lilymagicals

“HALOOOO BUND! I AM FINALLY BAAAACK!!!”

Tenten berseru heboh ketika dia memasuki sekretariat HIMAHI. Seruan hebohnya itu juga nggak kalah diasambut dengan heboh oleh cewek-cewek BPH sampai membuat Neji yang kalem dan sedang menyaksikan adegan tersebut jadi geleng-geleng kepala.

“HALOOO BUND! IH MAKIN CANTIK AJA LO!!” Ino mebalas seruan Tenten sambil berpelukan dan menepuk-nepuk pantat cewek itu.

“Ih bisa aja Incess, lo tuh makin glowing!”

Sakura terkekeh dan ikut bertanya, “How’s your holiday, Bund??”

“Haduh mayan seru lah ya bund. Udah lama juga nih gue ga pulang kampung kan haha.”

“Aih senangnyaaa. Syukurlah Tenten bisa pulang dan balik ke Konoha lagi dengan selamat.” Hinata sebagai yang paling kalem mengutarakan rasa syukurnya sambil tersenyum.

Lain dengan para ciwi-ciwi yang heboh, ada cowok-cowok yang sedang mojok di ruangan sekre sambil main PUBG atau Kartrider. Tapi sebenarnya mereka nggak kalah heboh sih, orang seperti Naruto, Kiba, bahkan Sasuke dan Shikamaru juga bisa berisik kalau masanya mereka sedang main game alias berisiknya itu sambil misuh-misuh.

Ketika mereka memutuskan untuk menyudahi satu set game, Naruto tiba-tiba bilang, “Kenapa cewe cewe boleh manggil temennya pake ‘bunda’ gitu kayak—‘kurusan ya buun’ ‘cantikan ya buun’’ gitu.”

“Kenape emang? Iri lo?” kata Sasuke balik bertanya.

Naruto kemudian mengangkat kedua bahunya, “Ya gue kan jadi cowok juga mau manggil temen gue ‘AYAH’ gitu kan….” dia menjeda kalimatnya selama beberapa detik, lalu Naruto tiba-tiba jadi semakin nempel dengan Shikamaru yang ada di sebelahnya, kemudian Naruto bilang sambil terang-terangan menatap wajah Shikamaru. “Wuidiiih, AYAH makin ganteng aja!”

Shikamaru seketika merinding mendengar Naruto bilang begitu dan langsung mengumpat dengan sekuat tenaga dalamnya. “Pala lo anjengg!”

“Awowkwowkwowk.”

Tawa menggelegar mengisi seluruh ruangan sampai terdengar suara pintu yang diketuk sebagai interupsi.

Dan muncul lah cowok berambut pirang yang diikat tinggi-tinggi, hanya mencuatkan kepalanya dari balik pintu sekre. “Kak, stand by yuk. Bentar lagi sesi perkenalan HIMAHI mulai.”

Pengurus inti HIMAHI berjalan beriringan menuju ruangan di mana para mahasiswa baru HI berada. Mereka semua terlihat sangat berwibawa apalagi kalau sudah memakai jaket himpunan kebanggaan nya ini.

Ketika sudah dipersilahkan masuk oleh panitia, pengurus inti mendapati mahasiswa baru yang sedang duduk di kursinya masing-masing dengan anteng. Semua mahasiswa baru mengenakan kaos seragam ospek jurusan, penampilan mereka semua rapi.

Tatanan rambut mahasiswa baru cowok nggak juga masih rapi dan pendek-pendek. Peraturan orientasi memang ketat, bagus lah kalau mereka semua bisa mematuhinya. Tapi lihat saja nanti setelah tiga bulan resmi menjadi mahasiswa, pasti ada saja dari mahasiswa baru cowok yang bakal malas potong rambut dan berakhir mereka biarkan gondrong.

Pengurus inti himpunan kini berada di depan kelas dan berbaris menjadi dua saf. Tanpa berlama-lama, sesi perkenalan HIMAHI dimulai. Naruto mengambil alih sebagai MC karena Sasuke sedang sakit tenggorokan dan nggak nyaman untuk banyak bicara.

Perkenalan dimulai dari ketua himpunan sampai departemen terakhir yaitu seni & olahraga. Pemaparan disampaikan secara komprehensif dan menarik sehingga mereka sangat bersyukur karena nggak mendapati muka-muka ngantuk yang ada di wajah mahasiswa baru di depan mereka.

“Naaaah! Udah selesai nih kenalannya. Berarti udah sayang yakaan? Seakarang siapa nih di sini yang pengen masuk HIMAHI??” seru Naruto.

Seruan itu disambut oleh antusiasme para mahasiswa baru yang mengangkat tangannya.

Tiba-tiba ada celetukan dari mahasiswa baru berambut pirang yang mirip sama Naruto itu, “Ini Bang, Sarada mau jadi kahim katanya!”

“Ih apaan sih! Nggak kak, dia bohong.” maba berkacamata yang konon katanya bernama Sarada ini jadi salah tingkah.

“Eeeeeeh coba sini-sini Sarada. Ayok maju sini.” Naruto menghampiri maba tersebut dan menggandengnya untuk maju ke depan bergabung dengan pengurus inti meskipun malu-malu, “Sini berdiri di sebelah pak kahim kita, siapa tau kecipratan nasib yang sama!”

Shikamaru mengambil alih, “Hai Sarada. Beneran kepengen jadi ketua himpunan nih? Boleh kasih tau ga alesannya kenapa??”

Sarada cuma bisa garuk-garuk kepala namun di dalam hatinya dia sudah misuh-misuh berkat mulut ember si Boruto, “Sebenernya belum kebayang sih Kak hehe. Mungkin alesannya karena dulu aku ketua osis kali yaa.”

Kemudian tepukan tangan terdengar di seluruh penjuru ruangan, “Wihhh calon-calon alpha female ini!” celetuk Kiba di tengah-tengah kehebohan.”

“Wah keren-‪keren, ditunggu CV nya ya nanti pas HIMAHI open recruitment!” kata Shikamaru mengacungkan jempol.

Sebelum Sarada kembali ke tempat duduknya, Sakura menghampiri maba itu untuk mengalungkan rentengan jajan sebagai bentuk apresiasi yang sudah disiapkan oleh cewek-cewek BPH tadi di sekre.

Sesi berikutnya diisi dengan kuis-kuis singkat seputar pengetahuan maba tentang Hubungan Internasional dan PNMHI—serta memberikan gambaran tentang event nasional tersebut agar mahasiswa baru merasa tertarik karena mengikuti event tersebut punya benefit yang banyak.

“Oh iya, kemaren denger-denger kalian disuruh bikin mind mapping sama mentornya kan? Nah sekarang kita mau announce nih pemenangnya!” Naruto membuat sebuah pengumuman.

Kemudian Sai maju sedikit untuk mengumunkan pemenangnya setelah dia melihat design-design mind mapping yang dibuat oleh para mahasiswa baru. Bisa dibilang Sai ini adalah juri abal-abal yang menilai kekreativitasan mereka.

“Selamat Inojin. Yang mana yang namanya Inojin?”

“Saya bang.”

Oooo jadi mahasiswa baru laki-laki yang mirip sama Ino itu namanya Inojin. Mahasiswa itu maju ke depan seperti Sarada tadi.

Congrats, anda berhak mendapatkan piring cantik—tapi bohong, kita cuma punya kalung jajan.”

