nama saya Narendra Utara dari Universitas Konoha. Tapi kalo kepanjangan bisa panggil Naruto aja.” ucap Naruto sebagai pembukaan.

Pimpinan sidang forum yang bernama Kalandra merespon, “Iya silakan Kak Naruto.”

“Mohon maaf, tapi kok kayaknya daritadi pembahasan nggak nemu titik terangnya ya? Temen-temen delegasi di sini sadar nggak kalo dari tadi yang di bahas dan di ributkan kok itu-itu saja? Sudah tiga jam lebih setelah coffee break tapi pembahasan masih stuck.

“Jadi gimana Kak, intinya anda buka suara mau kasih tahu forum apa?”

Naruto menarik napas panjang-panjang, kemudian melanjutkan, “Gini Kak. Dari tiga universitas yang mengajukan sebagai tuan rumah buat tahun depan, saya sudah catat kalau setiap Universitas ada plus-minusnya. Tapi seharusnya bisa disimpulkan sendiri kan, Universitas mana yang paling mendekati atau punya semua indikator-indikator yang cocok buat dijadikan tuan rumah. Temen-temen delegasi pasti juga udah sadar kan mana Universitas yang sudah obvious? Sudah kelihatan kan?”

“Loh, jadi anda mau bilang kalau dua universitas lain ini nggak cukup buat memenuhi indikator tuan rumah? Niatnya mau merendahkan, begitu??”

“Lho memangnya saya ada bilang sesuatu yang kesannya merendahkan?” Naruto balik bertanya delegasi tersebut, dari tadi dia sudah menandai delegasi mana yang kelihatan paling berusaha buat menghambat jalannya sidang.

“Gini aja deh Kak, saran saya kalau lewat musyawarah nggak memungkinkan buat mencapai keputusan—untuk mempersingkat waktu, pakai blind vote saja. Toh saya yakin, tiga kandidat universitas ini sudah sama-sama baik meskipun tentu saja ada yang terbaik di antara ketiganya. Ketika nanti tuan rumah sudah terpilih, mereka juga bakal punya bertanggung jawab buat menyelenggarakan PNMHI dengan baik.“

Hening yang datang setelah Naruto menyelesaikan kalimatnya membuat para delegasi yang tadinya berdiri untuk berdebat kembali duduk di kursinya masing-masing, menyisakan Naruto sendirian yang berdiri di tengah-tengah forum karena pempimpin sidang belum mempersilakannya buat duduk.

Astaga, Naruto baru sadar kalau dari tadi dia jadi perhatian. Bukannya senang, jujur Naruto malu bukan main. Entah keberanian dari mana yang bikin dia barusan ber-fafifu wasweswos tanpa tahu malu.

Setelah pimpinan sidang berdiskusi beberapa detik dengan dua rekan di sampingnya, akhirnya Kalandra sepakat buat meneruskan jalannya pengambilan keputusan lewat blind voting.

“Baik, silakan duduk Kak Naruto. Maaf saya kelupaan tadi. Capek ya Kak?”

“Hahahaha.”

Akhirnya terdengar juga tawa dari beberapa delegasi setelah beberapa menit hingga hitungan jam yang jenuh dan menegangkan sekaligus.

Ketika Naruto mendaratkan pantatnya lagi di tempat duduk, dia disambut dengan tepukan tangan Sasuke di depan wajahnya yang nggak bersuara.

“Apaan lu!”

“Keren juga. Gak malu lah Shikamaru punya wakahim kaya lo.”

Mendengar pujian Sasuke, Naruto nyengir lebar. Kemudian sesi blind-voting akan segera dimulai, yang artinya nggak lama lagi sesi sidang forum akan mencapai resolusinya. Dan selesai.

Jean sengaja menunggu kedatangan mobil bos nya di pos sekuriti yang terletak di gerbang masuk komplek perumahan. Dia tak mau membuat Pieck repot-repot mencari keberadaan rumah kontrakannya yang tidak seberapa itu. Bernaung di komplek perumahan yang pas-pasan, membuat Jean merasa tak enak kalau mobil mahal Bu Pieck sampai masuk-masuk ke sana, kan nggak selevel.

Beberapa saat lalu waktu Jean iseng bilang minta ditemenin makan malam alias minta traktir, dia tidak menyangka bos nya bakal menyetujui gagasan isengnya itu malam ini juga. Tapi ya tidak apa-apa sih, Jean malah kelewat senang bisa makan malam dengan Pieck. Jujur saja, Jean memang menaruh kagum dengan bos nya itu, namun sejauh ini sih Jean cuma menganggap kalau kekaguman itu disebabkan oleh betapa charming nya si bos yang dia temui setiap hari di kantor.

Tapi masalahnya, kadang Jean juga merasa takut tiba-tiba naksir beneran sama si bos, naksir yang dalam artian tertarik secara romantis ya. Jean sih mawas diri saja, dia dan Pieck tidak berada di kasta yang sama, meskipun jabatan Jean di kantor sebagai sekretaris pribadi Pieck cukup terpandang, tetap lah dia cuma sejumput remahan rengginang. Apalagi mengingat Bu Pieck ini sudah punya tunangan segalak singa yang gelut sama Jean tadi siang.

Jadi sesuai dengan kata tukang parkir, Jean memilih untuk mundur teratur.

Beberapa menit kemudian, sebuah mobil SUV mewah berhenti agak jauh dari tempat Jean berdiri, membuat pria itu lantas mengalihkan perhatian karena sebelumnya dia sedang ngobrol dengan Mang Hannes—satpam perumahan.

Kemudian munculah sesosok bidadari alias Pieck Finger dari sisi pintu kemudinya, wanita itu menghampiri Jean yang entah sejak kapan telah mematung.

Kenapa? Ya karena Jean merasa tersihir oleh kecantikan bos nya itu.

