lilymagicals

Shikamaru seperti nggak mau melepaskan genggaman tangan nya dari Ino. Rasanya sangat berat buat mengantar cewek lain padahal dia sudah berjanji duluan untuk mengantar Ino pulang apalagi Ino sedang ditunggu oleh Papinya di apartemen karena sedang berkunjung.

“Sanaa anterin dia dulu. Udah nunggu tuh.” tunjuk Ino ke arah Tayuya dengan dagunya.

“Sebentar. Gue orderin gojek aja buat dia.” Shikamaru sudah siap untuk menyalakan ponselnya tapi Ino segera menghentikan.

“Lo tuh! Gak gentleman banget sih, inget apa kaya mamah Yoshino kalo ada orang minta tolong tuh ya ditolongin, jangan nolak!!”

Shikamaru bakal semakin lemah kalau Ino sudah bawa-bawa ucapan ibunya. Shikamaru sempat bilang ke Tayuya kalau dia akan mengantar pulang Ino terlebih dahulu, tapi Tayuya merasa keberatan karena bengkel motor tempat dimana motornya diservis sebentar lagi akan tutup lebih cepat dari jam operasional biasanya.

“Terus lo pulang sama siapa?” tanya Shikamaru.

Ino yang berada di ambang pintu sekre menengok ke belakang, masih ada beberapa temannya yang pasti mau mengantarnya pulang. Kalau nggak ya dia bakal order ojek online. “Gampang entar. Udah sana!”

“Gapapa?”

“Gapapa. Sana! Nanti main ke apart gue sama Chouji, papi juga kangen kalian berdua.”

Pada akhirnya, Shikamaru pergi juga bersama Tayuya. Cewek berambut merah itu yang dari tadi diam saja dengan mukanya yang kelihatan nggak bersahabat melempar senyum miring ke arah Ino. Tapi Ino nggak peduli dengan apa arti senyum itu. Dia langsung beralih ke teman-temannya dan bertanya, “Ada yang bisa anterin gue pulang??”

“Sama gue aja, Nces!” Naruto bangkit dari posisi rebahannya dan mencari-cari kunci motornya. Sayangnya butuh waktu lama untuk menemukan kunci tersebut. “Duh mana ya kunci motor gue??”

“Haaaah kebiasaan kalo naro barang ga pernah bener.” celetuk Sakura.

Ino sendiri diam saja di ambang pintu, keliatan sih dia agak bete. Kalau tahu bakal begini, mendingan tadi dia ikut Chouji pulang duluan.

“Inces! Gimana kalo lo balik sama dia aja?” kata Naruto sambil menunjuk ke arah belakang Ino.

Ino mengerutkan dahinya, “Dia siapa?”

“Tuh! Eh Bang! Udah kelar bimbingannya??” tanya Naruto ke orang yang berdiri di belakang Ino.

“Udah nih.” jawab orang tersebut.

Ino buru-buru membalikkan badannya, tapi karena nggak hati-hati, dia sampai menabrak orang tersebut.

“Hayoo, nabrak.”

“Eh. Kak Itachi!”

Setelah Pak Asuma mengakhiri perkuliahan dan meninggalkan ruang kelas, Shikamaru langsung menghampiri Ino yang masih beres-beres di kursinya.

“Jadi pulang sama gue kan?” tanya Shikamaru memastikan.

Ino mendongak dan menghentikan aktivitasnya sebentar, kemudian kembali melanjutkan, “Jadi kok jadi.”

“Tapi gue ngurus motor si orang ini dulu bentar, gapapa?”

“Gapapa.” Ino beranjak dari duduknya, kemudian memposisikan diri di belakang Shikamaru dan menaruh kedua telapak tangannya di masing-masing bahu cowok itu, mendorongnya dari belakang. “Yuk!”

Setelah obrolan mereka di whatsapp beberapa hari lalu, keduanya memang kembali seperti semula. Rasa canggung dan bingung yang keduanya alami hilang seketika. Bagaimana pun, Ino dan Shikamaru sudah berteman sejak masih kecil—hal itu membuat keduanya tanpa sadar nggak bisa berjauhan untuk waktu yang lama.

Meskipun Shikamaru belum bisa mendefinisikan hubungan mereka itu sebenarnya apa—tapi dia tahu pasti kalau keduanya saling menyayangi lebih dari sekadar teman. Hal itu dibuktikan dengan bagaimana cara Ino membalas setiap ciumannya yang dalam.

Mereka sampai di area parkir, Shikamaru menemukan motornya yang tergeletak mengenaskan menindihi motor lain—motor milik cewek yang ngomel-ngomel di DM twitter nya tadi.

“Astagaaa Shikamaru. Ini gimana ceritanya bisa sampe roboh gini sih?? Lo parkir sambil tidur apa gimana?!” tanya Ino sambil geleng-geleng kepala.

“Asli, tadi mah kagak kaya gini bentukannya.”

Berani sumpah, waktu Shikamaru memarkirkan motornya, bukan seperti ini kondisinya. Kemungkinan ada oknum tidak bertanggung jawab yang membuat motornya roboh sampai membuat motor lain jadi korbannya, sehingga Shikamaru harus dikorbankan jadi kambing hitamnya.

Tanpa mereka sadari, tiba-tiba ada satu geplakan yang melayang ke kepala Shikamaru.

Plak!

“Anjrit!” umpat cowok itu.

Saking kagetnya, Ino sampai dibuat menganga. Dia membalikkan badannya dan sudah siap untuk mengomel ketika menemukan seorang perempuan dengan surai kemerahan yang barusan menggeplak kepala Shikamaru. “EH, MBAK! APA-APAAN KOK MAIN GEPLAK KEPALA DIA???!!” tanya Ino nggak terima.

Shikamaru meringis, kalau Ino sudah ngegas, perkara ini nggak bakal bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Belum lagi waktu dia melihat cewek si pemilik motor itu yang gaya berpakaian nya kelihatan super metal.

Cewek bersurai merah itu menarik nafas panjang, kemudian bilang dalam sekali hentakan, “EH ASAL LO TAU YA! COWOK LO INI YANG BIKIN MOTOR GUE RINGSEK!!”

“DIA BUKAN COWOK GUE!” Ino membalasnya dengan nggak kalah ngegas.

Aduh. Rasa sakit akibat digeplaknya itu belum hilang, eh dia harus dengar Ino bilang seperti itu. Makin ngenes saja Shikamaru ini.

“OHHH BUKAN COWOK LO??” cewek itu menatap ke Shikamaru dan Ino secara bergantian.

“BUKAN!”