“Haha oke Bang. Ini boleh dimakan ga?”

“Makan aja, entar tapi. Daftar medkom ya nanti kalo HIMAHI udah oprec.” kata Sai sambil menepuk bahu Inojin dan mendoktrin maba itu supaya masuk medkom, karena kalau dilihat-lihat dari design mind mappingnya, Inojin ini punya bakat untuk jadi budak revisi design seperti Sai. Hehe.

Naruto kembali bicara dan siap-siap menutup sesi mereka setelah diberikan aba-aba oleh timekeeper panitia kalau waktu mereka tersisa lima menit. “Yah sayang sekali nih temen-temen, waktu kita udah nggak banyak lagi. Ada yang mau ditanyain lagi nggak nih? terakhir deh terakhir.”

“Saya Kak, mau tanya!” mahasiswa perempuan yang duduk di sebelah Sarada itu mengangkat tangannya.

“Yak silakan mbak cantik, namanya siapa?”

“Namanya Chou Chou kak.”

“Oke, pertanyaannya?”

“Kak kemarin kan saya liat di twitter tuh, katanya di himpunan tuh suka ada mitos gitu. Apa iyah selalu ada sesuatu di antara ketua himpunan sama sekretarisnya?“

“PFFFFTTT.”

“JIAAAAAH”

“WOKWOWWKOWK.”

Gelak tawa dan siulan ledekan langsung menggema begitu pertanyaan Chou Chou dilayangkan. Semua orang langsung melirik ke arah oknum ketua himpunan dan sekretaris yang dimaksud. Naruto menyeret Ino supaya berdiri di samping Shikamaru yang telinganya sudah super memerah.

“Gimana nih kak!? Bener nggak tuh mitosnya? Coba kasih klarifikasi dong!!” Naruto bertanya dengan heboh seakan-akan dia adalah wartawan media gossip.

Mikrofon yang sudah diberikan Naruto ke Ino kemudian cewek itu oper lagi ke Shikamaru yang ada di sebelahnya sambil menggeleng karena nggak mau memberikan komentar.

“Hmm.” Shikamaru bergumam sebentar, “Gimana ya jawabnya haha.”

“Ayo kak jawab kaaak.” seru beberapa mahasiswa baru yang nggak kalah kepo. Walah, masih maba saja si Chou Chou ini jago juga ya mengangkat isu-isu menjadi gossip fantastis.

“Haha ya coba nanti kamu jadi sekretaris HIMAHI aja deh, biar bisa ngebuktiin sendiri mitosnya.”

“YAAAAH.”

Sayang sekali, sampai sesi perkenalan HIMAHI resmi berakhir, baik mahasiswa baru maupun pengurus inti dan panitia orientasi yang ada di ruangan tersebut nggak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Bapak Kahim.

W/N: di universe HIMAHI umur Boruto, Sarada, dkk adalah 17-19 tahun ya. kalo umur Shikamaru, Naruto, dkk 21-22.

Sesuai dengan tradisi tiga keluarga yang telah mendeklarasikan sebagai sobat atau konco kentel, keluarga InoShikaCho sekarang sedang berkumpul di halaman belakang rumah Chouji untuk melakukan agenda barbecue bersama.

Rupanya kekentelan persahabatan tiga keluarga ini sudah mendarah daging dari jaman ketiga ayah mereka masih kuliah. Singkat cerita, Inoichi, Shikaku, dan Choza adalah teman satu kuliah di pertengahan tahun 90an. Ketiganya bersahabat dari maba sampai bapak-bapak dan telah melewati banyak hal bersama.

Dulu, tiga beliau ini waktu penghasilannya masih pas-pasan memang sengaja nabung untuk membeli rumah di kawasan yang sama yang sekarang telah menjadi tempat tinggal mereka ini berkat ide dari Shikaku. Dulu sih di daerah perumahan ini masih sepi dan harga tanahnya murah, namun semakin beranjaknya tahun, kawasan itu disulap menjadi sebuah kawasan elit. Jadi lah mereka beruntung bisa tinggal berdampingan dengan harga pasaran tanah yang sudah mahal di tahun 2022 ini.

Dari situ lah akar persahabatan generasi inoshikacho yang selanjutnya mulai terjalin. Inoichi kerap diledek oleh Choza dan Shikaku karena dia satu-satunya punya anak perempuan. Inoichi sempat khawatir Ino kecil nggak bisa akrab dengan dua anak teman-temannya. Namun rasa kekhawatiran itu hilang ketika melihat ternyata Ino ini cukup tomboy sebagai anak perempuan, kadang Shikamaru dan Chouji sampai kalah lakik waktu mereka bertiga masih kecil.

Beranjak dewasa, Ino telah tumbuh menjadi sosok anak perempuan yang cantik dan anggun meskipun tetap barbar di banyak kesempatan. Inoichi merasa bangga bisa merawat Ino sampai dewasa meskipun harus menjadi orang tua tunggal karena beberapa alasan.

Okay segitu saja dulu ceritanya. Sekarang kembali ke full team inoshikacho yang sedang barbecue-an. Full team di sini artinya ada Ino dan Inoichi serta Shikamaru, Chouji dan kedua orang tua mereka.

Tiga bapak duduk melingkar di gazebo sambil minum arak yang sudah Choza fermentasikan selama lima tahun. Kalau ibu-ibu ada di dapur untuk memasak hidangan lain. Sedangkan untuk urusan memanggang daging mereka serahkan pada InoShikaCho junior. Yang mana banyak distraksi karena Chouji kerap curi-curi daging di piring, Ino sempat memarahinya, tapi cewek itu juga yang kadang menyuapi Chouji dengan daging hasil panggangan nya.

Shikamaru yang nggak mau kalah juga ikut membuka mulutnya, menunggu suapan dari Ino. Namun naas, daging yang Ino berikan itu baru saja diambilnya dari panggangan yang otomatis masih panas. Membuat Shikamaru misuh-misuh dengan susah payah, “Hahir! Hahas hahet heho!” (trans: hanjir! panas banget bego!)

Sedangkan Ino dan Chouji merespon hal tersebut dengan gelak tawa mereka.

Mamah Shikamaru dan Chouji keluar dari pintu akses rumah ke halaman pekarangan tepatnya di gazebo. Kemudian memanggil mereka untuk memulai makan malam. Ino meletakan piring-piring berisikan daging barbecue sedangkan Shikamaru dan Chouji diperintahkan mengambil sebakul besar nasi dan air minum.

Makan malam berjalan dengan hangat dipenuhi canda tawa dan godaan dari sang bapak-bapack ke anak-anak mereka. Tapi ibu-ibunya juga nggak mau kalah nih, Yoshino (mamah Shikamaru) menyeletuk, “Kapan yaaa InoShikaCho nambah personel??”

“Nambah personel gimana sih mah, kan inoshikacho isinya bertiga doang.” kata Shikamaru.

“Haduuuuh gimana sih kamu. Maksud mamah tuh ya kalian bertiga kenalin lah pacar nya ke kita-kita!”

Ketiga InoShikaCho junior cuma bisa cengengesan atas kejombloan mereka.

“Jadi Ino, yang mana nih?” Tiba-tiba Inoichi bertanya, namun anak perempuannya itu justru bingung dengan pertanyaan abu-abu papinya. Maka Inoichi melanjutkan, “Yang mana yang pacar kamu? Shikamaru apa Chouji?”