Padahal Pieck cuma pakai daster batik dengan outer cardigan cokelat dan sendal teplek—membuat wanita itu kelihatan jauh lebih mungil karena biasanya di kantor dia pakai sepatu hak tinggi. Selain itu, Jean terpana melihat kecantikan visual Pieck yang lebih manusiawi, karena biasanya bos nya itu kelihatan unreal kalau sedang di kantor dengan mode serius 24/7 nya.

Namanya juga pemimpin perusahaan multinasional, Pieck selalu dituntut untuk berpenampilan anggun untuk menjaga wibawa. Namun buat Jean sendiri, dia lebih suka Pieck dengan versi memakai daster seperti malam ini hehe.

Sebelum Pieck benar-benar sampai di hadapan Jean, Mang Hannes mengembalikan kesadaran pria itu dengan menepuk bahunya dan bertanya, “Widih Jang, dijemput siapa tuh? Jiah, pacarnya yak?”

Jean meringis mendengar tebakan Mang Hannes, “Bos saya itu, Mang.”

“MasyaAllah, cantik bener. Mau kencan yak?”

Ingin mengangguk, tapi nyatanya agenda pergi berdua Jean dan Pieck tidak bisa dikatakan sebagai kencan, maka Jean hanya bisa tertawa kering. “Hahaha nggak, mau ditraktir makan nih. Lumayan bisa ngirit.”

“Keren banget sampe dijemput, yaudah sana atuh! Masa si eneng yang nyamperin kesini!”

Jean terperanjat, baru sadar kalau dia dari tadi masih diam terkesima dengan kecantikan si bos sampai Pieck sendiri yang harus menghampirinya dan menegur, “Jean! Kenapa bengong sampai saya sendiri yang harus menghampiri kamu?!”

Wah didengar dari nadanya sih, barusan si bos merasa kesal dengan Jean. Salah Jean juga sih, harusnya dia yang menghampiri Pieck, alih-alih wanita itu.

Merasa bodoh, Jean menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, “Maaf bu, saya lagi nggak fokus hehe.”

“Jangan diulangi. Sekarang banyak modus perampokan yang pakai hipnotis.”

Ya amplop… perhatian banget si Ibu bos hehe.

“Hehe iya bu, maaf.”

Pieck cuma bisa geleng-geleng kepala, kemudian dia menyerahkan kunci mobilnya ke Jean, “Nih kamu yang nyetir.”

Setelahnya, wanita itu berjalan mendahului Jean sehingga membuat pria itu harus berlari kecil sampai ke sisi kiri mobil untuk membukakan pintunya dan membiarkan Pieck masuk.

Beberapa saat kemudian, mobil Pieck yang Jean kemudikan sudah membelah keramaian jalan ibukota ditemani alunan musik santai yang mengalun lewat stereo mobil.

Jean menoleh ke arah Pieck dan bertanya, “Ibu mau makan dimana?”

“Kamu pilih sendiri saja restoran mana yang kamu suka, Jean.” jawab Pieck sambil tetap memfokuskan pandangannya ke jalan raya.

“Wah kalau saya sih nggak makan di restoran, Bu. Ke warung pecel lele aja gimana Bu?”

“Pecel lele?” Pieck terdengar sedikit ragu, membuatnya harus menoleh ke arah Jean untuk meminta konfirmasi, kemudian saat pria itu mengangguk, Pieck baru setuju, “Boleh deh.”

“Asik, nanti saya tunjukin Ibu warung mana yang paling enak.”

“Terserah kamu aja.”

Ternyata warung pecel lele yang Jean maksud tidak terletak terlalu jauh dari perumahannya. Dilihat dari ramainya pengunjung yang makan di sana sih sepertinya citarasa warung pecel lele itu nggak kaleng-kaleng ya. Namun ketika langkah mereka semakin mendekati ke warung tenda itu, semakin terlihat ragu pula Pieck sampai mengundang tanya Jean.

“Kenapa bu?” tanya Jean sedikit cemas.

Pieck masih melihat-lihat warung tenda itu dari segala arah, kemudian balik bertanya, “Kamu yakin makan di sini? Warungnya kelihatan nggak higienis.”

Jean sempat lupa kalau Pieck ini seorang elit, mungkin wanita itu baru pertama kali berkunjung ke warung tenda. Hal itu membuatnya terkekeh, “Hehe, namanya juga warung tenda Bu. Tapi saya jamin deh, kalau sudah makan, bakal lupa sama persoalan bersih atau enggaknya.”

Setelah menjawab, Jean hanya berharap kalau perut si bos tidak akan bermasalah setelah menyantap makanan warung tenda. Kalau kenapa-napa kan bisa saja Jean dituntut oleh keluarga Pieck karena membuat orang sepenting wanita itu celaka. Di sisi lain, Pieck pada akhirnya mencoba mengabaikan keraguannya dan tetap berjalan mengikuti Jean yang ada di depannya.

“Padahal saya bisa bawa kamu ke restoran di hotel Finger Group loh, Jean. Kan saya yang traktir.” ucap Pieck ketika mereka mulai duduk di bangku yang tersedia. Sebelumnya Jean sudah memesan dua paket nasi pecel lele dan gorengan lainnya, pria itu ambil inisiatif sih, karena kayanya lagi Pieck tidak tahu gimana cara pesannya.

“Masa makan di hotel tapi Ibu pake daster? Saya juga cuma pake kaos sama celana pendek.” kata Jean agak kurang setuju.

Pieck mengangkat alis, “Emang kenapa? Nggak masalah ah.”

Lagi-lagi, Jean hampir lupa kalau Pieck datang dari keluarga yang tajir melintir. Masalah penampilan tidak akan wanita itu pikirkan, santai saja. Golongan old money seperti Pieck Finger dengan penampilan seadanya sering Jean temui di waktu dia pergi ke bank, nasabah-nasabah prioritas di sana cenderung cuma pakai kaos oblong dan sendal swallow. Orang-orang juga tidak akan berani nge-judge, karena mereka sudah tahu yang berpenampilan seperti itu biasanya punya isi dompet yang fantastis.