“Oh, bukan?? Padahal cakep.”

“?????”

Tiba-tiba, cewek bersurai merah itu merubah suaranya menjadi lembut dan manis. Berubah 180 derajat dari awal ketika cewek itu datang. Shikamaru jadi merinding, apalagi ketika melihat gelagat cewek itu yang mulai mendekatinya dengan sepasang puppy eyes-nya sambil menyampirkan rambutnya ke belakang telinga dan menyeringai.

“Nama lo Shikamaru kan?!”

“Iya.”

“Inget baik-baik, nama gue Tayuya. Dan gue minta pertanggung jawaban atas apa yang udah lo perbuat ke gue!”

Shikamaru bingung. Ino apalagi. Pasalnya apa yang cewek bernama Tayuya bilang itu sangat dramatis, seolah-olah Shikamaru berbuat yang tidak-tidak ke cewek itu. Untung saja area parkiran saat itu sedang sepi, jadi mereka bertiga nggak mengundang banyak atensi.

Shikamaru menghembuskan nafasnya dengan kasar. Dia nggak punya tenaga buat menjelaskan kalau sebetulnya apa yang menimpa motornya dan Tayuya bukan salahnya. Shikamaru nggak ingin berdebat, karena itu sangat merepotkan. Jadi lah dia cuma bisa menyetujui soal pertanggungjawaban yang Tayuya minta atas kondisi motornya yang mengenaskan.

Yang ada di pikiran kepalanya saat ini adalah pulang, dan memohon pada Ino supaya dia dibolehkan tidur di kasur cewek itu sebab Shikamaru nggak yakin dia bakal bisa tidur kalau bukan di kasur Ino.

“Sasuke, kamu ngapain sih nunduk-nunduk gitu??” tanya Sakura yang kebingungan pasalnya Sasuke sedang sibuk menundukkan kepalanya seolah-olah sedang bersembunyi.

Keduanya kini berada di sebuah restaurant sushi yang ada di mall tersebut setelah selesai nonton bioskop, buat mengisi perut yang keroncongab. Harusnya mereka nggak cuma berdua sih, nanti Naruto dan Hinata akan bergabung setelah mereka selesai beribadah sholat Maghrib.

Sasuke sempat merasa terkejut waktu pandangannya menangkap dua orang yang masuk ke restoran tersebut karena heran sendiri, “Ra, coba kamu nengok ke belakang. Tapi jangan sampe ketahuan.”

Tanpa disuruh dua kali, Sakura nengok ke belakang seperti apa yang pacarnya instruksikan, cewek itu lantas membulatkan matanya dan menyeletuk, “Anjir!”

“Kan? Anjir.”

“Itu Kak Itachi bukan sih?? Dia ngapain berdua doang sama Ino??”

Sasuke mengangkat bahunya, nggak menemukan clue buat menjawab pertanyaan Sakura. Dia merasa Kakak nya nggak sedekat itu dengan Ino sampai keciduk lagi makan bareng di sushi tei seperti sekarang. Berdua pula.

Nampaknya, pikiran Sasuke dan Sakura semakin liar dan membuat keduanya semangat buat mengorek hal yang bakal heboh kalau dijadikan gossip itu.

“Sas, bukannya Kak Itachi tuh sama Kak Izumi ya??” tanya Sakura sambil nyemilin tanuki karena main course mereka belum datang.

“Setau aku mereka belum jadian,” katanya, “Tapi Izumi udah lama gapernah main ke rumah kata mami. Gagal jadian kali.” lanjut Sasuke santai.

“Tapi kita gak salah liat kan?? Itu beneran Kak Itachi sama Ino?”

“Harusnya sih bener.” Sasuke menyalakan ponselnya, “Chat Abang ah.”

“Chat Ino juga, Sas!!”

Sasuke akan mencoba mengorek informasi dari kakaknya sendiri apakah Itachi bakal jujur kalau dia betulan sedang berdua saja sama Ino, atau malah menyembunyikan fakta tersebut.

Memang nih, Sasuke dan Sakura bakal jadi kompak banget kalau sudah berurusan ngegossip bareng. Beberapa menit kemudian setelah Itachi dan Ino membalas pesan Sasuke, keduanya bisa menyimpulkan kalau ada sesuatu yang cukup mencurigakan.

“Hmm. Jawaban mereka sus banget ga sih?? Kaya nutup-nutupin banget lagi jalan berdua.”

“Bener haha.”

“Haduuuuuh. Jadi keinget Shikamaru.”

“Kasian ya Pak Kahim.”

Sakura mengangguk pertanda setuju. Sebagai penumpang kapal Pak Kahim dan Ibu Sekretaris HIMAHI, dia gemas sendiri dengan tingkah laku Ino yang dengan gampangnya jalan sama banyak cowok sedangkan di sisi lain, ada Shikamaru yang ngenes sendirian.

Meskipun begitu, Sakura nggak punya hak untuk mengintervensi atau menggurui Ino supaya cewek itu bisa membuka matanya kalau selama ini Shikamaru menunggunya. Apalagi Ino cenderung kurang terbuka dengan Sakura tentang persoalan ini. Jadi ya, Sakura cuma bisa menunggu hari di mana Ino akan meminta bantuannya, dan Sakura akan dengan senang hati ada untuk teman baiknya itu—sama halnya seperti Ino yang selalu ada buatnya dari jaman dia dan Sasuke masih backstreet sampai sekarang.

Hinata memberanikan diri buat menepuk bahu sebelah kiri Naruto, ternyata sentuhan tiba-tiba darimya membuat cowok itu langsung tersentak kaget. Meskipun ruangan bioskop super gelap, menurut Hinata, Naruto terlihat menggemaskan. Hehe.

“Naruto, kamu gapapa?” tanya Hinata sambil berbisik, sebisa mungkin untuk nggak mengganggu penonton bioskop lain.

Naruto menggelengkan kepalanya, namun terlihat sangat jelas kalau cowok itu masih duduk dengan tegang, “Gapapa!”

Hal itu membuat Hinata terkekeh, karena dia bisa melihat kalau Naruto takut nonton film horror ini, “Naruto takut ya?”

“Jujur…..” cowok itu menjeda kalimatnya, kemudian melanjutkan dengan nada bicara seperti cowok itu bisa mewek kapan saja, “Jujur iya takut banget huhu.”

Hinata sendiri menikmati jalannya film tersebut, dia takut juga sih, tapi nggak sampai tegang seperti Naruto yang ada di sebelahnya. “Naruto kalo takut teriak aja gapapa, jangan ditahan gitu. Biar lega. Hehe.”