Uhuk!

Ino belum sempat menjawab, Shikamaru sudah batuk-batuk heboh duluan yang lantas membuat semua mata tertuju ke arahnya.

Uhuk uhuk!

Hadeh. Tengsin juga sebenarnya. ucap Shikamaru di dalam hati karena dia masih struggle dengan acara batuk-batuknya sebab cowok itu betulan keselek mendengar tembakan pertanyaan Inoichi. Mana dia lagi mengunyah nasinya pula.

“Lhooo? Kenapa ini? Ino yang ditanya kok Shikamaru yang salting?” seolah-olah ingin bikin Shikamaru jadi semakin tengsin, Chouza bertanya seperti itu buat menggodanya. Kemudian gelegaran suara tawa mulai terdengar dari tiga bapak-bapak.

Tapi yang mereka lewatkan adalah bagaimana Ino menuangkan air putih ke gelas Shikamaru, cewek itu juga dengan telaten mengusap punggung Shikamaru supaya cowok itu lebih rileks.

Untung saja adegan barusan nggak terlewat oleh Yoshino. Ibu dari Shikamaru jadi mesem-mesem. Lihat saja, nanti di grup wassaf beliau ini bakal nge-share daftar-daftar wedding organizer yang dia ketahui dan bakal heboh sendiri karena berasumsi kalau sepertinya ada sesuatu di antara Ino dan anak semata wayangnya itu.

InoShikaCho junior memilih untuk tidak bergabung dengan para orang tua yang kini sedang main catur sambil minum-minum. Para istri menyemangati suami-suami mereka, namun ketika giliran Inoichi main melawan Shikaku, nggak ada seorang istri yang mendampinginya.

Pemandangan itu disaksikan oleh Ino dengan nanar dan perasaan yang getir. Shikamaru datang menghampirinya dan menyerahkan segelas es krim yang barusan dia ambil dari dalam.

Karena melihat Ino yang sedang bermuramdurja, Shikamaru bertanya, “Mikirin apa?”

“Mikirin kalo sebenernya gue egois banget.”

Shikamaru hanya mengangkat sebelah alisnya, meminta penjelasan lebih lanjut dengan diamnya.

“Pasti berat ga sih jadi single parent? Dari kecil papi selalu ngurus gue sendirian bahkan sebelum cerai sama perempuan itu, perempuan yang nggak pernah pulang dan ninggalin papi kesusahan ngerawat gue.”

Sebagai seorang anak, Ino secara bertahap mulai memahami bahwa keluarganya tidak terlihat seperti gambaran keluarga harmonis milik Shikamaru dan Chouji. Karena tidak adanya kehadiran seorang ibu di tengah-tengahnya dan Inoichi.

“Papi suka ngerasa kesepian nggak ya, Shik?”

Kalau sudah melempar pertanyaan seperti ini, artinya Ino sedang mau didengar. Dan yang hanya bisa Shikamaru lakukan adalah mendekapnya dari samping karena cowok itu nggak pandai mengeluarkan kata-kata utnum menenangkannya.

Ino melanjutkan racauannya di dekapan Shikamaru, “Gue tuh… nggak mau papi nikah lagi. Bukan karena gue masih ngarep perempuan itu buat balik. Tapi gue nggak mau kalau nanti istri barunya nyakitin dan ninggalin papi lagi.”

Sekarang Shikamaru bisa merasakan tubuh Ino bergetar, artinya cewek itu sedang menangis. Shikamaru semakin mengeratkan dekapannya, menepuk-nepuk punggung Ino agar cewek itu tahu dia akan selalu ada untuknya.

“Gue ngerasa bersalah banget sama papi. He prioritized my happiness, but not his.

Bahu itu semakin bergetar dan Shikamaru merasa dia harus angkat bicara sekarang, “Bahagia nya lo itu bahagianya Om Inoichi juga. Semua orang juga tahu itu, makanya lo ga boleh ngerasa bersalah.”

Shikamaru merasakan ada sepasang kaki yang melangkah mendekat, dia mendapati Chouji yang terheran-heran sambil membawa seember eskrim miliknya. “Kenapa? Kok nangis?” Chouji bertanya tanpa suara ketika sudah ada di belakang Ino.

Shikamaru cuma bisa tersenyum membalas pertanyaan Chouji, senyum yang mendandakan kalau Ino sedang butuh dipeluk. Setelah itu Chouji bertanya lagi, kali ini pertanyaan tersebut ditujukan untuk Ino, “Ino? Gue boleh peluk lo juga nggak?”

“Boleh. Tapi jangan dari belakang. Dari depan aja biar gue ketutupan dan papi nggak lihat kalo gue lagi nangis.”

Pelukan ala teletubbies yang malam itu menghangatkan Ino menjadi salah satu hal yang paling bisa memberinya kekuatan.

Sasuke dan Sakura telah sampai di kediaman Uchiha yang bangunannya terletak di belakang toko bangunan Seanita alias singkatan dari Sean & Isaac Tarangga.

Keduanya disambut oleh Mikoto dan Itachi, Fugaku belum kelihatan sebab sang kepala keluarga masih ada di toko bangunan seperti yang Mikoto informasikan.

“Eh Sakuraaaa, sudah lama nggak main kesini ya sayang.” kata Mikoto ramah setelah sesi cipika-cipiki nya dengan pacar si bungsu.

Sakura tersenyum ramah, “Iyaa tante, maaf ya baru bisa main lagi. Kuliahnya sibuk banget soalnya.”

“Nggak apa-apaa. Aduh harusnya tadi sebelum kesini ngabarin dulu yaa, tante belum masak ini gimana dong?”

“Nggak usah repot-repot tante hehe.”

Namun tetap saja, yang namanya emak-emak pasti selalu rempong sendiri. Mikoto sibuk mengeluarkan beberapa kue kudapan dan camilan lainnya sebagai suguhan. Sedangkan Itachi ada di dapur karena cowok itu punya agenda sendiri untuk memanggang kue. Sakura selalu bersyukur dengan bagaimana cara Mikoto dan Itachi menyambutnya dengan ramah.

Sasuke berniat membawa Sakura ke kamarnya tapi cewek itu izin ke pacarnya kalau dia butuh menggunakan kamar kecil, kebelet hehe.

Namun Sakura tidak menemukan keberadaan Sasuke setelah dia keluar dari kamar mandi. Mungkin pacarnya sudah ada di kamarnya, maka cewek itu melangkah untuk menyusul dan di tengah-tengah langkahnya, dia berpapasan dengan Itachi.

“Eh kebetulan nih!” kata Itachi ketika mendapati sosok pacar adiknya.

Sakura terheran-heran sebab Itachi terlihat seperti sedang buru-buru. “Hehe kenapa kak? Sasuke mana?”

“Sasuke lagi keluar sama mamah, beli makan sebentar. Kebetulan aku mau ngecek panggangan roti, kamu temenin papah main mahjong dulu gih.”

Deg!

Sakura membulatkan matanya dan merasa panik seketika menerjang. Kalau boleh jujur, diantara semua kegiatan yang bakal dilaluinya di rumah keluarga Uchiha, menemani sang kepala keluarga main mahjong menjadi hal terakhir yang dia inginkan.