Pada akhirnya Jean hanya bisa menarik bibirnya membentuk sebuah cengiran, “Hehe yaudah kapan-kapan aja bu traktir saya di restoran hotel.”

Sure.” cengiran Jean semakin lebar ketika Pieck menyetujui adanya traktiran lain untuknya.

Makanan mereka kemudian datang, perut Jean sudah keroncongan dan tidak sabar buat segera menyantap nasi dan ikan lelenya plus sambal beserta lauk lainnya. Sedangkan Pieck hanya memandangi apa yang ada di hadapannya, “Jean, ini makannya gimana?”

Mendengar itu Jean hampir saja dibuat melongo, “Ibu nggak pernah makan ikan lele?”

“Hng… nggak. Koki di rumah saya nggak pernah masak ikan lele.”

“HAHAHA.”

Pecah sudah tawa Jean, dia merasa lucu saja dengan gaya hidup orang kaya yang tidak relatable dengan gaya hidup orang biasa sepertinya. Tapi selain itu sih, Jean merasa clueless nya si bos ini justru bikin wanita itu terlihat semakin menggemaskan.

Pada akhirnya Jean dengan telaten memberikan tutorial cara makan lele di warung tenda pinggir jalan, melihat reaksi Pieck yang sangat serius memperhatikannya, Jean dibuat semakin gemes. Alih-alih mau gigit tempe gorengnya, Jean sekarang lebih kepingin gigit si bos saking gemesnya.


Setelah kenyang dan puas dengan makan malam mereka yang tidak Jean ekspektasikan bakal di approve oleh bosnya itu, Pieck memerintahkan Jean buat mampir ke indoapril terdekat. Ternyata Pieck mau beli beberapa dus air mineral botolan, Jean sih nurut-nurut saja ketika disuruh bosnya buat membawa dus-dus itu dan memasukkannya ke bagasi mobil.

Namun Jean dibuat terkejut ketika pintu bagasinya sudah terbuka, karena sebelumnya dia tidak menyadari disana ada tumpukan kotak-kotak yang Jean asumsikan sebagai nasi kotak, jumlahnya banyak pula.

“Ini mau buat apa Bu?” tanya Jean penasaran.

“Buat dibagiin, habis ini kita keliling ya cari orang-orang yang bisa kita bagikan nasi kotak.”

Tidak hanya nasi kotak, Pieck ternyata menggenggam segepok amplop yang di dalamnya sudah terisi beberapa helai uang yang sudah wanitu itu siapkan untuk mereka.

Waduh… selain visualnya yang nampak seperti bidadari, kebaikan hati bos nya ini tidak kalah mulia dari seorang malaikat. Lebay sih memang, tapi Jean salut banget sama Pieck yang mau terlibat secara langsung buat membagikan berkah ke orang-orang yang membutuhkan. Padahal Pieck bisa dengan mudah tinggal suruh anak buahnya saja.

Duh… Jean jadi makin cinta—eh, maksudnya terkesima.

Dari awal mereka berangkat memang sudah cukup malam, sekarang sudah lewat tengah malam ketika keduanya ngobrol santai dengan Jean yang mengemudi menuju ke beberapa lokasi tujuan. Sesekali Pieck menyindir tentang kejadian membabi butanya Jean dan Porco Galliard siang tadi, yang cuma bisa dibalas pria itu dengan cengiran sampai rahangnya pegal.

Perjalanan malam kali ini bukan sekadar night drive biasa. Perjalanan malam di dalam mobil itu memberi kesan tersendiri buat Jean. Setiap beberapa puluh meter, Jean memberhentikan mobil yang dia kemudikan, lalu turun bersama Pieck untuk membagikan nasi kotak dan air mineral untuk mereka yang membutuhkan.

Tidak sekali dua kali juga Jean menunggu Pieck sampai wanita itu selesai menemani mereka menyantap nasi kotaknya sambil ngobrol. Beberapa dari orang-orang yang tinggal di jalanan rupanya mengenal sosok Pieck Finger karena wanita itu rutin mampir untuk berbagi.

Di situ, untuk pertama kalinya setelah 3 tahun menjadi sekretaris pribadi Pieck Finger, Jean bisa melihat wanita itu tersenyum, tertawa, bahkan menangis karena rasa haru dalam waktu yang singkat.

Rasanya Jean sangat bersyukur melihat sisi Pieck yang dia yakini nggak semua orang punya privilege buat melihatnya.

Pieck Finger si cantik, baik hati, dan sangat inspiratif. Jean salut.

Kalau sudah begini sih… akan Jean buang jauh-jauh keinginannya buat resign. Meskipun kadang dibuat kewalahan sama semua pekerjaannya, setidaknya Jean bisa berada di dekat Pieck Finger lebih lama lagi untuk masa-masa yang akan datang.

Akhir pekan merupakan sesuatu yang paling sering Zeke nantikan, bukan apa-apa, tapi akhir pekan artinya dia akan punya waktu lebih banyak untuk dihabiskan bersama sahabatnya—Pieck Finger.

Sahabat yang baru-baru ini sukses membuat hati Zeke berdebar-debar setiap kali perempuan itu ada di dekatnya. Namun hebatnya, sejak satu ciuman di bibir yang kabarnya sudah sampai ke telinga Mama Dina itu, Zeke dan Pieck sukses mengatasi hal-hal kecil yang mungkin timbul sebagai masalah dan berpotensi merusak pertemanan. Karena tidak seharusnya sepasang teman saling mencium di bibir.

Ibarat sebuah profesi, menjadi seorang teman juga harus profesional atau relasi mereka akan rusak. Meskipun sempat canggung untuk beberapa saat, keduanya berhasil kembali lengket layaknya sepasang teman. Ditambah dengan fakta kalau keduanya sangat mahir berpura-pura kalau tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.