“Gapapa nih kalo gue teriak??”

Padahal sebenarnya kalau yang di sebelahnya sekarang adalah Sai, Naruto nggak bakal sungkan buat teriak setiap kali ada jumpscare atau meringkukkan badannya dan menyembunyikan kepalanya di pundak Sai.

Namun berhubung Naruto sedang nonton bersama Hinata, entah dapat dorongan dari mana, dia berusaha buat tetap menjaga image nya. Dia berusaha harus kelihatan seperti cowok cool, apalagi ketika melihat Hinata kalem-kalem saja, palingan cewek itu teriak tapi teriakannya sangat anggun, nggak seperti reog kaya Naruto waktu ketakutan.

Tapi rasanya nggak ada salahnya buat mengikuti saran Hinata. Setelah itu sepanjang durasi film horror yang tersisa, Naruto bakal teriak setiap 2 menit sekali, membuat Hinata ikutan kaget.

“Duh Hinata, maap ya gue prik banget.” bisik Naruto.

Hinata mengangguk maklum, “Santai Naruto. Nggak apa-apa kok.”

“HINATAA HINATAA ITU APAAN HINATA.”

“YA ALLAH CAPE BANGET.”

“YA ALLAH MBAK TARI—INNALILLAHI.”

“ANJIR ANJIR ITU IBU?? HINATA ITU IBU???”

Begitu saja sampai film selesai diputar. Keluar dari studio, Naruto merasa tenggorokannya serak. Sedangkan Hinata jadi kepikiran sedikit, dia mau senang melihat Naruto yang menurutnya lucu waktu ketakutan, eh tapi setelah dipikir-pikir kok dia jadi merasa kasihan juga ya. Haha.

“Anjiiing lah Sai bisa-bisanya lo lebih memprioritaskan Pak Danzo daripada quality time sama kita.” kata Naruto merajuk, nada suaranya dia sengaja buat seakan-akan terdengar seperti anak kecil.

Sore itu sudah datang di mana mereka berencana untuk nonton bioskop, berdiri di pelataran prodi Hubungan Internasional, nyatanya Naruto harus dikecewakan karena Sai batal ikut sebab harus memenuhi panggilan Pak Danzo yang membutuhkan bantuannya.

“Sumpah sori beneran ini mah.” kata Sai sambil meringis.

“Jadi sampe sini aja pertemanan kita Sai??” tanya Naruto dramatis.

Sedangkan Sasuke dan Sakura hanya bisa memutar bola mata mereka. Sakura sih masih bisa ketawa-ketiwi ya, tapi Sasuke sudah nampak salty dengan rajukan Naruto. “Biarin elah, mendingan Sai ketemu si Danzo lah, bakal dapet duit itu dia.”

“Soriiii, sori banget.” Sai menepuk pundak Naruto, seakan-akan sedang meminta pengertian dari cowok itu. “Gue duluan ya? Have fun lo bertiga!”

“Huffft yaudah lah.” Naruto mendengus setelah Sai benar-benar pamit meninggalkan mereka, dia lanjut bertanya, “Ini entar di studio 3 kan??”

Pertanyaan Naruto sontak membuat Sasuke dan Sakura mengangkat alisnya.

“Hah?? Kok studio 3? Studio 1 kali??” kata Sakura balik bertanya.

“IH!” Naruto sudah kelihatan panik, dia segera membuka booking receipt yang ada di ponselnya dan menunjukan ke Sakura, “Nih, bener kok Studio 3.”

Namun waktu Sasuke menyodorkan layar ponselnya sendiri di depan wajah Naruto yang menunjukan booking receipt tiket miliknya dan Sakura yang ternyata menunjukan tulisan Studio 1, Naruto langsung lemas.

“ANJEEEENG KAGAK LUCU INI NAMANYA GUE NONTON PENGABDI SETAN SENDIRIAN???” meskipun lemas, rupanya Naruto masih punya cukup tenaga buat bertanya sambil teriak, “Lu kok kaga ngasih tau kalo nontonnya di Studio 1, Sas!!”

“Gue ngasih tau ya!” kata Sasuke menyangkal—meskipun sebenarnya dia lupa-lupa ingat pernah menginformasikan Naruto atau belum.

“KAGAK. Kalo lo ngasih tau, gue ga bakal booking tiket di studio 3!”

“Ya lo lagian! Ngapain jauh-jauh ke Studio 3 sih?? Bukannya ngecek dulu studio 1 nya.”

Oke. Nampaknya kalau perdebatan itu nggak segera ditengahi, mereka bakalan telat berangkat ke bioskop. Maka Sakura mengambil alih, “Udah sih! Malah debat kusir, ini waktunya tinggal dikit loh.”

“Terus ini gue gimana??” tanya Naruto sambil ketar-ketir.

“Ajak yang lain aja coba, siapa tau ada yang bisa.”

Naruto yang nggak punya nyali buat nonton film horror sendirian di bioskop berpikir usulan Sakura adalah usulan yang terbaik untuk saat ini. Dia sempat mau mengajak Shikamaru karena kahim nya itu nggak takut dengan segala jenis setan apapun, apalagi cuma nonton film horror.

Tapi kemudian Sasuke bilang Shikamaru sepertinya sudah pulang karena cowok itu sudah nggak terlihat ada batang hidungnya di kampus. Jadi walaupun Naruto mengajak kahimnya itu, kemungkinan besar Shikamaru bakal menolak karena mager, apalagi kalau sudah sampai di kosan.

“Anjir Sai emang ya bener-bener. Ini gue ngajak siapa dong??”

Pertanyaan Naruto nggak mendapatkan sebuah jawaban. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru arah sambil ketar-ketir, memindai siapa tahu dia menemukan seseorang yang dia kenal untuk di ajak nonton film horror bersama di bioskop.

Keberuntungan sedang ada di pihaknya, pandangannya jatuh pada seseorang yang baru saja keluar dari ruang kantor dosen. Naruto nggak yakin apakah orang itu berani nonton film horror, tapi ya daripada sendirian, Naruto bakal tetap mencoba sampai dia mendapatkan teman nonton.

“HINATA!!” panggil Naruto sambil berteriak dan berlarian kecil buat menghampiri orang yang dimaksud bersama Sasuke dan Sakura mengekor di belakang.

“Eh iya Naruto.” Hinata menyahut, sedikit kaget karena suara cowok itu cukup menggelegar, “Ada apa ya?”

“Hinata nonton bioskop yuk!”