“Kaak, ih. Ga berani hehe.” Sakura meringis sambil menunjukan muka memelasnya, memberi isyarat yang semoga bisa ditangkap oleh Itachi, “Mending aku aja yang ngecek panggangan rotinya kak!”

Sebenarnya Itachi paham kenapa pacar adiknya kelihatan ketar-ketir saat ini. Harus berhadapan dengan Fugaku memang punya tantangan sendiri. Sebetulnya ayahnya ini biasa saja, tapi yang jelas Fugaku punya aura intimidating yang bikin banyak orang kurang betah. Bahkan dirinya dan Sasuke yang notabene anak-anak Fugaku sendiri kadang merasa begitu, apalagi Sakura….

“Santai aja, papah ga gigit kok. Emang mukanya udah template begitu haha.” Itachi mencoba untuk meyakinkan Sakura, “Udah sana, ditungguin loh nanti.”

“Yaudah deh kak. Tapi buruan ya nyusul entar!”

“Iyaa hahaha.”

Ya sudah. Kalau sudah begini, Sakura hanya bisa menyiapkan mentalnya dan sengaja melangkah lambat-lambat untuk mengulur waktu sebelum sampai di ruang tamu tempat Fugaku bermain mahjong.

Ketika sudah sampai, Sakura menyapa dengan kikuk, “Halo om.”

“Oh ya, sini duduk. Bisa main ini kan?”

“Bisa om hehe.”

Jemari Sakura bermain dengan lincah di balok-balok mahjong mengimbangi Fugaku. Sejauh ini mereka berdua masih fokus bermain, sesekali Sakura meringis ketika merasa kurang beruntung dengan dadu-dadunya.

Tiba-tiba, Fugaku bersuara untuk menanyakan sesuatu. “Gimana Sasuke selama kuliah?”

“Baik om. Dia rajin belajar dan aktif di organisasi hehe.” jawab Sakura singkat.

“Jadi apa dia di organisasi?“

“Sasuke kepala departemen humas om.”

“Kalo kamu?”

“Kalo saya bendahara hehe.”

“Ohhh berarti bisa ngatur duit ya?”

“Hehe ya begitulah om…”

“Kalo gitu kenapa ga bisnis aja?”

Nah kan. Pasti pertanyaan Fugaku lama-lama bakal nyerembet ke urusan bisnis dan toko. Tapi nggak apa-apa sih, Sakura sebetulnya nggak tersinggung kok dengan pertanyaan Papa Sasuke ini.

Sakura cuma tersenyum simpul dan menjawab, “Kalau bisnis sama jualan saya nggak bakat om hehe.”

“Orang tua kamu?” tanya Fugaku lagi.

“Papah punya toko jam sebenernya, tapi sudah dialihkan biar adiknya yang ngurus. Sekarang papah lebih fokus ngurus klub barongsai nya.”

“Oh begitu.” Fugaku manggut-manggut mendengar penjelasan Sakura, kemudian beliau memberikan sebuah pertanyaan lagi, “Nanti kalau sudah nikah, kamu mau gak bantuin Sasuke ngurus toko??”

“Eh?”

Sebentar-sebentar. Maksud dari pertanyaan Om Fugaku barusan, apa ya? Semoga Sakura nggak salah dengar, tapi barusan pertanyaan Om Fugaku seperti menyiratkan kalau dia bakal menikah dengan Sasuke di masa depan.

Bukannya Sakura nggak mau menikah dengan Sasuke. Sakura mau banget. Bahkan keduanya sudah iseng-iseng membahas rencana pernikahan mereka, padahal lulus saja belum. Ya emang gitu deh anak muda yang terlihat kuliah dengan santay namun jiwanya terbantay.

Tapi pertanyaan Om Fugaku tadi justru bikin Sakura overthinking. Apa iya kalau dia berjodoh dengan Sasuke dan menikah di masa depan, dia harus membantunya buat jaga toko-toko yang akan diwariskan ke Sasuke itu? Alih-alih mempunyai karir sendiri yang jujur saja, Sakura selalu bercita-cita untuk bekerja di kementerian luar negeri.

Apalagi sepertinya Om Fugaku punya ekspektasi untuk punya menantu yang bersedia fokus membantu Sasuke dengan urusan toko keluarga.

Apa iya Sakura harus merelakan cita-citanya untuk dengan Sasuke dan me jadi menantu yang baik bagi keluarga Uchiha di masa depan?

Tapi ya kalau dipikir-pikir, kenapa juga Sakura harus overthinking? Meskipun bucin setengah mampus, memangnya mereka berdua bakal betulan berjodoh?

Sesi overthinking nya buyar ketika Mikoto tiba-tiba muncul dengan Sasuke yang mengekor di belakang ibunya sambil membawa beberapa bungkus plastik berisi makanan.

“Heeeey lagi apa nih kalian berdua? Kayanya serius amat.” tanya Mikoto sambil mesem-mesem.

“Yah si mamah. Udah jelas keliatan itu lagi main mahjong.” kata Sasuke.

“Yaudah main nya nanti lagi yuk! Kita makan siang dulu.”

Dan dengan begitu lah, Sakura memilih untuk nggak melanjutkan sesi overthinking nya dan bergabung ke agenda makan siang bersama keluarga Uchiha.

Blonde, blonde… I don’t recall Itachi having another blonde friend.”

Otak Ino terpaksa harus berputar demi mengetahui siapa perempuan pirang yang Tenten dapati sedang bersama Itachi tempo hari.

Deidara, mungkin?

Dia sempat berpikir seperti itu, sebab satu-satunya pirang selain dirinya yang dekat dengan Itachi adalah Deidara. Ino akan langsung menyimpulkannya seperti itu kalau saja Tenten tidak bilang orang yang bersama Itachi itu memakai dress.

Mau berusaha sekeras apapun, rupanya Ino belum juga menemukan jawabannya. Sempat hampir menyerah, tiba-tiba dia mendapat sebuah pencerahan ketika matanya jatuh pada sebuah majalah yang sampulnya memperlihatkan sebuah potret dua model rookie yang dia kenal belum lama ini.

Ah, si pirang itu. Si pirang yang ada di sampul majalah Vogue edisi September, adalah si pirang yang sama dengan seseorang yang terlihat bersitegang dengan Itachi di acara perayaan 40 tahun perusahaan minggu lalu.

Apakah mungkin model itu juga si pirang Tenten dapati sedang bersama Itachi tempo hari?

So, we have agreed to assign Sasori and his team for the stylist, and Gaara—you’ll join as the photographer.

“Noted, ma’am.”

“Ada tambahan?”

“Nope.”

Jalannya rapat yang dipimpin oleh Ino telah selesai dab berjalan dengan efisien. Ino memang tidak suka bertele-tele, sepak terjangnya sebagai Chief Editor of Vogue Konoha termuda selama lima tahun sudah cukup membuatnya selalu cekatan dalam melakukan perannya dalam memimpin rapat dan mengambil keputusan tertinggi.

Setelah rapat selesai, tim kolaborasi Vogue x Dior September Issue langsung beralih ke luar dari ruang rapat. Ino berjalan di samping Deidara, rekan dengan style flamboyannya yang khas itu. “Now now, ready to meet the models, darling?

Sure. Gue juga harus kenalan sama mereka.” perempuan itu mengangguk, kemudian nelempar sebuah pertanyaan ke asisten pribadinya yang berjalan mengikutinya di belakang, “Setelah ini models langsung camera testing dan fitting, kan? Sudah hubungi Sasori?”