Atau lebih tepatnya, bersusah payah menangkal gairah dan percikan api yang punya arti lain di antara mereka. Bukan sebagai teman, melainkan sesuatu yang lebih.

Di sabtu siang itu, Zeke membawa Pieck ke salah satu Vinyl shop untuk menambah koleksi piringan hitam di apartemennya. Ketika keduanya melangkahkan kaki dan masuk ke toko, mereka disambut dengan The Lazy Song nya Bruno Mars yang mengalun lewat speaker ruangan. Kemudian Pieck mengekor di belakang Zeke, lelaki itu sedang sangat serius memilih mana LP yang ingin dia beli ketika sudah disuguhkan rak-rak display berisikan piringan hitam.

“Hmm, spotify ada, apple music ada, terus kamu beli-beli ini LP buat apa Zeke Jaeger?” Pieck mengomentari hobi mahal Zeke dalam mengoleksi piringan-piringan hitam yang harganya fantastis buat ukuran mahasiswa semester tua seperti mereka yang belum punya penghasilan tetap.

“Beda dong Piecky. Vibes nya bagusan kalau denger dari LP,” kata Zeke, tangan yang semula masih sibuk kemudian diangkat untuk menunjukan dua piringan hitam yang berbeda di genggamannya. “Mending yang mana?”

Dengan melihat dua pilihan itu, Pieck tahu mana yang benar-benar ingin Zeke beli. “Stevie Wonder. Bulan lalu kamu cari itu tapi sold out di sini.”

As expected of Piecky, you always know my taste.” kata Zeke sambil mengedipkan sebelah matanya dan menunjuk Pieck dengan finger gun sebagai gesture kesayangan.

“Ckckck.” si perempuan hanya bisa berdecak, namun semburat kemerahan yang hadir di kedua pipinya lantas tidak Zeke lewatkan begitu saja.

Setelah meminta saran Pieck tadi, sejauh ini lelaki itu sudah mengeranjangi lima buah piringan hitam dan Zeke masih belum kelihatan mau berhenti. Musik yang mengalun lewat speaker sudah berganti dengan deretan lagu-lagu santai lainnya, beberapa lagu Pieck ketahui sehingga bibirnya ikut bergumam sambil iseng lihat-lihat beberapa piringan hitam seperti apa yang Zeke lakukan sejak tadi.

Tanpa sadar, keduanya terpisah. Pieck melihat sisi lain dari toko tersebut yang mencuri perhatiannya. Perempuan itu berjalan meninggalkan Zeke untuk melihat lebih jelas apa yang terpajang di sana.

Waktu lagu berjudul Lucky milik Jason Mraz diputar, Zeke mematung di tempat. Kegiatannya asyiknya Zeke hentikan, dia mencari-cari sosok perempuan yang dia bawa kemari bersama karena hilang dari jarak pandangan.

Zeke berjalan menelusuri rak-rak display, mencari sosok yang mungkin tenggelam di antaranya. Ketika Zeke menemukan kembali punggung kecil milik Pieck di sebuah sudut yang berisikan barang dan buku vintage kesukaan perempuan itu, dia menghampirinya dengan langkah-langkah lebarnya, seakan tidak sabar untuk segera meraihnya.

“Pieck!”

“Hmm?”

Yang dipanggil masih belum memusatkan atensinya untuk Zeke, sehingga dia gunakan untuk membulatkan tekadnya. Di detik pertama Lucky terputar tadi, Zeke merasa terhipnotis. Entah dorongan dari mana, yang jelas saat itu juga Zeke ingin bilang untuk menyatakan perasaan. Sudah cukup dengan Zeke dan nyali ciut nya di hari-hari yang telah berlalu, kata yang sangat ingin Zeke ucapkan hari ini akan lolos dan tidak akan lagi tertahan di ujung lidah.

“Pieeeck.”

“Ya Zekeee?”

Dengan satu tarikan nafas, Zeke bilang, “I’ve never been this lucky before.”

“Hmm?” perempuan itu menoleh sambil mengernyit ketika mendapati Zeke sedang tersenyum, “Lucky kenapa kamu? Dapet diskon?”

Zeke menggeleng, “Coba perhatiin lirik lagunya, Pieck.”

“….”

Diamnya Pieck pertanda perempuan itu sedang mencerna apa yang coba Zeke sampaikan lewat perintahnya untuk memperhatikan lirik lagu yang sedang mengalun di speaker.

“Pieck, it says; lucky I am in love with my best friend.”

Saat itu masih siang, namun entah kenapa Pieck bisa melihat bintang yang bertaburan di mata Zeke pada saat itu juga, pertanda kalau pria itu sedang bahagia. Mau tak mau, bibir yang semula bergetar bingung kini berubah melengkung untuk membalas senyum Zeke dengan senyum termanisnya.

Consider yourself super lucky then, Zeke.

“Because?“

“Because I’ve been yearning to say that I am in love with my best friend too.”

Dengan satu tarikan yang terasa tiba-tiba sampai Pieck belum bisa mencerna apa yang terjadi, perempuan itu sudah berada di dalam dekapan erat Zeke Jaeger. Tidak peduli dengan pengunjung lain yang mungkin akan menatap keduanya aneh karena berpelukan ala teletubbies di tempat umum, Zeke tidak peduli apapun lagi.

Lelaki itu mendaratkan dagunya di atas puncak kepala Pieck, “Kerasa nggak?”

“Apanya?” perempuan yang ada di dalam dekapan bergeming sebelum tersadar dengan apa yang telinganya dengar karena menempel erat ke dada Zeke, “Kalau maksud kamu itu detak jantung kamu, kerasa banget. Keras banget ih Zeke, kamu yakin nggak apa-apa?!”

“Hahaha. Kamu yang bikin aku berdetak sekeras itu.” Zeke melepaskan pelukan mereka untuk melihat lebih jelas paras cantik perempuannya, “Aduh Pieck, pengen cium. Yuk ah kita pulang aja!”