“H-hah?” kagetnya Hinata yang tadi belum apa-apa dengan kagetnya yang sekarang sebab ada tambahan pipinya yang merona juga debaran jantungnya yang bikin cewek itu salah.

“Iya ayok. Berani nggak nonton pengabdi setan??”

“B-berani…” kata Hinata sambil mengangguk, dia melirik ke belakang Naruto yang ternyata ada Sakura sedang mesem-mesem. “Nonton nya sama Sakura Sasuke kan, Naruto?”

“NGGAK! Kita berdua doang.”

Hinata pengen pingsan saja. Nonton berdua sama Naruto?? Untung saja cewek itu bisa menahan jeritannya, kalau nggak Hinata bisa disangka orang aneh.

Naruto melanjutkan karena Hinata kelihatan bingung, “Iya ini gue booking tiket tapi ternyata beda studio sama Sakura Sasuke. Tadinya mah berdua sama Sai, tapi dia mendadak gabisa. Yuk??”

Di belakangnya, Sakura berharap Naruto bisa sedikit bohong sehingga kesannya nggak seperti cowok itu mengajak Hinata hanya sebagai replacement. Hadeh. Kalau seperti ini terus, kapan Naruto bisa punya pacar? Di dalam hati, Sakura terkekeh geli.

“Eh yaudah Naruto. Aku ikut aja hehe.”

Pada akhirnya, Hinata menyetujui ajakan Naruto buat nonton film horror itu. Hanya berdua. Dan dua-duanya sama-sama senang. Naruto senang dia bakal punya teman nonton sehingga film nya bakal nggak berasa serem-serem amat. Sedangkan Hinata nggak peduli dengan film apa yang akan mereka tonton, dia senang bisa menghabiskan waktu selama kurang lebih dua jam hanya berdua saja.

Sai sibuk membidik berbagai objek dengan lensa kameranya, kebanyakan dia menangkap momen teman-teman himpunannya yang sedang menghabiskan waktu mereka dengan para lansia penghuni panti werdha di taman yang tersedia.

Contohnya ada Shikamaru yang sedang main catur dan mahjong melawan beberapa kakek secara bergantian, Rock Lee yang memberikan pijatan di punggung, Sakura Hinata dan Tenten yang bergabung di kelompok menyulam yang berisikan beberapa nenek cantik, Neji yang diminta membuat puisi dan membacakannya pada saat itu juga, ada juga yang cuma sekedar ikut antusias mendengarkan cerita para tetua sambil minum teh seperti Naruto dan Choji.

Semua orang kelihatan sibuk dan menikmati aktivitasnya masing-masing, namun Sai mendapati Ino berdiam diri sambil menatap ke arah sekumpulan orang yang ada di taman panti itu. Kalau dilihat-lihat sih, cewek itu sengaja mengasingkan diri. Alasannya entah kenapa, Sai belum tahu. Sai sempat membidik kameranya dengan Ino sebagai objek utama sebelum menghampiri cewek itu.

“Sendirian bae. Awas entar kesurupan. Ngelamunin apa sih?”

Ino menoleh kala mendengar sapaan Sai yang ada-ada saja, “Gue nggak ngelamun. Lagi mikir nih.”

Sai mengangkat kameranya untuk mengambil beberapa potret teman-temannya lagi dari kejauhan, “Mikirin apa?” tanya Sai lagi, entah karena dia memang penasaran atau sekadar basa-basi.

Deru nafas yang Ino keluarkan itu panjang, seakan memberi tanda bahwa apa yang barusan cewek itu pikirkan cukup berat. “Mikirin entar pas gue udah tua, kayanya gue mau tinggal di panti werdha aja deh kaya mereka.”

“Kenapa panti werdha?”

“Karena kalau di sini gue nggak bakal sendirian.”

“Sendirian? Terus keluarga lo kemana? Nanti kan lo bakal punya mereka.”

Ino tersenyum mendengar pertanyaan Sai. Dia berasumsi kalau Sai mungkin berpikir bahwa ketika dia sudah tua nanti, dia akan sudah ada di fase kehidupan untuk membangun keluarga dan tinggal bersama mereka.

Namun Ino punya gagasan lain, “Gue nggak berencana buat punya keluarga sendiri.”

Sai mengernyit heran. “Kenapa tuh?”

Ino nggak mengerti kenapa hari ini Sai jadi banyak bertanya, padahal biasanya dia nggak pernah se-kepo itu. Ino sih nggak berniat untuk menjawab kenapa, sehingga hanya sebuah senyum yang Sai nggak tahu apa artinya dan gendikan bahu dari cewek itu yang dia peroleh sebagai jawaban. Kemudian Sai bilang lagi, “Aneh banget. Gue malah pengen punya keluarga.”

Gagasan yang barusan Sai lontarkan membuat Ino menatap cowok berkulit pucat itu dengan lembut. Ino tahu bahwa Sai telah ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak usianya yang masih belia, membuatnya harus tinggal berdua hanya dengan seorang kakak laki-laki yang bernama Shin. Meskipun air muka nya terlihat tetap tenang, Ino nggak bisa melewatkan adanya gurat kesedihan dan kerinduan yang terpasang di kedua manik legam cowok itu.

Ino memberikan tepukan di punggung Sai, “Makanya Sai, sehat-sehat terus ya? Biar lo bisa berkeluarga di masa depan hehe.”

“Yoi.” jawab Sai singkat sambil mengangguk.

Kemudian suara tawa kecil Ino datang menyusul yang mengakibatkan Sai menaikkan sebelah alisnya karena heran, “Kenapa deh?”

“Hehehe.” Ino tertawa singkat, menyadari kalau dari obrolan mereka barusan, cewek itu semakin paham kalau mereka berdua punya gagasan yang saling bertolak belakang. “Gue jadi mikir deh, gara-gara ini ga sih makanya kita jadi gak cocok?”

“Gara-gara apaan?”

“Lo punya gagasan buat bangun keluarga di masa depan, sedangkan gue nggak. Jadinya ya… gue bukan orang yang cocok buat ngewujudin gagasan lo itu.”

“Nggak mau berkeluarga tapi coba gue hitung—udah berapa kali lo pacaran setelah sama gue?” tanya Sai, di nadanya kentara sekali ada semangat buat menyindirnya. “Gue kira lo lagi punya misi buat cari cowok mana yang paling oke buat lo ajak berkeluarga.”