Already did, he is on the way.

Thank you, Shikamaru.“

Deidara langsung menggiring Ino menuju dua gadis yang dia asumsikan sebagai model pilihan lelaki itu untuk kolaborasi ini mana kala mereka sampai di sebuah studio. “Dei, itu dua model yang lo pilih?”

“Iya sayang, cantik-cantik kan?” tanya Deidara meminta validasi. Jangan salah paham tentang bagaimana cara lelaki itu memanggil Ino, Deidara memang punya kebiasaan memanggil orang-orang terdekatnya dengan endearment seperti ‘cantik’, ‘sayang’, ‘darling’, atau ‘honey’.

Not the familiar faces I’ve known tho, tapi gue yakin deh pilihan sama pilihan lo.” jawab Ino mantap yang hanya dihadiahi sebuah kerlingan mata Deidara.

Girls! Meet Miss Yamanaka, beliau ini bukan sembarang beliau. I suppose you guys already know her, ya kan??”

Ino tersenyum saja melihat cara Deidara memperkenalkan dirinya kepada dua model perempuan yang ada di depannya sekarang. Akan sangat tidak masuk akal kalau orang-orang yang terjun di industri ini tidak mengenal Ino.

Pandangan Ino tak ubahnya langsung tertuju untuk mengamati penampilan dua model itu dari atas sampai bawah. Dia mendapati sii rambut merah yang memandangnya penuh dengan tatapan kagum di sebelah kiri, dan si pirang yang matanya enggan jatuh di kedua mata Ino berdiri di sebelah kanan.

Nice to meet you girls, saya Ino Yamanaka.” Ino memperkenalkan diri secara resmi dan mengulurkan tangannya untuk menjabat dua model tersebut secara bergantian.

Uluran tangan itu disambut antusias oleh si rambut merah yang bernama Sara, namun ketika Ino menjabat tangan rekan model pirang di sebelah Sara, perempuan itu bisa merasakan tangan modelnya yang berkeringat.

It’s an honor to meet you Mrs. Uchiha, saya Shion.”

Ino mengangkat sebelah alisnya, dia menyadari kalau ada getaran di suara Shion sebab merasa terintimidasi olehnya. Wajar saja, Ino selalu dengar dari banyak orang kalau dia memang punya aura yang sangat kuat, sehingga bisa mengintimidasi siapa saja di pertemuan pertama. Namun yang membuat Ino lebih heran lagi, model ini memanggilnya dengan nama belakang Itachi. Sebab selama dia bekerja, semua orang selalu memangilnya dengan nama belakangnya sendiri—Yamanaka.

Ino tersenyum miring, mengabaikan apa yang baru saja terjadi karena bukan rahasia lagi kalau dia adalah istri dari Itachi Uchiha. Sehingga Ino tidak mau ambil pusing meskipun situasi menjadi agak canggung.

My my, kalo udah selesai sesi kenalannya. Kita lanjut ke camera testing aja, yuk? Sambil nunggu fitting, kayanya Sasori belum dateng juga.”

Deidara mengibaskan tangannya dan langsung angkat bicara setelah menyadari kalau dia tidak buru-buru menengahi, suasana bakal lebih canggung dari yang dia harapkan akibat sesi kenalan antara Ino dan Shion yang lumayan menegangkan buat lelaki itu. Apalagi dia tahu kalau di antara Ino dan Shion, ada Itachi yang sedang mempermainkan keduanya.

Suara dentingan gelas berisikan anggur merah menjadi penanda bahwa jamua. makan malam dalam rangka ulang tahun Mikoto Uchiha telah berakhir. Kini yang tersisa adalah percakapan-percakapan dari yang kurang penting sampai super penting sambil menyantap makanan penutup. Semua anggota keluarga terlihat menikmati momen tersebut sampai Mikoto bertanya.

“Ino, kapan kamu mau kasih mami cucu kedua? Sakura sudah lagi on the way loh.”

Mata Ino membelalak mendengar kalimat Mikoto, perempuan itu langsung beralih untuk melihat Sakura—sahabat sekaligus iparnya itu dengan tatapan ‘apa-apaan ini jidat?’ yang dibalas oleh perempuan bersurai merah jambu itu dengan senyum dan kata maaf yang tidak disuarakan.

Ino memutar bola matanya sebelum akan menjawab pertanyaan ibu mertua. Namun Itachi sudah mendahuluinya, “Emangnya mami kuat ngurus empat cucu?”

“Lho, jangan ngeremehin mami ya kamu Itachi. Meskipun udah hampir kepala enam, tapi mami masih seseger Ino sama Sakura ya!” ujar Mikoto yang disusul oleh gelakan tawa seluruh orang yang melingkari meja makan.

Tanpa ada yang mengetahui, tawa yang Ino keluarkan tak lebih dari sekadar bentuk formalitas.

Kehamilan kedua bukan sebuah gagasan yang Ino pikirkan untuk jangka waktu terdekat. Bahkan membutuhkan waktu tiga tahun baginya untuk meyakinkan diri dan siap mengandung anak Itachi setelah mereka menikah. Katakan lah Ino egois, tapi dia tidak siap untuk mengorbankan karirnya sebab menjadi seorang ibu bukanlah perkara mudah. Bisa dilihat hasilnya sekarang, baik Ino dan Itachi hanya punya sedikit waktu untuk benar-benar dihabiskan bersama Aeri meskipun keduanya sudah berusaha sekeras mungkin.

Ino salut dengan Sakura, perempuan itu seorang dokter dan punya karir cemerlang, tapi bisa dengan mudah mengimbangi perannya sebagai seorang ibu. Sasuke yang menurut Ino kepribadiannya terlalu kaku, ternyata adik iparnya itu adalah seorang family man sejati.

“Maaf mami, sepertinya bukan keputusan yang bijak untuk punya anak kedua kalau aku dan Mas Itachi masih super sibuk.”

Ino angkat bicara sambil memberikan senyum simpul, sedangkan Itachi meraih tangan istrinya untuk digenggam dan memberikannya sedikit rematan.

“Benar kata Ino, mi.” sahut Itachi untuk menutup topik tersebut agar tidak dibicarakan lagi, yang hanya diberikan sebuah anggukan tidak memuaskan dari Mikoto.

Makan malam sudah berakhir dan kini Ino sudah berada di dalam salah satu kamar tamu, dibalut dengan gaun malam satin nya. Sesuai dengan permintaan Mikoto, dua putra beserta istri mereka bermalam di mansion keluarga Uchiha. Aeri tidur bersama Sarada di sebuah kamar yang Mikoto buat khusus untuk dua cucu perempuannya, sedangkan Itachi dan Sasuke bersama istri mereka bermalam di kamar masa kecil keduanya masing-masing.

Ino merasakan hembusan nafas hangat di sekitar tengkuknya dan menemukan Itachi yang telah melingkarkan tangannya di sekitar pinggangnya. Itachi memeluknya dari belakang.

What do you think?” tanya Itachi disela-sela kegiatannya memberi kecupan ringan di bahu istrinya, minghirup dalam-dalam aroma lembut lavender yang menguar.

“Apa? Tentang punya anak kedua?” kata Ino balik bertanya.

“Mhm.”

“No.”

“We are not getting any younger, Ino.”

“I know and it’s still a no.”