“Dasar! Yaudah ayok.”

Pieck membiarkan tangannya digandeng oleh Zeke ketika mereka menuju kasir untuk membayar piringan hitam yang sudah lelaki itu pilih. Di situ Pieck bisa merasakan Zeke yang kelewat semangat sehingga membuatnya terlihat seperti anak kecil, bahkan lelaki itu terus bersiul sepanjang langkah mereka menuju mobilnya.

“Zeke? Kamu kelihatan seneng banget deh.” kata Pieck sambil menatap Zeke yang sedang fokus mengemudi.

“Hehe, siapa yang nggak seneng kalau ternyata perasaanku ini terbalas?”

“AAAAAA APAAN SIH GELI TAUUU.”

“HAHAHAHA.”

Bertahun-tahun berteman, keduanya tidak familiar dengan gestur romansa meskipun tanpa mereka sadari, keduanya bertingkah seperti pasangan tua yang sudah menikah puluhan tahun, membuat teman-teman mereka yang lain hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Kamu jadi nginep kan?” tanya Zeke waktu mobilnya masuk ke basement apartemen untuk diparkirkan.

Pieck mengangguk, “Jadi.”

“Yaudah nanti sekalian video call sama Mama Dina, biar liat calon mantunya. Kangen tuh katanya.”

Hari itu, wajah Pieck sudah dibuat panas berkali-kali oleh Zeke. Jujur saja dia tidak menyangka Ibu Zeke mengetahui sejauh mana hubungannya dengan Zeke, “Ih kamu sering ghibahin aku ya sama Tante Dina??”

“Mama yang suka nanyain kamu. Aku sampe heran, yang anaknya Mama Dina tuh aku apa kamu sih?”

“Ya wajar lah! Kalau anaknya kaya kamu, mendingan tuker tambah aja ga sih sama aku.” kata Pieck membela diri, padahal sendirinya sudah salah tingkah nggak karuan.

Mendengar itu Zeke pura-pura memasang wajah kesalnya, “Yeuh, ngapain tuker tambah kalo dijadiin mantu juga bisa?”

“Aaaaaa Zeke diem.” Pieck buru-buru turun dari mobil Zeke yang sudah terparkir sempurna, menghindari lelaki itu supaya tidak bisa melihat sudah semerah apa wajahnya.

Namun begitu, Zeke berhasil menyusul Pieck dan merangkulkan lengannya di bahu mungil perempuan itu. Kemudian memberikan kecupan-kecupan ringan di puncak kepalanya.

Mengenal Zeke begitu lama, Pieck paham betul kalau lelaki itu lebih terbiasa dengan skinship ketimbang keterlibatan emosional yang sempat lelaki itu hindari. Namun bersama perempuan itu, Zeke biarkan tembok itu runtuh sehingga baik secara ketertarikan fisik dan emosional, Pieck Finger adalah pusat gravitasinya saat ini dan untuk seterusnya.

Entah sejak kapan seringaian licik bertengger di bibir Pieck Finger, dia melepaskan rangkulan lengan Zeke sehingga membuat lelaki itu terheran sebentar dan bertanya, “Kenapa?”

Tidak dengan rangkaian kata, Pieck berjinjit untuk mensejajarkan wajahnya dengan Zeke dan mencuri satu kecupan di bibir lelaki itu sebagai jawaban, kemudian berlari sekencang mungkin menuju elevator yang langsung terbuka dengan sekali pencet. Pieck masuk ke dalamnya, meninggalkan Zeke yang mematung dan geleng-geleng kepala, namun kemudian menyeringai jahil.

“Ck. Dasar kecil-kecil banyak aksi. Just wait for my little revenge then.

Setelah beberapa menit sebelumnya yang menjadi menit-menit sangat menegangkan di hidupnya, bahu Jean merosot dan dia akhirnya bisa bernafas meskipun masih tersengal ketika melihat Pieck terlelap di atas ranjang kamar hotel mereka. Peluh nya mengucur di kedua sisi wajah akibat rasa panik yang membuat kaki nya sulit digerakan untuk berlari. Namun pada akhirnya semua kekhawatiran itu lenyap sudah sekarang.

Jean mendekat ke sisi ranjang di mana Pieck berbaring miring dan terlelap, tangannya dia ulurkan untuk mengalihkan anak-anak rambut yang menutupi sebagian rupa cantik perempuan itu. Jean tidak bermaksud untuk mengganggu tidurnya, tapi mata Pieck langsung terbuka ketika merasakan sentuhan lembut Jean di sekitar area wajahnya.

“Jean…”

“Pieck, you got me worried sick.”

“Maaf…”

Jean mengangguk, pria itu semakin lembut mengusap permukaan wajah Pieck, dirabanya satu persatu setiap fitur wajah yang sama cantiknya dengan mahakarya pahatan patung Yunani. Ketika tangan Jean sampai di hidung perempuan itu, dia menariknya sambil berdecak.

“Aduh! Jean ih!” Pieck mengaduh kesakitan.

“Ck. Kenapa kamu pergi gitu aja tanpa aku?”

Kedua pipinya terasa hangat, dengan malu-malu Pieck menjawab, “Aku tadi lihat kamu lagi ngobrol sama cewek-cewek.”

“Oh,” Jean mengangkat alis dan tersenyum miring. “Kamu cemburu?”

“Hah… n-nggak!” Pieck dibuat tergagap dan mencoba menampik namun telinganya memerah dan Jean tahu kalau itu tandanya dia sedang berbohong. “Aku nggak cemburu Jean, lagian kita udah putus kan. You’re free to find someone else, siapa tahu ketemu—“

“Pieck.”

“Ya?”

“Boleh aku cium kamu?”

Karena sekeras apapun Pieck mencoba untuk menyangkal, Jean tidak akan repot-repot untuk mencoba mendengarkan. Yang menjadi pusat perhatian nya saat ini adalah bibir ranum perempuan itu ketika sibuk merapalkan kata.