Ino cuma nyengir ketika mendengar tuduhan Sai kalau dia sudah pacaran sana-sini setelah putus dengan cowok itu. Memang wajar kalau Sai menuduhnya seperti itu, karena nyatanya orang-orang selalu melihat Ino PDKT bahkan mungkin pacaran dengan beberapa cowok setelah putus dengan Sai. Namun yang nggak Sai tahu adalah sebetulnya Ino nggak pernah melanjutkan sesi PDKT nya ke tahap yang lebih serius. “Gue nggak pacaran, Sai. Sometimes I just crave for affection, that’s it.

Sai memandang Ino dengan tatapan yang sulit diartikan, isi kepala cowok itu sedikit mulai ada pencerahan sebab sekarang dia mulai paham kenapa hubungan mereka cuma bertahan tiga bulan di tahun pertama mereka kuliah, “Aduh. Gue pengen ketawa tapi kok ini pembahasan kita kaya berat banget ya??” kata Sai canggung.

“Hahaha! Lemesin aja lah!”

Keheningan menemani mereka selama beberapa menit. Ino masih saja setia melihat-lihat pemandangan di depannya tanpa ada niatan untuk bergabung. Sedangkan Sai sendiri sibuk menatap layar kameranya, memindai beberapa potret yang dia ambil sebelumnya.

“Ino.” ucap Sai masih fokus dengan kameranya, “Santai aja. Lo masih muda, still have a long way to go. Siapa tau nanti ketemu sama orang yang bikin gagasan lo itu jadi berubah. Hidup kagak ada yang tau, ya kan?”

Ino mengangguk pertanda menyetujui, “Bener juga haha.”

Jujur saja Sai berpikir kalau nggak ada yang salah dengan gagasan Ino untuk nggak membangun keluarga baru, hanya karena gagasan mereka berdua berbeda, bukan berarti dia bisa judge pilihan hidup orang. Sebagai mantan pacar dan sekarang teman baik, Sai bakal selalu turut senang dengan pilihan hidup Ino selama itu baik.

Entah dengan Ino yang tetap yakin pada gagasannya yang nggak mau membentuk keluarga baru, atau ketika nanti Ino menemukan orang lain yang tepat (jelas bukan dirinya) dan bisa mengubah gagasan Ino itu sehingga cewek itu mau berkeluarga, Sai akan terus mendukungnya.

Rombongan HIMAHI beserta Pak Iruka selalu dosen pembimbing himpunan tiba di Panti Werdha pada pukul sepuluh pagi. Mereka disambut oleh pengurus yayasan dengan hangat dan diajak untuk berkeliling ke seluruh penjuru bangunan Panti Werdha, bisa dibilang itu adalah tur singkat supaya anggota himpunan lebih mengenal lingkungan seperti apa sih yang ada di yayasan tersebut, sekalian singkat ini digunakan oleh Sai untuk mendokumentasikan kegiatan.

Selama berkeliling, mereka bisa melihat para lansia yang pada saat itu punya kegiatan masing-masing. Meskipun usia sudah lanjut, mereka tetap kelihatan produktif dan semangat dalam menjalankan kegiatan mereka. Hal itu lantas membuat hampir semua anak HIMAHI tersenyum dengan hangat.

“Huhu rasanya adem banget ngeliat para sesepuh di sini.” kata Sakura yang tampaknya sedang terharu.

Yayasan Panti Werdha Anugerah memang bukan tergolong yayasan yang ‘mewah’, terlihat dari beberapa bangunan infrastruktur dan beberapa fasilitas yang sudah tua. Namun bisa dikatakan tempat ini sangat nyaman dan rindang, yayasan ini juga punya sebuah taman yang kata pengurus di sini biasa digunakan oleh para lansia buat minum teh bersama sambil ngobrol di sore hari.

Mayoritas dari penghuni panti Werdha ini juga merupakan para lansia yang kurang beruntung—seperti mereka yang nggak memiliki kerabat buat merawatnya atau nggak memiliki tempat tinggal. Bersyukur Panti Werdha Anugerah ini bisa beroperasi untuk memberikan mereka sebuah rumah.

“Gue paling nggak bisa lihat orang tua gini deh. Rasanya kaya hati gue tiba-tiba soft aja gitu.” gagas Tenten sambil memasang wajah yang kelihatan ingin mewek tapi dia tahan, sehingga mengundang senyum Hinata dan Ino yang ada di sebelahnya.

Hinata mengangguk dan berkata, “Setuju… Nanti kalau aku udah punya uang, aku mau rutin kasih sumbangan buat yayasan ini.”

“Lho, Hinata kan uangnya udah buanyak pol.” celetuk Naruto dengan nada jenaka khasnya.

“Enggaak ah, itu kan uangnya papa bukan uang aku hehe.” jawab Hinata menyangkal santai.

Seorang pengurus yayasan menghampiri mereka dan menginformasikan kalau para lansia sudah berkumpul di aula dan mempersilakan HIMAHI untuk memulai acara mereka.

Acara dipandu oleh Naruto dan Sasuke sebagai MC. Mereka membuka acara dengan sambutan Chouji dan Shikamaru selaku ketua pelaksana program kerja dan ketua himpunan, kemudian dilanjutkan oleh sambutan Pak Iruka, dan perkenalan diri masing-masing anggota himpunan yang hadir.

Mereka mendapat hujanan pujian dari para lansia, ada yang bilang kalau mereka ini ganteng dan cantik, ada juga yang bilang ketika melihat mereka—para lansia merasa kembali ke masa muda mereka, bahkan ada juga yang bertanya apakah mereka ini artis saking menyilaukannya visual-visual anak himpunan. Hehe.

Acara dilanjutkan dengan bermain game yang tentu saja bisa dimainkan oleh para lansia dan karaoke tembang-tembang lawas yang berubah jadi konser mendadak karena para lansia nggak kalah enerjik dengan anak-anak muda. Apalagi waktu mengetahui kalau ternyata banyak dari para lansia yang punya merdu dan membuat semua orang yang ada di sana jadi terhibur sampai-sampai nggak sadar kalau waktu berjalan dengan cepat dan sampailah mereka ke acara makan siang bersama.

Kebetulan makan siang kali ini juga disponsori oleh HIMAHI Konoha sehingga pengurus HIMAHI langsung bertolak ke ruang makan dan saling membagi tugas untuk mendistribusikan makanan kepada para lansia. Kemudian mereka bergabung dengan para lansia di meja makan untuk menyantap makan siang mereka bersama.

Untuk urusan gerabah selepas agenda makan siang, pengurus HIMAHI yang sudah ditugasi membantu pengurus yayasan untuk membereskannya dan mencuci piring. Di sisi lain, ada juga pengurus HIMAHI yang bertugas untuk memberikan bingkisan snack buat para lansia dan mempersilahkan mereka untuk beristirahat karena nanti masih ada agenda lainnya yaitu agenda minum teh bareng sambil ngobrol santai.