Ketika Ino sudah bilang tidak, maka perempuan itu akan terus bilang tidak. Keputusannya tidak akan goyah seberapa keras Itachi berusaha membujuknya, kecuali kalau istrinya sendiri yang berinisiatif merubah keputusan. Maka yang hanya lelaki itu lakukan adalah berusaha mengecup istrinya lebih dalam, membalikan tubuh Ino untuk menghadapnya, sedangkan tangannya mulai menjelajah setiap jengkal kulit halusnya yang tidak tertutupi kain.

Ketika bibir Itachi berusaha turun ke leher jenjang Ino, perempuan itu mundur satu langkah, membuat Itachi mengerang dan keheranan.

“Ngh, what’s wrong?”

“Maaf mas.”

Itachi tidak peduli dengan apa maksud dibalik permintaan maaf itu. Malam ini, Itachi hanya mau Ino. Dia kembali mencoba mempersempit jarak, namun tanpa disangka Ino sudah lepas dari kungkungan pelukannya secepat kilat dan beralih menuju ranjang.

“Ino? Kenapa?” tanya Itachi.

“Maaf, not now Itachi—not here, at least.

Itachi hanya bisa menghela nafas dan bergabung dengan istrinya di ranjang, membaringkan diri dan menatap punggung mungil yang menghadapnya.

Night, Ino.

“Hmm.”

Karena entah sejak kapan, sentuhan Itachi tak lagi membuat Ino merasakan letupan gairah yang biasanya selalu dia rasakan dulu. Dan entah sejak kapan, Itachi merasakan pelukan hangat istrinya kini telah mendingin.

“Gile gile, ini sih namanya mereka ghibahin orang di depan orangnya sendiri.”

Shikamaru berkomentar setelah menyeruput kopi hitam panasnya dari gelas, dia juga sedang ngescroll chatroom HIMAHI buat memantau bagaimana reaksi teman-teman mereka setelah tahu dia dan Ino sedang ada di bukit bintang juga hanya berdua. Di sampingnya, ada Ino yang sedang fokus menggigit jagung bakarnya.

Sebenarnya baik Shikamaru dan Ino sudah pasrah saja semisal mereka bakal keciduk dan agenda mereka berakhir digangguin sama orang-orang usil seperti Naruto atau Kiba. Tapi nyatanya keduanya merasa beruntung ketika teman-teman mereka memilih buat menyingkir dan nggak hadir di tengah-tengah mereka.

“Mana sih liat??” Ino semakin beringsut untuk menaruh kepalanya di pundak Shikamaru sambil menatap layar ponsel coowk itu. Setelah membaca beberapa bubble chat, Ino berdecak. “Ck! Norak banget mereka, kaya dari dulu gapernah ngeliat kita pergi berdua aja.”

“Ya dulu sama sekarang mah beda, No.”

“Beda apanya??”

Ino mengangkat lagi kepalanya dari bahu cowok itu, sehingga Shikamaru menengok dan mengunci pandangannya dengan manik akuamarin cewek itu.

“Halah kalo gue jelasin bedanya dimana, entar lo marah lagi.” kata Shikamaru.

Cewek itu meringis saja, karena apa yang Shikamaru ucapkan itu ada benarnya. Ino belum siap untuk membahas tentang perbedaan-perbedaan yang hadir di antara mereka berdua dari dulu hingga sekarang. Atau mungkin saja Ino sedang denial, dulu dia hanya melihat Shikamaru sebagai bocah mageran yang nggak punya motivasi dan sudah dia kenal sejak masih pakai popok.

Kalau sekarang, Shikamaru di dalam sudut pandang Ino adalah seseorang yang bisa dnegan mudah bikin pipinya memanas dan memerah, bikin jantungnya berdebar, seseorang yang bikin dia ingin berusaha keluar dari trauma yang selama ini membelenggu, juga seseorang yang nggak ingin Ino sakiti hatinya.

“NARUTOOOO!!! INI ADA TEMENNYA DATENG KOK MALAH MOLOR! BANGUN!”

“AHH ARGGHHHH BUNDA SAKIT BUN.”

Naruto langsung melek dan berteriak kala telinganya merasakan jeweran maut dari sang Bunda, Kushina. Tadi dia memang sempat ketiduran di sofa ketika menunggu Sasuke dan Sakura beli makanan, waktu terbangun, ternyata sepasang kekasih itu belum kembali juga. Yang dia temukan malah Kushina dan Hinata. Loh iya juga, sejak kapan Hinata ada di sana?

“Bunda ih! Baru dateng bukannya cipika-cipiki sama adek malah adek di jewer!” kata Naruto melayangkan protes sambil mengusap telinganya, “Hinata? Dari kapan ada di sini? Kenapa gue gak dibangunin??”

Hinata tersenyum saja meskipun cukup kaget dengan dinamika ibu dan anak yang ada di depannya ini, “Baru nyampe kok Naruto. Gak lama sebelum Bunda kamu dateng.”

“Oh iyaaa kamu siapa namanya, cantik??” tanya Kushina dengan mata yang berbinar, seketika langsung nyuekin anaknya sendiri.

“Hinata tante.” jawab cewek itu sopan sambil meraih tangan Kushina untuk salim.

“Pacarnya Naruto yaaa?!?!?!”

“Eh…”

“BUNDA IH! Setiap ngeliat temen cewek adek pasti disangka pacar. Dulu Sakura, Ino, sekarang Hinata. Besok mau siapa lagi Bun??” Naruto melayangkan protes sambil ngegas.

Kushina mendengus saja dan mengacak surai pirang putranya, “Ya biasa aja dong kalo emang bukan! Nggak usah ngegas, dasar jomblo ngenes dari lahir!”

“BUNDAAAAA.”

Sumpah, Hinata bingung dia harus apa di tengah-tengah hebohnya Naruto dan Tante Kushina saat ini. Di sisi lain, Hinata merasa terhibur karena nggak menyangka ternyata bunda nya Naruto ini 11 12 dengan anaknya meskipun aura keibuan perempuan itu sangat kental.

Kushina beralih lagi untuk nyerocos panjang lebar ke Hinata, “Hinata, anak ini pasti sering ngerepotin temen-temennya ya? Aduuuh tante kadang capek banget lho punya anak super pecicilan kaya dia. Untung aja dia punya temen ya, coba kalo nggak? Siapa yang bakal ngurusin dia pas lagi berulah kaya gini nih! Kok ya bisaaa sampe nginjek pecahan gelas, jadinya itu telapak kaki dijahit kan! Aduh pusing banget tante!”

Mendengar rentetan kalimat dari Bundanya yang dilontarkan dengan cepat seperti serang ngerapp, muka Naruto jadi semakin asem. Allah tutupi aibmu tapi ibumu adalah Kushina. Hadeh.

Hinata sendiri juga nggak tahu harus merespon seperti apa, namun cewek itu paham kalau Tante Kushina saat ini sedang khawatir, “Jangan khawatir tante. Di sini Naruto banyak temen yang bantuin dia kok hehe.”

“Tuh Bun! Dengerin.”

“Makasih ya, nak Hinata.” Kushina tersenyum lembut, “Aduh, kayaknya kalo Sasuke sama Sakura aja yang ngawasin anak ini kurang ya?? Tolong ya Hinata, kalo Naruto mulai aneh-aneh, langsung kasih tau tante aja!”

“Iya tante. Jangan khawatir hehe.”