“Hah? Oh… boleh.”

Kemudian tanpa diperintahkan dua kali, bibir mereka sudah menyatu karena rasa rindu yang menggebu-nggebu. Gairah yang tak tersampaikan selama berhari-hari bersama sebagai mantan kekasih kini luruh ketika Pieck secara bersamaan mengalungkan kedua tangannya di leher Jean.

Diawali dengan ciuman panjang yang lembut dan tanpa menuntut sebelum rasa tidak puas mendominasi, kini keduanya saling memperdalam pangutan mereka. Seluruh penjuru ruangan kamar diwarnai oleh suara kecipak dan erangan yang masing-masing Jean dan Pieck keluarkan bagai serenada.

Ketika Pieck berusaha melucuti pakaian Jean pertanda dia menuntut lebih, Jean mencengkeram salah satu tangan Pieck untuk berhenti.

“Pieck, kamu mabuk. I don’t want to take any advantage from you.

Kesal dengan itu, Pieck mengerucutkan bibirnya, kemudian menangkup kedua sisi wajah Jean dengan tangan mungilnya, menatap secara langsung ke manik hazel lelaki itu.

“I am sober enough, Jean. So please, touch me, kiss me, feel me up.”

Dan bibirnya bertemu bibir Pieck—lagi. Perempuan itu dapat merasakan lembutnya belaian lidah Jean di bibirnya. Payudaranya terhimpit di dada lelaki itu; paha mereka bersinggungan; dan sepertinya tidak ada yang bisa memisahkan diri dari masing-masing tubuh mereka.

Dari situ, semua berubah menjadi liar dengan cepat.

Jean menekan bel kamar hotel Pieck dan langsung disambut oleh penghuninya. Perempuan yang kini berbalut gaun satin merah marun mempersilakan Jean untuk masuk, sesekali tangannya sibuk dia gunakan untuk menata beberapa barang yang terlihat kurang rapi di dalam kamar itu.

“Sisir nya ada di meja itu, ambil aja Jean. Sorry kamarku sedikit berantakan,” ucap Pieck santai.

“Nggak masalah.” Jean menemukan sebuah sisir yang Pieck maksud dan langsung menempatkan dirinya di depan cermin, “Aku nyisir di sini sekalian ya.”

“Hmm.”

Di pantulan cermin itu, Jean melihat Pieck yang sedang menata surai hitam setengah ikalnya. Dia amati baik-baik setiap pergerakan jemari perempuan itu di antara helai rambutnya lewat pantulan cermin, seketika otak Jean tersengat fantasi liar untuk mengganti jemari Pieck dengan jemarinya sendiri dan menyusuri betapa lembutnya surai hitam kesayangannya itu.

Tiba-tiba Jean lupa tujuannya untuk menyisir rambutnya sendiri. Di sisi lain, Pieck tidak bisa melewatkan sengatan yang dia rasakan ketika mengetahui ada sepasang mata lain yang melekat pada dirinya. Ketika Pieck mengangkat kepalanya, dia menemukan sepasang mata itu di sana, kemudian beradu tatap dengan miliknya lewat pantulan cermin.

“Jean? Ada yang salah sama aku?”

Uhuk!” Hanya dengan batuk itu Jean bisa menutupi rasa panas di wajahnya akibat tertangkap basah atas apa yang telah dia lakukan. “Nggak kok, you look perfect.

Sejak kapan berada di satu ruangan dengan Pieck Finger akan terasa secanggung ini?

Jean berpikir begitu awalnya, namun dia menyadari dengan cepat ada intensitas di kamar itu yang membuatnya terjebak rasa sesak. Semua yang ada di sana tercium feminitas Pieck Finger, saat perempuan itu beranjak dari duduknya di atas tempat tidur, gerakannya begitu anggun, feminin, dan secara tidak langsung provokatif sampai membuat hatinya berdebar tidak karuan.

Perempuan itu meraih sepasang anting untuk dipasangkan ke telinganya. Jean ingat dia paling suka memberikan kecupan-kecupan ringan tepat di bawah telinga Pieck, lalu perempuan itu akan terkekeh. Kemudian Pieck meraih sebuah kalung yang akan menghiasi leher jenjangnya, Jean punya kebiasaan untuk membenamkan wajahnya di ceruk yang menguarkan wangi bunga lavender itu—tapi semua itu adalah masa lalu.

Melihat Pieck kesusahan untuk mengaitkan kalungnya, Jean berinisiatif untuk menawarkan bantuan.

Hey, let me help you with your necklace.”

Thanks.

Sesaat, sebelum jari-jari Jean mengambil ujung rantai kalung Pieck, mereka saling bertatapan lagi di cermin. Jean dapat dengan jelas menemukan manik kelabu Pieck yang sepekat malam itu kini membara akibat api gairah yang mendominasi, sama dengan manik hazel miliknya sendiri.

Ketika sepenuhnya berhasil mengaitkan rantai kalung Pieck, kedua tangan Jean melekat di sepasang bahu telanjang perempuan itu. Keduanya terdiam, namun tubuh masing-masing saling memancarkan pesan-pesan seksual di tengah aroma lavender yang menyeruak dari tubuh Pieck.

Jeam dibuat pening karena perempuan yang kini berstatus sebagai mantan kekasihnya sekarang. Pieck sendiri tidak kalah pusing ketika dirinya berbalik waktu masih berada di bawah kungkungan Jean.

Jean dan Pieck saling berhadapan, dari situ lah datang sebuah dorongan untuk saling mendekatkan bibir keduanya masing-masing. Jean sudah siap untuk menjemput bibir ranum perempuan itu, namun sepersekian detik berikutnya ada sesuatu yang mencengkram kain kemejanya dan menahan Jean untuk semakin mendekat.

“Jean…”

Mendengar namanya lolos dari bibir yang gagal dia pangut, Jean mengerang.