Acara pada hari itu akan diakhiri dengan penyerahan sumbangan berupa sembako dan uang tunai hasil penggalangan dana serta donatur yang berasal dari mahasiswa, dosen, alumni, wali mahasiswa, sponsor, dan lain-lain.

“Kenapa sampe sekarang proposal baksos belom gue terima juga, Ino?”

Shikamaru nggak membuang banyak waktu untuk nyemprot Ino dengan kalimatnya setelah agenda rapat dadakan sore itu dibuka. Suasana rapat dari awal memang sudah cukup mencekam. Namun sebenarnya suasana seperti ini, di mana Shikamaru kelihatan sedang marah seperti asumsi beberapa orang, adalah suasana baru bagi mereka karena sebelumnya kahim mereka nggak pernah se-sinis itu ketika bertanya di forum.

Belum sempat Ino menjawab, Chouji sudah mendahului cewek itu, menjadi wakilnya untuk memberikan sebuah klarifikasi, “Eh? proposal udah ada di gue kok, Shik. Kata Ino lo udah oke.”

Shikamaru beralih ke Choji dan mengangkat sebelah alisnya karena ingat jelas dia belum menerima proposal dari Ino, apalagi bilang oke. “Lo lihat di situ ada tanda tangan gue atau nggak?”

“Belum ada.” kata Choji sambil menggeleng.

“Berarti bisa lo simpulkan sendiri kan? Udah gue oke-in belom tuh proposal??”

Chouji terdiam, begitu pula dengan seluruh pengurus inti himpunan yang hadir pada rapat sore itu. Semua pengurus himpunan juga tahu kalau proposal sudah oke atau di-approve, berarti di situ akan ada tanda tangan dari ketua himpunan.

Mereka sempat punya firasat jelek waktu Shikamaru tiba-tiba ngechat di grup buat minta rapat yang super mendadak. Firasat mereka pada akhirnya terjawab. Ternyata betul… Shikamaru marah. Kalau Shikamaru marah, berarti dunia sedang tidak baik-baik saja. Memang sih, setelah kembali dari puncak dan beberapa hari ini mood Shikamaru kelihatan jelek, tapi mereka nggak nyangka suasana bakal jadi seperti ini.

Hampir dua menit belum ada respon sebab nggak ada yang berani mencoba untuk mendinginkan kepala Shikamaru, termasuk Naruto yang biasanya membantu si kahim ketika dia sedang menemui beberapa masalah.

Shikamaru lanjut bertanya ke Chouji, “Terus kenapa proposal nya lo tanda tanganin duluan? Lo harusnya paham, proposal harus dapet tanda tangan kahim dulu baru ketua pelaksana. Paham gak???”

“Iya Shik paham…” jawab Choji lirih, “Tapi Ino bilang katanya lo gampang nanti aja.” Jujur saja Choji kehilangan alasan buat menjawab, dia jadi nggak enak karena terkesan memojokan Ino.

Sedangkan pengurus inti himpunan lainnya merutuki Chouji yang hanya akan memperkeruh suasana hati Shikamaru dengan jawaban seperti itu. Kepala departemen pengabdian masyarakat itu memang terlalu jujur dan kadang terlampau polos, sampai-sampai kurang bisa membaca situasa kapan ketika dia harus berbohong sedikit.

Shikamaru menghela napasnya dengan kasar, kemudian melirik Ino tajam. Tidak percaya, karena satu masalah yang terjadi di antara mereka (dan tentu saja nggak ada orang yang tahu tentang masalah apakah itu), cewek itu sampai bertindak menyalahi peraturan demi kabur dari jangkauan Shikamaru.

“Anying, Cho! Gue tau lo temen dia tapi bisa gak stop mau dibego-begoin??” lanjut Shikamaru diiringi dengan nada yang naik satu tingkat.

“Terus lo,” Shikamaru menunjuk Ino tepat di depan wajah cewek itu dengan telunjuknya, “Jangan karena menurut lo—gue ini ‘gampangan’ jadi lo bisa seenaknya sendiri nyalahin aturan. Di sini, gue kahim lo!”

Kalau bukan karena fakta bahwa Ino betulan menyalahi aturan, pasti salah satu di antara pengurus inti himpunan sudah bakal mencoba untuk menghentikan Shikamaru. Sore itu mereka cuma bisa membiarkan Shikamaru bertindak sampai mungkin bisa meledak, karena mereka tahu kalau Shikamaru punya alasan untuk marah meskipun masalah itu bisa diatasi dengan kepala dingin.

“Nggak usah tersinggung gitu dong!” Ino yang bakal langsung ngebacok ketika dirinya disenggol mencoba untuk membela diri tanpa menyadari dia salah atau benar, “Lo out of context tau gak?? ‘Gampang nanti’ yang gue bilang ke Chouji itu maksudnya bukan lo ‘gampangan’, beda!”

Shikamaru memutar bola matanya mendengar argumen Ino dan membalas omongan cewek itu dengan penuh tekanan, “Argumen lo juga out of context! Di sini gue lagi bahas lo yang menyalahi rules himpunan!”

Perdebatan semakin panas, mereka nggak pernah melihat Shikamaru dan Ino berdebat sampai muka kahim mereka jadi super merah. Di sisi lain Ino sempat mau buka mulut lagi namun Sakura yang berada di sebelahnya langsung menyikut cewek itu, memberikan tanda supaya dia nggak mencoba nekat buat membalas kata-kata Shikamaru lagi. Bisa berabe kalo keduanya nggak berhenti adu mulut di tengah-tengah rapat dan bikin suasana semakin keruh, apalagi kalau sampai bawa-bawa masalah pribadi. Sedemen-demen nya mereka dengan gossip dan drama, kali ini bukan waktu yang tepat.

Ternyata belum cukup sampai di situ, Shikamaru lagi-lagi mengomel. Seolah-olah nggak ada hari lain saja. Seolah-olah kalau dia nggak mengomel hari ini, IPK mereka bakal turun, atau nominal UKT mereka bakal naik.

“Terus ini juga, logistik udah Choji suruh buat ngelist barang apa yang butuh surat pinjaman. Mana list nya?!”

“Sori Shik…” Kiba sebagai koordinator logistik yang sedang ketar-ketik di pojok sekre terpaksa menjawab seadanya, “List-nya belum beres. Masih ada—“

“Lo ngerti yang namanya disiplin dan tepat waktu gak, Kiba Inuzuka?!”