Setelah itu Kushina menyuruh Naruto mandi, kemudian beliau juga yang mengganti perban anaknya. Nggak lama, Sasuke dan Sakura akhirnya datang juga. Sasuke bilang ke Tante Kushina kalau mereka masih ada jadwal ujian siang nanti. Sehingga Tante Kushina kembali nyemprot Naruto yang ogah-ogahan dan menyuruhnya untuk belajar ditemani Sakura dan Hinata.

Bisa dipastikan lah ya kalau suasana pagi menjelang siang di kontrakan itu jadi semakin rame berkat Tante Kushina.

Ujian Akhir Semester tersisa tiga hari lagi dan setelah itu mahasiswa akan menyambut libur semester yang cukup panjang. Meskipun libur panjang kali ini bagi mahasiswa-mahasiswa tua seperti mereka ini artinya hanyalah jeda sebanyat sebelum bertarung dengan tugas akhir, mereka tetap akan menyambutnya dengan suka cita.

Beberapa pengurus HIMAHI sedang berada di sekre untuk menunggu dan mengulang materi yang nanti akan diujikan satu jam kemudian. Gaya belajar mereka macam-macam, ada yang harus fokus membaca, menyalin catatan, berdiskusi secara lisan, atau mendengarkan penjelasan teman yang sedang berdiskusi. Tapi nggak sedikit juga kok yang susah untuk fokus, akhirnya cuma rebahan sambil main ponsel atau ngobrol dengan teman yang sama-sama nggak bisa fokus.

“HEEEEH NARUTOO! Sini lo, belajar!” Sakura mengomel entah sudah keberapa kali, membujuk Naruto supaya mau belajar karena dari tadi cowok itu sibuk main game di ponsel.

“Nanti ah! Nunggu jajan nya Chouji dateng.”

“Sasuke tolong seret Naruto ke sini!”

Dan Sasuke mau-mau saja mematuhi perintah Sakura, “Sini lu belajar! Kalo IPK lu turun, gue sama Sakura yang gaenak sama orang tua lu.”

“HHHHHH IYA IYA.”

“GAUSAH BERISIK NARUTO GUE LAGI BELAJAR!!” itu omelan dari Ino yang merasa terdistraksi dengan suara lantang Naruto, cewek itu sampai melempar pulpen nya ke arah si wakahim.

“IYA MAAP.”

Disisi lain Rock Lee menghampiri Tenten yang sedang membaca rangkuman materinya, “TenTen! Udah beli tiket buat pulang belum??”

TenTen menjeda kegiatannya untuk menjawab pertanyaan Lee, “Belom. Lo mau beli tiket hari ini??”

“Iya nih mumpung ada promo. Ayo sekalian, mana KTP lo??”

“Hmmm.” Cewek yang rambutnya dicepol dua itu kelihatan ragu-ragu mengiyakan ajakan teman satu kampung halamannya itu, “Gue nanti aja deh Lee. Kayanya liburan semester ini gue nggak pulang deh.”

“Loh?”

“Iyaaa! Lo duluan aja kalo mau beli tiket buat pulang Lee.”

“Oh okay deh.” jawab Rock Lee, kemudian cowok itu beranjak untuk pergi ke luar sekre.

Setelah menyinggung soal kepulangan, TenTen jadi sudah nggak mood buat membaca kembali catatannya. Dia beralih untuk scroll instagram dan twitter nya sampai pertanyaan Neji yang daritadi ada di sebelahnya dan menyimak percakapan dua temannya itu terlontar.

“Kenapa gak pulang?” tanya Neji masih sambil fokus mengetikan jari di keyboard laptopnya.

Ten Ten menghela nafas sebelum menjawab, “Nenek gue udah nggak ada, Ji. Jadi buat apa gue pulang?”

Neji mengangguk, mengetahui tentang Nenek Tenten yang sudah meninggal beberapa bulan lalu. Namun Neji merasa hal itu nggak bisa dijadikan alasan supaya Tenten nggak pulang ke rumahnya.

“Terus orang tua lo?” kata Neji lanjut bertanya.

Bukannya menjawab, cewek itu malah balik bertanya, “Ji, habis lulus lo mau ngapain?”

“Gue? Ikut kerja di kantor Papanya Hinata, palingan. Tapi gue lebih suka nulis sih.”

“I see.”

Setelah itu, obrolan mereka berdua berhenti untuk beberapa menit, Neji masih mengetik entah apa, sedangkan TenTen terlihat sedang berkontemplasi.

Cewek itu kembali bicara. “Dulu orang tua gue pengen gue masuk Akpol, Ji. Eh gue gamau dan malah masuk HI. Marah lah orang tua gue…”

Neji masih diam saja, pertanda mempersilahkan Tenten buat melanjutkan kalimatnya yang dijeda.

“Kalo aja gue nurut sama orang tua buat masuk Akpol, kayanya gue gak perlu bingung ya entar abis lulus mau jadi apa? Gue malu aja sih buat pulang ke rumah. Udah mana jadi anak ngeyel haha.”

Neji paham betul bahwasannya berjuang menjadi lulusan Hubungan Internasional itu nggak mudah, apalagi kalau semasa kuliah, mereka belum ketemu dengan passion diri sendiri. Cowok itu berhenti menggerakan jarinya di atas keyboard laptop setelah mendengar Tenten berbicara, kemudian dia mengalihkan atensinya dari layar laptop ke cewek yang ada di sebelahnya.

“Lo mau denger saran gue gak, Ten?”

“Apaan tuh?”

“Pulang sana. Mumpung kedua orang tua lo masih ada dan gue yakin—mereka juga nunggu kepulangan lo. Jangan sampe nyesel.” ujar Neji lembut.

“….”

“Kasih orang tua lo kesempatan buat lebih mengenal anak perempuan mereka satu-satunya. Dan lo, coba lebih terbuka sama mereka. Siapa tau orang tua lo bisa kasih arahan dan hilangin beberapa hal yang bikin lo bingung itu.”

Mendengar rangkaian kalimat Neji, Ten Ten merasa jadi anak yang paling tidak bersyukur di dunia ini. Seketika dia merasa malu dengan pemikirannya yang nggak sedewasa Neji. Dari situ, Ten Ten tahu bahwa dia nggak akan menyesal buat mengikuti saran dari Neji. Setelah ini, dia bakal nyamperin Rock Lee dan bilang kalau dia mau juga beli tiket untuk pulang bersama cowok itu.

“Makasih ya, Neji.”

“Sama-sama.”

Memang benar apa kata orang, pemilik kasta tertinggi di antara anggota HIMAHI itu ya—Nadimas Jauzan Hayuningrat.

Agenda registrasi fisik mengharuskan mahasiswa baru datang ke kampus untuk mengurus seluruh proses administrasi dan setelah itu mereka akan dibagikan jaket almamater. Organisasi himpunan jurusan seperti HIMAHI bertugas untuk membantu dan membimbing serta memberi gambaran tentang jurusan dan kegiatan mahasiswa baru seperti ospek dan kegiatan lainnya. Semua organisasi himpunan berkumpul di samping gedung auditorium yang disediakan untuk membangun stand atau booth jurusan masing-masing.

Naruto dan Chouji bertugas untuk menunggu dan menjemput maba yang keluar dari gedung auditorium kemudian mengantarnya menuju booth Hubungan Internasional. Mereka berdua memegang papan yang bertuliskan Hubungan Internasional supaya memudahkan mahasiswa baru untuk menemukan mereka.