“Jean… nanti kita terlambat.”

Kemudian kesadaran nya kembali masuk ke otak.

Oh—right? Kita bisa terlambat. Yaudah, yuk? Eh, aku ke kamar dulu. Handphone sama blazzer aku masih di sana.”

“Okay.”

Kalau saja Jean terlambat untuk keluar dari kamar Pieck malam itu, dia yakin keduanya akan berakhir di ranjang kamar hotel Pieck dan saling meneriaki nama mereka masing-masing, alih-alih menikmati perjalanan malam di atas kapal pesiar.

Seharusnya Ezekiel Yeager sedang bersiap untuk menghadiri undangan Gala Dinner yang dikirimkan ke kediaman keluarga Yeager minggu lalu. Seharusnya, Zeke bersiap untuk mengukir senyum lebar sampai rahangnya terasa pegal, sehingga Grisha Yeager tidak perlu menanggung malu ketika dia memperkenalkan si putra sulung ke seluruh kolega.

Zeke heran, apa yang dilakukan Ayah nya di seluruh acara penting yang pernah dia hadiri tidak jauh dari seperti seorang pedagang yang sedang menawarkan barang dagangannya kepada semua orang. Grisha memang selalu mengatakan betapa bangganya dia karena Zeke adalah anak yang kelewat pintar dan berprestasi, kemudian meyakinkan seluruh kolega bahwa Zeke adalah orang yang paling pantas meneruskan dinasti politik yang sudah dibangun para pendahulunya.

Grisha Yeager selalu mau Zeke Yeager menjadi yang nomor satu. Meskipun kemauan Ayahnya sendiri sama sekali tidak memberikan percikan api antusiasme di kedua mata Zeke, Grisha tidak akan peduli sampai sana.

Zeke sudah terlewat muak, dia lelah memasang topeng yang sama sekali bukan jati dirinya. Zeke tidak mau ikut campur dalam perpolitikan Ayahnya, Zeke tidak mau dijadikan alat untuk meneruskan legasi apapun yang berhubungan dengan politik.

Karena Zeke punya mimpi lain.

Zeke pernah membaca sebuah kutipan, katanya orang tua bisa membunuh lebih banyak impian seorang anak lebih dari siapapun. Padahal, Zeke selalu punya potensi di semua bidang sehingga dia bisa jadi apapun di masa depan. Namun hanya satu yang nggak Zeke punya, yaitu restu orang tua supaya dia bisa memilih untuk menjadi apapun di jalan hidup yang dia pilih sendiri.

Lima belas menit sebelum Gala Dinner dimulai, Zeke masih belum hadir dan membuat Grisha kalang kabut bukan main. Dia marah besar ketika pada akhirnya harus menghadiri acara tersebut dengan tangan kosong, tanpa Zeke untuk dia ‘presentasikan’.

Bukan kali pertama Zeke menghilang tanpa bisa dijangkau oleh seseorang, entah itu orang tuanya sendiri hingga teman-teman yang mungkin sedang ikut mengkhawatirkan dirinya. Namun, Zeke tidak pernah menghilang di sebuah agenda yang menurut Ayahnya sangat penting untuk masa depan Zeke.

Di sisi lain, Eren Yeager selalu bisa menemukan dimana Abang nya bersembunyi. Meskipun begitu, Eren sepertinya tidak terlalu peduli untuk ikut campur soal kemelut Abangnya. Sehingga dia selalu membiarkan Zeke menghilang sampai kembali dengan sendirinya. Namun kali ini ada sesuatu yang menggelitik hatinya untuk menghampiri Zeke di tempat persembunyian.

Eren menemukan Zeke di salah satu apartemen pinggiran kota, sedang berdiam diri di teras balkon. Dia juga dapat melihat kepulan asap rokok yang beberapa kali naik ke udara.

Malam itu belum terlalu larut, namun terlihat amat kelabu karena sinar rembulan dan gemintang enggan menampilkan kerlipnya yang ditutupi awan mendung. Membuat gundah suasana hati siapapun yang lemah.

“Gue nggak tahu apa yang bakal Papa lakuin kalau dia yang nemuin lo di sini.”

Kalimat itu membuat Zeke menoleh ke belakang dan menemukan Eren yang berdiri tidak jauh darinya. Belum ada respon ketika Zeke kembali menghisap gulungan batang nikotin itu untuk yang kesekian kalinya.

Zeke kemudian berkata, “Kalau lo kesini karena di suruh Papa, lebih baik lo pulang sekarang.”

Eren mendengus, “Lo sendiri tahu, Papa nggak pernah menyuruh gue untuk melakukan apapun. Jadi dengan adanya gue disini, seharusnya lo bisa simpulkan itu kemauan siapa.”

Oh tentu saja, Zeke tahu betul Ayah mereka tidak perlu repot-repot mengatur si bungsu dengan sedemikian rupa agar sesuai kemauannya. Bukan berarti Grisha tidak peduli dengan Eren, tapi Grisha hanya berbaik hati memberikan kebebasan untuk Eren. Kebebasan yang tidak bisa Zeke impikan.

Mata Eren menelusuri ruangan apartemen persembunyian Zeke dan menemukan beberapa kaleng soda beralkohol berserakan di lantai, juga sekotak pizza kosong yang terletak di sebuah meja. Menurut Eren, Zeke terlihat sangat berantakan.

“Tsk,” Eren berdecak dan dengan sengaja menendang salah satu kaleng kosong ke sembarang arah, “Gue juga nggak tahu apa yang bakal Papa lakuin kalau dia tahu anak sulungnya otewe jadi seorang alcoholic.”

Zeke merasa tidak perlu menjawab kalimat tersebut, masih memunggungi Eren yang mulai berjalan mendekat dan kemudian berhenti di sebelahnya dan menyenderkan bahu ke kusen pintu.