Shikamaru punya sifat chill dan santai, meskipun disiplin tetap nomor satu, dia nggak pernah mau repot mencak-mencak entah serumit apapun masalahnya. Maka ketika tahu duduk perkara masalah yang membuat Shikamaru meledak adalah datang dari Ino dan proposal bakti sosial, mayoritas pengurus inti himpunan sempat bertanya-tanya. Sebab Ino bukan tipikal orang yang bakal teledor sama peraturan se-sepele urutan minta tanda tangan.

Imbasnya sampai bikin beberapa pengurus inti yang ada di dalam lingkaran rapat itu sempat menahan napas ketika Shikamaru nggak berhenti ngomel. Tapi juga ada beberapa pengurus inti yang demen ghibah seperti Naruto dan Sai kini otaknya sedang sibuk berputar, pasti ada alasan lain yang menjadi trigger kemarahan Shikamaru hari ini.

Pasti ada alasan yang membuat Ino menghindari Shikamaru, sampai mengorbankan proposal proker yang akan mereka laksanakan itu. Kalau cuma karena teledor, kesalahan teknis, dan sedikit keterlambatan—rasanya nggak mungkin Shikamaru bakal semarah ini. Toh biasanya juga dia tetap santai waktu menanggapi masalah serupa sebelumnya. Apalagi mereka sempat dengar kalau Shikamaru dan Ino sempat cekcok pada hari mereka melakukan survey baksos itu. Namun nggak ada yang mempermasalahkan hari itu juga karena besoknya, Ino dan Shikamaru sudah terlihat biasa saja.

Pasti ada sesuatu di antara Ino dan Shikamaru.

Untungnya, Neji berhasil menanangkan Shikamaru sedikit sehingga meskipun selanjutnya rapat masih berjalan dengan super canggung, biasanya mereka selalu rapat dengan diselingi berbagai gurauan dan canda tawa. Namun kali ini tidak. Shikamaru tiba-tiba mengkritik semua hal yang rekan-rekannya sampaikan ketika merasa penyampaian mereka tentang progres proker baksos nggak sesuai dengan kemauan Shikamaru.

Sore yang berat, mereka cuma bisa ngebatin kalau rapat ini akan berjalan dengan lama dan super tegang. Yah mau bagaimana lagi, tetap semangat deh :)

Rombongan tim survey sudah selesai dengan acara makan mereka sejak duapuluh menit yang lalu, namun Shikamaru dan Ino belum juga nongol menghampiri mereka. Mereka sampai bingung sendiri harus menunggu lebih lama sampai Shikamaru dan Ino datang atau beranjak ke parkiran dan bilang ke mereka berdua kalau rombongan akan segera turun buat pulang, menghindari lalu lintas yang bakal super macet semakin sore menjelang malam.

“Ini Shikamaru sama Ino diculik apa gimana dah?? Lama bener!” celetuk Naruto yang sudah nggak sabaran.

Plak!

Sasuke menggeplak kepala bocah oren itu kemudian bilang, “Lu pikir aja apa untungnya orang buat nyulik mereka berdua.”

“Bilang di grup aja apa kalo kita mau ke parkiran? Biar Shika sama Ino nyusul langsung ke sana.” usul Chouji dengan perasaan yang nggak enak karena membuat teman-temannya menunggu.

“Iya, coba deh.” Kata Sakura sambil mengangguk.

Chouji mengetikan sebuah pesan untuk memberitahu Shikamaru kalau mereka akan menunggunya di area parkir, alih-alih di grup, Chouji ngechat Shikamaru lewat chatroom pribadi. Untungnya Shikamaru langsung membalas dan bilang kalau dia serta Ino bakal menyusul mereka di area parkir.

Sesampainya di area parkir, ternyata mereka masih dibuat menunggu lagi selama sekitar sepuluh menit. Semuanya sih menunggu dengan santai saja sambil main handphone masing-masing, namun Naruto sama sekali nggak bisa diam. Dia mondar-mandir seolah-olah dengan dia bertindak begitu, Shikamaru dan Ino bakal langsung muncul di hadapannya.

Eh tiba-tiba, Ino datang menghampiri mereka dengan langkah-langkah lebarnya dan langsung nyerobot buat membuka pintu mobil Chouji bagian depan kemudian menutupnya sambil sedikit dibanting. Tentu saja hal itu membuat Naruto, Sasuke, Sakura, Chouji, dan Kiba kaget bukan main serta nggak bisa berkutik.

Mereka semakin bingung ketika Shikamaru nongol dan menyusul nggak lama kemudian sambil meneriaki nama Ino dengan nafas nya yang memburu. “Ino! Ino! Lo jangan gini lah!”

Kentara sekali kalau Shikamaru sedang frustrasi. Chouji sampai nggak enak hati buat bertanya ke Shikamaru, “Shik? Ada masalah apa?”

Namun cowok itu cuma menggelengkan kepala, merasa belum saatnya untuk mengatakan apa yang terjadi. Maka Shikamaru mengalihkan topik, “Chouji, mana kuncinya? Ayo balik, gue yang nyetir. Katanya tadi lo ngantuk.”

Chouji menyerahkan kunci mobilnya sambil ragu-ragu. Kalau sedang nggak ngantuk sih, Chouji bersedia buat nyetir selama perjalanan pulang. Karena sepertinya Ino butuh waktu untuk nggak berada di dekat Shikamaru. Chouji mau saja sih nawarin Ino untuk pindah duduk di belakang, tapi dia sudah melihat Ino merem duluan di kursi penumpang depan, sebuah arti kalau cewek itu nggak mau diganggu.

Sakura dan Sasuke berpisah dengan mereka karena keduanya bakal stay di villa puncak untuk staycation. Setelah masuk ke dalam mobil hanya berdua dengan Sasuke, Sakura meringis dan bilang, “Sas, kita kan sering berantem ya. Tapi kayanya nggak pernah separah Ino sama Shikamaru deh? Padahal mereka nggak pernah berantem.”

“Nggak tahu. Tapi beda sih, kita mah berantem nya sambil haha hihi dan buat pemanis aja. Lah mereka? Itu kayanya kalo besok belum baikan, himpunan bakal gonjang-ganjing.” jawab Sasuke panjang.

Sakura melanjutkan dengan geleng-geleng kepala prihatin, “Kita jangan sampe berantem kaya mereka ya Sas.”

Sasuke menjemput tangan kanan Sakura dan menggenggamnya dengan tangan kiri, merematnya sedikit sebagai bentuk jaminan kalau hal itu nggak akan terjadi, “Nggak bakalan.”