Tapi bukan Naruto namanya kalau nggak heboh, setiap maba yang lewat di depannya pasti akan dia tanyai, “HALO HALOOO! Kamu maba HI bukan??”

Mahasiswa baru tersebut menggeleng, “Bukan kak. Aku ilmu komunikasi.”

“Oh Ilkom! Itu tuh mbak yang itu dari ilkom, samperin aja!” kata Naruto.

“Makasih ya Kak!”

Di sisi lain, pengurus HIMAHI yang stand by di booth masih santai saja ngobrol atau foto-foto. Ada yang bersama teman sendiri, ada juga yang sampai main ke booth jurusan lain.

“Eh, maba 2022 tuh berarti kelahiran tahun berapa sih??” tanya Sakura kepo.

Ino menerawang, menghitung dan mengira-ngira. “2003? Apa 2004 ya?”

“Buset! Anak 2004 udah masuk kuliah??” Tenten membulatkan matanya nggak percaya.

“Gile gile berarti kita udah tua.” gumam Kiba

“Nah, sadar kan lo udah tua? Tapi kelakuan masih kaya bocah SMP!” celetuk Ino mengomentari tingkah laku teman-temannya yang sangat childish, apalagi yang laki-laki. Masalahnya mereka tuh kalau bercanda, betulan masih seperti anak SMP. Dari yang ngumpetin sepatu, ngumpetin kunci motor, ngumpetin tas, sampai nantinya berakhir kejar-kejaran pun ada. Apa yang mereka lakukan seolah-olah hidup ini nggak ada serius-seriusnya.

Tapi nggak apa-apa, di dunia tipu-tipu ini memang semuanya harus balance.

Naruto menghampiri booth HI sambil membawa dua mahasiswa baru, laki-laki dan perempuan—berambut pirang dan ungu. “Welcome di booth HI! Kalian ngisi formulir itu dulu sama kakak-kakak yang ada di sana, sambil ngobrol dan tanya-tanya juga boleh!” jelas Naruto, kemudian cowok itu pergi lagi buat kembali ke auditorium.

“Halooo! Selamat datang di Hubungan Internasional!” sapa Hinata yang super ramah.

Ino melanjutkan, “Sini-sini duduk! Eh kenalan dulu, namanya siapa nihh?”

“Kagura, Kak.”

“Kenalin Kak, aku Sumire.”

“Aku Ino, yang ini Hinata, terus yang rambutnya pink itu Sakura, yang dicepol dua itu Tenten!”

Yang disebut namanya kemudian dadah-dadah ke arah dua mahasiswa baru yang kini sudah duduk di depan mereka tersebut. Sakura kemudian menyerahkan formulir yang harus mereka isi, “Ini diisi dulu yaa.”

“Okay kak.”

Di tengah kegiatan mengisi formulir, Shikamaru bertanya, “Kalian berdua dari mana aja?”

“Dari tadi, Kak!” celetuk Kiba yang otomatis membuat dua mahasiswa baru itu terkekeh.

“Gak nanya elu, anj!”

“Shikamaru language!”

Kagura pada akhirnya menjawab setelah selesai ketawa, “Saya dari Iwagakure kak.”

“Wohh! Jauh ya, di sini ngekos?” tanya Tenten.

“Iya kak ngekos, di Jalan Merpati.” jawab mahasiswa baru cowok itu lagi.

“Ih Shikamaru juga ngekos di sana! Kalo butuh bantuan, call dia aja ya!” ujar Ino semangat.

“Hehe iya kak.”

Kagura dan Sumire belum selesai mengisi formulir mereka, namun sudah ada dua mahasiswa baru lagi yang datang, kali ini diantar oleh Chouji. Kedua mahasiswa baru yang baru datang itu dua-duanya cowok, mereka terlihat mirip satu sama lain.

“Bentar yaa ngantri. Sini-sini kalian duduk dulu.”

Sai baru datang dan ikut bergabung dengan mereka, dia membawa kamera yang sudah pasti kalian tau lah ya fungsinya buat apa. Waktu Sai memotret dua mahasiswa baru yang barusan datang itu, dia terheran kemudian bertanya, “Eh, kalian kembar ya?”

Eh waktu ditanya begitu, dua mahasiswa baru itu malah kelihatan asem mukanya karena ini sudah kelima kalinya mereka mendapatkan pertanyaan yang sama. Salah satu dari mereka bilang. “Yaelah bang baru aja ketemu udah disangka anak kembar.”

“Kagak kembar, bang!”

“Ohhh haha mirip soalnya.” Sai manggut-manggut sambil terkekeh, namun dalam hatinya dia bisa menebak pasti dua maba ini bakal jadi the next upin-ipin seperti Naruto dan Ino. “Kenalan dulu, nama kalian siapa? Gue Sai.”

“Iwabe.”

“Kawaki.”

“Welcome ya.”

Sumire yang dari tadi fokus mengisi formulir kembali membuka mulutnya buat bertanya, “Kak boleh tanya?”

“Boleh dong!”

“Ini kakak-kakak yang di sini anggota himpunan ya?”

Sakura mengacungkan jempol, “Betul. Nanti kalian bakal kenalan sama kita semua pas ospek jurusan.”

“Ospek jurusan serem nggak kak? Hehe.” tanya gadis itu lagi.

“Nggak lah! Hahaha. Ospek jurusan kita santai banget, lebih mirip kaya kuliah umum.” jelas Ino singkat.

“Oooh asik!”

Iwabe yang ada di belakang Sumire bertanya, “Emang wajib ya kak ikutan organisasi??”

Kali ini Shikamaru yang menjawab, “Wajib mah kaga. Tapi dianjurkan aja biar ga nolep-nolep amat.”

“HAHAHA.”

Kemudian mahasiswa baru lainnya datang silih berganti, mengisi formulir dan ngobrol singkat bersama kakak-kakak HIMAHI. Mahasiswa baru ditanya kenapa masuk Hubungan Internasional dan jawaban mereka beragam. Ada yang emang semangat banget masuk HI karena passion, ada yang bilang disuruh orang tua, yang bilang ‘ya karena keterima nya di HI’ doang juga ada.

Mahasiswa baru HI tahun ini memang unik-unik. Ada maba yang berhasil bikin pengurus HIMAHI ngakak berjamaah sebab dua orang maba ini wajahnya plek ketiplek dengan Naruto dan Ino. Mereka juga dipertemukan dengan mahasiswa baru Sasuke 2.0 dalam versi perempuan. Sampai mereka harus menghibur dan menenangkan satu maba perempuan yang nangis karena belum apa-apa merasa homesick dan merasa belum siap untuk kuliah.

Konohamaru, Kohan, dan Mugino menghampiri langsung booth HI selepas perkuliahan mereka selesai. Mengucapkan banyak terimakasih ke Shikamaru dan kawan-kawan karena telah membantu panitia meng-handle booth untuk menyambut mahasiswa baru.

Konon katanya sih, tiga orang itu adalah kandidat terkuat untuk ketua himpunan di periode selanjutnya setelah periode kepengurusan Shikamaru resmi demisioner.

Yah, ngomong-ngomong soal demisioner, jadi nggak terasa ya kalau HIMAHI kepengurusan Shikamaru sebentar lagi akan menempuh garis akhir?