“Rokok?” Zeke mengulurkan tangan untuk menawarkan sebatang gulungan nikotin kepada adiknya. Namun yang dia dapati kemudian hanyalah suara decakan remeh.

“Gue punya Asthma. Lupa? Atau memang nggak tahu?”

Tanya sinis Eren membuatnya gelagapan. Zeke benar-benar lupa. Niatnya cuma ingin berbagi, karena dia pernah dengar kalau rokok bisa membuat dua orang yang menghisap puntungnya masing-masing secara bersamaan akan menjadi lebih dekat. Inilah salah satu alasan kenapa Zeke memilih untuk pura-pura tidak peduli pada mereka yang sebenarnya dia sayang, sebab ketika dia mencoba untuk memperlihatkan kepeduliannya, Zeke tidak pernah melakukannya dengan baik.

“Oh, sorry. Gue lupa.”

“Mau heran tapi lo Zeke Yeager, nggak pernah mau tahu sama keadaan sekitar. Bahkan sama adiknya sekalipun.”

Mendengarnya membuat satu gulungan nikotin hancur diremas oleh genggaman telapak tangan Zeke yang menguat, batal untuk memantik api dan membakar sumbunya karena batang sebelumnya sudah dihisap sampai habis.

“Dari awal memang gue nggak pernah menjadi kakak lo, dan lo juga menganggapnya seperti itu. So it’s fair, I think,” kilah Zeke.

“Ah, bener. Kita memang cuma berbagi nama belakang yang sama, that’s all. Right?” Eren menyahutinya dengan dingin.

Sejak masih belia, Eren selalu berharap bisa dekat dengan Abangnya. Bisa menghabiskan waktu bersama selayaknya sepasang kakak beradik. Semakin dewasa, Eren menyadari kalau hubungan yang dia punya dengan Zeke tidak lebih dari dua anak yang berbagi nama belakang yang sama.

Eren tidak bisa menyalahkan Zeke, waktu itu Zeke masih terlalu belia ketika harus menerima kehadiran Eren yang datangnya dari rahim yang berbeda dengannya.

Zeke hanya menaikkan bahunya, lalu bertanya, “Gimana Papa?”

“Marah besar,” jawab Eren singkat.

“Nggak sepadan dengan apa yang sudah dia lakukan ke gue selama bertahun-tahun. Gue cuma menghilang satu kali di acara pentingnya.”

“Kalo gitu seharusnya lo bisa marah besar juga, kenapa selama ini diem aja?”

Zeke dibuat mengernyit oleh pertanyaan Eren, “Gampang lo bilang begitu, lo nggak akan pernah tahu rasanya jadi gue kaya gimana.”

Of course gue nggak akan pernah tahu karena lo sendiri yang menolak untuk berbagi, gimana orang lain bisa tahu apa yang lo mau?”

Benar. Zeke sendiri yang memilih untuk memendam semua penatnya. Banyak dari orang terdekat yang mencoba menembus dinding yang Zeke bangun sendiri, namun belum ada yang berhasil. Zeke tetap membatasi diri.

“Gue muak banget sama lo, Zeke. Jujur,” tukas Eren ketus, suaranya berat, “Kenapa sih lo terima-terima aja dijadiin boneka sama Papa? Gue paling benci lihat orang yang kebebasannya dirampas tapi nggak berusaha buat mengambilnya kembali. Dan itu yang lo lakukan, Zeke. Gue benci banget.”

“Gue nggak bisa—“

“Karena lo nggak berusaha! Dari usaha yang paling kecil seperti minta tolong aja nggak lo lakukan, Zeke.”

Sudah berkali-kali Eren dibuat geram secara diam-diam oleh Abangnya yang sama sekali tidak berontak. Eren memang tidak akan pernah tahu apa rasanya menjadi Zeke, tapi kalau Eren adalah Zeke, dia tidak akan tinggal diam.

“Zeke, lo tuh pinter, masih muda, harusnya lagi menikmati hidup. Lo yakin nggak bakal nyesel setelah pada akhirnya dinasti itu sudah ada di tangan lo? Lo harus menanggung beban nya sampai lo mati—atau sampai anak-anak lo nanti lahir dan mewariskan nya ke mereka. Lo nggak mau memutus rantai didikan Papa yang menurut lo bikin tersiksa itu? Kalau nggak suka tuh bilang, anjing.

“….”

“Ayo lah Zeke, lo itu nggak sendirian.”

Alih-alih ikut mengeluarkan urat di kepala seperti apa yang barusan Eren lakukan ketika berbicara, Zeke justru terkekeh, “Gue nggak tahu ternyata lo sepeduli itu sama gue, Ren.”

“Gue selalu vokal terhadap apa yang nggak gue suka. Dan itu yang gue lakukan barusan.”

Well, okay? Thanks buat ceramah lo barusan.”

Lalu keheningan mengambil alih untuk mendominasi kekosongan di antara keduanya selama beberapa menit sampai rintik hujan mulai turun, kemudian berubah menjadi deras dan disertai gemuruh langit.

Eren beranjak masuk, mengetahui bahwa udara dingin akan berakibat buruk untuk kesehatannya.

“Gue nggak akan nyuruh lo pulang buat Papa, tapi temen-temen lo di sana semuanya khawatir. Terutama Pieck.”

Ah, Pieck. Tentu saja Zeke merindukan gadis itu lebih dari siapapun. Tetapi rasanya akan memalukan kalau harus bertemu gadis itu dengan keadaannya yang masih berantakan.

“Gue pamit,” ucap Eren yang entah sejak kapan sudah berada di pintu apartemen dan siap membukanya untuk keluar.

“Eren.”

“Apa?”

“Nggak apa-apa kalau gue rusak, yang penting lo jangan.”

Tidak ada jawaban dari Eren, yang Zeke dengar hanyalah suara pintu apartemen yang dibuka kemudian tertutup, menandakan kalau Eren sudah keluar dan tidak lagi berada di dalam bersamanya.