Untuk yang kedua kalinya dalam seumur hidup Ino, dia menghindari pertemuan dengan Shikamaru mati-matian. Semata-mata karena dia super malu dengan insiden semalam yang membuatnya harus berangkat ke kampus memakai turtle neck dan menggerai rambutnya untuk menutupi lehernya yang jadi korban kebrutalan Shikamaru semalam, padahal cuaca hari hari itu sedang gerah-gerahnya.

Untung saja dari tadi di kampus Shikamaru kelihatan super sibuk dengan Chouji beserta departemen pengabdian masyarakat buat membahas program bakti sosial yang akan mereka laksanakan, jadi Ino nggak perlu susah-susah buat menghindarinya.

Siang itu, Ino sedang makan siang ditemani Sakura sebelum masuk ke kelas selanjutnya. Namun cewek itu sepertinya sedang nggak selera buat makan, maklum saja sebab Ino masih overthinking soal insiden semalam. Sakura sampai protes melihat Ino yang cuma mengacak-ngacak pempeknya, “Kalo nggak dimakan, mending buat gue aja daripada lo acak-acak itu pempeknya!”

Ino cuma bisa nyengir, kemudian menyuapkan sesendok potongan pempek ke mulutnya. Setelah itu, bangku di sebelahnya yang semula kosong jadi terisi oleh seseorang.

“Boleh gabung gak, cantik?”

“Eh sini Sai sini!” kata Sakura dengan ramah, sedangkan Ino cuma melihat cewek itu dengan geli, “Eh jidat. Dia tuh bilang cantik maksudnya buat gue! Masa lo sih yang nyautin.”

“Lah? Ya buat siapa aja deh yang ngerasa.” balas Sai, yang mana tentunya bikin Sakura mesem-mesem karena nggak cuma Ino, cewek bersurai merah jambu itu juga merasa cantik.

“Sasuke mana, Sak?” Sai bertanya basi-basi sebelum menyendok soto nya ke mulut.

“Noh masih pesen makan bareng Naruto.”

“Ooooh.” Sai menganggukan kepalanya, kemudian dia menyenggol Ino yang ada di sebelahnya, “Cowok lo mana?”

Yang mana pertanyaan Sai barusan membuat Ino sedikit nggak nyaman. Bukan apa-apa sih, toh Sai juga nggak perlu tahu kenapanya, “Cowok gue yang mana?”

Kali ini Sakura yang menyahut, “Buset! Emang cowok lo ada berapa?”

“Maksud gue si Sebastian, yaelah.” tambah Sai.

Ino cuma mengangkat kedua bahunya dengan acuh sebagai jawaban, nggak mau melanjutkan topik tersebut. Meskipun sempat curiga dengan gelagat aneh Ino, Sai dan Sakura juga nggak meneruskan buat mengorek hal itu sih karena mereka lihat juga Ino seprtinya nggak nyaman.

Jadi yang mereka lanjutkan setelah itu adalah menghabiskan makanan mereka dan nggak lama kemudian, Sasuke yang diekori Naruto ikut bergabung ke dengan mereka sambil membawa piring berisikan makanan di tangan masing-masing.

“Sai! Lu semalem kemana dah? Gajelas banget tiba-tiba cabut!” tanya Naruto setelah cowok itu duduk.

“Ke Luminor.” Sai menjawab dengan singkat dan santai.

“Mabok ga ngajak-ngajak.” Sasuke menimpali, kemudian mendapat satu cubitan di lengannya dari Sakura.

Sai kemudian beralih ke Ino yang sepertinya nggak berniat buat gabung dengan obrolan tiga temannya, “Semalem lo hangover nggak??”

Merasa terkejut dengan pertanyaan Sai, Ino langsung menjatuhkan sendoknya sampai berdenting karena bertubrukan dengan piringnya.

“Kok lo tau??”

“Kan semalem gue ke luminor buat nyamperin lo.”

Mau nggak mau, Sakura, Sasuke, dan Naruto ikut nyimak perbincangan Sai dan Ino. Sebab setelah itu Ino jadi heboh dan tanpa alasan yang nggak Sai ketahui dan ketiga temannya ketahui, cewek itu malah ngomel-ngomel ke dia sambil menghadiahi tabokan di bahunya yang cukup bisa membuat cowok berkulit pucat itu meringis

“SUMPAH SAI LO JAHAT BANGET SAMA GUE!!!”

Sai memberi isyarat ke tiga temannya buat minta pertolongan karena siapa tahu mantan pacarnya ini bakal keterusan ngamuk, tapi nihil, Sai nggak mendapatkan pertolongan apapun. “Gue salah apaan??”

“LO—KENAPA BUKAN LO YANG NGANTERIN GUE PULANG??? KENAPA MALAH SHIKAMARU???!!!” tanya Ino meledak-ledak.

Belum sempat Sai menjawab, Ino sudah beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan mereka berempat dengan langkah kesalnya yang dihentak-hentakan. Otomatis membuat mereka berempat kebingungan, namun karena yang melakukan itu adalah Ino, rasanya nggak seperti sesuatu yang langka kalau cewek itu tiba-tiba mencak-mencak.

“Dia kenapa dah?” Sasuke bertanya ke Sakura, meskipun cowok itu super dingin, bukan berarti Sasuke ini apatis dengan keadaan di sekitarnya. Asal kalian tahu saja, dia juga bisa penasaran dengan gossip-gossip kampus yang lagi happening. Apalagi Sasuke ini Humas, dia punya banyak informan karena berinteraksi dengan banyak orang ketika mode humasnya sudah teraktivasi.

Sakura cuma menggeleng karena dia juga nggak tahu, tapi tadi waktu Ino kelihatan kesal menyebut nama Shikamaru, Sakura berasumsi kalau ada sesuatu yang terjadi diantara mereka berdua apalagi setelah membaca tweet Ino di private account nya tadi pagi. Sakura kemudian nyengir, dia merasa deja vu, sepertinya kejadian serupa di PNMHI terjadi lagi.

Di sisi lain, Ino nggak bisa berhenti buat misuh-misuh. Dia berpikir kalau saja Sai yang mengantarnya pulang, maka insiden itu nggak bakal terjadi. Sebab setelah sampai di apartemennya, Sai bakal langsung pulang, nggak stay dulu sampai larut malam di tempatnya seperti yang Shikamaru lakukan karena cowok itu punya akses 24/7 ke dalam apartemen.

Sumpah, kalau Ino punya privilege buat ketemu doraemon, dia bakal minta mesin pemutar waktu buat mengulang kembali kejadian semalam dan mencegah dirinya buat nggak mabok berat.